Anda di halaman 1dari 11

JURNAL ILMU PEMERINTAHAN

Volume : Nomor: Tahun 2013 Halaman


http//www.fisipundip.ac.id

RESOLUSI KONFLIK KOMUNAL DI MALUKU PASCA REFORMASI


Ernita Krisandi1, Budi Setyono S.Sos, M. Pol. Adm2, Tri Cahyo Utomo, MA3
Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Diponegoro

Abstract
A horizontal conflict occured in Maluku between Christian and Moslem during the last decade.
There are a lot of reasons to explain why it could happen such economics and political problems which
are connected to ethnic group sentiment. In 1999 conflict explode at the first time caused a lot of victims
and damage in many public facilities, until 2011 there were more conflicts with the same pattern
happened in Maluku. Since then, conflict resolution were conducted by a lot of parties, Government,
NGO, customary institutions, and others grass root movement. Maluku get better from day to day, but it
took long time but the sitution remains fregile. The conflict worsen social segregation which is inherited
by colonial governments. Poor commitment and professionalism of the law enforcement officers (police,
TNI) to realize peace and security caused the conflict continually persistent. Furthermore, some of the
local political actors get some advantages from the conflicts to get and save their interests. This paper
describes the conflict and seek to find resolutions formula that can make integration and justice to all
Maluku peoples.

Key Words : conflict, social movement, peace building

Abstraksi
Konflik Maluku merupakan konflik horizontal yang terjadi penduduk yang beragama Islam dan
Kristen. Konflik ini dipicu oleh banyak faktor, seperti ekonomi dan politik yang kemudian dibawa dalam
ranah sentimen ras dan agama. Konflik pertama kali terjadi pada tahun 1999 dan menimbulkan banyak
korban jiwa serta kerusakan infrastruktur lainya, hingga 2011 lalu di Maluku masih terjadi kerusuhan
yang melibatkan dua kelompok beda agama tersebut. Berbagai upaya penyelesaian sudah dilakukan oleh
banyak kalangan, Pemerintah, LSM, Lembaga Adat, dan gerakan akar rumput masyarakat lainya yang
terbentuk karena keprihatinan akan konflik yang berkepanjangan. Dari hari kehari Maluku semakin
membaik, kerusuhan tidak lagi sebanyak pada tahun – tahun pertama hingga tahun ke – 3 konflik, akan
tetapi bukan berarti konflik sudah sama sekali tidak terjadi. Segregasi sosial yang menjadi warisan
peninggalan Belanda belum bisa dihilangkan dan semakin tajam dengan adanya konflik antar kedua suku
agama tersebut. Komitmen aparat penegak hukum setempat untuk menjaga keamanan dengan
profesionalitas yang tinggi kurang dapat diwujudkan dengan baik. Elit politik lokal setempat tak sedikit
yang memanfaatkan konflik sebagai cara untuk mencapai atau melindungi kepentingan mereka. Maluku
butuh sebuah formulasi penanganan konflik yang dapat mendorong tercapainya sebuah integrasi dan
keadilan yang merata bagi penduduknya.
Kata Kunci: konflik, gerakan soaial, resolusi konflik

1
Ernita Krisandi adalah mahasiswa S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Semarang alamat email :
ernitakrisandi@ymail.com
2
Dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Undip
3
Dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Undip
A. Penduhuluan
Indonesia adalah sebuah negara majemuk, negara yang kaya akan perbedaan. Beragam suku
bangsa hidup bersama di negara ini. Karakter yang heterogen ini tentu memunculkan pola kepentingan
masyarakat yang beragam pula. Beragam kepentingan ini tidak selalu dapat berjalan beriringan.
Kepentingan yang satu seringkali berbenturan dengan kepentingan lainya. Ketika hal ini terjadi pada
pihak – pihak yang tidak dapat menerima perbedaan dengan baik, maka sudah pasti yang terjadi adalah
konflik. Pasca jatuhnya presiden Soeharto memang banyak sekali konflik horizontal maupun vertikal
terjadi di Indonesia. Salah satunya yang tergolong konflik berkepanjangan adalah konflik di Maluku.
Maluku merupakan sebuah daerah dimana daerah tersebut memiliki tingkat kerawanan konflik yang
sangat tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Masyarakat Maluku adalah masyarakat
yang heterogenitas etnik dan agamanya cukup tinggi. Tidak hanya penduduk asli Maluku, pendatang dari
berbagai kawasan Indonesia, terutama Bugis, Buton, Makasar, Minahasa, Jawa dan Cina juga mendiami
wilayah ini. Dari segi agama, Islam dan Kristen adalah agama mayoritas penduduk Maluku, kemudian
ada Katolik, Hindhu dan Budha. Dahulu, mereka hidup rukun berdampingan, Akan tetapi hal ini berubah
ketika awal tahun 1999, dimana hari itu bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, Maluku berubah menjadi
ladang konflik yang komunal dan berdarah.
Konflik yang terjadi di Maluku hingga saat ini masih sering memunculkan kerusuhan –
kerusuhan yang mengakibatkan pengrusakan. Hal ini menunjukan kecenderungan yang sama bahwa
resolusi yang ada dan diterapkan tidak mampu memadamkan persoalan yang sebenarnya terjadi hingga
pada tataran akar rumput permasalahan. Penelitian ini dilakukan untuk memahami permasalahan yang ada
di Maluku kemudian merumuskan sebuah alternatif penyelesaian konflik yang bisa diterapkan di Maluku.
Melihat hal tersebut diatas, maka dirumuskan permasalahan – permasalahan sebagai berikut : (1).
Bagaimana konflik Maluku pada tahun 1999 dapat terjadi?, (2). Bagaimana bentuk – bentuk konflik yang
terjadi di Maluku?, (3). Bagaimana upaya penyelesaian yang telah diberikan pada konflik Maluku 1999?,
(4). Bagaimana model manajemen konflik yang tepat bagi masyarakat Maluku pada tataran akar rumput
sehingga konflik bisa terselesaikan dan tidak kembali terulang?

