Nama nama pahlawan berikut ini saya rangkum berdasarkan dari daerah kelahiran dengan maksud
tujuan untuk memberikan motivasi untuk generasi muda saat ini agar dapat mencontoh pahlawan-
pahlawan dari daerahnya yang mempunyai semangat didalam memperjuangkan daerahnya sampai
tingkat nasional bahkan dalam percaturan tingkat internasional. dan juga dipaparkan sekelumit
biografi hidup sampai wafatnya. Dan Surat Keputusan dari Negara untuk gelar pahlawan Nasional :
Dr.Ir.Soekarno
nama Kusno Sosrodihardjo
Jabatan :
Jabatan :
Dr. Sutomo
Hidup : 1888 – 1938
pendidikan kedokteran
lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah Soetomo
Jawa Timur, 30 Juli 1888 mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908
meninggal di Surabaya, Jawa Timur, sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra.
30 Mei 1938
menikah dengan seorang perawat Belanda. (1917).
pada umur 49 tahun)
melanjutkan studi kedokteran di Belanda.(1919-1923)
Gubernur Surjo
Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo
PAHLAWAN REVOLUSI
Serda.KKO. Anm.Djanatin
Alias Osman Bin Haji Mohammad Ali
Hidup : 1943-1968
Marsda.TNI.Anm.Abdul Halim
Perdana Kusuma.
Hidup : 1922-1947
Marsma. TNI.
Anm.R.Iswahjudi
Hidup : 1918-1949
Soeprijadi
Hidup : 1925-1945
Pendidikan
R.P. Soeroso
Raden Pandji Soeroso (EYD: Suroso,
Hidup : 1893-1981
3 November 1893
meninggal di Indonesia,
16 Mei 1981
Sukarni Kartodiwirjo
di usia 54 tahun,
Alm.Komjen (Pol)
Dr.H.Moehammad Jasin
TMP Kalibata
Meskipun, perjuangan M.
Jasin yang sangat
berpengaruh di Surabaya
menjadikannya Pahlawan
yang diajukan oleh Jawa
Timur.
Diponegoro
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro
11 November 1785
Ngayogyakarta Hadiningrat
Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih dikenal dengan nama Diponegoro, lahir
di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November1785 – meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8
Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasionalRepublik Indonesia.
Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830)
melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban
paling besar dalam sejarah Indonesia.
Daftar isi
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di
desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan
pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan
membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan
bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat
"perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan
dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota
Surakarta tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin
mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang
sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A.
Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[2] Akan tetapi, Kyai Mojo
yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan
gaya hidup keluarga istana. Jalinan persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah
Kyai Mojo menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari
Diponegoro. Tak heran, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan "paman" meski relasi
keduanya adalah saudara sepupu.[3]
Diponegoro, c.1830.
Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Meski demikian, pengaruh dukungan Kyai Mojo
terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai
lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita,
tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam.
Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh
sebab itu, kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama
yang berafiliasi dengan Kyai Mojo.[4] Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat
Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh
dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri—yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan
dalam pertempuran frontal—di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front
pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang
hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula
sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi
mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan
kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun
stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan,
curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun
melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para
senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan.
Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk gencatan
senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka
terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak”
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika
gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-
mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan
bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang
berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak
gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal
yang belum pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa
Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini
adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang
modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla
warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah
perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu
belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war)
melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka
yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua
belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan
lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan
sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin
spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran
Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki Sodewa
atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus
melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro
dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki
Sodewa.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini
banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk
Ngayogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton
Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya
tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana
IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat
kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk
Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Periode-periode penting[sunting | sunting sumber]
Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock tanggal 28 Maret
1830 yang mengakhiri Perang Diponegoro (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.