Anda di halaman 1dari 42

PENYEBAB KONFLIK DAYAK DAN MADURA

PENYEBAB KONFLIK DAYAK DAN MADURA

Penduduk asli Kalimantan Barat adalah Suku Dayak yang hidup sebagai petani dan nelayan
Selain suku asli, suku lainnya yang juga telah masuk ke bumi Kalimantan adalah Melayu,
Cina, Madura, Bugis, Minang dan Batak.

Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia atau
Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah,
kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian seringkali
ditemui kesalahpahaman di antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura berbicara
dengan orang Dayak, gaya komunikasi orang Madura yang keras ditangkap oleh Orang
Dayak sebagai kesombongan dan kekasaran.

Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu konflik pada
masyarakat yang berbeda sosial budaya. Demikian juga yang terjadi pada konflik Dayak dan
Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus Sanggau Ledo, Kabupaten
Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk Kabupaten Sambas), di Kalimantan
Barat. Konflik sosial sepertinya agak sulit terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat
Kalimantan. Setelah itu, pertikaian antar-etnis terjadi lagi di Sambas, lalu disusul di Kota
Pontianak, dan terakhir di Sampit serta menyebar ke semua wilayah di Kalimantan Tengah.

Orang Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman dengan karakter orang Madura
yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak sebagai penduduk lokal yang
menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak.
Tanah yang mereka miliki adalah warisan leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali
mereka terkena tipudaya masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau
bahkan menyerobot tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya
orang Madura menimbulkan sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap mereka
sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang
Madura menelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.

Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi merupakan dasar dari munculnya suatu konflik2.
Masyarakat Dayak juga mempunyai suatu cirri yang dominan dalam mata pencarian yaitu
kebanyakan bergantung pada kehidupan bertani atau berladang. Dengan masuknya perusahaan
kayu besar yang menggunduli kayu-kayu yang bernilai, sangatlah mendesak keberadaannya
dalam bidang perekonomian. Perkebunan kelapa sawit yang menggantikannya lebih memilih
orang pendatang sebagai pekerja daripada orang Dayak. Hal yang demikian menyebabkan
masyarakat adat merasa terpinggirkan atau tertinggalkan dalam kegiatan perekonomian
penting di daerahnya mereka sendiri. Perilaku orang Madura terhadap orang Dayak dan
keserakahan mereka yang telah menguras dan merusak alamnya menjadi salah satu dasar
pemicu timbulnya konflik di antara mereka.

Ketidakcocokan di antara karakter mereka menjadikan hubungan kedua etnis ini mudah
menjadi suatu konflik. Ditambah lagi dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis

2 Simon Fisher, Dekka Ibrahim Abdi dkk. “Working With Conflict; Skills& Strategies for
Action, New York, 2002.Responding To Conflict.
terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing etnis. Kecurigaan dan kebencian
membuat hubungan keduanya menjadi tegang dan tidak harmonis.

Ketidakadilan juga dirasakan oleh masyarakat Dayak terhadap aparat keamanan yang tidak
berlaku adil terhadap orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka
untuk menghukum orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan
oleh aparat penegak hukum. Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan
langsung terhadap orang Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman
orang Madura.

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki
atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Kekerasan adalah tindakan,
perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik,
mental sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara
penuh3

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa antara konflik dengan kekerasan bagaikan dua
sisi mata pedang yang terpisahkan satu dengan yang lainnya manakala konflik yang terjadi
tidak segera diselesaikan sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan kekerasan yang
dapat merusak secara material maupun immaterial.

Konflik adalah suatu kenyataan yang tidak terhindarkan jika pihak-pihak yang bertentangan
tidak memiliki pemahaman yang terhadap satu sama lain dan tujuan serta kebutuhan mereka
tidak dapat lagi sejalan. Perbedaan pendapat yang terjadi di antara keduanya pada dasarnya
adalah hal yang alami, namun jika tidak terkendali akan menjadi pemicu timbulnya kekerasan
yang merusak kedua belah pihak bahkan lingkungan sekitarnya. Untuk itu diperlukan
penyelesaian yang memberikan semangat damai pada kedua belah pihak. Jika konflik yang
menyebabkan timbulnya kekerasan dapat diselesaikan tanpa melakukan kekerasan
memberikan suatu rasa damai dan aman pada masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, jika
diselesaikan juga dengan kekerasan yang membabibuta akan menyebabkan timbulnya rasa
takut, tidak aman, kepanikan bagi orang sekitarnya, khususnya bagian dari masyarakat yang
bertikai. Permasalahan baru juga akan timbul dari penyelesaian dengan jalan kekerasan. .

Selanjutnya Simon Fisher dkk, mengajukan suatu konsep tentang arti kekerasan sebagai suatu
pendekatan dalam intervensi konflik yang menyebutkan bahwa konflik adalah fakta
kehidupan yang dapat memunculkan permasalahan-permasalahan berat saat kekerasan
muncul dalam konflik tersebut. Oleh karenanya dapat dibedakan antara kelompok yang
menghendaki kekerasan sebagai penyelesaian konflik dan kelompok yang anti kekerasan.
Kelompok yang pro kekerasan cenderung untuk memaksakan kehendaknya agar dituruti
orang lain ketika cara lain yang ditempuh gagal. Sedangkan kelompok anti kekerasan
cenderung percaya bahwa kekerasan tidak akan mampu mendatangkan manfaat yang
diharapkan diharapkan, sehingga penggunaan kekerasan dirasa tidak bermanfaat dan tidak
adil. Secara praktis tindakan-tindakan anti kekerasan dilakukan masyarakat yang menerapkan
metode anti kekerasan secara mutlak mereka lebih percaya bahwa metode anti kekerasan

3 Simon Fisher, Dekka Ibrahim Abdi dan kawan. “Working With Conflict; Skills & Strategies
for Action, New York, 2002. Responding To Conflict.
yang diterapkan dalam suatu konflik akan lebih berhasil dalam situasi yang mereka hadapi
sendiri.

Menganalisa lebih lanjut tentang konflik horizontal yang terjadi pada beberapa wilayah di
Indonesia, seperti konflik Dayak dan Madura dihubungkan dengan teori Simon Fisher, dapat
dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat di daerah konflik cenderung memilih jalan
kekerasan sebagai alternative penyelesaian masalah yang muncul di antara mereka. Mereka
menganggap cara ini lebih membuat pihak lawan memenuhi keinginan mereka.

Identitas yang terancam sebagai suatu suku asli Kalimantan yang terusik oleh kedatangan
pendatang membuat suku Dayak mengambil sikap keras. Ditambah lagi dengan tidak adanya
perubahan sikap dari masyarakat pendatang. Hal ini jelas terlihat pada dampak yang terjadi
pasca konflik horizontal Dayak dan Madura. Mereka tidak melihat dampak dari kekerasan
bagi masyarakat mereka sendiri yaitu korban jiwa dan harta benda, tetapi yang terpenting
adalah keluarnya orang Madura dari wilayah mereka.

Menyimak lebih jauh tentang konflik horizontal yang juga disebut sebagai konflik etnis yang
bersifat laten (tersembunyi) yang harus diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara
efektif. Disebut sebagai konflik yang bersifat laten karena di antara kedua etnis yang bertikai
(Dayak dengan Madura) sudah lama terjadi ketidakharmonisan dalam interaksi sosialnya.
Suku Dayak sebagai suku asli Kalimantan merasa terusik kehidupannya dengan semakin
meningkatnya populasi suku Madura yang juga mendominasi hampir seluruh aspek
kehidupannya.

Ketidakharmonisan dalam interaksi sosial antara kedua etnis ini tidak cepat mendapat
penanganan dari tokoh masyarakat setempat maupun oleh aparatur pemerintah agar dapat
ditangani. Pada pertikaian yang terjadi terlihat adanya keberpihakan dari aparat kepada salah
satu etnis menurut pendapat etnis lain. Kondisi ini terus berlanjut, yang pada akhirnya
menjadi konflik terbuka berakar dan diiringi dengan kekerasan.

Konflik yang dipicu oleh persoalan yang sederhana, menjadi kerusuhan dan di identifikasi
pemicu pecahnya konflik adalah : adanya benturan budaya etnis lokal dengan etnis
pendatang, lemahnya supremasi hukum, adanya tindak kekerasan. Benturan budaya ini
sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh kesombongan dan ketidakpedulian etnis Madura
terhadap hukum adat dan budaya lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti
hak atas kepemilikan tanah.

PENANGANAN YANG DILAKUKAN

Lemahnya supremasi hukum terlihat dari perlakuan yang ringan diberikan pada masyarakat
Madura. Dalam hal ini untuk menghindari keadaan yang lebih tidak terkendali lagi seperti
terjadinya tindakan kekerasan, pembunuhan, pembakaran dan pengusiran yang
berkepanjangan, maka untuk sementara waktu orang Dayak menyatakan sikap yaitu :

1. Untuk etnis Madura yang masih berada di wilayah Kalimantan Barat agar secepatnya
dikeluarkan atau diungsikan demi keselamatan dan keamanan mereka karena tidak ada
jaminan untuk itu. Terlebih dengan tidak cukupnya aparat keamanan menjangkau
wilayah rawan konflik.
2. Menolak pengembalian pengungsi etnis Madura untuk batas waktu yang tidak
ditentukan karena tidak adanya suatu jaminan perubahan sikap dari etnis Madura dan
juga dikhawatirkan adanya tindakan balas dendam secara langsung maupun tidak
langsung.

Sikap ini ditanggapi positif oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat karena adanya
keterbatasan aparat yang tidak dapat menjangkau seluruh wilayah Propinsi Kalimantan, maka
demi keamanan kedua belah pihak untuk sementara suku Madura harus dilokalisir pada
daerah yang lebih aman. Selain itu dalam upaya penanganan konflik yang terjadi ini
dilakukan juga beberapa cara yaitu :

(1) Untuk sementara waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak dan Melayu
sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan terutama di daerah
konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bentrokan di antara mereka karena sangat
rentan tersulut oleh isu yang akan membakar kemarahan kedua belah pihak;

(2) Rehabilitasi bangunan yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran terhadap
infrastruktur masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya kegiatan
masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu mendapat
perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan
kembali seluruh tokoh masyarakat;

(3) Re-evakuasi dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman. Untuk itu
perhatian terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus didukung oleh pihak
keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak;

(4) Dialog antar etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat
masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri konflik
yang berkepanjangan;

(5) Demikian juga dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perlu
dilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu selain itu
kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.
Latar Belakng Kronologis dan dampak Gerakan 30 september
Pada malam 30 September 1965 atau lebih tepatnya 1 Oktober subuh dini hari, 6 Perwira
Tinggi Militer Indonesia diculik dan kemudian dibunuh secara misterius. Peristiwa ini
kemudian menjadi titik peralihan kekuasaan dari pemerintahan Presiden Soekarno menjadi
era Orde Baru dengan diangkatnya Soeharto menjadi presiden kedua Republik Indonesia.
HIPOTESA 1: VERSI PEMERINTAHAN ORDE BARU - G30S/PKI (1966 - 1998)

Ini adalah cerita versi official (resmi) pemerintahan Orde Baru yang dipercaya oleh sebagian
besar masyakarat Indonesia selama ± 32 tahun.

Latar Belakang
1. Nasakom
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia cenderung terbuka dengan berbagai
macam ideologi, baik ideologi nasionalis, agama, termasuk juga ideologi komunis. Presiden
Soekarno berpendapat bahwa ketiga ideologi itu bisa berjalan beriringan secara seimbang
baik secara politik maupun secara praktis dalam masyarakat - gagasan ini kemudian biasa
disebut dengan NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis).
Dengan dinamika politik yang begitu beragam pada saat itu, masing-masing ideologi
berusaha untuk saling memperluas pengaruhnya baik kepada masyarakat maupun pada kaum
yang berkuasa pada pemerintahan Soekarno.

2. Dewan Jendral
Pada suatu kesempatan PKI mengarang cerita (menurut versi ORBA) bahwa ada kelompok
jendral-jendral Angkatan Darat yang membentuk kelompok yang dinamakan Dewan Jendral,
yang berencana melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat perayaan hari TNI,
5 Oktober 1965.

Kronologi

 Salah satu petinggi PKI Sjam Kamaruzzaman bekerjasama dengan komandan Resimen
Cakrabirawa (pasukan pengaman presiden), Letkol Untung Syamsuri untuk
menggagalkan rencana kudeta tersebut dengan cara menculik perwira tinggi yang
diduga tergabung dalam Dewan Jendral. Para jenderal tersebut kemudian diculik,
disiksa, dan dipaksa oleh oleh anggota-anggota PKI dan organisasi-organisasi
bawahannya seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Lekra (Lembaga
Kebudajaan Rakjat) menandatangani surat pernyataan (sebelum akhirnya dibunuh)
yang menyatakan bahwa mereka adalah anggota Dewan Jenderal.
 Keesokan harinya setelah aksi pembunuhan tersebut, Letkol Untung dengan di bawah
pengawalan pasukan tidak dikenal mengumumkan lewat Radio RRI bahwa dini hari itu
dia melakukan "pengamanan" terhadap Presiden dari para jendral yang akan melakukan
kudeta. Kejadian penculikan ini kemudian diketahui Mayjend Soeharto, yang waktu itu
menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
 Esoknya, Soeharto langsung menggerakan pasukannya untuk mencari para Jendral
yang hilang dan mengusir pasukan-pasukan tidak dikenal tersebut. Sampai pada tanggal
1 Oktober siang hari, Soeharto berhasil ngambil alih RRI dari tangan pasukan yang
menurutnya disusupi PKI, dan mengumumkan bahwa terjadi penculikan jenderal-
jenderal yang diduga digagas oleh PKI.
 Beberapa hari setelah itu, muncul berita-berita di media cetak asuhan TNI seperti
Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang intinya mengatakan bahwa dalang
penculikan terhadap jendral-jendral itu adalah PKI, termasuk berita bahwa jendral-
jendral itu mengalami penyiksaan terlebih dahulu hingga akhirnya dibunuh.