B. Bahan dan Metodologi


Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan manusia yang tidak dapat dihilangkan.
Selama masih ada kehidupan, selama itu pula konflik masih akan tetap ada. Stephen. P Robbins dalam
Wirawan (2010 : 5), we define conflict as a process in which an effort is purposely made by A to offset the
efforts of B by form of blocking that will result in “frustrating B” in attaining his goals or furthering his
interest. Hal ini berarti bahwa mendifinisikan konflik sebagai suatu proses dimana usaha yang sengaja
dibuat oleh A untuk mengimbangi upaya B dengan bentuk yang sama memblokir yang akan
menghasilkan B frustasi dalam mencapai tujuanya dan melanjutkan kepentinganya. Pernyataan ini
menekankan bahwa dalam suatu konflik ada unsur persaingan, kompetisi, dan usaha untuk menjatuhkan
lawan.
Menurut Wirawan (2010:5), konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua
pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi
konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Istilah proses juga digunakan dalam pengertian konflik tidak
terjadi seketika, melainkan memerlukan waktu dari terjadinya perbedaan sampai terjadinya konflik. Pihak
yang terlibat konflik saling tergantung atau interdependen satu sama lain. Artinya, setiap tindakan atau
tidak melakukan sesuatu dari salah satu pihak yang terlibat konflik akan berpengaruh pada pihak lainya.
Menurut sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (1). Konflik Vertikal, merupakan konflik
antara elite dan massa. Elite disini bisa diartikan sebagai pemerintah, atau para pengambil kebijakan di
tingkat pusat, kelompok bisnis, atau aparat militer. (2). Konflik Horizontal yang dimaksudkan adalah
konflik antar kelompok/wilayah yang didasarkan pada etnis, aliran kepercayaan, isu ekonomi, isu
solidaritas, dan isu sosial lainya. Konflik ini mengemuka di beberapa daerah di Indonesia, seperti suku
Jawa dan suku – suku lain di luar pulau Jawa.
Konflik etnis terjadi ketika banyak kelompok – kelompok suku saling berintegrasi dan
etnosentrisme menjadi ancaman utama bagi proses integrasi sosial. Konflik dan kekerasan antar

2
kelompok yang telah terjadi berulang kali justru mempertebal rasa etnosentrisme itu, terbentuklah citra
bahwa “kelompok suku saya hebat dan kelompok suku lain jahat, atau kelompok suku lain kejam dan
kelompok suku saya menjadi korban kekejaman”. Etnosentrisme ini memiliki akar pada stereotype
negatif tentang kelompok suku lain.
Setiap konflik selalu mengalami dinamika yang terdiri dari tahapan – tahapan. Pada dasarnya
tahapan konflik terdiri dari pra konflik, konfrontasi, krisis yang merupakan fase puncak dari konflik, dan
kemudian menurun menjadi pasca konflik. Konflik massal seperti digambarkan jenisnya diatas, tidak
serta merta terjadi. Selain mengalami tahap – tahap yang sudah dijelaskan diatas, terkadang ada juga
faktor eksternal yang sering membuat konflik menjadi berkembang. Dalam prosesnya, pasti ada hal – hal
yang telah lama terpendam dan kemudian menjadi bom waktu yang meledak pada satu titik waktu
tertentu. Selama proses itu, tentu banyak sekali faktor – faktor yang mempengaruhinya sehingga konflik
besar membesar. Faktor itu bisa dikatakan sebagai faktor penyemarak konflik. Faktor penyemarak
seringkali datang dari kurang tepatnya atau kurang profesionalnya tindakan aparat yang menyebabkan
konflik semakin membesar.
Penanganan konflik yang tepat diberikan dalam fase awal konflik, akan membuat siklus konflik
terhenti dan tidak akan berkembang ke tahap selanjutnya. Manajemen konflik adalah upaya
menggabungkan beberapa metode seperti pencegahan konflik, resolusi konflik, atau transformasi konflik
(Miall : 2002 : 22–24). Manajemen konflik penting karena adanya kebutuhan pada bukan sekedar
menghilangkan konflik tetapi bagaimana membawa pihak – pihak yang bertikai ke dalam sebuah proses
kooperatif serta bagaimana merancang sistem kooperatif untuk mengelola perbedaan yang konstruktif
(Haris dan Reilly: 2000 : 20). Penyelesaian konflik horizontal antarkelompok sosial dan etnik harus
didasarkan pada pengelolaan kelompok – kelompok yang ada. Konsep pengelolaan konflik seperti ini
harus memperhitungkan efektivitas interaksi sosial yang memungkinkan untuk membangun suatu pola
hubungan yang terbuka dan mengurangi label – label negatif di antara kelompok yang berinteraksi.

