Nama Anggota :
1. Restie Cholifaturahmah (D0322100)
2. Revania Galdis Dewanti Putri (D0322101)
3. Rifan Arief Saputra (D0322103)
4. Septian Dwi Anggoro (D0322116)
5. Shalina Rahmawati (D0322119)
6. Fahrul Rochman Nurhidayat (D0322139)
ABSTRACT
The Sampit War is a conflict that occurred between the Dayak and Madurese tribes in
February 2001. The conflict occurred due to intolerance between tribes which ended in
hundreds of deaths. The government then struggled to resolve it by issuing Central
Kalimantan Provincial Regulation No. 9 of 2001 concerning Handling Population Impacts of
Ethnic Conflict. The purpose of this writing is to discuss the changes in socio-cultural
interactions that occur after the conflict. The process of collecting data is done through
literature study. The data used is secondary data with sources from journals, books, news,
dissertations, and the like. The research results show that 1). Conflict occurs due to
intolerance, 2). The government and related communities are trying to solve the problem, 3).
There are changes in the form of post-conflict socio-cultural interaction. The results of this
research are useful for understanding the Sampit conflict and changes in post-conflict socio-
cultural interactions.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor penyebab konflik Sampit (Suku Dayak dan Suku Madura)
2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian konflik antar suku Dayak dan suku Madura
3. Untuk mengetahui perubahan sosial budaya yang terjadi akibat konflik Sampit (Suku
Dayak dan Suku Madura)
PEMBAHASAN
A. Faktor Penyebab
1. Pengertian Konflik
Lewis A. Coser menjelaskan bahwa konflik akan tetap terjadi karena manusia hidup
dalam tatanan global yang masih berkembang. Dengan kata lain, konflik dalam
masyarakat terjadi karena perubahan terjadi dalam tatanan global yang menciptakan
sebuah pemikiran baru. Coser juga berpendapat bahwa konflik merupakan sebuah
pertentangan nilai-nilai yang belum ditemukan penyelesaianya. Konflik dapat
menciptakan pertentangan, tetapi konflik juga bentuk penggabungan dan pemeliharaan
ciri struktural masyarakat.
Menurut Minnery (1985), konflik diartikan sebagai pertentangan yang disebabkan oleh
perbedaan tujuan dalam sebuah interaksi. Perbedaan tujuan itu yang membuat semakin
diperkuat dengan aksi saling menjatuhkan antar pihak yang bertikai, di mana pertikaian
merupakan hal negatif dalam wujud persaingan yang terus mengalami perkembangan.
Konflik adalah kondisi di mana masyarakat berselisih, bertentangan, dan bersaing
untuk saling menyingkirkan, mengalahkan, hingga memusnahkan, entah memakai
kekerasan atau tidak untuk mencapai keinginan tersebut. Konflik tidak mungkin ada
apabila dua pihak yang berselisih bisa saling menerima dan membuka diri baik dalam
sikap serta tindakan sosialnya dalam lingkup masyarakat.
Konflik etnis merupakan sesuatu hal yang dianggap biasa dalam masyarakat plural.
Hal tersebut karena keberagaman masyarakat berdasarkan golongan, suku, agama, dan
lain-lain yang memiliki kebebasannya dalam mengemukakan pemikiran.
3. Akar Masalah
Perbedaan kehidupan sosial dan budaya antara suku Madura dan suku Dayak telah
menyebabkan konflik. Konflik pernah terjadi pada tahun 1996 hingga 1997 akibat suku
Madura yang menguasai ekonomi pertambangan emas. Meskipun telah mereda, keadaan
kedua suku masih merenggang. Konflik kembali terjadi pada akhir tahun 2000 di
Katingan, Kalimantan Tengah. Bentrokan antara suku Madura dan suku Dayak didasari
atas tewasnya Sandong, warga Dayak, karena dikeroyok tiga warga Madura. Kasus
tersebut telah ditangani secara hukum, tetapi suku Dayak menilai bahwa kasus tersebut
tidak kunjung selesai. Lusanya, sekitar 300 orang suku Dayak berkumpul di TKP guna
menemukan siapa pelaku yang membunuh salah satu warga Dayak. Kemarahan suku
Dayak karena tidak menemukan pelakunya, menyebabkan suku Dayak dengan agresif
merusak rumah, bangunan, dan fasilitas transportasi di sekitar yang naasnya merupakan
milik suku Madura. Karena konflik tersebut, sebanyak 1335 warga Madura mengungsi.
