PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konflik adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut dari
persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya. Dengan demikian jika suatu
keadaan tidak dirasakan sebagai konflik, maka pada dasarnya konflik tersebut tidak ada dan begitu
pun sebaliknya.
Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai
objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasarkan ras seseorang sebelum
memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya
prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang
tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alas an rasional.
Prasangka dibagi 3 kategori:
- Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
- Pasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai atau tidak disukai
- Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecendrungan seseorang dalam bertindak.
Maksud penulisan makalh ini adalah untuk menggambarkan bagaimana konflik yang terjadi
antara Suku Dayak dengan Suku Madura.
2. Tujuan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini untuk menjelaskan bagaimana terjadinya Konflik Sampit.
BAB II
PEMBAHASAN
Mempelajari Konflik Sampit
Permasalah konflik tidak terlepas dari adanya interaksi antara suku bangsa didalam
penguasaan sumber daya yang ada di dalam lingkup teritorialnya. Pada awalnya masyarakat yang
berada di Sampit sangat konformitas terhadap persinggungan budaya hal ini dikarenakan tragedy
sampit yang menjatuhkan korban jiwa yang cukup banyak dari suku Madura merupakan
kompleksitas dari tragedy-tragedi kecil yang sebelumnya pernah terjadi. Sehingga masyarakat
suku dayakmemberikan label terhadap suku Madura sebagai suku antagonis sehingga atas
ketidakberdayaannya melawan pengaruh-pengaruh penguasaan suku pendatang secara dominan
terhadap suku yang seharusnya menjadi milik territorial sumberdaya dominan yang dilakukan oleh
Suku Madura yang menyebabkan kecemburuan secara social dan ekonomi.
Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asasi manusia baik langsung
maupun tidak langsung. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu “terdesak” dan selalu mengalah.
Dari kasus dilarangnya menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tidak
memiliki izin penambangan. Hingga kampong mereka yang harus berkali-kali pindah tempat
karena harus mengalah dari pada penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan.
Sayangnya, kondisi ini diperburuk oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat
pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut.
Tidak sedikit kasus-kasus pembunuhan orang Dayak ( yang sebagian besar disebabkan oleh
aksi premanisme etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka tidak
bisa ditangkap dan diadili oleh aparat penegak hukum.
Etnis Madura juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak
dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat suku Madura sebagai pendatang). Sering
terjadinya kasus pelanggarang “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu dari suku
Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura.
Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang
dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat banjar sekali
pun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka.
Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Tidak semua suku Madura bersifat seperti ini.
Namun, hanya segelintir saja.
Ada yang mengungkapkan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak
dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang
mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah kebiasaan
dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Missal, adat orang Madura yang
membawa parang atau celurit kemanapun pergi membuat orang Dayak melihat sang “tamu”-nya
selalu siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika
mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan dari soal salah
menyambit rumput sampai kasus tanah amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak
karuan, melahirkan manusia-manusia tak bernyawa tanpa kepala saat terjadi pembantaian Sampit
entah bagaimana cara mereka (suku Dayak) yang tengah dirasuki kemarahan membedakan suku
Madura dengan suku lainnya yang jelas suku-suku lainnya luput dari serangan orang-orang Dayak.
Begitu pula adanya catatan ingatan dari suku asli tentang perlakuan-perlakuan yang tidak
adil terhadap suku asli yang menyebabkan meningkatnya konformitas dan identitas kesukuan yang
dibangkitkan oleh masyarakat Dayak. Ada beberapa peristiwa yang menjadi catatan ingatan dari
masyarakat Dayak yang menurut mereka adalah perlakuan yang tidak wajar terhadap masyarakat
suku Dayak, antara lain:
1. Tahun 1972, seorang gadis Dayak diperkosa di Palangka Raya. Atas kejadian itu diadakan
perdamaian secara hukum adat.
2. Tahun 1982, terjadi pembunuhan orang Dayak yang pelakunya merupakan orang Madura.
Tidak ada penyelesaian hukum dan pelaku tidak tertangkap.
3. Tahun 1983, warga Kasongan yang ber-etnis Dayak dibunuh di Kecamatan Bukit Batu,
Kasongan. Diadakan perdamaian, dilakukan peniwahan itu dibebankan kepada pelaku
pembunuhan. Perdamaian ditandatangani kedua pihak dan jika pihak Madura melakukan
perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
4. Tahun 1996, seorang gadis Dayak diperkosa dan dibunuh di gedung bioskop Panala di
Palangka Raya, ternyata hukumannya sangat ringan.