Dampak
Terjadilah serangkaian skenario "pembersihan" PKI dan simpatisannya di setiap pelosok
penjuru Indonesia. Sampai pada akhirnya Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret 1966
(SUPERSEMAR) yang berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima
Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Sehari kemudian, 12 Maret 1966, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan
menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.
HIPOTESA 2: KONFLIK INTERNAL ANGKATAN DARAT

Pertama kali muncul, hipotesis ini dijabarkan oleh peneliti politik Indonesia asal Universitas
Cornell, AS, Benedict Anderson. Ada dua versi kecil dalam teori ini, yaitu yang berpendapat
bahwa:

 Mayjen Soeharto adalah dalang dari peristiwa penculikan dan pembunuhan keenam
Jendral.
 Soeharto tidak terlibat namun hanya diuntungkan dari situasi dari konflik internal TNI.

Latar Belakang
1. Konflik internal dalam TNI
Pada masa itu TNI terpecah menjadi 2 kubu:
a. Kubu Soekarnois
Kubu ini sangat setia dengan Presiden Soekarno, walaupun mereka sebetulnya kurang
sepakat dengan ideologi Nasakom yang digagas oleh Soekarno. Salah satu figur utama dalam
kubu ini adalah Letnan Jendral Ahmad Yani (Kepala Staf Angkatan Darat/KSAD). A.Yani
dikenal sebagai pendamai ulung dalam setiap gerakan separatis yang mengancam kesatuan
RI. Jadi, kalo mau mendamaikan konflik apa-apa, Soekarno gak usah pusing, langsung aja
turunin A.Yani ke lapangan. Pemberontakan selesai, minim korban dan konflik! Selain
A.Yani, kebanyakan kubu Sokarnois dipenuhi oleh para perwira muda.
b. Kubu "Kanan"
Kubu ini sangat khawatir terhadap sikap politik Soekarno yang seringkali menganggap TNI
sebelah mata, sehingga sering juga Jendral-jendral dari kubu ini protes ke Soekarno. Perwira
tertinggi dari kubu ini yang terkenal adalah Jendral Sudirman, Jendral Tahi Bonar
Simatupang, dan Jendral Abdul Harris Nasution.

2. Konflik Militer
Pada masa itu (1962 - 1966), TNI cukup sibuk dengan adanya 2 konflik militer yaitu upaya
untuk merebut Irian Barat (1963) dan juga Konfrontasi dengan Malaysia (1962-1966).

3. Angkatan Kelima
Di tengah-tengah 2 operasi militer tersebut, TNI merasa terganggu dengan gagasan dari PKI
untuk membentuk Gerakan yang bernama Angkatan Kelima. Angkatan Kelima ini intinya
adalah gerakan untuk mempersenjatai sipil terutama kaum buruh dan petani, agar bisa
membantu Indonesia dalam konfrontasi militer dengan Malaysia, dengan alasan bahwa
jumlah petani dan buruh sangat banyak. Dengan adanya usulan ini, pihak militer menanam
kecurigaan bahwa gerakan Angkatan Kelima ini adalah upaya PKI untuk memobilisasi buruh
dan petani (yang merupakan simpatisan PKI) untuk melakukan kudeta dan merebut
kekuasaan.

Nah, inilah yang jadi awal perpecahan yang berujung ke peristiwa G30S, yang menurut para
pendukung hipotesis ini, peristiwa penculikan dan pembunuhan keenam Jendral merupakan
gerakan murni yang dilakukan oleh TNI. Ada tiga bukti yang selalu dijadikan alasan kuat
oleh para pendukung hipotesis ini. Pertama adalah hasil penelitian Benedict Anderson yang
dikenal dengan Cornell Paper. Kedua adalah pembelaan diri dari Kolonel Latief (salah satu
terdakwa G30S/PKI), dan ketiga adalah hasil otopsi terhadap para jendral yang jadi korban
G30S.
HIPOTESA 3 : KETERLIBATAN BLOK BARAT DI TENGAH KONFLIK PERANG
DINGIN

Latar Belakang
1. Konflik perang dingin

 Setelah masa perang dunia II, terjadi ketegangan antara kedua kubu besar yang
mengambil andil besar dalam mengalahkan Jerman dan Jepang, yaitu kubu Blok
Timur (Uni Soviet, Cina,Warsaw Pact) yang mayoritas beridiologi komunis dengan
Blok Barat (Amerika dan NATO) yang sebagian besar beridiologi kapitalis.
 Indonesia dipandang oleh kedua kubu sebagai wilayah yang sangat strategis. Tentu
saja kedua kubu ini ingin sekali mengambil hati negara Indonesia untuk bisa
bergabung dengan aliansi mereka masing-masing.
 Sementara itu, Soekarno menetapkan Indonesia sebagai penganut Non-Aligned
Movement(Gerakan Non-Blok).
 Sampai pada tahun 1957-1958 Indonesia menghadapi 2 ancaman pemberontakan
dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat tahun
1958 dan pemberontakan Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta
disingkat Permesta di Makasar dan kawasan Indonesia Timur. Dalam upaya meredam
pemberontakan ini, Indonesia menyadari bahwa adanya intervensi dari Blok Barat,
CIA, dan Amerika yang mendukung kaum pemberontakan. Salah satunya adalah
dengan tertangkapnya Allen Lawrence Pope seorang tentara bayaran yang ditugasi
CIA untuk membantu pemberontakan PRRI dan Permesta.
 Sejak saat itu, pandangan politik Presiden Soekarno berubah drastis terhadap Blok
Barat dan cenderung lebih menjalin hubungan baik dengan Blok Timur.
 Puncaknya pada tahun 1964, Soekarno memulai kampanye anti-Amerika dengan
melarang peredaran film, buku, dan musik dari Amerika, penolakan segala macam
bantuan dari Amerika, sampai pemenjaraan dari group band Koes Plus karena bandel
tetap memainkan musik dengan gaya rock and roll ala Amerika. Kondisi tersebut
diperparah ketika Indonesia memutuskan keluar dari PBB pada 7 January 1965 dan
membentuk kebijakan politik luar negeri menjadi poros Jakarta–Beijing–Moscow–
Pyongyang–Hanoi.
 Tentu saja serangkaian gerakan politik Indonesia pada tahun 1964-1965 itu sangat
amat mengkhawatirkan bagi pihak Blok Barat. Amerika terancam tidak bisa
membangun hubungan bilateral yang baik, jalur perdagangan terputus, kerjasama
dalam bidang ekonomi dan sumber daya alam gak lagi bisa dilakukan, dsb. Sampai
ketakutan dari Amerika yang paling utama adalah jika Indonesia secara resmi
tergabung dengan Blok Timur dan ikut menganut ideologi komunis.

2. Keterlibatan CIA

 Para peneliti sejarah yang menganalisa keterlibatan CIA ini kemudian mengambil
kesimpulan bahwa ada kemungkinan CIA terlibat dalam gerakan penculikan dan
pembunuhan tujuh perwira tinggi militer dengan memanfaatkan konflik internal dari
TNI untuk kemudian membantu terjadinya peralihan kekuasaan (menumbangkan
Soekarno) sambil menjadikan PKI (yang beridiologi komunis) sebagai kambing
hitam.

Penganut hipotesa ini seakan mendapatkan titik terang ketika pada tahun 1990,Kathy Kadane
mantan agen CIA membeberkan keterlibatan CIA terhadap proses peralihan kekuasaan pada
tahun 1965 serta upaya penghapusan ideologi komunis di Indonesia. Selain itu, pada tahun
1999, CIA melakukan deklasifikasi (declassified) atau pembukaan dokumen rahasia
(merupakan kebijakan Amerika untuk membuka dokumen rahasia setelah sekian puluh tahun
berselang) tentang keterlibatan mereka terhadap konflik internal negara Indonesia dari mulai
bukti telegram dari kedutaan besar Amerika di Indonesia tentang pendanaan yang diberikan
oleh Amerika untuk agar Indonesia tidak jatuh menganut paham ideologi Komunisme.
Sampai pada akhirnya Wikileaks juga membuka dokumen-dokumen rahasia Amerika lainnya
tentang keterlibatan AS dalam mendukung gerakan peralihan kekuasaan di Indonesia pada
tahun 1965.
Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:


• Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando
Operasi Tertinggi)
• Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
• Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
• Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
• Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
• Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan
Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu
CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
• Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.
Leimena)
• Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
• Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Dampak

Dampak dari peristiwa ini jauh lebih menyedihkan bagi Bangsa Indonesia. Sejak (atau
bahkan sebelum) Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang di
Indonesia pada tahun 1966, kebencian masyarakat Indonesia terhadap PKI meluas ke seluruh
penjuru Indonesia. Akibatnya, diperkirakan:
• 600.000 orang yang dianggap terkait dengan PKI menjadi tahanan politik, ditangkap tanpa
surat penangkapan serta ditahan tanpa proses persidangan.
• Setidaknya diperkirakan 500.000 - 2,000,000 atau 3,000,000 orang dihilangkan secara
paksa dan dibunuh di seluruh pelosok Indonesia dari tahun 1965 - (kemungkinan) 1971.
(Angka 2 juta diakui oleh Laks TNI Sudomo sedangkan 3 juta diakui oleh Jendral Sarwo
Edhie)
• Ratusan orang tawanan politik Indonesia kabur ke luar negeri dan tidak bisa kembali ke
Indonesia selama 30 tahun hingga masa Orde Baru jauh pada tahun 1998.
Aftermath atau dampak berkelanjutan setelah gerakan 30 September 1965 dianggap sebagai
salah satu tragedi kemanusiaan (genocide) terbesar pada abad 20 yang jarang diketahui oleh
publik Indonesia maupun dunia hingga saat ini.

Dampak Politik
a. Presiden Soekarno kehilangan kewibawaannya di mata rakyat Indonesia.
b. Kondisi politik Indonesia semakin tidak stabil sebab muncul pertentangan dalam lembaga
tinggi negara.
c. Sikap pemerintah yang belum dapat mengambil keputusan untuk membubarkan PKI
sehingga menimbulkan kemarahan rakyat.
d. Munculnya aksi demonstrasi secara besar-besaran yang dilakukan rakyat beserta
mahasiswa yang tergabung dalam KAMI, KAPPI, dan KAPI menuntut pembubaran terhadap
PKI beserta
ormas-ormasnya. Tuntutan mereka dikenal dengan istilah Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat
yaitu
1) Pembubaran PKI.
2) Pembersihan Kabinet Dwikora dan unsur-unsur PKI.
3) Penurunan harga-harga barang.

e. Pemerintah mengadakan reshuffle (pembaharuan) terhadap Kabinet Dwikora menjadi


Kabinet Dwikora yang disempurnakan dengan ditunjuknya kabinet yang anggotanya seratus
menteri sehingga dikenal dengan Kabinet Seratus Menteri. Akan tetapi, pembentukan kabinet
tersebut ditentang oleh KAMI dan rakyat banyak sebab dalam kabinet tersebut masih
dijumpai menteri-menteri yang pro-PKI atau mendukung PKI sehingga mereka melakukan
aksi ke jalan dengan mengempeskan ban-ban mobil para calon menteri yang akan
dilantik. Aksi tersebut menewaskan seorang mahasiswa yang bernama Arif Rahman Hakim.
Kematian Arif Rahman Hakim tersebut memengaruhi munculnya aksi demonstrasi yang lebih
besar yang dilakukan mahasiswa dan para pemuda Indonesia di Jakarta maupun di daerah-
daerah lainnya.
f. Pada tanggal 25 Februari 1966, Presiden Soekarno membubarkan KAMI sebab dianggap
telah menjadi pemicu munculnya aksi demonstrasi dan turun ke jalan yang dilakukan oleh
para pemuda Indonesia dan mahasiswa Indonesia.
g. Pada tanggal 11 Maret 1966 diselenggarakan sidang kabinet yang ingin membahas kemelut
politik nasional. Namun sidang mi tidak dapat diselesaikan dengan baik karena adanya
pasukan tak dikenal yang ada di luar gedung yang dianggap membahayakan keselamatan
Presiden Soekarno.

h. Padatanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas


Maret atau yang dikenal dengan istilah Supersemar yang isinya Presiden Soekarno memberi
perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap penting
dan perlu agar terjamin keamanan dan ketertiban, jalannya pemerintahan dan jalannya
revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden.

