Pada dasarnya, kita sebagai manusia dilahirkan semuanya sama. Hal-hal yang
membedakan kita adalah ras, budaya, bahasa, dan hal lainnya. Manusia tersebar di
berbagai negara dan bahkan dalam satu negara itu mempunyai orang dengan banyak
perbedaan satu sama lain. Tentu salah satunya adalah negara Indonesia. Negara
Indonesia terdiri dari berbagai suku dan agama yang tersebar di berbagai pulau-
pulaunya. Hal inilah yang membuat Indonesia memiliki keberagaman. Lantas apa
keberagaman itu? Dan apa yang terjadi setelah adanya keberagaman di masyarakat?
Dari faktor-faktor tersebut sudah jelas bahwa Indonesia adalah negara yang
memiliki banyak sekali keberagaman karena letaknya yang strategis dan kondisi
negara kepulauannya. Terdapat ratusan suku dan berbagi macam budaya yang
berbeda-beda yang menciptakan keberagaman unik untuk negara Indonesia. Tetapi
meski dikaruniai keberagaman yang unik, hal itu juga menjadi alasan terjadinya
banyak konflik di berbagai tempat. Hal ini dinamakan konflik sosial. Konflik sosial
adalah pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam
kehidupan. Konflik ini sering terjadi dengan menggunakan perbedaan yang dimiliki
orang lain sebagai alasan untuk memulainya. Dengan Indonesia yang yang memiliki
banyak suku, ras, dan agama membuat negara Indonesia tidak asing lagi dengan
konflik sosial. Memang sering konflik tersebut hanya konflik kecil-kecilan saja dan
dengan mudah dapat diselesaikan. Tetapi ada juga beberapa kejadian dimana konflik
sosial ini membuat banyak orang meninggal. Ada beberapa kelompok yang tidak mau
menerima kelompok lain dan mereka melakukan aksi yang sampai membuat mereka
dengan senang hati mengambil nyawa orang lain yang berbeda dengan kelompoknya.
Ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di negara lain juga terjadi. Inilah yang
disebabkan oleh manusia yang tidak mau saling memahami perbedaan mereka.
Salah satu contoh konflik sosial yang terkenal di Indonesia adalah konflik di
Sampit para tahun 2001. Pada saat itu, suku Dayak tidak menerima suku Madura yang
datang ke Kalimantan dan terjadi konflik diantara dua suku yang mengakibatkan
terbantainya suku Madura. Konflik ini berhasil diselesaikan pada tanggal 28 Februari
saat pihak kepolisian melepaskan tahanan suku Dayak dan massa suku Dayak di
jalanan berhasil dibubarkan. Kasus di Sampit hanyalah salah satu contoh konflik
sosial yang berskala besar. Jika dilihat dari sejarah kita, banyak perang yang terjadi
juga karena kedua pihak tidak bisa menerima satu sama lain. Untuk itulah kita harus
dapat menanamkan kesadaran di dalam diri kita untuk menerima perbedaan yang
dimiliki oleh orang lain. Jika kita mecoba memahami satu sama lain, pasti kita dapat
meningkatkan toleransi kita terhadap perbedaan orang.
Konflik Sampit yang terjadi tahun 2001 bukanlah sebuah insiden pertama
yang terjadi antara suku Dayak dan Madura. Sebelumnya sudah terjadi perselisihan
antara keduanya. Penduduk Madura pertama kali tiba di Kalimantan Tengah tahun
1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah kolonial Belanda.
Hingga tahun 2000, transmigran asal Madura telah membentuk 21 persen populasi
Kalimantan Tengah. Suku Dayak mulai merasa tidak puas dengan persaingan yang
terus datang dari Madura. Hukum baru juga telah memungkinkan warga Madura
memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi tersebut, seperti
perkayuan, penambangan, dan perkebunan. Hal tersebut menimbulkan permasalahan
ekonomi yang kemudian menjalar menjadi kerusuhan antarkeduanya. Insiden
kerusuhan terjadi tahun 2001. Kericuhan bermula saat terjadi serangan pembakaran
sebuah rumah Dayak. Menurut rumor warga Madura lah yang menjadi pelaku
pembakaran rumah Dayak tersebut. Sesaat kemudian, warga Dayak pun mulai
membalas dengan membakar rumah-rumah orang Madura. Profesor Usop dari
Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak
dilakukan guna mempertahankan diri setelah beberapa warga Dayak diserang.
Disebutkan juga bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok
warga Madura setelah sengketa judi di Desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.
Situasi kericuhan antara suku Dayak dengan Madura diperparah dengan
kebiasaan dan nilai-nilai berbeda yang dimiliki keduanya. Seperti adat orang Madura
yang membawa parang atau celurit ke mana pun, membuat orang Dayak berpikiran
bahwa tamunya ini siap untuk berkelahi. Konflik Sampit sendiri diawali dengan
perselisihan antara dua etnis ini sejak akhir 2000. Pertengahan Desember 2000,
bentrokan antara etnis Dayak dan Madura terjadi di Desa Kereng Pangi, membuat
hubungan keduanya menjadi bersitegang. Ketegangan semakin memuncak setelah
terjadi perkelahian di sebuah tempat hiburan di desa pertambangan emas Ampalit.
Seorang etnis Dayak bernama Sandong, tewas akibat luka bacok yang ia dapat.
Kejadian ini kemudian membuat keluarga dan tetangga Sandong merasa sangat
marah. Pada 18 Februari 2001 suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi
menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu dalang di balik
serangan ini. Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk
memprovokasi kerusuhan di Sampit. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung
kantor polisi di Palangkaraya sembari meminta pembebasan para tahanan.
Permintaan mereka dikabulkan oleh polisi pada 28 Februari 2001, militer berhasil
membubarkan massa Dayak dari jalanan. Dari Konflik Sampit ini sedikitnya 100
warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak. Konflik Sampit sendiri mulai
mereda setelah pemerintah meningkatkan keamanan, mengevakuasi warga, dan
menangkap provokator. Untuk memperingati akhir konflik ini, dibuatlah perjanjian
damai antara suku Dayak dan Madura. Guna memperingati perjanjian damai tersebut,
maka dibentuk sebuah tugu perdamaian di Sampit.