Anda di halaman 1dari 15

Konflik Sosial Sampit

Dosen Pengampu : Fachry Arsyad, M.Kesos


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Konflik

Disusun Oleh :

Kelompok 3

1. Syaffa Cinta Arifah (2103079)


2. Winda Chaisa Alifia (2103001)
3. Vianty Yuanita (2103009)
4. Silvy Dwi Fazriyah (2103005)

KELAS 2C
PROGRAM STUDI PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN SOSIAL

POLTEKESOS BANDUNG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang

mempunyai banyak sekali suku bangsa dan etnis. Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2010, Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa. Angka ini adalah angka yang sangat besar
untuk menunjukkan jumlah suku bangsa yang terdapat dalam suatu negara.

Angka yang amat besar itu juga menyatakan dengan gamblang bahwa Indonesia

sangatlah majemuk. Dengan kemajemukan ini, bangsa kita tentu saja tidak bisa menghindari
konflik yang memang sudah wajar terjadi di manapun. Apalagi dengan jumlah suku bangsa yang
begitu banyak, konflik etnis menjadi salah satu hal yang tidak bisa dihindari. Tingkat sensitifitas
akan etnis di Indonesia sangtalah besar, jika dilihat dari kemajemukan yang dimiliki.

Dalam bukunya yang berjudul “Ethnic Conflict A Global Perspective”, Stefan Wolff

mendeskripsikan konflik sebagai situasi dimana dua actor atau lebih mewujudkan tujuan yang
bertentangan. Konflik etnis adalah salah satu bentuk konflik tertentu yang tujuan, dari setidaknya
satu pihak konflik, didefinisikan dalam bentuk etnis. Dan permasalahan utama dari konfrontasi ini
merupakan salah satu perbedaan etnis.

Dalam makalah ini kami akan membawa kasus kerusuhan di Sampit, Kalimantan Tengah.

Kasus ini bisa dibilang sebagai konflik etnis karena melibatkan dua etnis yang berada di Sampit
pada waktu itu yaitu etnis Dayak dan etnis Madura. Konflik juga merupakan salah satu konflik
kekerasan yang paling berdarah pada saat itu Peristiwa ini telah menjadi salah satu peristiwa paling
berdarah di Indonesia, maupun di Asia. Dimana etnis lagi-lagi menjadi topic utama dalam akar
permasalahan ini. Konflik sejenis ini mudah sekali terjadi dan dipicu dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia, negara yang sangat majemuk dan kaya akan suku bangsa, etnis, agama
dan bahasa.

Tragedi ini terjadi dengan menyisakan duka yang mendalam atas kasus konflik etnis.
Bukan hanya etnis saja yang menjadi sumber permasalahan disini, melainkan juga ada factor
mendasar lainnya. Seperti ekonomi dan politik. Dan untuk penjelasan selanjutnya akan ada di bab
pembahasan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah yang mneyebabkan terjadinya konflik Sampit?

2. Teori-teori apakah yang dapat menjelaskan konflik Sampit?

3. Bagaimana penyelesaian konflik?

1.3. Tujuan

1. Untuk dapat mengetahui apa itu koflik Sampit

2. Untuk dapat mengetahui penyebab terjadinya,konflik Sampit


BAB II

Pembahasan

2.1. Tragedi memenggal Kepala

Terdapat sekitar 3 juta orang yang bisa diklasifikasikan sebagai orang Dayak di Pulau
Kalimantan.1 Mayoritas suku Dayak adalah orang-orang yang bertani. Namun mereka juga
melakukan perburuan dan mengumpulkan hasil hutan untuk dapat diperjualbelikan dan dapat
menjadi sesuatu kekuatan ekonomi di sana.

Suku Dayak Iban2 memiliki kebudayaan untuk memenggal kepala. Karena mereka percaya
dengan mengambil kepala (memenggal kepala) adalah mengambil kekuatan si korban. Kegiatan
memenggal kepala ini disebut mengayau. Mengayau sendiri berasal dari dasar kata kayau yang
berarti memotong kepala musuh.

Kegiatan ini merupakan tradisi untuk menunjukkan keberanian, melindungi warga suku,
memperluas wilayah, dan salah satu cara untuk bertahan hidup. Tradisi ini dilakukan saat
berperang yang menandakan mereka adalah pemenang dari peperangan. Suatu kebanggan utnuk
dapat membawa banyak kepala musuh ketika pulang dari berperang, karena hal tersebut
menandakan semakin luasnya kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan banyak wanita pada saaat
itu menjadi janda karena meninggalnya suami mereka akibat tradisi ini.