Dampak Ekonomi
Di Bidang Ekonomi, Peristiwa G30S/PKI telah menyebabkan akiat yang berupa infalasi yang
tinggi yang diikuti oleh kenaikan harga barang, bahkan melebihi 600 persen setaun untuk
mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan dua kebijakan ekonomi yaitu :
a. Mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru yaitu Rp. 1000 menjadi Rp.100
b. Menaikkan harga bahan bakar menjadi empat kali ipat tetapi kebijakan ini menyebabkan
kenaikan harga barang yang sulit untuk dikendalikan
Kesimpulan Pribadi

Awalnya saya mengira dalang G 30 S ini adalah PKI karena itulah yang selama ini saya pelajari
di sekolah hingga SMP. Setelah diberi tugas untuk membaca berbagai informasi mengenai G
30 S oleh guru Sejarah Indonesia saya di SMA, ternyata peristiwa ini begitu kontroversial dan
misterius sehingga memunculkan berbagai macam versi tentang konflik kepentingan yang
menjadi dalang sebenarnya dari peristiwa ini. Mulai dari versi (1) Orde Baru tentang upaya
pemberontakan PKI untuk menjadi Indonesia Negara dengan ideologi Komunis, kemudian (2)
versi tentang adanya konflik internal dalam TNI yang ingin mengambil alih kekuasaan dari
Presiden Soekarno, (3) sampai keterlibatan CIA dan Blok Barat (Amerika, Inggris, dkk) dalam
peristiwa ini untuk mencegah Indonesia mengubah ideologinya menjadi komunis dengan
menjadikan PKI sebagai kambing hitam. Terlihat bahwa PKI menjadi kambing hitam atau
korban dalam 2 versi dari 3 versi pendapat mengenai G 30 S di atas. Saya pun berpendapat
demikian. Versi pertama begitu bertolak belakang dengan 2 versi pendapat lainnya sehingga
menjadi tidak logis alias tidak masuk akal. Menurut saya, lebih logis versi kedua dan ketiga.
Sumber

Modul Sejarah, Hal : 41-42, Penerbit : Hayati Tumbuh Sumber, Penulis : Tim Edukatif HTS
http://www.artikelsiana.com/2014/09/dampak-peristiwa-g30spki-Politik-Ekonomi.html#
https://www.zenius.net/blog/5405/catatan-sejarah-g30s-pki
https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
Peristiwa G30S/PKI Tahun 1965 Beserta Dampak Yang
Ditimbulkan Lengkap
By bobsusantoPosted on August 4, 2016
Peristiwa G30S/PKI Tahun 1965 Beserta Dampak Yang Ditimbulkan Lengkap – Peristiwa
Gerakan 30 September atau yang sering disebut dengan G30S/PKI 1965 yang sudah terjadi di
indonesia menimbulkan banyak dampak negatif bagi kehidupan sosial dan juga polemik pada
masyarakat indonesia, seperti yang kita ketahui bahwa Gerakan 30 September atau G30S/PKI
1965 ingin melakukan kudeta terhadap pemerintahan indonesia serta merubah ideologi
negara indonesia yaitu pancasila dengan paham komunis, dimana paham komunis sendiri
sangatlah menuai tentangan dari rakyat indonesia.

Dimana untuk melancarkan rencananya meraka melakukan segala cara termasuk melakukan
pembunuhan kepada para TNI AD dan juga merenggut banyak sekali nyawa orang yang tidak
berdosa serta melakukan pemberontakan pada berbagai wilayah yang ada di indonesia, tapi
hal itu dapat ditumpas sehingga PKI dapat di lenyapkan. Tetapi PKI menimbulkan banyak
dampak negatif pada kehidupan sosial serta politik pada negara indonesia.

Dampak Dari Peristiwa G30S/PKI 1965


Peritiwa Gerakan 30 September atau yang sering disebut dengan G30S/PKI yang terjadi di
negara indonesia banyak sekali dampak yang terjadi dampak negatif pada kehidupan sosial
dan juga dampak politik pada masyarakat indonesia. Apa saja dampak yang ditimbulkan mari
kita simak dibawah ini.

1. Dampak Politik
a. Presiden Soekarno yang kehilangan wibawanya dimata seluruh rakyat indonesia.

b. Kondisi politik indonesia yang semakin tidak stabil dikarenakan muncul pertentangan
didalam lembaga tinggi negara.

c. Sikap pemerintah yang belum bisa untuk mengambil keputusan untuk dapat membubarkan
PKI yang kemudian memunculkan kemarahan rakyat.

d. Pada akhirnya menimbulkan aksi demonstrasi yang dilakukan secara besar-besaran yang
dilakukan oleh rakyat dan juga mahasiswa yang bergabung dalam KAMI, KAPPI, dan juga
KAPI melakukan tuntutan agar PKI dibubarkan beserta dengan ormas-ormasnya. Atau yang
sering dikenal dengan istilah Tritura atau sering disebut juga Tiga Tuntutan Rakyat.

Tuntutannya Adalah

1. Pembubaran PKI
2. Pembersihan Kabinet Dwikora dan unsur-unsur PKI
3. Penurunan harga-harga barang
e. Pemerintah melakukan reshuffle atau pembaharuan pada Kabinet Dwikora untuk menjadi
Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan dan ditujukan kepada kabinet yang memiliki
anggota seratus menteri atau yang sering dikenal dengan Kabinet Seratus Menteri. Kabinet
yang sudah dibentuk banyak mengalami pertentangan seperti ditentang oleh KAMI dan juga
rakyat karena didalam kabinet itu sering dijumpai menteri-menteri yang pro kepada PKI atau
memberi dukungan kepada PKI sehingga mereka melakukan aksi turun ke jalan dan
mengempeskan ban-ban mobil dari calon menteri yang akan dilantik.

Dan pada aksi itu yang akhirnya menewaskan seorang mahasiswa bernama Arif Rahman
Hakim. Kejadian yang menewaskan Arif Rahman Hakim yang pada akhirnya menimbulkan
aksi demonstrasi yang lebih besar dibandingkan demostrasi yang sebelumnya yang dilakukan
para mahasiswa indonesia dan juga Para pemuda indonesia dijakarta dan juga di daerah-
daerah lainnya.

f. Tanggal 25 Februari 1966, Presiden Soekarno membubarkan KAMI karena dianggap


sebagai pemicu munculnya aksi demonstrasi dan juga turun kejalan yang dilakukan para
pemuda indonesia dan juga mahasiswa indonesia.

g. Tanggal 11 Maret 1966 diadakan sidang kabinet yang membahas kemelut politik nasional.
Tetapi sidang ini tidak bisa diselesaikan secara baik dikarenakan adanya pasukan yang tidak
dikenal yang ada di luar gedung yang kemudian menimbulkan anggapan yang dapat
membahayakan keselamatan Presiden Soekarno.

h. Tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarka Surat Perintah Sebelas Maret
vatau sering dikenal sebagai istilah Supersemar yang memiliki isi Presiden Soekarno
memberikan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto agar mengambil tindakan menurutnya
penting serta perlu sehingga terjaminnya keamanan dan juga ketertiban jalannya
pemerintahan serta jalannya revolusi dan juga menjamin keselamatan pribadi dan juga
kewibawaan Presiden.

2. Dampak Ekonomi
Pada bidang ekonomi di peristiwa Gerakan 30 September atau G30S/PKI sudah
menyebabkan yang mengakibatkan inflasi yang tinggi serta diikuti dengan kenaikan harga
barang, sampai melebehi 600 persen setahun agar dapat mengatasi masalah tersebut, dan
akhirnya pemerintah mengeluarkan dua kebijakan ekonomi.

1. Pemerintah mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru yaitu Rp. 1000
menjadi Rp.100
2. Menaikan harga bahan bakar menjadi empat kali lipat sehingga kebijakan ini
membuat kenaikan pada harga barang yang susah untuk dikendalikan.

Sekian penjelan seputarpengetahuan.com tentang Peristiwa G30S/PKI Tahun 1965 Beserta


Dampak Yang Ditimbulkan Lengkap negara indonesia adalah negara yang demokrasi
peristiwa G30S/PKI mengajarkan bahwa paham komunis tidaklah cocok untuk dianut
dinegara kita, karena negara ini memiliki idiologi yang baik yaitu pancasila, semoga
bermanfaat 🙂

Konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi

1. Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun


Selain Partai Nasional Indonesia (PNI), PKI merupakan partai politik pertama yang
didirikan sesudah proklamasi. Meski demikian, PKI bukanlah partai baru, karena telah ada
sejak jaman pergerakan nasional sebelum dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda akibat
memberontak pada tahun 1926.

Sejak merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih bersikap mendukung pemerintah,
yang kebetulan memang dikuasai oleh golongan kiri. Namun ketika golongan kiri terlempar
dari pemerintahan, PKI menjadi partai Oposisi dan bergabung dengan partai serta organisasi
kiri lainnya dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan oleh Amir Syarifuddin pada
bulan Februari 1948. Pada awal September 1948 pimpinan PKI dipegang Muso. Ia membawa
PKI ke dalam pemberontakan bersenjata yang dicetuskan di Madiun pada tanggal 18
September 1948 (Taufik Abdullah dan AB lapian, 2012).

Mengapa PKI memberontak ? Alasan utama tentu bersifat ideologis, dimana mereka
memilih cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Berbagai upaya
dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di bawah pimpinan Muso, PKI berhasil menarik
partai dan organisasi kiri dalam FDR bergabung ke dalam PKI. Partai ini lalu mendorong
dilakukannya berbagai demonstrasi dan pemogokan kaum buruh dan petani. Sebagian
kekuatan-kekuatan bersenjata juga berhasil masuk dalam pengaruh mereka. Muso juga kerap
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam pemerintah dan membahayakan strategi
diplomasi Indonesia melawan Belanda yang ditengahi oleh Amerika Serika (AS). Pernyataan
Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada Uni Soviet yang komunis. Padahal saat itu
AS dan Uni Soviet tengah mengalami perang dingin.

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya diplomasi dengan Muso, bahkan


sampai mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka, untuk meredam gerak
ofensif PKI Muso. Namun kondisi politik sudah terlampau panas, sehingga pada pertengahan
September 1948, pertempuran antara kekuatan bersenjata yang memihak PKI dengan TNI
mulai meletus. PKI dan kelompok pendukungnya kemudian memusatkan diri di Madiun. Muso
pun kemudian pada tanggal 18 September 1948 memproklamirkan Republik Soviet Indonesia.

Presiden Soekarno segera bereaksi, dan berpidato di RRI Yogyakarta :

"Saudara-saudara! camkan benar apa artinya : Negara Republik Indonesia yang kita cintai,
hendak direbut oleh PKI Muso. Kemarin pagi PKI Muso, mengadakan coup, mengadakan
perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana suatu pemerintahan Soviet, di
bawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut
seluruh Pemerintahan Republik Indonesia. ..... saudara-saudara, camkanlah benar-benar apa
artinya yang telah terjadi itu. Negara Republik Indonesia hendak direbut oleh PKI Muso!

Rakyat yang kucinta! Atas nama perjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru kepadamu
: "Pada saat yang begini genting, dimana engkau dan kita sekalian mengalami percobaan yang
sebesar-besarnya dalam menentukan nasib kita sendiri, bagimu adalah pilihan antara dua :
Ikut Muso dengan PKI yang akan membawa bangkutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau
ikut Soekarno-Hatta, yang Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negera
Republik Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negeri apapun juga.

.....Buruh yang jujur, tani yang jujur, pemuda yang jujur, rakyat yang jujur, janganlah
memberikan bantuan kepada kaum pengacau itu. Jangan tertarik siulan mereka!
....Dengarkanlah, betapa jahatnya rencana mereka itu! (Daud Sinyal, 1996)

Di awal pemberontakan, pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan para pemimpin partai
yang anti komunis terjadi. Kaum santri juga menjadi korban. Tetapi pasukan pemerintah yang
dipelopori Divisi Siliwangi kemudian berhasil mendesak mundur pemberontak. Puncaknya
adalah ketika Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin juga tertangkap. Ia akhirnya dijatuhi
hukuman mati. Tokoh-tokoh muda PKI seperti Aidit dan Lukman berhasil melarikan diri.
Merekalah yang kelak di tahun 1965, berhasil menjadikan PKI kembali menjadi partai besar
di Indonesia sebelum terjadinya Gerakan 30 September 1965. Ribuan orang tewas dan
ditangkap pemerintah akibat pemberontakan Madiun ini. PKI gagal mengambil ahli
kekuasaan.

Dari kisah diatas, apa hal terpenting dari peristiwa pemberontakan PKI di Madiun ini bagi
sejarah Indonesia kemudian ?
Pertama, upaya membentuk tentara Indonesia yang lebih profesional menguat sejak
pemberontakan tersebut. Berbagai laskar dan kekuatan bersenjata "liar" berhasil
didemobilisasi (dibubarkan). Dari sisi perjuangan diplomasi simpati AS sebagai penengah
dalam konflik dan perundingan antara Indonesia dengan Belanda perlahan berubah menjadi
dukungan terhadap Indonesia, meskipun hal ini tidak juga bisa dilepaskan dari stategi global
AS dalam menghadapi ancaman komunisme.

Tetapi hal terpenting lain juga perlu dicatat. Bahwasanya konflik yang terjadi berdampak
pula pada banyaknya korban yang timbul. Ketidakbersatuan bangsa Indonesia yang tampak
dalam peristiwa ini juga dimanfaatkan oleh Belanda yang mengira Indonesia lemah, untuk
kemudian menlancarkan agresi militernya yang kedua pada Desember 1948.

2. Pemberontakan DI/TII

Cikal bakal pemberontakan DI?TII yang meluas di beberapa wilayah Indonesia


bermula dari sebuah gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo. Ia dulu
adalah salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Adalah perjanjian Renville
yang membuka peluang bagi Kartosuwiryo untuk lebih mendekatkan cita-cita lamanya
mendirikan negara Islam.

Salah satu keputusan Renville adalah harus pindahnya pasukan RI dari daerah-daerah yang
diklaim dan diduduki Belanda ke daerah yang dikuasai RI. Di Jawa Barat, Divisi Siliwangi
sebagai pasukan resmi RI pun dipindahkan ke Jawa Tengah karena Jawa Barat dijadikan
negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan Sabilillah
yang telah berada di bawah pengaruh Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan malah
membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). vakum (kosong) nya kekuasaan RI di Jawa Barat
segera dimanfaatkan Kartosuwiryo. Meski awalnya ia memimpin perjuangan melawan
Belanda dalam rangka menunjang perjuangan RI, namun akhirnya perjuangan tersebut
beralih menjadi perjuangan untuk merealisasikan cita-citanya. Ia lalu menyatakan
membentuk Darul Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan TII, di Jawa Barat pada Agustus
1948.