Penelitian ini ditujukan untuk memahami berbagai hal yang berkaitan dengan konflik, terutama
hal – hal yang menjadi akar permasalahan berbagai konflik komunal yang pernah terjadi di Indonesia
untuk kemudian di analisis dan dipetakan sebuah solusi yang ideal untuk mengatasinya. Oleh karena
keperluan tersebut maka dipilihlah sebuah metode kualitatif dengan pedekatan studi kasus yang akan
dipergunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini fokus pada pada proses penyelesaian konflik yang ada di
daerah Maluku. Konflik ini dipilih karena dilihat dari ekskalasinya, konflik ini tergolong konflik yang
paling besar serupa dengan tragedi kemanusiaan, yang meninggalkan banyak kerugian jiwa, harta benda,
serta trauma dan hubungan yang masih kurang harmonis sampai saat ini. Selain itu, melihat kondisi
sekarang ini yang menunjukan bahwa konflik di Maluku masih sering terjadi, menjadi suatu hal yang
menarik untuk diteliti mengenai bagaimana proses resolusi konflik diberikan. Konflik ini sudah
berlangsung, oleh karena itu penelitian ini menggunakan data – data dokumentasi yang ada dan
dilengkapi dengan wawancara kepada narasumber yang pernah ikut dalam proses rekonsiliasi konflik
Maluku.

D. Pembahasan
Cerita sejarah menunjukan bahwa konflik Maluku tidak bisa dipungkiri lagi merupakan warisan
kolonial Belanda yang mengendap dan dapat meledak sewaktu – waktu. Kondisi perekonomian dan
perpolitikan di negri ini menjadi reaktor yang dapat meledakan potensi konflik ini sewaktu – waktu. Pada
awal meletusnya konflik Maluku 1999, keadaan ekonomi politik di Indonesia belum stabil akibat
reformasi yang terjadi pada Mei 1998. Krisis ekonomi dan perombakan dalam seluruh sistem dan budaya
birokrasi di negri ini mewarnai keadaan saat itu. Beberapa masalah yang kemudian dirumuskan menjadi
akar penyebab konflik Maluku digambarkan dalam tabel berikut.

3
Tabel 1. Dimensi Isu
Dimensi Isu Komunitas Islam Komunitas Kristen
Pekerjaan/ekonomi Muslim disisihkan Islamisasi birokrasi,
dari birokrasi Penganakemasan etnis BBM
Muslim dan usaha dagang
Politik Separatisme RMS, Penerapan piagam
mengurangi jumlah pemilih Jakarta, banyaknya
partai Islam cendekiawan muslim yang
mendapatkan jabatan
Keagamaan Oikumene, dominasi Fundamentalisme
symbol – symbol agama dan radikalisme Islam
Kristen di Kota Ambon, nasional
kebebasan praktik beragama
ditekan
Pendidikan Dianaktirikan Gerakan Islamisasi
Pemerintah
Sumber : Susan (2010:164)

Tabel diatas menunjukan bagaimana permasalahan – permasalahan paten yang menjadi akar dari
konflik Maluku. Selain permasalahan – permasalahan seperti diatas, ada juga faktor – faktor yang menjadi
penyemarak berkembangnya konflik di Maluku. Seperti norma norma adat Maluku yang sudah mulai
luntur. Maluku memiliki ikatan adat yang disebut dengan ikatan pela gadhong, atau persaudaraan antar
desa – desa di Maluku. Desa – desa yang memiliki ikatan ini tidak boleh saling menyakiti apalagi
menyerang. Akan tetapi pada saat konflik berlangsung ikatan ini juga tidak mampu menahan masyarakat
Maluku untuk tidak saling melakukan penyerangan. Hal ini sebabkan karena konflik Maluku yang terjadi
antara desa – desa Islam dan Kristen tersebut juga dilatarbelakangi oleh konflik antara pendatang yang
umumnya mereka beragama Islam dengan penduduk asli Maluku yang umumnya beragama Kristen. Bagi
para pendatang mereka merasa tidak memiliki ikatan tentang ikatan adat pela gadhong tersebut sehingga
mereka tidak mematuhi adat istiadat yang sudah lama ada di tanah Maluku tersebut.
Selain itu faktor penyemarak datang dari isu – isu yang beredar seputar bangkitnya RMS. RMS
merupakan sebuah gerakan yang menuntut kemerdekaan di Maluku. Gerakan ini diduga berada di kubu
kelompok Kristen, sementara di kubu Islam sempat datang kirimin pasukan laskar jihad dari seluruh
penjuru tanah air yang datang ke Maluku untuk membela saudara – saudara Muslim mereka.
Pengumpulan pasukan antar kedua kubu ini menambah eksplosivitas konflik Maluku semakin hari
semakin membesar. Ditambah dengan aparat penegak hukum yang kurang professional dalam menangani
konfik di Maluku. Tak sedikit dari temuan – temuan penelitian yang menyatakan kasus – kasus
penyimpangan aparat, dan keberpihakan aparat terhadap salah satu kelompok.
Memahami perjalanan panjang konflik Maluku akan mudah apabila membaginya dalam rentang
periode waktu. Tahap pertama, Periode pertama konflik Maluku terjadi sekitar Bulan Januari – April
1999. Cerita ini berawal dari kisah pelemparan ternak milik warga Desa Tawiri yang kemudian dibalas
oleh tindakan pelemparan rumah warga Desa Bak Air yang mayoritas merupakan warga Muslim. Cerita
lain berasal dari Kampung Wailete, dimana sebagian besar penduduknya adalah etnis Buton dan Bugis.
Mereka sedang mengadakan pesta perkawinan, dan salah satu anggota prajurit melanggar adat dengan
berjoget menggunakan topi. Teguran kepada prajurit ini kemudian berujung perkelahian. Desa Wailete
diserang oleh sekelompok orang yang berasal dari Desa Hative Besar (Yanuarti, 2003 :55). Satu lagi
cerita awal mula konflik Maluku 1999 yang sangat tenar dikalangan media pada saat itu. Peristiwa Hari
Raya Idul Fitri pada Januari 1999 itu menjadi gong peperangan bagi masyarakat Maluku. Bermula dari
pemalakan Nursalim, oleh Yopi Louhery, seorang supir angkot jurusan Batu merah. Kejadian ini