Namun tradisi ini bertahan sampai agama Kristen secara luas dikenalkan di Kalimantan.

Tradisi ini berakhir sampai abad 19 dan 20.

2.2. Datangnya Madura

Pemerintah colonial pertama kali membawa orang-orang Madura ke Kalimantan untuk


membangun jalan pada tahun 1930-an. Hal ini berlangsung hingga tahun 1990-an, ketika buruh-
buruh Madura membangun akses jalan trans-kalimantan melewati Kalimantan Tengah.

Banyak petani tak bertanah dari Jawa dan pulau Madura pindah ke Kalimantan Barat
Sebagai bagian dari program transmigrasi pemerintah yang menawarkan lahan gratis, perumahan
dan bantuan pangan.
Orang-orang Madura di Kalimantan memiliki asosiasi etnis mereka, bernama Ikama dan
diketuai oleh Marlinggi. Populasi orang Madura di Kalimantan Tengah hanya sektiar 6-7 persen
(Internasional Crisis Group 2001a:1), sedangkan poulasi Dayak mencapai 41 persen menurut
sensus tahun 2000.12

Kedatangan komunitas Madura ini bukan hanya mendatangkan sejumlah orang, namun
juga kebudayaan dan kebiasaan hidup yang biasa mereka jalani sebagaimana yang mereka lakukan
disaat mereka masih di tanah kelahiran mereka. Hal ini secara jelas telah membentuk suatu
pengotakkan akibat adanya kebiasaan hidup dan kebudayaan yang berbeda. Mulai dari situlah
terbentuk suatu identitas bahwa ‘saya adalah orang Madura’ dan ‘saya adalah orang Dayak’.

2.3.Konflik di Kalimantan Barat

Di Kalimantan Barat sudah terjadi dua peristiwa kekerasan yang amat besar, yaitu pada
tahun 1997 dan pada tahun 1999. Konflik pada tahun 1997 menewaskan 500 korban jiwa dan
20.000 orang Madura bermigrasi ke tempat lain, sedangkan pada tahun 1999 konflik serupa
menwaskan lebih sedikit korban jiwa namun malah mengungsikan sekitar 35.000 warga
Madura. Dan angka para pengungsi ini semakin membengkak menjadi 60.000 jiwa pada
konflik di tahun selanjutnya (tahun 2000).

Konflik-konflik tersebut memiliki target yang sama, yaitu imigran Madura. Dengan cara
membakar rumah, pembunuhan massal dengan pemenggalan kepala, serta pengusiran besar-
besaran. Dan pergerakkan bersenjata itu mendeskripsikan diri mereka sebagai budaya asli yang
memprotes akan kehadiran imigran.

Konflik-konflik yang terjadi pada tahun 1997 dan 1999 menyebabkan arus migrasi yang besar.
Namun migrasi ini tidak difasilitasi oleh pemerintah, sehingga berita tentang ini seakan tidak
begitu terkenal.

Satu informasi mengatakan bahwa konflik pada tahun 1997

2.4.Kerangka Teori
Etnis menurut Anthony D. Smith adalah “ a community characterized by a common
Collective name, shared myth of common descent, shared historical memories, one or more
elements of common culture, an association with a specific territory, and a sense of
solidarity.” Sense of Solidarity yang diartikan oleh Smith adalah perasaan yang dalam atas
komitmen sebuah grup dan diekspresikan di dalam nilai-nilai dan tindakan yang altruistic.

Lambang Trijono dalam bukunya yang berjudul The Making of Ethnic and Religious
Conflict in Southeast Asia, mengatakan bahwa konflik etnis didasari oleh identitas budaya atau
bisa dibilang sebagai konflik identitas. Dalam pandangan ini konflik identitas terjadi disaat
komunitas budaya dalam suatu negara ataupun komunitas budaya antar negara tidak bisa saling
berbagi identitas mereka bersama-sama, atau saling bertentangan satu sama lain.

Identitas budaya adalah hal yang sangat rumit, karena sesorang tidak hanya mempunyai
satu identitas, melainkan multidimensi identitas. Ada dua macam identitas yang bisa diidentifikasi
dalam sisi seseorang, yaitu identitas yang sejak awal sudah didapat sejak lahir dan tidak dapat
dipungkiri (yang berkaitan dengan suku, ras, tempat lahir, etnis, agama), dan identitas yang didapat
karena pilihan ataupun usaha (kelas ekonomi, kewarganegaraan, profesi, posisi politik, status
social).