5. Tahun 1997, di desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang
Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan semua orang Madura
meninggal pada kejadian tersebut. Orang dayak mempertahankan diri dengan ilmu beladiri.
Dan orang Dayak dihukum berat.
6. Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota kecamatan Kaltingan Tengah, seorang anak mati
terbunuh oleh seorang tukang sate etnis Madura. Anak itu hanya kebetulan lewat setelah
tukang sate tersebut bertikai dengan para anak muda.
7. Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok empat pemuda Madura hingga
meninggal, pelakunya dinyatakan melarikan diri dan kasus tidak diselesaikan secara
hukum.
8. Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang Madura
karena masalah sengketa tanah. 2 orang Dayak meninggal dunia.
9. Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas ketertiban umum dibacok oleh orang
Madura, pelaku ditahan di polresta Palangka Raya, namun dibebaskan keesokan harinya
tanpa tuntutan hukum.
10. Tahun 1999, di Pangkut, ibukota kecamatan Arut Utara, kabupaten Kotawaringin Barat,
terjadi perkelahian missal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa
mengambil emas suku dayak. Perkelahian banyak menimbulkan korban pada kedua pihak.
Tak ada penyelesaian hukum.
11. Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-istri. Tindakan
tersebut dilakukan untuk balas dendam, namun salah alamat.
12. Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, sekeluarga Dayak dibunuh oleh orang
Madura, pelaku lari tanpa penyelesaian hukum.
13. Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 orang Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di
depan gereja Imanuel. Pelaku lari tanpa penyelesaian hukum.
14. Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi
pengeroyokan oleh suku Madura. Pelaku kabur tanpa penyelesaian hukum.
15. Tahun 2001, di Sampit (17-20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena
dibantai. Suku Madura lebih dulu menyerang warga Dayak.
16. Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga dayak terbunuh diserang
suku Madura.
Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan suku lainnya di Kalimantan Tengah,
kecuali dengan suku Madura. Lalu terjadilah peristiwa kerusuhan pada 25 Februari yaitu peristiwa
Sampit yang mencekam.
Apa yang membuat suku Dayak begitu marah dengan menghadapi suku Madura. Hamper
semua tokoh Dayak menunjukan kebanyakan etnis Madura lah penyebab akar permasalahannya.
Maka dari itu , terpapar diatas bahwasanya persinggungan penguasaan sumberdaya yang tidak
terdistribusi secara merata dalam persaingan dan kerjasama sebelum meningkat menjadi konflik
juga dipicu karena permasalahan lebel dari masyarakat suku Dayak terhadap suku Madura dalam
segi budaya yang menimbulkan etnosentrisme sehinggan terjadi konflik.
Kronologis Konflik Sampit
18 Februari 2001
1. Pkl.01.00 WIB terjadi peristiwa pertikaian antar etnis diawali dengan terjadinya
perkelahian antara Suku Madura dengan kelompok Suku Dayak di Jalan Padat Karya, yang
mengakibatkan 5 (lima) orang meninggal dunia dan 1 (satu) orang luka berat semuanya
dari Suku Madura.
2. Pkl. 08.00 WIB terjadi pembakaran rumah Suku Dayak sebanyak 2 (dua) buah rumah
yang dilakukan oleh kelompok Suku Madura dan 1 (satu) buah rumah Suku Dayak
dirusak dan dijarah oleh kelompok Suku madura. Kejadian ini mengakibatkan 3 (tiga)
orang meninggal semuanya dari Suku Dayak.
3. Pkl. 09.30 WIB pengiriman Pasukan Brimob Polda dari Kalimantan Selatan sebanyak 103
personil dengan kendali BKO Polda Kaliteng untuk pengamanan di Sampit dan tiba Pkl.
12.00 WIB
4. Pkl. 10.00 WIB sebanyak 38 (tiga puluh delapan) orang tersangka dari kelompok Suku
Dayak atas kejadian tersebut di atas diamankan ke MAPOLDA Kalteng di Palangka Raya
dan menyita beberapa macam senjata tajam sebanyak 62 buah.
5. Pkl. 20.30 WIB ditemukan 1 (satu) orang mayat dari kelompok Suku Dayak di Jalan Karya
Baru, Sampit.