Persoalan timbul ketika pasukan Siliwangi kembali balik ke Jawa Barat. Kartosuwiryo tidak
mau mengakui tentara RI tersebut kecuali mereka mau bergabung dengan DI/TII. Ini sama
saja Kartosuwiryo dengan DI/TII nya tidak mau mengakui pemerintah RI di Jawa Barat.
Maka pemerintah pun bersikap tegas. Meski upaya menanggulangi DI/TII Jawa Barat pada
awalnya terlihat bleum dilakukan secara terarah, namun sejak tahun 1959, pemerintah mulai
melakukan operasi militer.

Operasi terpadu "Pagar Betis" digelar, dimana tentara pemerintah menyertakan juga
masyarakat untuk mengepung tempat-tempat pasukan DI/TII berada. Tujuan taktik ini adalah
mempersempit ruang gerak dan memotong arus perbekalan pasukan lawan. Selain itu
diadakan pula operasi tempur dengan sasaran langsung basis-basis pasukan DI/TII. Melalui
operasi ini pula Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962. Ia lalu dijatuhi hukuman
mati, yang menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo.
TOP MATERI Peristiwa Konflik dan Pergolakan Yang Berkaitan Dengan Ideologi Part II -
Geniusmart.net
Di Jawa Tengah, awal kasusnya mirip, dimana akibat persetujuan Renville daerah
Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan aparat
pemerintahan. Terjadi kevakuman di wilayah ini dan Amir Fatah beserta pasukan Hizbullah
yang tidak mau di TNI kan segera mengambil alih.

Saat pasukan TNI kemudian balik kembali ke wilayah tersebut setelah Belanda melakukan
agresi militernya yang kedua, sebenarnya telah terjadi kesepakatan antara Amir Fatah dan
pasukannya dengan pasukan TNI. Amir Fatah bahkan diangkat sebagai koordinator pasukan
di daerah operasi Tegal dan Brebes. Namun ketegangan karena persoalan antara pasukan
Amir Fatah dengan TNI sering timbul kembali. Amir Fatah pun semakin berubah pikiran
setelah utusan Kartosuwiryo datang menemuinya lalu mengangkatnya sebagai Panglima TII
Jawa Tengah. Sejak itu terjadi kekacauan dan konflik terbuka antara pasukan Amir Fatah
dengan pasukan TNI.

Tetapi berbeda dengan DI/TII di Jawa Barat, Perlawanan Amir Fatah tidak terlalu lama.
Kurangnya dukungan dari penduduk membuat perlawanannya cepat berakhir. Desember
1951, ia menyerah.

Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin oleh Kiai
Haji Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu. Ia didukung oleh laskar
bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak didirikan memang berkeinginan
menciptakan suatu negara Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Meski,
demikian, dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, awlanya AUI bahu-
membahu dengan Tentara Republik dalam menghadapi Belanda. Wilayah operasional AUI
berada daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan Jawa Tengah.

Namun Kerjasama antara AUI dengan Tentara RI mulai pecah ketika pemerintah hendak
melakukan demobilisasi AUI. Ajakan pemerintah untuk berunding ditolak Kyai Sumolangu.
Pada akhir juli 1950 Kyai Sumolangu melakukan pemberontakan. Sesudah sebulan
bertempur, tentara RI berhasil menupas pemberontakan ini. Ratusan pemberontak dinyatakan
tewas dan sebagaian besar berhasil ditawan. Sebagian lainnya melarikan diri dan bergabung
dengan pasukan TII di Brebes dan Tegal. Akibat pemberontakan ini kehancuran yang diderita
di Kebumen besar sekali. Ribuan rakyat mengungsi dan ratusan orang ikut terbunuh. Selain
itu desa-desa juga mengalami kerusakan berat.

Pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426 dari
Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah tentara Indonesia yang anggotanya berasal dari
laskar Hizbullah. Simpati dan kerjasama mereka dengan Darul Islam pun jadinya tampak
karena DI/TII juga berbasis pasukan Laskar Hizbullah. Cakupan wilayah gerakan Batalyon
426 dalam pertempuran dengan pasukan RI adalah kudus, Klaten hingga Surakarta.
Walaupun dianggap kuat dan membahayakan, namun hanya beberapa bulan saja,
pemberontakan Batalyon 426 ini juga berhasil ditumpas.
Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di Sulawesi
Selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar. Pada tahap awal,
pemberontakan ini disebabkan akibat ketidakpuasaan para bekas pejuang gerilya
kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan
demibilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Namun beberapa tahun kemudian
pemberontak malah beralih dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo.

Pemberontakan yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu lama untuk


menumpasnya. Pemberontakan baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar
tewas tertembak dalam suatu penyergapan.

Pemberontakan yang terkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan. Namun
dibandingkan dengan gerakan DI/TII yang lain. ini adalah pemberontakan yang relatif kecil,
dimana pemberontakan tidak menguasai daerah yang luas dan pergerakan pasukan yang
besar. Meski begitu, pemberontakan berlangsung lama dan berlarut-larut hingga tahun 1963
saat Ibnu Hajar , pemimpinya tertangkap.

Timbulnya pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sesungguhnya bisa ditelusuri


hingga tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV, Sebagai
pasukan utama Indonesia dalam menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan, telah tumbuh
menjadi tentara yang kuat dan berpengaruh di wilayah tersebut. Namun ketika penataan
ketentaraan mulai dilakukan di Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat di Jawa, tidak
sedikit anggota ALRI Divisi IV yang merasa kecewa karena diantaranya mereka ada yang
harus didemobilisasi atau mendapatkan posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Suasana mulai resan dan keamanan di Kalimantan Selatan mulai terganggu. Penangkapan-
penangkapan terhadap anggota ALRI Divisi IV terjadi. Salah satu alasannya adalah karena
diantara mereka ada yang mencoba menghasut mantan anggota ALRI yang lain untuk
memberontak.

Diantara para pembelot mantan anggota ALRI Divisi IV adalah Letnan Dua Ibnu Hajar.
Dikenal sebagai figur berwatak keras, dengan cepat ia berhasil mengumpulkan pengikut,
terutama di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang kecewa terhadap pemerintah. Ibnu Hajar
bahkan menamai pasukan barunya sebagai Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas
(KRIyT). Kerusuhan segera saja terjadi. Berbagai penyelesaian damai coba dilakukan
pemerintah. Namun upaya ini terus mengalami kegagalan. Pemberontak pun pecah.

Akhir tahun 1954, Ibnu Hajar memilih untuk bergabung dengan pemerintahan DI/TII
Kartosuwiryo, yang menawarkan kepadanya jabatan dalam pemerintahan DI/TII sekaligus
Panglima TNI Kalimantan. Konflik dengan Tentara Republik Indonesia pun tetap
berlangsung bertahun-tahun. Baru pada tahun 1963 Ibu hajar menyerah. Ia berharap
mendapat pengampunan. Namun pengadilan militer menajatuhi hukuman mati.

Daerah pemberontakan DI/TII berikutnya adalah Aceh. Ada sebab dan akhir yang berbeda
antara pemberontakan di daerah ini dengan daerah-daerah DI/TII lainnya. Di Aceh, pemicu
langsung pemberontakan adalah ketika pada tahun 1950 pemerintah menetapkan wilayah
Aceh sebagai bagian dari propinsi Sumatera Utara. Para ulama aceh yang tergabung dalam
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal ini. Bagi mereka, pemerintah terlihat
tidak menghargai masyarakat Aceh yang telah berjuang membela republik. Mereka menuntut
agar Aceh memiliki otonomi sendiri dan mengancam akan bertindak bila tuntutan mereka tak
dipenuhi. Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah Daud Beureuh.

Pemerintah pusat kemudian berupaya menempuh jalan pertemuan. Wakil Presiden M.Hatta
(1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951), bahkan Soekarno menyempatkan diri ke Aceh
untuk menyelesaikan persoalan ini, namun mengalami kegagalan. Akhirnya pada 1953,
setelah Daud Beureuh melakukan kontak dengan Kartosuwiryo, ia mengatakan Aceh sebagai
bagian dari Negara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.

Konflik antara pengikut Daud Beureuh dengan tentara RI pun berkecamuk dan tak menentu
selama beberapa tahun, sebelum akhirnya pemerintah mengakomodasi dan menjadikan Aceh
sebagai daerah Istimewah pada tahun 1959. Tiga tahun setelah itu Daud Beureuh kembali
dari pertempuran yang telah selesai. Ia mendapat pengampunan.

Tragedi Nasional dan Konflik Internal Indonesia


Tragedi Nasional dan Konflik Internal Indonesia
Kemerdekaan yang berhasil diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah akhir dari
perjuangan kita. Mengisi dan mempertahankan kemerdekaan merupakan perjuangan tersendiri.
Ada dua musuh yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Dari luar, kita harus menghadapi
Belanda yang masing ingin menjajah kembali Indonesia. Sementara itu, dari dalam kita
menghadapi beragam konflik politik dan ideologis. Ancaman Belanda bisa kita patahkan
dengan kembalinya Irian Barat. Bagaimana bangsa Indonesia menghadapi dan menyelesaikan
konflik dalam negeri?

1. Kehidupan Politik Nasional sampai Tahun 1960-an

Kedudukan Presiden Ir. Soekarno dan TNI AD semakin kuat setelah dikeluarkannya Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959. Inilah periode sejarah yang dikenal dengan sebutan demokrasi
terpimpin. Presiden memegang kekuasaan mutlak untuk membentuk front politik yang mampu
menopang kekuasaannya. Di sinilah Bung Karno dan PKI membangun kerja sama yang saling
menguntungkan. Sementara itu, TNI AD pun semakin ambil bagian dalam kancah politik
setelah dijalankannya doktrin kekaryaan (cikal bakal dwifungsi ABRI). Jenderal A.H. Nasution
membentuk badan-badan kerja sama tentara dan sipil untuk mengimbangi manuver politik
Bung Karno. PKI telah menggunakan kedekatannya dengan Bung Karno untuk menyusun
kekuatan. Konflik elite terjadi antara TNI AD, PKI, dan Bung Karno.

a. Dampak Hubungan Pusat-Daerah


Konflik yang terjadi di pemerintahan pusat pun berdampak ke daerah. Upaya Nasution untuk
membersihkan pemerintahan sesuai undang-undang darurat, menyebabkan banyak pejabat
yang lari ke daerah. Banyak anggota kabinet yang menjalin hubungan dengan dewan-dewan
militer di daerah.

1) Pembentukan Dewan-Dewan Daerah


Ketidakpuasan daerah pada pemerintah pusat melatarbelakangi pembentukan dewandewan
daerah. Kolonel Achmad Husein membentuk Dewan Banteng di Padang, Sumatra Barat
tanggal 20 Desember 1956. Kolonel Mauludin Simbolon membentuk Dewan Gajah di Medan
tanggal 22 Desember 1956.
Kolonel Ventje Sumual membentuk Dewan Manguni di Manado tanggal 18 Februari 1957.
Beberapa pejabat militer di daerah yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah pusat
mengadakan gerakan. Kolonel Simbolon, Kolonel Sumual, dan Kolonel Lubis bertemu dengan
PM Ali Sastroamidjojo dan Bung Hatta. Tuntutannya adalah dilaksanakannya pemilu,
diberlakukannya otonomi, PKI dilarang, dan digantikannya Nasution. Di tengah negosiasi
antara pemerintah pusat dengan dewan-dewan tersebut, terjadi pengambilalihan pemerintahan
di daerah. Ketegangan pun muncul. Para panglima daerah tersebut kemudian dipecat dari dinas
militer.

2) Nasionalisasi Aset Belanda


Kegagalan PBB memaksa Belanda untuk menyelesaikan masalah Irian Barat meningkatkan
ketegangan politik. Anggotaanggota PKI dan PNI serta rakyat di berbagai daerah mengambil
alih aset Belanda. Kabinet Djuanda tidak mampu menyelesaikan kasus tersebut. Gerakan
rakyat di berbagai daerah semakin tidak terkendali. Nasution kemudian tampil dan
memerintahkan tentara untuk mengelola perusahaan Belanda yang disita. Nasution perlahan-
lahan mengendalikan panglima-panglima daerah dan TNI AD semakin diperhitungkan.

b. Persaingan Ideologis
Dominannya PKI dalam kehidupan politik nasional mendapat reaksi dari partai dan organisasi
lainnya. Ideologi komunisme yang dikembangkan PKI bertentangan dengan keyakinan bangsa
Indonesia. Pada bulan September 1957 Masyumi memelopori Muktamar Ulama seIndonesia
di Palembang. Muktamar mengeluarkan fatwa bahwa komunisme diharamkan bagi kaum
muslim. Muktamar juga meminta agar aktivitas PKI dibekukan dan dilarang di seluruh
Indonesia. Perdebatan Islam dan PKI pun merembet dalam persidangan konstituante.
Perdebatan terjadi antara pihak yang mendukung Islam dan Pancasila sebagai dasar negara.
Macetnya konstituante menyebabkan krisis pemerintahan dan ketatanegaraan. Dengan
didukung TNI, Bung Karno kemudian mengeluarkan dekrit yang memberlakukan kembali
UUD 1945. Dekrit ini selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
c. Pergolakan Sosial Politik
Pada masa demokrasi terpimpin Bung Karno menggalang kekuatan dengan negara-negara
sosialis dan komunis. Dampak kebijakan ini adalah terbukanya kesempatan bagi PKI untuk
memperkuat basis dukungan. Administrasi pemerintahan pun menjadi tidak terkendali.
Pemerintah kurang memperhatikan aspirasi daerah dan para bekas pejuang. Terjadilah
kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah. Di kalangan TNI sendiri sering terjadi
perpecahan. Sementara itu, beberapa negara luar juga turut campur tangan dalam masalah
Indonesia. Akumulasi dari kondisi tersebut mengakibatkan munculnya pergolakan di berbagai
daerah.