Ada tiga pandangan berbeda dalam melihat bagaimana identitas terbentuk, berubah, atau
hilang sehingga dapat mempengaruhi konflik etnis, yaitu pandangan primodialis, pandangan
instrumentalis, danpandangan konstruktif atau bisa dibilang realis.

Pandangan primodialis melihat identitas budaya adalah stabil, fixed, tidak berubah, dan

bila berubah itu hanya terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama. Sedangkan pandangan
instrumentalis memahami identitas budaya sebagai produk dari

manipulasi dan mobilisasi dari elit politik untuk tujuan politik mereka. Dalam pandangan ini nilai-
nilai budaya dan terapan dari suatu grup etnis menjadi sumber politik bagi elit untuk bisa
berkompetisi dalam politik dan kekuata ekonomi.

Dan pandangan yang terakhir, yaitu pandangan konstruktisionis, menyatakan bahwa anggota
komunitas dan elit politik bekerja sama dalam membuat konflik etnis. Mitos, sejarah, tradisi,
lokalitas dan symbol budaya membentuk suatu identitas yang mana identitas itu akan digunakan
oleh para elit untuk menciptakan atau bahkan reconstruct suatu identitas komunal baru yang sesuai
dengan apa yang mereka inginkan.

Ada tiga lingkup konflik etnis dan agama : (1) konflik etnis dalam konteks interrelasi
Antar grup etnis; (2) konflik etnis dalam relasinya akan isu-isu dari hubungan antar etnis dan
negara; (3) konflik etnis dalam relasinya akan isu-isu tentang hubungan antara entis dan
globalisasi. Michele Lamont dalam buku yang berjudul Handbook of Sosiological Theories,

Meyakinkan bahwa terjadi ketidaksamaan (inequality) karena adanya kesadaran atas identitas (ras,
suku, agama, status social, tingkat eknomi, dan sebagainya). Ia juga menjelaskan bahwa konsep
pembatasam adalah yang utama dalam pembelajaran tentang ras dan etnis.

2.5.Pemahaman Konflik Sampit


Ketika membahas tentang konflik Sampit pasti langsung terbayang bahwa ini adalah salah
satu kasus konflik etnis. Hanya etnislah yang meneyebabkan dan memicu konflik ini
hingga dapat terjadi pembunuhan massal. Namun saya yakin tidak hanyalah etnis yang
menyebabkan konflik Sampit bisa terjadi hingga sebegini massalnya.

Menurut kami ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik di Sampit ini.
Yaitu adanya factor ekonomi dan identitas etnis.

 Faktor Ekonomi

Pada pemerintahan Orde Baru, kebijakan-kebijakan yang dibuat didasari oleh paradigma yang
tidak tepat. Yaitu paradigma yang semata-mata menekankan pada pertumbuhan ekonomi semata
dan kestabilan semu yang dirumuskan dari atas-bawah (top-down policy) dan sangat sentralistis.
Kebijakan pembangunan yang dibuat cenderung sangat mengandung unsur kapitalistis sempit dan
keserakahan, sehingga sangat mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan, kelestarian lingkungan.

Baru pada tahun 1999, kewenangan mengelola SDA dilimpahkan kepada daerah melalui
kebijakan desentralisasi. Namun, baru berjalan 5 tahun kebijakan tersebut dicabut oleh pemerintah
pusat. Kembalilah hutan dirusak, alam hancur akibat kerakusan pemerintah pusat. Hal ini membuat
masyarakat asli dan pedalaman menjadi termajinalkan.

Selain itu masyarakat pedalaman dan perhuluan (Dayak dan Melayu) menjadi semakin
terdesak utnuk dapat mencari mata pencaharian dan lapangan kerja. Karena pengambilalihan hak
atas tanah untuk lahan HPH, penekploitasian hutans secara besar-besaran, dan pengalihan fungsi
hutan.
Adanya fakta-fakta yang sudah dipaparkan di atas, menurut kami turut campur andil dalam
pembentukan karakter masyarakat. Kelakuan pemerintah yang begitu egois sangat menekan
penduduk asli. Hilangnya sumber daya, tempat mereka tinggal, serta semakin sulitnya mencari
lapangan pekerjaan menyebabkan ekonomi masyarakat asli khususnya dayak.

Apalagi ditambah dengan masuknya orang asing ke tempat mereka, yaitu orang-orang
Madura. Orang-orang Madura yang datang akibat diadakannya program migrasi oleh pemerintah
tentu saja membutuhkan pekerjaan. Lalu mereka bekerja di lahan yang awalnya hanya untuk
orang-orang asli Kalimantan.