Dari serangkaian peristiwa yang mencekam tersebut dilaporkan terdapat sebanyak 383 orang
korban jiwa dan 38 orang luka-luka. Korban materil berupa 793 buah rumah terbakar, 48 buah
rumah rusak, 13 buah kendaraan bermotor, dan 206 buah becak. Dan akhirnya seluruh etnis
Madura yang berada di Kalimantan Tengah dan tempat-tempat lainnya diungsikan keluar daerah
tersebut.
Peran Pemerintah Terhadap Tragedi Sampit
A. Peran Pemerintah Saat Konflik
Ternyata orang Dayak masih memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap orang-
orang Madura khususnya yang punya niat baik. Sampai saat ini masih sering dijumpai
orang-orang Madura di Samalantan walau tidak sebanyak dulu sebelum terjadi konflik,
mereka datang ke Samalantan bukan untuk kembali menetap melainkan untuk
berbisnis, seperti menjual sayur keliling, menjual baju, celana, sendal, dan peralatan
rumah tangga lainnya, dengan catatan mereka tidak boleh tinggal lama apalagi akan
menetap di Samalantan, karena orang-orang Dayak sudah tidak bisa hidup
berdampingan dengan orang-orang Madura.
1. Mengadakan Musyawarah
Sebelum terjadinya konflik yang lebih luas pemerintah setidaknya telah mengambil
tindakan dan kebijakan untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai yaitu
pihak orang Dayak dan pihak orang Madura di Samalantan, salah satu cara ialah dengan
musyawarah. Pertikaian bermula tentu tidak langsung terjadi secara besar-besaran, tapi
tentu hanya antara individu yang satu dengan individu yang lain dan pasti masih bisa
ditangani oleh pihak pemerintah dan tokoh-tokoh adat dari orang Dayak.
Kenyataan tersebut memang benar, sebelum konflik terjadi dan meluas sudah ada
tindakan khusus dari pemerintah di Samalantan guna meredam konflik yaitu dengan
cara mengadakan musyawarah antara pelaku konflik dengan korban konflik alhasil
konflik yang kecil tersebut bisa diatasi dengan baik pada saat diadakan musyawarah
dan keputusan pasti ada yang salah dan ada pula yang benar, di Samalantan khususnya
jika ada yang bertikai dan diurus oleh para tokoh-tokoh adat, maka pelaku konflik yang
dinyatakan bersalah oleh para tokoh adat wajib menaati hukuman yang diberikan.
Jenis hukuman bagi yang bersalah di Samalantan, bahkan Kalimantan Barat secara
umum disebut dengan “bayar adat” sejenis penggantian dari benda-benda yang harus
diserahkan kepada korban konflik, contohnya untuk membayar dengan mata uang
harus membuat pesta di tempat kediaman korban konflik yaitu dengan mengorbankan
ayam, anjing, dan babi sebagai simbol darah yang keluar saat pertikaian terganti dengan
darah binatang piaraan tersebut. Orang Madura adalah penganut agama Islam yang taat,
bagi mereka anjing dan babi adalah haram jika dikonsumsi, jadi saat diadakan pesta
adat dengan mengkonsumsi makanan tersebut maka sangatlah tidak mungkin untuk
mereka datang ke tempat korban, maka dari itu ada perasaan tidak dihargai dari pihak
korban yang bisa membuat satu masalah baru yang tidak terselesaikan.
Sebagai bentuk toleransi yang ditunjukkan orang Dayak terhadap orang Madura
adalah dengan tidak menyarankan atau mengharuskan orang Madura untuk
mengkonsumsi daging anjing dan babi yang dianggap haram tersebut, tetapi paling
tidak bisa hadir dalam pesta tersebut. Tidak hadir dalam pesta di rumah korban juga
bisa membuat pelaku pertikaian tidak ikut merasakan apa yang sudah menjadi
kebiasaan dan tradisi orang Dayak, seharusnya kebiasaan dan tradisi seperti itu tidak
dipandang sebelah mata oleh orang Madura yang telah membuat konflik dengan orang
Dayak. Membuat pesta semacam itu tentulah mempunyai maksud dan tujuan yaitu
dengan maksud supaya pelaku pertikaian dapat merasakan betapa penting sifat
penyabar dan rendah hati terhadap sesama, sehingga tidak selalu menyelesaikan
masalah dengan kekerasan apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang.