Kabar angin berhembus mengatakan bahwa para pelaku bersembunyi di Sampit,
Kabupaten Kotawaringin Timur. Lambatnya polisi dalam menginvestigasi kasus
pembunuhan dan rumor yang berkembang membuat kondisi semakin mencekam. Orang
Madura terpaksa untuk mengambil sikap defensif dan mempersenjatai dirinya. Puncak
konflik di Sampit terjadi pada tahun berikutnya.
4. Kronologi
Konflik Sampit adalah konflik yang terjadi pada 2 suku yang berbeda pada Februari
2001. Konflik antara suku Dayak dan suku Madura ini berawal dari daerah Sampit, ibu
kota Kalimantan Tengah dan menyebar ke seluruh provinsi bahkan sampai ke
Palangkaraya. Konflik Sampit ini muncul setelah adanya program transmigrasi yang
diadakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kedatangan suku Madura ke Kalimantan
terjadi pada tahun 1930 karena program transmigrasi yang dilakukan oleh Belanda dan
kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Sejak kedatangan warga Madura di Kalimantan, mereka berhasil menguasai banyak
sektor terutama pada sektor ekonomi dan industri komersial, seperti perkayuan,
pertambangan dan perkebunan. Selain itu suku Dayak menganggap bahwa warga madura
sulit atau bahkan tidak bisa diatur, bahkan melakukan hal sesuka mereka sendiri dan
menganggap seolah-olah Sampit merupakan wilayah mereka sendiri. Hal tersebut yang
membuat suku Dayak tidak menyukai warga Madura karena sifatnya yang ambisius dan
juga sikap mereka yang kurang menghargai budaya suku Dayak. Hal itu dikarenakan
keserakahan tersebut menyebabkan eksploitasi alam, tanpa memperhatikan kelestarian
lingkungan. Selain itu, masyarakat Dayak semakin tersudut dalam mencari mata
pencaharian dan lapangan kerja karena pengambilalihan tanah untuk lahan atau Hak
Pengusahaan Hutan (HPH).
Berbagai masalah yang terjadi semakin membuat masyarakat suku Dayak memanas.
Suku Dayak kemudian memulai pelampiasan amarah dengan cara melakukan
pembakaran rumah masyarakat suku Madura. Puncaknya, pada tanggal 18 Februari 2001,
kedua etnis tersebut terlibat perang, satu demi satu korban berjatuhan baik dari suku
Dayak maupun suku Madura. Keesokan harinya warga madura merasa berada di atas
angin karena korban yang berjatuhan lebih banyak suku Dayak. Dari keadaan tersebut
membuat warga Madura ingin menguasai Sampit dan menobatkan Sampit sebagai
Sampang II (Kabupaten di Madura). Namun, pada tanggal 20 Februari 2001 keadaan
berbalik setelah kedatangan sejumlah warga Dayak yang berasal dari luar Sampit. Dalam
perang antar etnis ini suku Dayak menggunakan banyak senjata tradisional yaitu,
mandau, lunju atau tombak, sumpit, senjata yang disebut dum–dum. Akibat dari
Perang Sampit ini menewaskan sekitar 600 orang (Marry, 2014).