1) Piagam Perjoangan Rakyat Semesta


Pada tanggal 2 Maret 1957 Panglima Tentara Teritorium VII Makassar Letkol Ventje Sumual
mengumumkan darurat perang di daerahnya. Dengan pengumuman itu maka Sumual
berwenang mengambil alih seluruh kekuasaan di Indonesia bagian timur. Letkol Ventje
Sumual kemudian memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta).
Piagam Permesta tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat di Indonesia bagian timur.
Peristiwa tersebut benar-benar mengancam persatuan Indonesia. Amerika Serikat terlibat
dalam gerakan ini. Salah satu pilotnya (A.L. Pope) tertembak di Ambon. Kabinet Ali
Sastroamidjojo gagal mengatasinya dan tanggal 14 Maret 1957 mengembalikan mandatnya.
Presiden Soekarno kemudian membentuk Kabinet Karya dengan Perdana Menteri Ir. Djuanda.

2) Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia


Pada awal tahun 1958 terjadi pertemuan antara beberapa tokoh militer dan sipil di Sumatra.
Kolonel Simbolon, Kolonel Lubis, dan kawan-kawan bertemu dengan Moh. Natsir, Sjafrudin
Prawiranegara, Sumitro Djojohadikusumo, dan lain-lain. Hasil pertemuan tanggal 10 Februari
1958 berupa beberapa ultimatum yaitu Kabinet Djuanda dibubarkan, Hatta dan
Hamengkubuwono IX ditunjuk membentuk kabinet sampai dilaksanakan pemilu, dan Bung
Karno harus kembali ke posisi konstitusionalnya.
Ultimatum tersebut ditolak oleh pemerintah. Kolonel Lubis, Kolonel Simbolon, Kolonel
Acmad Husein, dan lain-lain dipecat dari dinas militer. Tanggal 15 Februari 1958 dibentuklah
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Perdana Menteri PRRI adalah Mr.
Sjafrudin Prawiranegara. Anggota kabinetnya antara lain Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap,
Sumitro Djojohadikusumo, dan Simbolon. PRRI juga didukung oleh Kolonel D.J. Somba di
Sulawesi Utara tanggal 17 Februari 1959. Itulah beberapa pergolakan yang terjadi hingga awal
tahun 1960-an. Upaya pemerintah untuk menghadapi pergolakan ini dengan diplomasi dan
operasi militer. Pemerintah menggelar musyawarah nasional antara tokoh pusat dan daerah
tanggal 14 September 1957. Gerakan Permesta dihadapi dengan Operasi Sapta Marga. PRRI
dihadapi dengan menggelar Operasi 17 Agustus.
2. Pemberontakan PKI dan Konflik Dalam Negeri

Doktrin komunis adalah merebut kekuasaan negara yang sah dengan cara apa pun. Setiap
peluang dan kesempatan yang ada akan digunakan oleh orang-orang komunis untuk
mengembangkan ideologinya. Mereka akan menjalankan aksinya bagaimanapun kondisi yang
dihadapi bangsa. Ini harus kita pahami dan waspadai bersama. Coba buka kembali sejarah
pergerakan bangsa. Saat pergerakan nasional tengah berkembang, PKI mengadakan
pemberontakan pada tahun 1926/1927. Organisasi pergerakan lainnya pun terkena dampaknya.
Saat itu, pemerintah Belanda sangat menekan kaum pergerakan.

a. Pemberontakan PKI Madiun


PKI berkembang pesat sekitar tahun 1948. Bangsa Indonesia baru merapatkan barisan untuk
menghadapi agresi Belanda. PKI membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terdiri atas
PKI,
Partai Sosialis, PBI, Pesindo, dan SOBSI. Front ini di bawah Amir Sjarifuddin. Mereka
merongrong keutuhan bangsa. PKI memobilisasi kaum buruh dan rakyat untuk mengadakan
pemogokan di berbagai daerah di Indonesia.

1) Musso dan Perubahan Gerakan PKI


Gerakan PKI semakin radikal setelah Musso kembali dari Moskow (Uni Soviet/Rusia) pada
bulan Agustus 1948. Musso bermukim di Moskow sejak tahun 1926. Dia mengadakan
perombakan di tubuh PKI dengan membentuk Politbiro PKI. Musso berpendapat bahwa hanya
orang-orang PKI yang bisa menyelesaikan revolusi. Musso menempatkan orang-orang baru
seperti D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, dan Sudisman. Setahap demi setahap, Musso
menyerang beragam kebijakan pemerintahan Kabinet Hatta. Musso kemudian menyampaikan
gagasan-gagasannya melalui rapat-rapat raksasa. Pada tanggal 20 Agustus 1948 berlangsung
rapat raksasa yang dihadiri 50.000 orang di Yogyakarta. Musso mengemukakan pentingnya
mengganti Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Front Nasional. Kata Musso, demi
kepentingan revolusi nasional maka Indonesia harus menggalang kerja sama dengan dunia
internasional (Soviet).
Hatta tetap menjalankan kebijakan rasionalisasi Angkatan Perang, meskipun mendapat
serangan PKI. Rasionalisasi itu bertujuan menyingkirkan unsur-unsur revolusioner dan
progresif dalam kalangan militer serta mempersiapkan militer dalam menghadapi perundingan
mengenai militer dengan Belanda. Kabinet Hatta mendapat dukungan dari Masyumi dan PNI
serta beberapa badan perjuangan. Musso sangat keberatan dengan kebijakan Hatta karena
banyak kadernya yang bersenjata akan terkena dampaknya.

2) Proklamasi Republik Soviet Indonesia


Konflik ideologis antara PKI dan TNI yang didukung beragam elemen perjuangan meningkat
tajam pada tahun 1948. Berbagai insiden terjadi antara TNI dan PKI/FDR. PKI dihadang TNI
Divisi Siliwangi di bawah Kolonel A.H. Nasution di Surakarta. PKI kemudian mundur ke
Madiun dan mengadakan pemberontakan tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ditandai
dengan proklamasi berdirinya Republik Soviet Indonesia. Kolonel Djokosuyono diangkat
sebagai Gubernur Militer Madiun. Letnan Kolonel Dahlan sebagai komandan komando
pertempuran.
PKI menguasai Madiun dan menduduki radio Gelora Pemuda.
Propaganda dan provokasi pun dilakukan PKI. Mereka mengatakan tentara (TNI) sebagai
kepanjangan tangan kolonial. Kabinet Hatta mereka sebut akan menjual tanah air dan bangsa
kepada Belanda. Demikianlah, PKI senantiasa memprovokasi rakyat agar menentang
pemerintahan yang sah.

3) Penumpasan PKI Madiun


Pada tanggal 19 September 1949 sekitar dua ratus kader PKI ditangkap di Yogyakarta. Bung
Karno kemudian berpidato untuk mengecam pemberontakan Musso. Beliau meminta kepada
rakyat agar bergabung dengannya dan Bung Hatta. Penumpasan kemudian dilakukan
pemerintah dengan Gerakan Operasi Militer I. Penumpasan dilakukan oleh TNI dari Divisi
Siliwangi.
Dalam waktu dua minggu, Kota Madiun berhasil direbut kembali dari tangan PKI. Aidit dan
Lukman melarikan diri ke Vietnam dan Cina. Musso akhirnya tewas tertembak tanggal 31
Oktober 1948. Amir Sjarifuddin dan sekitar tiga ratus pendukungnya ditangkap oleh Divisi
Siliwangi pada tanggal 1 Desember 1948. Penangkapan kader-kader PKI pun dilakukan
pemerintah. Pemberontakan PKI Madiun di bawah Musso pun gagal. Keinginan untuk
mendirikan negara Republik Soviet Indonesia bisa dipadamkan oleh persatuan TNI dan rakyat.
Namun, ideologi komunisme yang dibawa PKI masih laten di Indonesia.

b. Pemberontakan APRA
Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) terjadi di Bandung tanggal 23 Januari
1950. Pemberontakan ini dipimpin oleh Raymond Westerling dengan delapan ratus serdadu.
Latar belakang pemberontakan ini adalah keinginan Belanda untuk mengamankan kepentingan
ekonominya di Indonesia dan mempertahankan serdadu Belanda dalam sistem federal. Pada
pagi hari tanggal 23 Januari 1950 gerombolan APRA menyerang anggota Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat (APRIS/TNI). Bahkan, Markas Staf Divisi Siliwangi berhasil
mereka rebut. Letnan Kolonel Lembong dan lima belas pasukannya tewas setelah diserang 150
gerombolan APRA. Akibat pemberontakan APRA ini sekitar 79 tentara APRIS tewas.
Pemerintahan Hatta mengadakan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda dan
mengirimkan pasukan ke Bandung. Akhirnya, Komandan Tentara Belanda Mayor Jenderal
Engels mendesak Westerling agar pergi. Gerombolan APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh
APRIS dengan dibantu rakyat.
c. Pemberontakan Andi Azis
Andi Azis adalah perwira KNIL di Makassar. Saat terjadi rasionalisasi tentara, ia bergabung
dengan APRIS di Indonesia bagian timur di bawah Letkol Ahmad Junus Mokoginta. Namun,
ia bersama kelompoknya menolak pengiriman pasukan oleh TNI ke Makassar saat terjadi
pergolakan anti-federal. Kapten Andi Azis kemudian membentuk ”Pasukan Bebas” dan
gerombolannya melakukan pemberontakan.
Makassar berhasil mereka kuasai karena terbatasnya pasukan APRIS. Bantuan APRIS
kemudian datang dengan dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang dan Mayor H.V. Worang.
Pertempuran pecah antara tentara KNIL dan APRIS/TNI tanggal 15 Mei 1950. Perundingan
kemudian diadakan antara APRIS (Kolonel A.H. Nasution) dan KNIL (Kolonel Pereira). Hasil
perundingan adalah akan dilakukan penjagaan bersama oleh Polisi Militer dari kedua belah
pihak. Pertempuran pecah kembali setelah perwira APRIS Letnan Jan Ekel ditembak KNIL
tanggal 5 Agustus 1950. Tentara KNIL terkepung dan menyerah. Mereka akhirnya mau
berunding tanggal 8 Agustus 1950. Indonesia diwakili A.E. Kawilarang dan Belanda diwakili
Mayjen Scheffelaar. KNIL akhirnya meninggalkan Makassar.

d. Pemberontakan RMS
Republik Maluku Selatan (RMS) didirikan oleh Christian Robert Soumokil. Dia adalah bekas
Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT) semasa RIS. Latar belakang pemberontakan RMS
adalah ketidaksenangannya untuk kembali ke negara kesatuan sesuai keputusan Konferensi
Meja Bundar (KMB). Untuk memperjuangkan misinya, Soumokil mengintimidasi, meneror,
dan membunuh lawan-lawan politiknya. Misalnya terhadap Kepala Daerah Maluku Selatan J.
Manuhutu. Teror dilakukan oleh bekas pasukan Westerling yang berjumlah dua ratus KNIL.
Ketua Persatuan Pemuda Indonesia Maluku Wim Reawaru tewas terbunuh. Pemerintah
menerapkan dua cara untuk menghadapi pemberontakan ini. Cara diplomasi ditempuh dengan
mengirimkan dr. Leimena, tetapi ditolak Soumokil. Selanjutnya, digelar Gerakan Operasi
Militer III. Operasi ini dipimpin oleh Kolonel Kawilarang. Pasukan dibagi menjadi tiga, yaitu
Grup I dipimpin Mayor Achmad Wiranatakusumah, Grup II dipimpin oleh Letkol Slamet
Riyadi, dan Grup III dipimpin Mayor Surjo Subandrio. RMS dengan mudah dipadamkan, tetapi
Letkol Slamet Riyadi tewas tertembak dalam sebuah kontak senjata di depan benteng Nieuw
Victoria.