4
kemudian berujung pada perkelahian antar kelompok. Teriakan minta tolong Nursalim, membuat masa
Islam di Desa Batu Merah keluar, dan tidak lama kemudian puluhan rumah di wilayah Mardika sudah
habis dilalap api. Begitu juga yang dilakukan oleh masa Kristen dari Kuda mati dan Batugantung yang
kemudian keluar membawa senjata tajam dan mulai menyerang desa – desa Islam (Triyono, 2004:109).
Konflik terus meluas dan menyebar, tindakan aparat keamanan tidak dapat secara efektif
menghentikan konflik. Berdasarkan data Nurchasim dan Ratnawati (2005 : 98) yang diolah dari Harian
Kompas (1999) pada periode ini (Januari – Maret 1999) Pemerintah telah menerjunkan sekitar 5300
aparat, baik dari Brimob maupun TNI. Jumlah aparat yang sedikit ini kurang dapat membendung konflik
yang sangat impulsif. Hal ini disebabkan karena pada saat itu Pemerintah lebih berkonsentrasi untuk
mengamankan wilayah Timor – Timor menjelang jajak pendapat Agustus 1999 sehingga lebih banyak
jumlah personil yang dikirim ke Timor - Timor. Kerusuhan Yopie – Salim ini terus melebar hingga keluar
kampung Batu merah. Isu akan dibakarnya masjid Al – Fathah dan Gereja Silo membuat kedua kelompok
masa berkumpul dan bersiaga untuk menghadapi penyerangan. Memasuki pertengahan April konflik pada
periode ini mulai menunjukan intensitas menurun. Kobaran api perang sudah tidak banyak terlihat. Pada
masa ini masyarakat Maluku sedang disibukan oleh euphoria Pemilu 1999.
Pada periode kedua konflik terjadi setelah Pemilu 1999 selesai dilaksanakan. Kemenangan
mutlak PDI – P (54,29%) di Ambon tidak bisa lepas dari pengaruh mobilisasi penduduk ketika ekskalasi
konflik mulai meningkat. Ditengarai bahwa upaya untuk memenangkan PDI – P di Maluku telah
menyebabkan terusirnya warga BBM dari Maluku Tengah. Upaya kelompok Kristen untuk memperoleh
kembali posisi kunci di pemerintahan melalui PDI – P telah memunculkan kembali bibit – bibit konflik di
Maluku. Ini merupakan fase awal dimulainya periode kedua dalam perjalanan panjang konflik Maluku.
Masyarakat berjuang untuk membela agamanya masing – masing sementara di kubu aparat keamanan
yang dari awal sering diisukan terlibat dalam kerusuhan, pada masa ini semakin terlihat jelas
keterlibatanya, karena pada masa ini aparat juga telah terbagi dalam garis agama. TNI yang pada masa
Orba dekat partai – partai pemerintah dianggap lebih memihak Islam, sementara polisi dekat dengan
Kristen dengan keadaan seperti ini sudah pasti aparat keamanan tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan
baik.
Periode ketiga konflik Periode ke III ini dapat dikatakan bahwa setiap detik kejadian sudah
merupakan fase krisis. Karena pertempuran besar hampir setiap hari terjadi. Dari keseluruhan kisah
panjang konflik Maluku fase krisis dimulai pada awal Desember 1999 hingga 2004, inilah yang
merupakan puncak ekskalasi konflik. Penelitian dari Centre For Humanitarian Dialogue (2011 : 18 )
menyebutkan bahwa konflik ini mencapai puncaknya pada 26 Desember 1999 terjadi penyerangan
terhadap Gereja Silo di perkampungan Tobelo. Gereja Silo adalah gereja terbesar di tengah pusat kota di
Ambon dan habis ludes terbakar setelah perayaan Natal. Pemicunya adalah hilangnya jenazah seorang
anak Raja yang diserempat di Jalan Tamaela. Akibat kejadian ini muncul gelombang massa yang
berkumpul di depan Geraja Silo menuntut dikembalikanya jenazah anak tersebut. Massa kemudia menjadi
mengamuk tidak terkendali ketika muncul penembak misterius (sniper) dari atap – atap gedung disekitar
Gereja Silo. Masih pada hari yang sama, hampir 800 orang Muslim di desa Tobelo dibunuh oleh pihak
Kristen. Serangan itu akhirnya membuat pihak Islam dan Kristen terlibat konflik lebih jauh. Korban
masyarakat sipil semakin banyak jumlahnya, desa – desa diserang, Geraja, dan Masjid juga banyak yang
ludes terbakar.
Periode baru dalam konflik dimulai ketika laskar jihad mulai berdatangan ke Maluku. Masuknya
Laskar Jihad ke Maluku yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib dengan 10.000 pasukan menyebabkan
ketidakseimbangan kekuatan antara kelompok Islam dan Kristen. Mereka merupakan pasukan yang
memang sengaja dibentuk, dipersiapkan dengan dibekali pelatihan kemiliteran sebelumnya, dilengkapi
senjata yang lebih modern dan memiliki dukungan dana yang kuat. Hal ini tentu saja memperjelas
ketidakseimbangan antara kedua kelompok. Dengan masuknya Laskar Jihad ini, kelompok Kristen
semakin terdesak keadaan di Maluku juga semakin parah. Ditambah lagi dengan sikap aparat keamanan
yang terpancing untuk ikut melakukan pembelaan terhadap masing – masing kelompok. Munculnya RMS
akibat dari kekecewaan dengan pemerintah yang dianggap tidak mampu mengelola konflik dengan baik,
mendorong Alex Manuputty untuk mendeklarasikan berdirinya FKM (Front Kedaulatan Maluku).