Pembersihan etnis oleh suku Dayak berlangsung selama beberapa minggu sampai
melintasi Kalimantan Tengah hingga ujung Jalan Raya Trans-Kalimantan bahkan
sampai di Kuala Kapuas dan Pangkalan Bun sebelah barat. Banyaknya korban tewas
dalam perang Sampit karena suku Dayak melakukan ritual perburuan kepala (Ngayau
atau Kayau) pada puncak kemarahannya, sebenarnya ritual ini diberhentikan sejak
perjanjian Tumbang Anoy pada tahun 1884. Sebelum melakukan tindakan tersebut,
mereka diberi ritual adat yang membuat pelaku berada di alam bawah sadar. Mereka
diberi ilmu yang berguna untuk membedakan mana suku Madura atau bukan , setelah
mengetahui target sasarannya maka langsung mengincar kepala dari warga Madura.
Maka tidak mengherankan jika saat itu banyak mayat, tetapi tanpa kepala (Intani, 2022).
B. Penyelesaian Konflik
Dampak dari terjadinya perang Sampit ini berakibat ke segala bentuk bidang, baik
dari bidang ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Banyak ruko dan pasar yang
terpaksa tutup saat konflik terjadi. Tutupnya ruko dan pasar tersebut dilakukan untuk
menghindari terjadinya perampasan dan tindakan sejenisnya. Akan tetapi, perampasan tetap
saja terjadi terutama terhadap harta benda milik Suku Madura yang telah ditinggal oleh
pemiliknya. Tak hanya itu, bahkan banyak warga yang kehilangan rumah serta mata
pencaharian yang diakibatkan adanya konflik tersebut (Intani, Nadzifah, Hakim, & Asy'ari,
2022).
Besarnya jumlah pembantaian dan konflik mengakibatkan polisi dan militer sulit
untuk mengendalikan keadaan sehingga dikirimkan anggota tambahan sekitar 276 personil
TNI ke Sampit. Tidak saja pembantaian, pembakaran rumah dan harta benda seperti
kendaraan juga terjadi. Sekitar 1192 rumah dibakar, 16 mobil, dan 43 motor, serta 114 becak
dirusak (Intani, Nadzifah, Hakim, & Asy'ari, 2022).
1. Fungsi Pemerintah dan Masyarakat untuk Memelihara Keselarasan Akibat Konflik
Beraneka ragam upaya sudah dilaksanakan demi menahan agar konflik tidak terjadi
dikemudian hari, dilihat dari efek adanya konflik hanya membuat penderitaan yang
berlarut-larut. Pemerintah dan bagian-bagian yang yang berhubungan serta ditolong oleh
anggota keamanan yakni kepolisian dan TNI, serta pemuka-pemuka adat dari kedua suku
yang bertikai, selalu berusaha melakukan mediasi guna mencegah supaya pertikaian
tidak terulang lagi. Diantaranya upaya pemerintah daerah yakni dengan diterbitkannya
Perda Provinsi Kalimantan Tengah No. 9 Tahun 2001 yang memusatkan pada
rekonsiliasi dan rehabilitasi untuk orang yang merupakan korban konflik di Sampit.
Usaha tersebut dilaksanakan supaya konflik yang semasa itu datang bisa dipecahkan agar
kemudian konflik tidak terjadi lagi.
Rekonsiliasi adalah penyelesaian dalam memperkuat ikatan dengan
dipertemukannya kedua suku yang berkonflik yang bertujuan mencari cara
penyelesaiannya dengan cara kekeluargaan sebagai usaha dalam membenahi hubungan
antar pihak yang terlibat konflik. Kemudian pemerintah melakukan pemindahan kembali
masyarakat Suku Madura yang berada di pengungsian agar kembali ke Sampit. Akan
tetapi upaya tersebut menjadi terhambat karena mayoritas Suku Dayak masih belum
menerima kata damai dari Suku Madura. Mayoritas Suku Dayak juga menolak
pemindahan kembali Suku Madura untuk kembali ke Sampit.