3. Peristiwa DI/TII

Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) resmi berdiri tanggal 7 Agustus 1949. Namun,
akar sejarahnya telah ada sejak zaman Jepang, saat muncul keinginan untuk membentuk negara
berdasarkan Islam. Dewan Imamah (Penasihat) DI/TII adalah Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo.
a. DI/TII Jawa Barat
DI/TII sempat menguasai Jawa Barat setelah Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah akibat
Perjanjian Renville. Namun, Kartosuwirjo bersama empat ribu tentaranya tetap bertahan.
Beliau bahkan mengobarkan perang suci melawan Belanda. Pada tanggal 25 Januari 1949
terjadi kontak senjata antara DI/TII dengan TNI. Gerakan DI/TII sulit dipadamkan karena
mereka menyatu dengan penduduk. Selain itu, gerombolan DI/TII sangat paham dengan
kondisi alam daerah Jawa Barat. Mereka tidak segan untuk mengadakan ”teror” terhadap rakyat
dan kepentingan pemerintah daerah.
Ajakan damai pernah dilontarkan Moh. Natsir sebagai wakil pemerintah. Namun, belum bisa
meluluhkan perjuangan Kartosuwirjo. Wilayah Jawa Barat hampir seluruhnya berada di bawah
pengaruh Darul Islam. Gerakan DI/TII mampu bertahan selama 13 tahun. Gerakan DI/TII baru
berakhir setelah Kartosuwirjo tertangkap pada bulan Juni 1962. Pasukan Kujang II/328
Siliwangi dipimpin Letda Suhanda, menangkapnya di Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet
Majalaya, Kabupaten Bandung.

b. DI/TII Jawa Tengah


Perjuangan DI/TII memperoleh dukungan dari Jawa Tengah. Tokoh utamanya adalah Amir
Fatah. Beliau sebelumnya adalah pejuang dan komandan laskar Hizbullah. Selanjutnya ia
berhasil mempengaruhi laskar Hizbullah yang mau bergabung dengan TNI di Tegal. Amir
Fatah kemudian memproklamasikan diri dan bergabung DI/TII Kartosuwirjo tanggal 23
Agustus 1949. Mereka menciptakan pemerintahan tandingan di daerahnya. Gerakan yang sama
muncul di Kebumen. Pemimpinnya adalah Mohammad Mahfu’dh Abdulrachman atau yang
dikenal dengan Kiai Sumolangu. Gerakannya juga merupakan penerus DI/TII Kartosuwirjo
dengan basis di Brebes dan Tegal. Gerakan ini kuat setelah Batalion 423 dan 426 bergabung
dengan mereka.
Pembelotan ini merupakan pukulan bagi TNI saat itu. Pemerintah kemudian membentuk
pasukan Banteng Raiders untuk menghadapi gerakan tersebut. Dengan pasukan ini,
pemerintah menggelar operasi Gerakan Banteng Negara. Sisasisa gerakan DI/TII di Jawa
Tengah kemudian berhasil dipatahkan oleh pemerintah melalui Operasi Guntur.

c. DI/TII Sulawesi Selatan


Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Beliau sebelumnya adalah
pejuang bersama-sama Andi Mattalatta dan Saleh Lahade. Mereka membentuk Tentara
Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS). Ide itu disetujui Panglima Besar Jenderal
Sudirman tanggal 16 April 1946. Setibanya di Sulawesi Selatan, Kahar membentuk Komando
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Namun, Kahar menolak ketika pemerintah hendak mengadakan perampingan organisasi
ketentaraan. Kahar ingin membentuk Brigade Hasanuddin dan menolak bergabung dengan
APRIS. Dengan pasukan dan peralatan, Kahar lari ke hutan pada bulan Agustus 1951. Mereka
memproklamasikan diri sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwirjo. Bahkan, mereka sering
meneror rakyat dan tentara APRIS. Gerakan ini baru bisa dipadamkan bulan Februari 1965.
Lamanya penanggulangan gerakan ini disebabkan mereka sangat menguasai medan.

d. DI/TII Aceh
Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh oleh Daud Beureuh. Latar belakang gerakan ini terjadi
saat Indonesia kembali ke negara kesatuan pada tahun 1950. Beureuh tidak puas dengan status
Aceh yang hanya menjadi satu keresidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara. Hal ini dianggap
mengurangi kekuasaannya. Beliau kemudian mengeluarkan maklumat tanggal 21 September
1953. Isinya adalah Aceh merupakan bagian dari DI/TII Kartosuwirjo.
Gerakan Beureuh sulit dipatahkan karena menyatu dengan rakyat dan memahami kondisi
wilayah Aceh. Beureuh berhasil mempengaruhi rakyat Aceh. Selain menyadarkan rakyat agar
percaya kepada pemerintah, TNI juga melakukan operasi militer. Pangdam I Kolonel Jasin
berinisiatif mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh tanggal 17–28 Desember 1962.
Daud Beureuh pun kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Itulah beberapa peristiwa yang sempat mengganggu jalannya pemerintahan hingga tahun 1960-
an. Ada beragam latar belakang yang menyebabkan meletusnya peristiwa tersebut. Pemerintah
melakukan perundingan dan operasi militer untuk menghadapinya. Sebagian besar perlawanan
dan permasalahan bisa teratasi meskipun ketidakpuasan terhadap pemerintah masih muncul.

4. Keadaan Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya Pra G30S/PKI

Krisis ketatanegaraan dan pemerintahan yang terjadi pada tahun 1950-an memuncak dengan
keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Presiden Soekarno membubarkan Kabinet
Djuanda dan membentuk Kabinet Kerja. Presiden Soekarno juga membubarkan DPR hasil
pemilu 1955 karena menolak anggaran belanja negara yang diajukan pemerintah. Bung Karno
kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) tanggal 24 Juni
1960.
Perbandingan keanggotaan DPRGR yang seluruh anggotanya dipilih Bung Karno adalah
nasionalis (94), Islam (67), dan komunis (81). Dengan demikian, PKI memperoleh banyak
keuntungan dari kebijakan Bung Karno. DPRGR dilantik Bung Karno tanggal 25 Juni 1960.
Tugasnya adalah melaksanakan manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan
melaksanakan demokrasi terpimpin. Presiden Soekarno benar-benar menjadi inisiator dan
operator politik tunggal demokrasi terpimpin. Garis kebijakannya tentang demokrasi terpimpin
tertuang dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi
Kita. Langkah yang ditempuh adalah membentuk Front Nasional, menggabungkan lembaga
tinggi dan tertinggi negara di bawah kendalinya, serta membentuk Musyawarah Pembantu
Pemimpin Revolusi (MPPR). Dampak kebijakan Presiden Soekarno bagi kehidupan bangsa
dan negara sebagai berikut.
a. Kehidupan Politik
PKI berusaha keras berada di belakang pengaruh Bung Karno. PKI senantiasa memainkan
peranan sebagai golongan yang paling Pancasilais. Gagasan Bung Karno tentang Nasakom
jelas menguntungkan gerakan PKI. Bahkan, D.N. Aidit pada tahun 1964 berani berkata, ”bila
kita telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada sosialisme
Indonesia, maka kita tidak lagi membutuhkan Pancasila.” Gerakan PKI ini dihadang golongan
Islam dan TNI AD. Bahkan, sejak pembentukan DPRGR kedua kelompok ini telah menentang
secara keras.
Namun, upaya itu mendapat rintangan karena Bung Karno memang melindungi keberadaan
PKI.
Kondisi politik saat itu benar-benar panas karena PKI melakukan beberapa aksi dan kerusuhan.
Konflik antara PKI dan TNI AD pun tidak terhindarkan.

b. Kondisi Perekonomian
Selama demokrasi terpimpin Bung Karno menempatkan politik sebagai panglima. Beragam
kebijakan dan pengaturan menjadi sia-sia karena besarnya anggaran untuk proyek-proyek
mercusuar. Bung Karno saat itu sangat getol membangun jaringan dengan negara-negara
sosialis komunis. Beliau memelopori pembentukan Conferences of the Emerging
Forces (Conefo). Oleh karena itu, dibangunlah gedung Conefo yang kini menjadi gedung
MPR/DPR. Untuk keperluan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), Bung Karno
membangun Istora Senayan.Selain untuk proyek tersebut, anggaran pemerintah juga
dihabiskan untuk membiayai politik konfrontasi. Saat cadangan anggaran habis, pemerintah
menghimpun dana-dana revolusi dan memperbanyak utang luar negeri. Dampak dari kebijakan
tersebut adalah tingginya inflasi, melonjaknya harga kebutuhan masyarakat, dan tergencetnya
perekonomian rakyat. Bukan pemandangan yang aneh apabila selama demokrasi terpimpin
banyak terjadi antrean beras dan minyak.

c. Kehidupan Sosial
Doktrin Nasakom yang disuarakan Bung Karno mempengaruhi kehidupan sosial
kemasyarakatan. Hal ini terlihat sekali dalamkehidupan pers. Surat kabar yang menentang
Nasakom atau PKI diberedel. Misalnya Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos
Indonesia, dan Star Weekly. Sebaliknya, surat kabar PKI merajai dunia penerbitan pers saat itu,
seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti. Mereka juga menerbitkan surat
kabar Bintang Muda, Zaman Baru, dan Harian Rakyat Minggu. Organisasi Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) milik pemerintah didominasi oleh golongan komunis.Surat kabar
milik PKI melakukan propaganda dan agitasi terhadap lawan-lawan politiknya. Dengan jalan
itu, PKI berhasil mendominasi kehidupan sosial politik masyarakat.
Untuk memurnikan ajaran Bung Karno dari pengaruh komunis, beberapa tokoh
membentuk Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS). BPS diketuai oleh Adam Malik dibantu
oleh B.M. Diah, Sumantoro, dan kawan-kawan. Berdirinya BPS mendapat tekanan dari PKI.
Bahkan, PKI memfitnah bahwa BPS merupakan bentukan Amerika. Bung Karno kemudian
mendukung PKI dengan melarang kegiatan BPS.

d. Kehidupan Budaya
Saat PKI merajai kehidupan politik, semua kegiatan kebudayaan terpengaruh. Sejak tahun 1950
PKI telah membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan tokoh utamanya
Pramoedya Ananta Toer. Lekra dengan kejam menindas dan meneror kaum intelektual dan
sastrawan Indonesia yang tidak mau bergabung dengannya. Pada saat yang sama, Lekra
mempropagandakan misi dan kepentingan PKI terutama berkaitan dengan penyebaran ideologi
komunis. Para mahasiswa PKI bergabung dalam Concentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI). Mereka meneror mahasiswa lain yang tidak mau bergabung.
Para sastrawan dan cendekiawan penentang Lekra membuat Manifes Kebudayaan tanggal 17
Agustus 1963. Mereka mendukung Pancasila, tetapi menolak bergabung dengan Nasakom.
Para sastrawan dan intelektual itu menghendaki suatu kebudayaan Indonesia yang tidak
didominasi oleh ideologi tertentu. Tokoh manifes ini adalah H.B. Jassin. PKI kemudian
menggunakan kekuasaan Bung Karno untuk melarang kegiatan manifes kebudayaan.
Akhirnya, Bung Karno benar-benar melarangnya tanggal 8 Mei 1964. Bahkan H.B. Jassin
kemudian dipecat sebagai dosen di Universitas Indonesia Jakarta. Demikianlah cara PKI
menciptakan suasana yang menguntungkan kepentingan politiknya. Mereka menempel setiap
kebijakan Bung Karno dengan membentuk lembaga-lembaga pendukung. Teror dan fitnah
mereka jalankan untuk menghadapi kelompok antikomunis. Berkat dukungan dan
perlindungan Bung Karno, PKI mampu memasuki seluruh sendi kehidupan bangsa. Oleh
karena itu, PKI tinggal menunggu waktu untuk merebut kekuasaan sesuai dengan doktrin
komunisme.

5. Peristiwa G30S/PKI

PKI merupakan partai terbesar di dunia di luar negara komunis. Pada tahun 1964 PKI telah
berubah menjadi kekuatan yang besar dan agresif dalam perpolitikan Indonesia. PKI
mengusulkan kepada Bung Karno agar dibentuk ”Angkatan Kelima”. Yang dimaksud PKI
adalah agar rakyat yang di bawah pengaruhnya dipersenjatai. Oleh karena itu, para gerilyawan
PKI memperoleh latihan kemiliteran di pangkalan udara Halim Perdanakusuma. Jumlah kader
PKI yang ikut kursus dan latihan hingga bulan September adalah dua ribu orang. Mendekati
akhir bulan September 1965, ribuan tentara berkumpul di Jakarta. Orang menduga bahwa itu
dilakukan untuk menyambut hari ABRI tanggal 5 Oktober. Dengan kedudukan dan potensi itu,
PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan. Persiapan dilakukan secara matang dilakukan oleh
Biro Khusus yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman.
Biro Khusus menyarankan kepada pimpinan PKI D.N. Aidit untuk mengadakan perebutan
kekuasaan (pemberontakan). Hal ini diputuskan dalam rapat pimpinan biro tersebut pada bulan
Agustus 1965. Keputusan itu ditindaklanjuti dengan rapat rahasia secara maraton.Setelah
melalui serangkaian rapat, PKI kemudian mengambil keputusan akhir. Keputusannya adalah
komandan gerakan dijabat Letkol Untung (Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa).
Resimen ini sehari-hari bertugas mengawal presiden.

a. Pemberontakan G 30 S /PKI
PKI kemudian benar-benar melakukan pemberontakan dan pengkhianatan kepada bangsa
Indonesia. Operasi pemberontakan dipimpin oleh Letkol Untung dengan melibatkan satu
batalion Divisi Diponegoro dan Divisi Brawijaya. Mereka dibantu oleh Pemuda Rakyat PKI.
Pusat gerakan di Lubang Buaya, dekat Halim Perdanakusuma.

PKI kemudian berhasil menculik dan membunuh para perwira TNI AD. Mereka adalah Letjen
Ahmad Yani, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Harjono M.T., Mayjen S. Parman, Brigjen D.I.
Pandjaitan, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo. Jenderal A.H. Nasution berhasil meloloskan
diri. Namun, putrinya (Irma Suryani Nasution) dan ajudannya (Lettu Pierre Andries Tendean)
tewas tertembak. Korban PKI lainnya adalah Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang
mengawal rumah Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena.

Selain melakukan pembunuhan, PKI juga merebut RRI Pusat dan gedung Telekomunikasi di
Jalan Medan Merdeka. Keduanya digunakan Letkol Untung untuk menyiarkan pengumuman
G 30 S. Pukul 07.20 WIB Letkol Untung mengumumkan bahwa gerakan mereka ditujukan
kepada Dewan Jenderal yang katanya mau melakukan perebutan kekuasaan. Namun, kedok
mereka terbongkar pada siang harinya pukul 13.00 WIB. Pemberontakan PKI juga berlangsung
di Jawa Tengah dipimpin oleh Kolonel Sahirman (Asisten I Kodam VII/ Diponegoro). Setelah
menguasai Markas Kodam VII/Diponegoro, mereka merebut RRI, telekomunikasi, dan
Korem-Korem di Jawa Tengah. Korem 071/Purwokerto dikuasai Letkol Soemitro, Korem
072/Yogyakarta dikuasai Mayor Mulyono, Korem 073/ Salatiga dikuasai Letkol Idris, dan
Brigif 6 dikuasai oleh Kapten Mintarso.