5
Suasana di Maluku semakin kacau, semua maskapai penerbangan menghentikan segala aktifitasnya di
Maluku. Pihak – pihak yang berkonflik semakin banyak dengan datangnya Laskar Jihad ke Maluku.
Hingga periode krisis ini hubungan masing – masing pihak yang berperan dalam konflik Maluku dapat
digambarkan dengan bagan sebagai berikut :

Gambar 1. Pola Hubungan Konflik Maluku

LSM

Komunitas
Kristen
RMS

Laskar
Jihad

Komunitas
Pemerinta
Islam
h/TNI

Sumber : Susan (2009:164)

Serangan masih terus berlanjut, pemisahan golongan masyarakat semakin jelas, bantuan logistik
dari luar sudah tidak ada lagi yang datang untuk itu sulit bagi masyarakat sipil Maluku baik Islam maupun
Kristen memperoleh logistik sehingga semakin hari intensitas konflik semakin menurun. Momentum
penurunan intensitas akibat kekurangan logistik ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendekati
masyarakat dan menawarkan perundingan perdamaian. Februari 2001 pemerintah mempertemukan dua
kubu di Sulawesi Selatan dengan agenda untuk melaksanakan perundingan perdamaian yang
menghasilkan perjanjian Malllino II. Meskipun tidak memberhentikan sepenuhnya, akan tetapi perjanjian
ini cukup meredam konflik – konflik yang terjadi.
Suasana di Maluku berangsur – angsur tenang, kehidupan sosial ekonomi perlahan mulai berjalan
dengan masuknya berbagai elemen yang mencoba memulihkan kembali keadaan maluku. Akan tetapi hal
ini bukan berarti konflik sudah tidak terjadi, ini merupakan periode baru konflik Maluku, yaitu periode
kelima. Konflik dan aksi protes tetap masih sering terjadi tetapi intensitasnya sudah sangat menurun.
Konflik yang cukup besar pasca Mallino II ini terjadi di Desa Soya, penyerangan dari orang – orang
berseragam militer pada 28 April 2002 menyebabkan 12 orang terbunuh, rumah dan Gereja ludes
terbakar. Konflik dianggap sudah berakhir akan tetapi perdamaian yang terjalin masih sangat rapuh,
segregasi kelompok masyarakat juga masih sangat jelas. Mereka belum bisa hidup berdampingan. Jadi,
perdamaian ini sekedar menenangkan keadaan, akar rumput dari permasalahan belum mendapat
penanganan. Dominasi Muslim dalam dunia bisnis dan Kristen dalam dunia pendidikan merupakan
masalah baru yang harus segera ditangani karena memang pada kenyataanya kedua belah pihak belum
mampu hidup berdampingan.
Hingga 2011 lalu, di Maluku masih terjadi konflik antar kedua kelompok umat beragama.
Konflik pasca Mallino II ini terjadi banyak dikarenakan tiga faktor utama yaitu faktor kepentingan elit,
motivasi warga, dan faktor lingkungan yang mendorong konflik berkembang dengan subur di Maluku.
Dalam motivasi elite menyebutkan bahwa kekerasan menjadi alat untuk mencapai tujuan – tujuan politik.
Elite menekankan perbedaan agama dan ancaman (potensial) kelompok – kelompok keyakinan lain akan
memobilisasi masa dalam aksi kekerasan, seringkali untuk kepentingan diri sendiri. Dalam hal ini konflik