Proses mediasi selalu dilakukan untuk mencapai kata damai, dengan
terbentuknya sebuah Kongres pada tanggal 4-7 Juni 2001. Kongres tersebut berisikan
rakyat Kalimantan Tengah. Sebelum dibentuknya Kongres, juga telah dilakukan
musyawarah di Jakarta pada tanggal 20-22 Maret 2001, dengan mediator pemerintah
pusat, dengan tema “Penyelesaian Konflik Antaretnik di Kalimantan Tengah dalam
Bingkai Musyawarah Damai Anak Bangsa di Bumi Kalimantan: Tekad Damai Anak
Bangsa di Bumi Kalimantan”. Dalam musyawarah tersebut dihadiri beberapa tokoh
masyarakat dan adapun saksi-saksi yang ikut serta dalam pertemuan serta kesepakatan
Kongres Rakyat Kalimantan Tengah menyatakan jika pada dasarnya Suku Dayak ialah
masyarakat yang cinta damai, dan senantiasa meninggikan kebhinekaan serta sangat
menghormati filosofi huma betang yang mempunyai arti jika masyarakat Suku Dayak
sangat taat hukum adat, dan senantiasa meninggikan dimana bumi dipijak disitulah
langit dijunjung.
Fungsi pemerintah pusat selaku perantara menjadi penentu dalam usaha
menyelesaikan konflik di Sampit. Upaya pemerintah sebagai mediator, yang setelah itu
menjadi dasar dan bahan pertimbangan untuk menentukan langkah perdamaian.
Tugas pemerintah dalam menyelesaikan konflik sebagaimana yang sudah dijelaskan
berdasarkan atau berlandaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan
Konflik Sosial. Peraturan pemerintah ini mengatur ketentuan mengenai pencegahan
konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, bantuan penggunaan
dan kekuatan TNI, pemulihan pascakonflik, peran serta masyarakat, pendanaan
penanganan konflik, dan monitoring dan evaluasi. Dijelaskan juga dalam Pasal 2 Ayat 1
dan Ayat 2 dan Pasal 4 Ayat 1, Ayat 2 dan Ayat 3 yang berisi tentang:
Pasal 2
1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan
pencegahan Konflik.
2) Pencegahan Konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Memelihara kondisi damai dalam masyarakat;
b. Mengembangkan sistem penyelesaian secara damai;
c. Meredam potensi Konflik; dan
d. Membangun sistem peringatan dini.
Pasal 4 :
1) Pencegahan Konflik oleh Pemerintah dilakukan kementerian/lembaga sesuai
dengan kewenangannya.
2) Pencegahan Konflik oleh pemerintah daerah dilaksanakan satuan kerja perangkat
daerah sesuai dengan fungsinya.
3) Dalam melaksanakan pencegahan Konflik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dapat melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan/atau unsur masyarakat lainnya.
2. Perubahan ekonomi
Sebelum terjadinya konflik perekonomian yang ada di Sampit telah dikuasai oleh
suku Madura. Namun, setelah terjadinya konflik, ILKAMA dibubarkan membuat
kehidupan sosial ekonomi suku Dayak semakin leluasa dalam mencari pekerjaan karena
tidak dimonopoli oleh suku lain.
3. Perubahan adat
Adat-adat Madura seperti ronggeng, judi dan minum minuman keras semakin mulai
ditinggalkan saat pasca konflik telah terjadi, dikarenakan adat itu dianggap buruk oleh
suku dayak karena suku Dayak lebih menjunjung aturan kebaikan, dan adat itu dianggap
buruk/negatif dalam pandangan suku Dayak. Ada juga adat lain yang mempersulit
kedekatan suku madura dengan suku dayak yaitu rasa solidaritas yang kurang dari suku
madura disaat kegiatan masyarakat yang telah diselenggarakan oleh suku dayak tetapi
minimnya suku madura yang hadir saat itu, contoh kegiatan tersebut seperti: hajatan,
ataupun kegiatan yang dilakukan di lingkungan dekat pemukiman suku madura hal ini
membuat persepsi suku madura buruk di mata suku dayak dan berakhir rasa curiga.