2. Membuat Perjanjian
Setelah terjadi konflik tentu akan dicari solusi bagaimana supaya tidak terjadi lagi
konflik dikemudian harinya, maka dari itu muncullah ide dari pemerintah dan para
tokoh-tokoh adat masyarakat Dayak dan dari pemuka-pemuka Agama orang Madura
untuk membuat beberapa perjanjian antara orang Dayak dengan orang Madura, banyak
kesepakatan yang disepakati waktu diadakan perjanjian tapi karena terlalu banyak,
maka hanya sedikit yang dipatuhi oleh kedua belah pihak. Walau sudah 32 dibuat
beberapa perjanjian tetap saja tidak bisa membuat keadaan menjadi aman seutuhnya,
tetapi tetap saja masih terjadi konflik.
3. Membuat Tugu Perdamaian
Pemerintah mengambil lagi kebijakan setelah melalui beberapa kebijakan yang ada
diatas yang menurutnya lebih efektif dalam penyelesaian konflik yang sudah menjadi
permasalahan besar bagi masyarakat Samalantan, agar tidak terulang lagi terjadinya
konflik di Samalantan maka Laksusda Kalimantan Barat Brigjen (TNI) M. Sanif
meminta supaya didirikan tugu perdamaian dan disetujui oleh semua pihak maka
didirikanlah tugu perdamaian tersebut dengan tujuan tidak ada lagi dendam antara
pendatang dengan penduduk pribumi lebih khusus lagi antara orang Dayak dengan
orang Madura, akan tetapi tidak hanya dua etnis tersebut (Dayak-Madura) yang
menjadi isi ditugu perdamaian tersebut melainkan semua etnis yang berdomisili di
Samalantan seperti suku Melayu, suku Jawa, suku Cina, suku Sunda, suku Bugis, jadi
pada proses pembuatan tugu perdamaian ini semua etnis juga ikut terlibat, bahkan pada
saat peresmian tugu perdamaian semua perwakilan dari etnisetnis semuanya turut hadir
guna menghormati dan menghargai didirikannya tugu perdamaian.
D. Relief semua suku yang ada di Kecamatan Samalantan, relief orangorang dari
berbagai suku Dayak, Jawa, Melayu, Madura, Cina, Sunda, Bugis sedang
bergandengan tangan merupakan salah satu contoh yang 35 disampaikan oleh
pemeritah guna meminimalisir terjadi konflik di Samalantan
Penyelesaian Masalah
Pertama-tama penyelesaian diserahkan untuk ditangani oleh lembaga independen yang
beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dari kedua etnis serta kalangan intelektual dan tokoh-
tokoh kredibel dari pemerintahan. Yang difasilitasi sepenuhnya oleh negara. Lembaga ini diberi
kewenangan untuk menemukan kesepakatan dari pihak-pihak yang bertikai dan kemudian
mengantarkan para pihak ke titik rekonsiliasi yang memungkinkan menata mereka kembali
keharmonisan social dalam ketenangan dan rasa aman yang terjamin.
Kedua, siapa pun yang diindikasikan kuat sebagai actor-aktor intelektual di balik
kerusuhan di Kalteng, baik dari kalangan etnis Dayak maupun Madura, harus ditangkap dan
dibawa ke pengadilan. Supremasi hukum harus ditegakkan atas mereka.
Ketiga, negara harus membantu warga etnis Madura untuk mendapatkan kembali hak milik
mereka berupa asset ekonomi terutama yang berupa tanah serta rumah tempat tinggal. Juga
memberikan kompensasi terhadap etnis Dayak untuk menjadi tuan tanah di tanah nenek
moyangnya. Mereka harus diberdayakan dari berbagai aspek kehidupan.
Keempat, negara bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat melakukan sosialisasi
dan kampanye terus-menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Indonesia sebagai bangsa
majemuk berikut pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan
konflik tanpa kekerasan di dalama masyarakat. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah berupaya
menghapus kesan negatif atau stereotype antara etnis Dayak dan Madura selama ini.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Permasalahan konflik antara suku Dayak dan Madura adalah rangkaian panjang dari
perjalanan interaksi antara kekuatan-kekuatan social dalam struktur social dalam memperebutkan
sumber daya yang ada di Sampit yang menimbulkan persaingan dan akibat dari tidak meratanya
pendistribusian sumber daya yang ada akan menyebabkan konflik. Perbedaan budaya bukan
merupakan penyebab konflik, tetapi bisa menjadi pemicu terjadinya konflik. Maka dari itu pihak
kepolisian dan pemerintah daerah sangat berperan untuk memberikan solusi-solusi terhadap
permasalahan yang ada di masyarakat Sampit.