Akibat pemberontakan ini, Danrem 072 Kolonel Katamso dan Kasrem 072 Letkol Sugiyono
diculik dan dibunuh secara keji. PKI juga membunuh para perwira TNI AD di lingkungan
Brigade Infanteri 6/Surakarta dan merebut RRI, telekomunikasi, bank negara, dan mendukung
G 30 S/PKI. Rakyat Surakarta benar-benar ketakutan dengan teror PKI.

b. Penumpasan G 30 S/PKI
Penculikan dan pembunuhan para jenderal oleh PKI segera tersiar. Panglima Komando Strategi
Cadangan TNI AD (Pangkostrad) Mayjen Soeharto segera mengambil alih komando TNI AD.
Sesuai tradisi di lingkungan TNI AD apabila Men/Pangad berhalangan segera digantikan oleh
Pangkostrad.
Mayjen Soeharto mengoordinasi penumpasan mulai tanggal 1 Oktober 1965. Pasukan Resimen
Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD) dipimpin Letkol Sarwo Edhie Wibowo merebut
RRI dan gedung Telekomunikasi. Jakarta dengan mudah bisa direbut TNI. Mayjen Soeharto
kemudian mengumumkan telah terjadinya perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September.

Pengumuman dilakukan pukul 20.00 WIB tanggal 1 Oktober 1965. Beliau juga mengumumkan
bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam
keadaan selamat.
Antara Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan kepolisian sepakat untuk menumpas G 30 S.
Operasi kemudian dilanjutkan ke kawasan Halim Perdanakusuma. Kawasan ini merupakan
basis PKI yang pernah digunakan untuk melatih Gerwani dan Pemuda Rakyat. Kawasan ini
dengan mudah dikuasai kembali pukul 06.10 tanggal 2 Oktober 1965. Operasi kemudian
dilanjutkan untuk menemukan jenderal-jenderal korban penculikan. Jenazah keenam perwira
TNI AD ditemukan di dalam sumur tua di Lubang Buaya. Penemuan ini berkat petunjuk Ajun
Brigadir Polisi Sukitman yang berhasil meloloskan diri dari penculikan PKI. Setelah
disemayamkan di Markas Besar TNI AD, jenazah keenam pimpinan TNI AD tersebut
dimakamkan di Kalibata bertepatan dengan hari ABRI tanggal 5 Oktober 1965.

Upaya penumpasan terhadap sisa-sisa G 30 S/PKI terus dilakukan. Sementara itu, rakyat
mengekspresikan kemarahannya dengan membakar kantor PKI di Kramat Raya. Demonstrasi
dan aksi mahasiswa anti-PKI pun mulai berlangsung di Jakarta. Pada tanggal 9 Oktober 1965.

Kolonel A. Latief berhasil ditangkap di Jakarta. Letkol Untung juga berhasil ditangkap di Tegal
tanggal 11 Oktober 1965 saat hendak melarikan diri ke Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan
basis kedua PKI setelah Jakarta. Penumpasan dipimpin oleh Pangdam VII/Diponegoro Brigjen
Surjosumpeno dengan dibantu RPKAD. Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo
membentuk Komando Operasi Merapi dan berhasil menembak para pimpinan pemberontak.

Ketua PKI D.N. Aidit tertangkap tanggal 22 November 1965 dan Jawa Tengah berhasil
dibersihkan dari pemberontak pada bulan Desember 1965. Operasi penumpasan PKI juga
dilakukan di Blitar, Jawa Timur. Sisa-sisa G 30 S/PKI berhasil diringkus dengan Operasi
Trisula yang dilancarkan mulai tanggal 3 Juli 1968. Sekitar 850 kader PKI berhasil ditangkap,
13 orang di antaranya adalah anggota Central Comite PKI Pusat. Operasi Kikis dilaksanakan
TNI di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sekitar dua ratus kader PKI juga berhasil
ditangkap. Sementara itu, sisa-sisa PKI mendirikan Merapi Merbabu Complex (MMC).
Namun, dalam operasi TNI di daerah ini berhasil ditangkap tokoh Biro Khusus PKI yang
bernama Pono.
Konflik Ambon 1999
October 06, 2011

1. Sejarah Konflik

Pada tanggal 19 Januari, 1999, Ambon dan pulau-pulau di sekitarnya dilanda perang
saudara. Walaupun Ambon di kenal sebagai daerah orang Kristen di Indonesia, warga Islam
di Ambon juga pada awalnya menikmati hidup yang rukun dan harmonis bersama warga
Kristen. Kehidupan yang rukun dan harmonis ini ternyata berakhir dengan kehancuran yang
tak dapat di kembalikan lagi seperti semula dan warga Ambon menolak kejadian ini sebagai
suatu kerusuhan , mereka berkeras menyatakannya sebagai sebuah perang saudara.

Perang ini di mulai dari sebuah kejadian yang sepele, kejadian kecil yang bersifat lokal
ini dimulai ketika seorang supir taxi dari warga Kristen bertengkar dengan seorang warga
Islam Ambon. Berbagai sumber berita dengan kuat mengindikasikan bahwa kesempatan ini
digunakan oleh para provokator untuk memulai pengrusakan besar-besaran di Ambon
dan memicu konflik ke pulau-pulau di sekitarnya. Pola demikian sebetulnya muncul berulang-
kali dari kasus ke kasus , di mana kejadian lokal yang sepele menjadi sesuatu yang besar dan
tak terkendali, untuk menghancurkan komunitas yang ada demi kepentingan beberapa fihak
saja. Kita bisa melihat pola ini di Ketapang, Kupang, kasus Poso (di mana kasus Poso ini tidak
pernah di liputi oleh media, kejadian yang terjadi pada hari natal tahun 1998 di Sulawesi
Tengah yang menghantam kota Poso, Palu dan Palopo itu sangat parah juga). Berbagai
sumber berita mengisyaratkan bahwa para provokator itu di gerakkan oleh Suharto dan antek-
anteknya.
Kasus Ambon ini adalah yang paling parah,menjadi daftar pertama konfik terbanyak
yang menelan korban. Sejak saat itu masyarakat Ambon hidup dalam ketakutan dan banyak
kejadian-kejadian kecil dimana-mana. Belum sampai tanggal 14 Februari, 1999, muncul lagi
kejadian serius lainnya. Warga Kristen di Kariu di pulau Haruku di serang oleh penduduk
Pelauw, Kailolo dan Ori. Sebagian besar penduduk dari tiga tempat tersebut adalah warga
Islam. Menurut para saksi mata dan penelitian yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta
Salawaku, kejadian tanggal 14 Februari ini lebih parah lagi di sebabkan oleh beberap hal:

Tepat sebelum di serang, pos komando aparat keamanan, yang berfungsi untuk menjaga
keamanan di perbatasan Pelauw dan Kariu, di pindahkan tempat lain.

Komando pos militer Yon 733, bapak Safar Latuamuri yang juga berasal dari Pelauw bersama-
sama dengan beberapa aparat dan penduduk desa tersebut dan menyerang penduduk di Kairu.

Rumah -rumah dan bahkan sebuah gereja yang telah berada dibawah perlindungan pasukan
keamanan terbakar habis.

Pasukan penjaga keamanan juga terlibat dalam penembakan brutal terhadap penduduk Hulaliu,
yang datang terburu-buru untuk membantu korban luka di Kariu.

Pada tanggal 21 dan 22 Febuari,1999, hari senin dan selasa, di pulau Saparua, penduduk Siri
Sori Islam dan penduduk Siri Sori Serani (Kristen) terlibat dalam perkelahian; begitu juga
dengan penduduk Iha (Muslim) dan Nolloth (Kristen). Tiga orang Nolloth meninggal dan
seorang dengan lengan teramputasi akibat dari tembakan dari seorang petugas.
Sementar itu, pada hari selasa tanggal 22 Febuary 1999. Dikota ambon kerusuhan terjadi lagi.
Bom meledak di Batu Merah Dalam. Rumah-rumah warga Kristen dibakar. Petugas keamanan
tidak berbuat apa-apa ketika orang-orang mulai menyerang warga Kristen. Pada saat itu 6
orang tertembak mati oleh petugas keamanan dan tiga diantaranya ditembak oleh petugas
keamanan ketika mereka masih berada di dalam pagar/pekarangan Gereja Bethabara di Batu
Merah Dalam. Para umat kristen di Batu merah Dalam sampai harus lari mencari tempat
perlindungan.

Walaupun banyak berita utama di media menyatakan - Kristen membantai Islam di


Ambon namun kenyataan sebaliknyalah yang benar, yang lebih menyakitkan dan
memprihatinkan adalah sikap para petugas militer. Mereka tidak melakukan apa -apa untuk
melindungi warga ,namun mereka terlibat dalam aksi penyerangan dan penembakan . Sikap
dan perbuatan petugas militer yang demikian bukan saja tidak dapat diterima, tetapi juga
mencerminkan hilangnya kontrol dan kekuasaan di dalam unit militer secara keseluruhan,
bahkan dari Menhankam sendiri, Jenderal Wiranto.

Menurut para saksi mata, salah seorang aparat yang terlibat dalam peristiwa penembakan di
Batu Merah Dalam adalah seorang polisi bernama Cahyana.

Penganiayaan terhadap umat Kristen, yang di lakukan secara halus di masa kekuasaan
Soeharto, dilakukan secara terang-terangan dan ganas di era pemerintahan transisi Habibie.
Menurut laporan yang disampaikan oleh FKKI (Forum Komunikasi Kristen Indonesia),
sebanyak 455 gereja telah di serang dan di bakar semasa pemerintahan Suharto.
Semenjak Habibie berkuasa, dalam kurun waktu kurang dari setahun tercatat minimal
95 gereja telah diserang dan dibakar.

Kelompok Fundamentalis yang bergerak di belakang Habibie sejak dibentuknya ICMI


(Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) pada awal tahun 90an, telah menunjukkan
kekejamannya sejak peristiwa kerusuhan May 1998.

Walaupun terlihat dengan jelas adanya pola yang sama di setiap peristiwa, bahkan
sejak kasus Surabaya 9 Juni, 1996 dan diikuti kasus Situbondo 10 Oktober, 1996, pemerintah
dan ABRI masih belum dapat memberikan keadilan yang tuntas dan mutlak kepada rakyat
Indonesia dengan menunjuk dan mengadili para otak dibelakang semua
persitiwa ini. Kurangnya niat serta kemampuan pemerintah dan ABRI telah mengakibatkan
melemahnya pengaruh mereka secara lokal maupun di dunia international. Hal ini akan terjadi
kalau pemerintah tidak memenuhi tugasnya yaitu untuk melayani rakyatnya

2. Kepentingan – kepentingan Aktor yang terlibat dalam konflik.

Konflik ambon yang terjadi pada tahun 1999 dikarenakan hal sepele sebenarnya sudah
direncanakan oleh pihak-pihak profokator untuk menghancurkan kekuatan ambon, dalam
masalah ini memakai masalah agama yaitu membuat pertikain antara kaum muslim dan kaum
kristiani.
Dalam hal tersebut kepentingan politiklah yang dijalankan, karena ketakutan kekuatan
Ambon yang kuat dan akhirnya memisahkan diri dari NKRI, kejadian ini adalah salah satu
akibat dari kejadian 1998, karena ambon dinilai juga sebagai basis gerakan reformasi.

3. Kekuatan – kekuatan Aktor yang Terlibat Konflik.

Dalam hal ini kekuatan di bagi 4 kekuatan yaitu kaum islam, kristiani, pemerintah dan
pihak-pihak profokasi yang telah menyebarkan isu dan melakukan kekacauan didaerah-daerah
ambon.
Kekuatan pada saat itu paling kuat ialah ABRI namun dalam perkembangannya ABRI
tidak bisa menghetikan pertikain dan kekacauan-kekacauan di Ambon, hal ini menyebabkan
banyak orang berpendapat bahwa ABRI sebagai alam pemerintah juga ikut serta
bertanggungjawab akan hal-hal yang terjadi diambon.