Perubahan adat pasca konflik menunjukan sebuah penggambaran bahwa walaupun ada
adat yang kurang baik hal ini dapat diubah dengan semangat ingin berinteraksi agar tidak
dilihat dalam perspektif yang negatif, hal ini meningkatkan rasa kebersamaan dan
kerjasama yang baik dapat dilihat banyaknya suku madura yang hadir di acara-acara
yang diselenggarakan oleh suku dayak.
4. Perubahan budaya dalam berbahasa
Bahasa menjadi unsur penting dalam melakukan interaksi. Aspek bahasa menjadi
pokok pembicaraan yang penting dalam konflik antara suku Madura dengan suku Dayak.
Dominan masyarakat suku Madura yang telah lama hidup di Sampit tidak mendalami
bahasa suku Dayak dan mereka tidak mempunyai keinginan untuk memakainya dalam
interaksi. Suku Madura lebih suka memakai bahasa leluhurnya dari Madura daripada
bahasa suku Dayak.
Pasca konflik, terdapat perubahan suku Madura yang mempunyai keinginan untuk
mendalami kebudayaan leluhur suku Dayak yang telah muncul. Terdapat banyak suku
Madura yang memakai bahasa suku Dayak dalam kehidupan sehari-hari untuk
melakukan interaksi. Di dalam semua kegiatan, bahasa tidak lagi menjadi masalah dalam
berinteraksi di antara kedua suku tersebut. Perubahan dalam pemakaian bahasa pasca
konflik telah menjadi corak interaksi sehari-hari untuk suku Dayak dan suku Madura
yang hidup secara berdekatan.
Konflik Sampit adalah konflik yang terjadi pada tahun 2001 melibatkan suku Madura
dan suku Dayak akibat perselisihan ekonomi dan sosial-budaya. Konflik ini menewaskan
lebih dari seratus orang mengakibatkan pemerintah turun tangan dengan mengeluarkan Perda
Nomor 9 Tahun 2001. Warga Madura untuk sementara waktu diungsikan demi menghindari
amukan dari suku Dayak.
Konflik yang terjadi mengakibatkan perubahan terkait interaksi terutama dalam
kehidupan sosial dan budaya. Karena sosial-budaya merupakan salah satu dari masalah utama
konflik, maka kehidupan sosial-budaya menjadi yang pertama yang diubah. Perubahan yang
meliputi perubahan sikap, perubahan adat istiadat yang tak sesuai dengan warga lokal, hingga
asimilasi diwajibkan untuk warga Madura jika mereka ingin tinggal di Kalimantan
sebagaimana yang ada dalam kesepakatan damai.
Dalam kehidupan sosial, sebagian warga Madura dapat dengan mudah melupakan
konflik dan fokus untuk membangun kehidupan sosial dengan warga lokal. Namun, ada
sebagian warga Madura yang belum menaati kesepakatan damai karena masih menyimpan
dendam yang berkepanjangan.
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia.go.id - Suku Bangsa. (n.d.). Portal Informasi Indonesia. Diakses pada Maret 10,
2023, dari https://indonesia.go.id/profil/suku- bangsa/kebudayaan/suku-bangsa
Intani, N. P. (2022).Perang Sampit (Konflik Suku Dayak dengan Suku Madura) Pada
Tahun 2001. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 15.
Ningsih, M. R., Alfirdaus, L. K., & Sardini, N. H. (2021, Desember). Politik Etnik
Pasca Konflik Madura-Dayak di Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan
Tengah. Journal of Politic and Government Studies, 11(1), 81-93.
Sarmita, I. M. (2014). Potensi Konflik Di Daerah Tujuan Transmigrasi (Kasus Sampit dan
Mesuji). Media Komunikasi Geografi, 15(1), 45.
Sejarah Perang Sampit: Penyebab, Asal, Kronologi & Korban. (n.d.). Selasar. Retrieved
Mei 3, 2023, from https://www.selasar.com/perang-
sampit/#Sejarah_dan_Latar_Belakang
Susanto, D. 2019. Interaksi dan Perubahan Sosial Budaya Pasca Konflik AntarSuku.
Disertasi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.