Masyarakat Dayak yang ekonominya sudah dihimpit oleh pemerintah sekarang ditambah oleh
hadirnya orang-orang Madura yang sudah mulai menguasai hamper semua lapangan pekerjaan.
Tentu saja tingkat kebringasan mereka meningkat. Dan mereka mengambil objek orang-orang
Madura, orang asing yang tiba-tiba datang dan mengambil pekerjaan mereka dan menghimpit
perekonomian mereka.

 Faktor Identitas Etnis-Sosial-Budaya

Dengan adanya kesadaran identitas etnis di masing-masing pihak, apa yang sebetulnya
dapat dihindari (masalah-masalah keil yang dapat diselesaikan dengan baik-baik) malah menjadi
suatu pemicu untuk terjadinya konflik.

Konflik di Sampit (Kalteng) jelas merupakan konflik etnis. Bila telah dijelaskan adanya
factor ekonomi dan factor politik, sebetulnya mungkin tidak akan terjadi suatu konflik yang amat
berdarah bila mereka satu etnis Dayak maupun Madura. Tetapi dengan kesadaran identiytas
masing-masing mereka bahwa saya Dayak, saya Madura, hal-hal di atas yang sebetulnya bisa
diredam malah menjadi pemicu konflik.

Identitas akan etnis menimbulkan suatu sensitifitas bagi masing-masing mereka (Dayak
dan Madura). Perbedaan budaya menjadi sekat berduri yang kalau kita tidak berhati-hati dalam
bersikap akan menjadi sangat merugikan. Dengan adanya bukti bahwa dalam konflik tersebut
orang-orang Dayak memenggal kepala lawannya, dalam konteks ini masyarakat Madura, saya
membuat hipotesis bila masyarakat Dayak kembali menggunakan budaya ngayau mereka dalam
konflik ini. Walaupun banyak sumber mengatakan bahwa tradisi ini sudah lama punah, tapi saya
percaya bahwa akar dari pemenggalan kepala ini adalah budaya ngayau mereka. Karena budaya
adalah budaya, walaupun secara fisik sudah hilang, tetap saja mengalir darah nilai-nilai yang
hilang tersebut.

Smith mengatakan bahwa dalam suatu etnis ada yang dinamakan sense of solidarity,
dimana ditunjukkan melalui aksi-aksi yang tindakan yang altruistic. Di sini masyarakat Dayak
sudah merasa terancam dengan adanya himpitan ekonomi, dan dengan terbentuknya identitas ‘saya
Dayak, kamu Madura’, muncullah suatu sensitivitas etnis yang menjadi trigger konflik ini. Apalagi
menurut data, ketidakmerataan lebih berpihak pada Dayak, Madura seakan lebih diuntungkan
dengan adanya kebijakan ekonomi. Duar! Pecahlah konflik atas nama etnis.

Menurut kami konflik ini terjadi karena adanya rasa solidaritas etnis masyarakat Dayak
Kalteng dengna masyarakat Dayak Kalbar. Dengan terjadinya konflik berdarah antar Dayak dan
Madura di Kalbar, masyarakat Dayak Kaltengjuga seakan merasakan perasaan yang sama dengan
kehadiran masyarakat Madura di wilayah mereka.

2.6.Penyelesaian Konflik

Penyelesaian Pada 18 Februari 2001 suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan
seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu dalang di balik serangan ini. Orang yang
ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan di Sampit.

Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sembari


meminta pembebasan para tahanan. Permintaan mereka dikabulkan oleh polisi pada 28 Februari
2001, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan.

Dari Konflik Sampit ini sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku
Dayak. Pada akhirnya, penyelesaian konflik Sampit dapat terjadi berkat tindakan pemerintah
dengan cara mengevakuasi warga, terus meningkatkan keamanan, mengadakan rehabilitasi
mental, dan menangkap para provokator yang menjadi sumber penyebab konflik.