6
digunakan sebagai instrumental oleh sekelompok orang untuk mencapai keinginanya. Inilah yang menjadi
penyebab konflik masih muncul pasca perjanjian Mallino II dari sisi motivasi elite.
Dari sisi motivasi warga pemisahan pemukiman menyebabkan ketidakpercayaan antar warga
terus bertumbuh dikalangan masyarakatnya. Pengungsian dan segregasi masyarakat yang
berkesinambungam, dan tidak adanya rekonsiliasi tingkat lokal yang efektif mengawetkan kecurigaan
yang ada. Kondisi ini menjadikan relatif mudah bagi elite memanfaatkan ketakutan dan prasangka untuk
menyulut kekerasan. Keberadaan preman – preman yang dahulu berperang terus memelihara hubungan
erat dengan elite juga merupakan faktor penting. Kelompok – kelompok ini memanfaatkan struktur milisi
yang dimobilisasi selama kekerasan berkepanjangan. Dengan begini, tersedia kelompok orang yang
mudah dimobilisasi untuk melakukan kekerasan, apalagi jika uang ikut bermain.

Gambar 2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kerusuhan Pasca Konflik

elit

konflik

Lingk. warga

Sumber : Baron dkk (2012:40)

Dukungan diam – diam terhadap kekerasan oleh unsur – unsur aparat keamanan di Maluku pasca
konflik menyediakan lingkungan yang membantu usaha – usaha elite dalam memobilisasi pengikut untuk
melancarkan kekerasan. Oknum – oknum Polri dan TNI juga berperan dalam memulai beberapa insiden
besar kekerasan. Buruknya kapasitas aparat juga berperan. Seperti yang diungkap Najib Azca (2006)
dalam tulisanya “In Between Military and Militia : The Dynamics Of The Security Forces In The
Communal Conflict In Ambon”, Asian Journal of Social Science, mengatakan bahwa aparat keamanan di
Ambon dan Maluku Tengah terlibat dalam pemihakan selama kekerasan panjang. Dalam fase - fase awal
konflik pasukan keamanan turut meningkatkan kekerasan dengan keberpihakan personel beragama
Kristen dan Islam pada laskar seagama.
Serangkaian konflik yang terjadi di Maluku pada awal 1999 hingga 2002, dan dilanjutkan aksi
kekerasan – kekerasan pasca perjanjian Mallino II yang dianggap sebagai perjanjian akhir perdamaian
antara kedua belah pihak menyisakan banyak kisah – kisah miris.
Gambar 3. Piramida Dampak Konflik Maluku
korban jiwa/luka

Kerugian Materi : kerusakan


infrastruktur, bangunan,
lingkungan hidup, sumber
daya ekonomi.

Gangguan Sosial : terganggunya aktivitas


sehari – hari, pengangguran, timbulnya
kelompok masyarakat baru seperti anak
jalanan, anak yatim, pengungsi, janda.

Gangguan Psikologis : dialami oleh seluruh korban.


Munculnya perasaan – perasaan seperti rasa tak berdaya,
sedih, bersalah, stress.