4. Taktik dan Gaya konflik.

Dalam masalah ini menggunakan kompetisi style hal ini dapat dibuktikan bahwa terjadi
kehilangan control yang besar dan baik kaum islam maupun kristiani berkompetisi untuk
merebutkan kekuasaan yang ada dan memperkuat basisnya.
Sedangkan gaya konflik menggunakan ancaman, baik kaum muslim maupun kristiani
saling mengancam bahwa akan terus meneror dan saling menghancurkan hingga titik darah
penghabisan mereka.
konflik poso
makalh konflik poso

BAB I
PENDAHULUAN
1. latar belakang
Tahun 1997 indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi dan
politik yang tidak menentu, telah mengiring indonesia menuju konflik nasional, baik secara
struktural maupun horizontal. semenjak runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang di
gantikan oleh oleh B.H habibie yang diharapakan dapat menata sisitem politik yang
demokrasi berkeadilan.
Pada waktu itu indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak konflik
di berbagai daerah, salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh banyak
kalangan adalah konflik bernuansa SARA. Adalah pertikaian suku dan pemeluk agama islam
dan kristen. Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antardua pemuda yang berbeda
agama sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Impliksasi – implikasi
kepentingan politik elite nasional, elite lokal dan miiter militer juga diduga menyulut
terjadinya konflik horizonttal sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat. Bahkan,
terkesan pihak keamanan porli lamban menangani konflik tersebut. Sehigga konflik terjadi
belarut – larut yang memakan korban jiwa dan harta.
Secara umum konflik di poso sudah berkangsung tiga kali. Peristiwa pertama terjadi akhir
1998, kerusuhan pertama ini denga cepat di atasi pihak keamanan setempat kemudian di ikuti
oleh komitmen kedua belah pihak yang berseteru agar tidak terulang lagi. Kan tetapi
berselang kurang lebih 17 bulan kemudian tepatnya pada 16 april 2000 konflik kedua pun
pecah. Pada kerusuhan ini ada dugaan bahwa ada oknum yang bermain di belakang peristiwa
ini yaitu : Herman Parimo dan Yahya Patiro yang beragama kristen. Keduua oknum ini
adalah termasuk elite politik dan pejabat pemerintah daerah kabupaten poso.
Menjelang pemilihan kepala detrah pada waktu itu, kader – kader dari pihak umat kristiani
yang bermunculan sebagai kandidat kuat yang menjadi rival buapati saat itu, Sekwan DPRD
1 Sulawaesi tengah dan Drs. Datlin Tamalagi Kahumas Pemda Sulawesi tengah. Keduan
belah pihak memilki koneksi yang rill yang amat potensial sehingga sewaktu – waktu dapat
dengan mudah muncul letupan ketidaksenangan yang akhirnya pada berhujung pada
kerusuha. Oleh karena itu, potensi – potensi kerusuhan pada waktu itu boleh jadi karena
kekecewaan dari elite politik yang beragama kristen yang merasa termarjinalisasi dalam hal
politik.
BAB I
PEMBAHASAN
1. Penyebab/akar dari konflik sosial yang terjadi di poso
Wapres menjelaskan bahwa kasus Poso terjadi bukan karena masalah agama namun adanya
rasa ketidak adilan. awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi yang secara tiba-
tiba terbuka dan membuat siapapun pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Padahal,
pada masa sebelumnya melalui muspida setempat selalu diusahakan adanya keseimbangan.
contohnya, jika Bupatinya berasal dari kalangan Kristen maka Wakilnya akan dicarikan dari
Islam. Begitu pula sebaliknya. Dengan demikian terjadi harmonisasi, namun dengan
demokrasi tiba-tiba the winner take all," kata Wapres. Karena pemenang mengambil alih
semua kekuasaan, tambah Wapres maka pihak yang kalah merasa telah terjadi ketidak adilan.
Keluar dari pendapat Wapres, konflik sosial yang terjadi di poso adalah bagian dari konflik
individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian
satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya
dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama.
Argumen yang mengemuka bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik
sosial itu adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso 1 berawal dari :
a) Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren
Darusalam pada bulan ramadhan.
b) Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku – suku pendatang seperti bugis, jawa, dan
gorontalo, serta kaili pada kerusuhan ke III.
c) Pemaksaan agama kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten
terutama di daerah tentena dusun III salena, sangira, toinase, Boe, dan meko yang
memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang
mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD tentena.
d) Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol – simbol perjuangan ke
agamaan kristiani pada kerusuhan ke III.
e) Pembakaran rumah – rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III.
Pada kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar ruamh penduduk antara pihak kristen dan
islam.
f) Terjadi pembakaran rumah ibdah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak,
pembakaran rumah penduduk asli poso di lombogia, sayo, kasintuvu.
g) Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku flores, toraja dan
manado.
h) Adanya pelatihan militer kristen di desa kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum
meledak kerusuhan III.
Terlepas dari setuju tidak terhadap pendapat mengenai akar amsalah dari konflik poso, secara
sibernetik hal ini dapat di jelaskan sebagai berikut : bahwa pada intinya budaya pada
masyarakat poso mempunyai fungsi untuk mempertahan kan pola atas nilai – nilai sintuvu
maroso yang selama ini menjadi anutan masyrakat poso itu sendiri. adanya Pembacokan
Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan
ramadhan merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai nilai yang selama ini manjadi
landasan hidup bersama. Pada satu sisi muslim terusik ketentramannya dalam menjalankan
ibadah di bulan ramadhan kemudian menimbulkan reaksi balik untuk melakukan tindakan
pembalasan terhadap pelaku pelanggaran nilai – nilai tersebut. Disisi lain bagi masyarakat
kristiani hal ini menimbulakn masalah baru mengingat aksi masa tidak di tujukan terhadap
pelaju melainkan pada pengrusakan hotel dan satrana maksiat serta operasi miras, yang di
anggap telah menggangu kehidmatan masyrakat kristiani merayakan natal, karena harapan
mereka operasi – opresi tersebut di laksanakan setelah hari natal.
Pandangan kedua tehadap akar masalah konflik sosial yang terjadi di poso adalah dalam hal
ini adanya perkelahian antar pemuda yang di akibatkan oleh minuman keras. Tidak di
terapkan hukum secara adil maka ada kelompok yang merasa tidak mendapat keadilan
misalnya adanya keterpihakan, menginjak hak asasi manusia dan lain- lain.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akar dari konflik sosial yang terjadi di poso terletak pada
masalah politik. Bermula dari suksesi bupati, jabatan sekretaris wilayah daerah kabupaten
dan terutama menyangkut soal keseimbangan jabatan – jabatan dalam pemerintahan.
Pendapat keempat mengatakan bahwa akar masalah dari kerusuhan poso adalah justru
terletak karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asli
poso dan kaum pendatang seperti bugis, jawa, gorontalo, dan kaili. Kecemburuan sosial
penduduk asli cukup beralasan dimana pendapatan mereka sebagai masyarakat asli malah
tertinggal dari kaum pendatang.
2. Dampak dari konflik sosial yang terjadi di poso
kerusuhan yang terjadi di poso menimbulkan dampak sosial yang cukup besar jika di liat dari
kerugian yang di akibatkan konflik tersebut. Selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara
psikologis bendampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu, Dampak psikologis
tidak akan hilang dalam waktu singkat. Jika dilihat dari keseluruhan, kerusuhan poso bukan
suatu kerusuhan biasa, melainkan merupakan suatu tragedi kemanusiaan sebagai buah hasil
perang sipil. Satu kerusuhan yang dilancarkan secara sepihak oleh kelompok merah, terhadap
penduduk muslim kota poso dan minoritas penduduk muslim di pedalaman kabupaten poso
yang tidak mengerti sama sekali dengan permasalahan yang muncul di kota poso.
Dampak kerusuhan poso dapat di bedakan dalam beberapa segi :
1. Budaya dampak sosial yang terjadi adalah :
 di anut kembali budaya “pengayau” dari masyarakat pedalaman (suku pamona dan suku
mori).
 Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai tujuan
politiknya.
 Runtuhnya nilai – nilai kesepakatan bersama sintuwu maroso yang menjadi bingkai dalam
hubungan sosial masyarakat poso yang pluralis.
2. Hukum dampak sosial yang terjadi adalah :
 Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat poso ke dalam dua kelompok yaitu kelompok
merah dan kelompok putih.
 Tidak dapat di pertahankan nilai- nilai kemanusiaan akibat terjdi kejahatan terhadap
manusia seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak serta orang tua
dan pelecehan seksual.
 Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hulum di masyarakat
kabupaten poso.
 Muculnya perasaan dendam dari korban – korban kerusuhan terhadap pelaku.

3. Politik dampak sosial yang terjadi adalah :


 Terhentinya roda pemerintahan.
 Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah terhadap masyarakat.
 Hilanggnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat masing –
masing kelompok kepentingan.
 Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya.
4. Ekonomi dampak sosial yang terjadi adalah :
 Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah,
tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.
 Eksodus besar – besaran penduduk muslim poso.
 Terhentinya roda perekonomian.
 Rawan pangan.
 Munculnya pengangguran dan kelangkaankesempatan kerja.

3. Solusi dari konflik di poso


Mungkin saja salah satunya yaitu kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa harus ikut
berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan tindakan nyata agar
masyarakat setempat tidak hanya terfokus pada masalah politik. “Jangan hanya bergantung
pada aparat keamanan. Tetapi pengusaha, ekonom, budayawan, anggota masyarakat,
mahasiswa harus bersatu membangun secara paralel. Seluruh kalangan itu harus bekerja sama
agar kerusuhan di Poso segera berakhir, termasuk antara ulama dengan umaro juga harus
bersatu. “Mereka harus bersanding, bukannya bertanding,”.
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat tidak menyalahi aturan, meskipun upaya
penegakan hukum telah menimbulkan korban jiwa dari warga sipil serta anggota Polri ,
karena memang kejadian itu sulit dihindari. kerusuhan yang menimpa di Poso merupakan
rekayasa dan berasal dari luar Poso yakni dari pihak asing. Ia mengingatkan, kelompok sipil
bersenjata yang berada di tengah-tengah masyarakat Poso perlu mendapat perlakukan khusus,
karena dalam keadaan seperti ini, masyarakat akan menjadi tameng bagi mereka.
Jika diamati secara jujur, apa yang sedang dialami di Poso tidak saja aneh tapi juga tak masuk
di akal sehat. Sebab, semua orang tahu bahwa soal penggunaan senjata bagi warga sipil
bukankah aturannya cukup ketat. Artinya tidak sembarang orang bisa membawa atau
memiliki senjata apalagi yang mematikan. Anehnya, kenapa justru warga sipil khususnya di
Poso begitu bebas memiliki senjata
Nah, untuk memecahkan sebuah permasalahan seperti yang sedang terjadi di Poso
sebenarnya tidaklah terlalu sulit bila semua pihak mau berikrar secara serius dan tulus.
Artinya, semua kepentingan sepihak dan sepotong-potong yang menghimpitnya selain
kepentingan bersama harus dihilangkan terlebih dahulu. Pencegahan sedini mungkin tindakan
provokasi dan intimidasi diantara masyarakat harus diutamakan. Terutama, perlunya
kewaspadaan terhadap gerak-gerik seseorang atau sekelompok orang yang berusaha bermain
api dalam sekam. Barulah kemudian upaya penegakkan hukum harus benar-benar
dilaksanakan. Harapan kita masyarakat Poso akan kembali dapat hidup dengan tenang dan
damai.
SEJARAH KONFLIK POSO

Latar Belakang Konflik Poso

Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum
terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum
bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso.
Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poson adalah berlatar belakan agama,
namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan
golongan yang mewarnai konflik tersebut.

Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari
keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli
yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa,
batak, bugis dan sebagainya.

Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo
Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar
toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-
Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang
disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah,
sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri,
dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan
kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan
bahasa seperti halnya kelompok pertama.

Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar,
Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah
mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala
agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis
kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan
terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.

Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai
kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya,
ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso
tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan
tendesius untuk kepentingan masing-masing.

Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan
Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku[1].Untuk seterusnya agama
dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil,
semacam perkelahian antar persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana.
Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi
beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak
terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah
tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang
dan bahkan kelompok.

Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik
lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas
keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli
Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan
Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam
bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan
masjid dan madrasah di desa Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale.
Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga
dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil”
tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai melebar
apalagi berlarut-larut.

Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar.
Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat
keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali
meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi
Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua
terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus berlanjut dengan
terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-
peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga
kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.[2]

Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu,
mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap memperlihatkan
perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada
kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan
selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota keberadaan
komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota
diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal
dari luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki kota
Poso berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan dari
kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi masssa bahkan semakin
membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada kerusuhan pertama dan kedua.

Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik itu benda
tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak mengakana bahwa
kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan denga benda keras, dan lain
sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan bahwa pada kerusuhan april 2000
diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan senjata api.

Pola keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan
pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian
di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar dari perkelahian dua
kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah
kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut
”tawuran”, [3] sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas
dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas kelompok
memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok lain. Bahkan, setelah
tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang berbenturan justru
sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama.

Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001
konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada upaya
menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa pun,
termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangun
solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas,
sehingga konflik menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif
(wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya
menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah
mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan kelima, serta
beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.

Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis
yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa
perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu, namun
konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun
justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melalui instrumen
isu pendatang vs penduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa
kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik
diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya
berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen bangsa.

Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian,
namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik
keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial Belanda yang dalam konteks
Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial. Keberpihakan
pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih
pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang
dimobilisir Islam.

Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama
dalam dalam konstelasi politik Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas Kristen, dan
birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta
keagamaan itu terjadi proses pemabalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso mencapai
angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. [4] Data tahun 1997 bahwa Muslim Poso
mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya
0,51 persen, ditambah sisanya Budha dan Hindu. [5]

Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi


kewilayahan, sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso,
konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan komposisi
komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan penduduk asli. Proses
pemiskinan ini terjadi baik karena kultur kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan
(kemiskinan structural), seperti lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-
Sulawesi dari Palopo ke Palu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian
cepatnya proses migrasi pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.

Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan
perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu membangun tempat
ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai terjadinya
pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas keagamaan.

Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada
konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaum
terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing dalam
lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam dunia
kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan
baru kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah
terjadi peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi
kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas
keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian
berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam mencermati
konflik Poso.

Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat
kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompok
kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso
dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level
propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.

[1] Lihat bulletin Yayasan Taman Merdeka Palu, edisi 5 tahun II 2005. Bahkan dikatakan
pula bahwa aktifis keagaman waktu laris bagaikan kacang goring.

[2] Lihat hasil penelitian Hamdan Basyar (Ed.), Konflik Poso: Pemetaan dan Pencarian Pola-
pola Alternatif Penyelesaiannya (Jakarta : P2P LIPI, 2003).

[3] Istilah ”tawuran” merupakan hasil diskusi penelitian tim penelitian Konflik Poso,
LIPI.,[Hamdan Basyar (Ed.), 2003] dan [Bayu Setiawan (Ed.), 2004].

[4] Lihat ”Konflik Poso adalah Konflik Agama”, dalam Bulletin Laskar Jihad Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah, Edisi 10, hlm.12.

[5] Sumber : Kantor Departemen Agama Kabupaten Poso.

Anda mungkin juga menyukai