Untuk memperingati akhir konflik ini, dibuatlah perjanjian damai antara suku Dayak dan
Madura. Guna memperingati perjanjian damai tersebut, maka dibentuk sebuah tugu perdamaian
diSampit.
a. Model Pemecahan Konflik

The Wheel Of Conflict

Penyebab konflik ini terjadi saat orang-orang Madura datang ke Kalimantan untuk
membangun jalan akses trans – Kalimantan melewati Kalimatan Tengah pada tahun 1930-1990.
Banyak orang jawa pindah ke Kalimantan Barat sebagai bagian dari program transmigrasi
pemerintah yang menawarkan lahan gratis, perumahan dan bantuan pangan. Karena sebuah
kebiasaan, Komunitas Madura ini secara tidak sengaja mendatangkan sejumlah budaya dan
kebiasaan hidup yang mereka lakukan saat masih di tanah kelahiran mereka, hal ini menyebabkan
adanya perbedaan kebudayaan dan kebiasaan hidup yang membentuk suatu identitas bahwa ‘ Saya
adalah orang Madura’ dan ‘Saya adalah orang Dayak’.

Ada faktor faktor lain selain faktor etnis yang penyebabkan konflik ini terjadi yaitu faktor
ekonomi, yang terjadi saat kebijakan pemerintah yang mengandung unsur keserakahan sehingga
mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Apalagi ditambah dengan
masuknya orang asing ke tempat mereka, yaitu orang-orang Madura. Orang-orang Madura yang
datang akibat diadakannya program migrasi oleh pemerintah tentu saja membutuhkan pekerjaan.
Lalu mereka bekerja di lahan yang awalnya hanya untuk orang-orang asli Kalimantan. Masyarakat
Dayak yang ekonominya sudah dihimpit oleh pemerintah sekarang ditambah oleh hadirnya orang-
orang Madura yang sudah mulai menguasai hamper semua lapangan pekerjaan. Tentu saja tingkat
kebringasan mereka meningkat. Dan mereka mengambil objek orang-orang Madura, orang asing
yang tiba-tiba datang dan mengambil pekerjaan mereka dan menghimpit perekonomian mereka.

Sangat jelas bahwa konflik di Sampit ini adalah konflik etnis, jelas adanya faktor ekonomi dan
politik namun bisa saja konflik tersebut terselesaikan apabila tidak muncul konflik etnis ini, karena
adanya kesadaran identitas masing-masing bahwa ‘saya Madura’ dan ‘saya Dayak’ yang
menimbulkan suatu senditifitas bagi masing-masing mereka.

b. CONFLICT ASSESMENT (Pendekatan USAID)

1. Pihak – pihak yang terlibat


Pihak yang terlibat dalam konflik ini adalah orang suku Dayak dan suku Madura.
2. Isu Konflik
Kedatangan komunitas Madura ini bukan hanya mendatangkan sejumlah orang,
namun juga kebudayaan dan kebiasaan hidup yang biasa mereka jalani sebagaimana yang
mereka lakukan disaat mereka masih di tanah kelahiran mereka. Hal ini secara jelas telah
membentuk suatu pengotakkan akibat adanya kebiasaan hidup dan kebudayaan yang
berbeda. Mulai dari situlah terbentuk suatu identitas bahwa ‘saya adalah orang Madura’
dan ‘saya adalah orang Dayak’.

Suku Dayak Iban2 memiliki kebudayaan untuk memenggal kepala. Karena mereka percaya
dengan mengambil kepala (memenggal kepala) adalah mengambil kekuatan si korban. Kegiatan
memenggal kepala ini disebut mengayau. Mengayau sendiri berasal dari dasar kata kayau yang
berarti memotong kepala musuh.

Kegiatan ini merupakan tradisi untuk menunjukkan keberanian, melindungi warga suku,
memperluas wilayah, dan salah satu cara untuk bertahan hidup. Tradisi ini dilakukan saat
berperang yang menandakan mereka adalah pemenang dari peperangan. Suatu kebanggan utnuk
dapat membawa banyak kepala musuh ketika pulang dari berperang, karena hal tersebut
menandakan semakin luasnya kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan banyak wanita pada saaat
itu menjadi janda karena meninggalnya suami mereka akibat tradisi ini.

3. Konteks dan Latar belakang

Menurut kami ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik di Sampit ini.
Yaitu adanya factor ekonomi dan identitas etnis.

- Faktor Ekonomi

Adanya fakta-fakta yang sudah dipaparkan di atas, menurut kami turut campur andil dalam
pembentukan karakter masyarakat. Kelakuan pemerintah yang begitu egois sangat menekan
penduduk asli. Hilangnya sumber daya, tempat mereka tinggal, serta semakin sulitnya mencari
lapangan pekerjaan menyebabkan ekonomi masyarakat asli khususnya dayak.

Apalagi ditambah dengan masuknya orang asing ke tempat mereka, yaitu orang-orang
Madura. Orang-orang Madura yang datang akibat diadakannya program migrasi oleh pemerintah
tentu saja membutuhkan pekerjaan. Lalu mereka bekerja di lahan yang awalnya hanya untuk
orang-orang asli Kalimantan.

Masyarakat Dayak yang ekonominya sudah dihimpit oleh pemerintah sekarang ditambah oleh
hadirnya orang-orang Madura yang sudah mulai menguasai hamper semua lapangan pekerjaan.
Tentu saja tingkat kebringasan mereka meningkat. Dan mereka mengambil objek orang-orang
Madura, orang asing yang tiba-tiba datang dan mengambil pekerjaan mereka dan menghimpit
perekonomian mereka.

 Faktor Identitas Etnis-Sosial-Budaya

Konflik di Sampit (Kalteng) jelas merupakan konflik etnis. Bila telah dijelaskan adanya
factor ekonomi dan factor politik, sebetulnya mungkin tidak akan terjadi suatu konflik yang amat
berdarah bila mereka satu etnis Dayak maupun Madura. Tetapi dengan kesadaran identiytas
masing-masing mereka bahwa saya Dayak, saya Madura, hal-hal di atas yang sebetulnya bisa
diredam malah menjadi pemicu konflik.

Identitas akan etnis menimbulkan suatu sensitifitas bagi masing-masing mereka (Dayak
dan Madura). Perbedaan budaya menjadi sekat berduri yang kalau kita tidak berhati-hati dalam
bersikap akan menjadi sangat merugikan. Dengan adanya bukti bahwa dalam konflik tersebut
orang-orang Dayak memenggal kepala lawannya, dalam konteks ini masyarakat Madura, saya
membuat hipotesis bila masyarakat Dayak kembali menggunakan budaya ngayau mereka dalam
konflik ini. Walaupun banyak sumber mengatakan bahwa tradisi ini sudah lama punah, tapi saya
percaya bahwa akar dari pemenggalan kepala ini adalah budaya ngayau mereka. Karena budaya
adalah budaya, walaupun secara fisik sudah hilang, tetap saja mengalir darah nilai-nilai yang
hilang tersebut.

Menurut kami konflik ini terjadi karena adanya rasa solidaritas etnis masyarakat Dayak
Kalteng dengna masyarakat Dayak Kalbar. Dengan terjadinya konflik berdarah antar Dayak dan
Madura di Kalbar, masyarakat Dayak Kaltengjuga seakan merasakan perasaan yang sama dengan
kehadiran masyarakat Madura di wilayah mereka.

4. Penyelesaian

penyelesaian konflik Sampit dapat terjadi berkat tindakan pemerintah dengan


cara mengevakuasi warga, terus meningkatkan keamanan, mengadakan rehabilitasi
mental, dan menangkap para provokator yang menjadi sumber penyebab konflik.
BAB III

KESIMPULAN

Dalam kasus Tragedi Sampit ini, penyebabnya bukan saja masalah etnis, melainkan ada sebab

Ekonomis juga. Dan inti dari permasalahan ini adalah identitas. Bila tidak adanya identitas ‘saya
Dayak kamu Madura’, mungkin kasusnya tidak terjadi ataupun bila terjadi tidak akan sebesar ini.
Hal ini dapat diselesaikan melalui jalan mediasi. Mereka harus tau atas adanya kesetaraan.
Kebijakan ekonomis ataupun politis tidak boleh berat sebelah, karena adanya identitas. Sebisa
mungkin mencari jalan dan hasil yang terbaik bagi kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Bertrandt, Jacquis. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. New York: Cambridge
University Press.

https://www.fas.org/irp/world/para/dayak.htm

http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2586/mengayau-upacara-keberanian-laki-laki-dayak-
ibankalimantan-barat

http://www.penn.museum/documents/publications/expedition/PDFs/30-1/Jessup.pdf

Klinken, Garry van. 2007. Communal Violence and Democratization in Indonesia : Small Town
War . New York: Routledge.

Lambang Trijono, M. Najib Azca, Tri Susdinarjanti, Moch. Faried Cahyono, dan Zuly Qodir
(editor). 2004. Potret Retak Nusantara Studi Kasus Konflik Di Indonesia. Yogyakarta: CSPS
BOOKS.

Malesevic, Sinisa. 2006. Identity as Ideology : Understanding Ethnicity and Nationalism.


Hampshire: PALGRACE MACMILLAN.

Trijono, Lambang, 2004. The Making of Ethnic and Religious Conflict in Southeast Asia.
Yogyakarta: CSPS BOOKS.

Anda mungkin juga menyukai