Sumber : Yanuarti, 2005 : 57

7
Dari piramida tersebut diketahui bahwa sebenarnya korban non – fisik memiliki jumlah yang
lebih besar dibandingkan dengan jumlah korban fisik. Diperlukan sebuah metode berkelanjutan untuk
mengembalikan keadaan sosial masyarakat Maluku yang sudah banyak dipaksa berubah oleh konflik.
Akan tetapi untuk memulai memperbaiki keadaan sosial masyarakat, terlebih dahulu dampak – dampak
fisik konflik harus direkonsiliasi terlebih dahulu.
Proses konflik sosial di Ambon melibatkan seluruh aspek masyarakat. Penyelesaian yang
dilakukan sebelum Mallino II selalu bersifat reaktif dan belum menggunakan rencana jangka panjang.
Dari awal pecahnya konflik Maluku, sudah banyak organisasi – organisasi non – pemerintah yang
berdatangan untuk sekedar memberikan bantuan atau ada juga yang datang dengan membawa misi
perdamaian. Kerjasama pada berbagai elemen yang ada di masyarakat menjadi sebuah hal yang sangat
penting khususnya ketika negara sudah tidak mampu lagi berbuat banyak untuk menyelesaikan konflik.
Pihak pemerintah melakukan penanganan dengan cara mempersiapkan aparat keamanan dalam
jumlah banyak. Gubernur Maluku telah membentuk sebuah tim yang terdiri dari gabungan para pemuka
Agama, Islam, Kristen, dan Katholik. Mereka ditugaskan untuk membangun kerukunan antar umat
beragama dan mencegah terjadinya konflik. Akan tetapi hal ini tidak berjalan efektif, karena pembelaan
atas identitas kelompok masing – masing yang masih melekat kuat dalam pikiran para pemuka agama
tersebut. Ketidakseriusan para pemimpin agama ini menjadi kendala, bahkan mereka diduga terlibat
dalam konflik.
Cara lain ditempuh dengan menggunakan pendekatan adat. Pendekatan ini berupaya untuk
menghidupkan kembali jalinan persaudaraan dan persatuan diantara masyarakat Maluku. Kegiatan ini
banyak didukung oleh pemerintah dan LSM lokal. Salah satunya ada kegiatan panas pela yang dilakukan
di Maluku tengah. Hal ini dilakukan dengan memperkenalkan adat pela gadhong kepada sejumlah
pemuda dan aktivis. Tujuan dari kegiatan panas pela ini adalah menghidupkan kembali budaya pela
gadhong pada desa – desa yang memiliki ikatan pela. Pada tahun 2007 dibentuk sebuah forum Raja –
Raja adat yang kemudian mencetuskan Majelis Latupati Maluku (MLM). Majelis Latupati Maluku dilihat
sebagai bentuk pengakuan kembali peran Raja dalam masyarakat. Raja adat disini memainkan peran
sebagai mediator menyelesaikan konflik antar masyrakat yang berbeda mengingat masih besarnya
pengaruh mereka untuk masyarakat Maluku.
LSM juga muncul sebagai mitra bagi Pemerintah untuk membangun kembali Maluku. Baik LSM
asing maupun lokal berdatangan ke Maluku untuk ikut membantu proses rekonsiliasi. Konflik telah
menarik LSM asing untuk memberikan bantuan ke Maluku, kehadiran LSM asing ini membuka peluang
bagi LSM lokal sebagai pelaksana agenda – agenda dari LSM asing dan membuka peluang besar bagi
LSM untuk mendapatkan dana dari para donor. Hal ini didorong oleh peraturan yang berlaku saat itu
bahwa LSM menjadi prasyarat penyaluran dana proyek. Mereka berperan sebagai penyalur bantuan dan
membantu pemulangan serta pemulihan pengungsi dengan sumber dana dari asing. Pasca Mallino II,
ketika kontak fisik tidak lagi terjadi, fokus LSM berubah menjadi pemberdayaan dan pembangunan. LSM
lokal yang masih aktif antara lain, yayasan Hualopu, YPPM (Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan
Masyarakat). Sementara di wilayah Maluku Lembaga Maritim Indonesia Timur (Lemritindo), Yayasan
Sanro, Bina Indonesia Timur (Bintim), Lammut (Lembaga Advokasi Masyarakat Maluku Utara), Lappan
(Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak), dan beberapa LSM lainya (Yanuarti, 2005 : 180). LSM
– LSM ini bergerak dalam bidang yang berbeda – beda sesuai dengan visi misinya masing – masing.
Misalnya LSM Salon, LSM ini bergerak di bidang konsep, LSM ini lebih sering mengadakan pelatihan
dan seminar dan beberapa LSM asing seperti UNDP, MSF dan ICRC.
Pendekatan agama sudah sering diterapkan pada masyarakat Maluku, jauh sebelum konflik ini
berkembang menjadi sebuah konflik besar yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Pada awal terjadinya
ekskalasi konflik periode pertama, pihak Kristen telah membentuk Tim Pengacara Gereja Sinode yang
tugasnya melakukan pencatatan dan pemantauan terhadap para pengungsi. Upaya lain diadakan pada
tanggal 20 – 22 November 2001, dengan menggelar acara perkabungan dan doa bersama untuk
menumbuhkan kesadaran warga akan banyaknya korban jiwa yang sudah berjatuhan. Acara dilakukan di
gereja – gereja, rumah, bahkan jalan raya. Namun hal ini sempat diartikan lain oleh kelompok Islam,
mereka mengartikan kegiatan ini sebagai bentuk provokasi (Yanuarti dkk, 2001 : 129). MUI cabang

8
Ambon berperan aktif dalam upaya rekonsiliasi, antara lain melalui keikutsertaan MUI dalam deklarasi
yang intinya berupaya untuk menghentikan kerusuhan. MUI cabang Ambon pernah meminta Laskar Jihad
untuk ditarik keluar dari Ambon. Selain itu mereka juga pernah mengupayakan kerja sama dengan GPM
(Gereja Protestan Maluku) dan upaya ini mendapatkan kecaman keras dari pihak Islam fundamentalis.
Upaya yang dilakukan oleh pihak Islam adalah dengan membentuk BIMM (Badan Imarah Muslim
Maluku) yang dipimpin oleh Ustadz Ali Fauzi. BIMM merupakan upaya untuk menyatukan suara semua
komunitas Muslim Maluku. Hal ini dilakukan dengan tujuan merekonsiliasi intern Islam. Namun BIMM
memiliki tujuan lain yaitu membasmi RMS, sedangkan pembahasan upaya perdamaian dengan pihak
Kristen sama sekali tidak dibahas.
Pendekatan lain yang pernah diterapkan pada saat proses rekonsiliasi konflik Maluku adalah
pendekatan yang berbasis pada masyarakat lokal. Gerakan yang menjangkau hingga pada tataran akar
rumput masyarakat ini banyak diprakarsai oleh LSM dengan tokoh masyarakat setempat, salah satunya
adalah gerakan Baku Bae. Gerakan Baku Bae merupakan gerakan masyarakat sipil yang berperan aktif
dalam upaya penghentian konflik Maluku. Gerakan lain yang diprakarsai oleh masyarakat lokal yang
peduli terhadap korban – korban konflik adalah Jaringan Pendidikan Anak (JPA). Gerakan ini dimotori
oleh kaum wanita dari masing - masing kelompok agama. GPP ( Gerakan Perempuan Peduli) yang
merupakan sebuah organisasi perempuan Kristen membuka diri dan merekrut kaum perempuan Islam
untuk bekerjasama dalam proses penyebaran informasi, konseling, dan pelatihan bagi ibu – ibu dan kaum
muda. Seperti halnya Baku Bae, kelompok ini melakukan proses rekruitmen secara diam – diam
mengingat pada saat itu keadaan sangat tidak kondusif. Kaum perempuan ini sangat menyadari
pentingnya jalur komunikasi internal antara kedua kelompok untuk menghindari provokasi dari pihak
luar. Perempuan – perempuan ini terus melakukan aksinya dengan sosialisasi penghentian konflik, dan
melakukan aksi demonstrasi kepada Gubernur Maluku untuk secara tegas memulangkan Laskar jihad.

E. Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai konflik Maluku ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
1. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi konflik antar etnis di Maluku yaitu: (a) faktor
ekonomi, (b) faktor permasalahan politik terkait dengan penguasaan struktur birokrasi pemerintah
setempat. (c) Melemahnya sistem adat pela gadhong, (d) adanya isu RMS dan Separatisme Maluku
menjadi faktor penyemarak ditengah kobaran konflik Maluku. Konflik ini menjadi berkepanjangan ketika
upaya penanganan tidak serius dilakukan, dan ada dukungan dari elit yang berkuasa, masyarakat, dan
lingkungan yang memang berpotensi untuk berkembangnya konflik.
2. Terdapat bermacam – macam bentuk konflik. Dilihat dari pihak – pihak yang berkonflik yaitu
penduduk asli Maluku (Kristen) dan penduduk pendatang (Islam), konflik Maluku ini termasuk dalam
kategori konflik rasial.
3. Sejak awal upaya penanganan konflik tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah, berbagai
lembaga berupaya membantu dalam proses penanganan konflik antara LSM, lembaga adat, tokoh dan
lembaga agama dan yang terakhir adalah inisiatif dari masyarakat setempat yang dinamakan gerakan akar
rumput.

F. Rekomendasi
1. Membangun Sistem Kewaspadaan Dini (Early Warning)
(a). Optimalisasi fungsi intelejen dan aparat di tingkat lokal. Secara rutin mengadakan
pemantauan lapangan untuk mengetahui pergerakan sosial masyarakat sehingga dapat membaca dan
mengantisipasi ketika ada gejala – gejala yang berpotensi menimbulkan konflik.
(b). Mengembangkan sistem jaringan informasi yang tersebar di seluruh wilayah hingga
menjangkau lapisan bawah masyarakat sehingga dapat terkumpul informasi yang relevan dan dibutuhkan
dalam mengambil suatu langkah kebijakan penanganan konflik secara lebih dini.
2. Penanganan Basis Sosial Kekerasan

9
(a). Sering diadakan kegiatan yang mempertemukan kedua kelompok, sehingga komunikasi yang
efektif antar keduanya dapat terbangun. Misalnya kegiatan adat yang tidak memandang dari agama apa
mereka berasal.
(c). Berusaha memutus identitas komunal salah satunya dari sekat – sekat politis. Di Maluku,
usaha membagi – bagi pekerjaan dan sumber daya antara berbagai kelompok menjadi pertarungan kalah
menang yang makin menajamkan ketegangan lokal dan garis perbedaan antara kedua kelompok. Elit akan
mengembangkan hubungan patron-klien yang telah tercipta guna memelihara basis dukungan mereka
yang biasanya dilakukan dengan menyentuh unsur – unsur keagamaan. Dalam jangka pendek perlu sering
dilakukan diskusi membahas permasalahan ini dengan para elit politik, tokoh agama, dan kelompok
masyarakat sipil di Maluku.
(d). Perlu ditingkatkan minat investasi bidang swasta sehingga tersedia banyak lapangan kerja
dan masyarakat tidak hanya terpancang pada lapangan kerja sektor pemerintah.
(e). Truma Healing, langkah ini penting dilakukan untuk proses penyelesaian konflik jangka
panjang. Dimana rasa dendam dan benci akibat melihat tindak kekerasan yang dilakukan oleh lawan
dapat menjadi pemicu konflik di kemudian hari.
3. Profesionalisasi Aparat Keamanan
(a). Transparansi dalam mengumumkan hasil penyelidikan aparat. Hal ini akan mengembalikan
kepercayaan masyarakat dan membangun dukungan masyarakat kepada aparat penegak hukum.
(b). Tegas terhadap kelompok – kelompok (laskar) yang sering menggunakan kekerasan dalam
mencapai tujuan mereka.
(c) Di sisi lain perlu dibentuk sebuah lembaga independen yang memantau kualitas kinerja polisi,
pemeriksaan di pengadilan negeri untuk polisi yang melanggar hukum.
4. Penegakan Hukum
(a). Pemberian kepastian hukum.
Hak dan kewajiban masing – masing pihak harus dipastikan dengan jelas. Terlebih untuk
menangani kasus – kasus mengenai sengketa lahan yang marak pasca konflik.
(b). Pengusutan terhadap pelaku kekerasan dan pengrusakan.
Tidak adanya pengusutan terhadap pelaku kekerasan membentuk sebuah persepsi kebal hukum
atas perusuh – perusuh di Maluku. Pada akhirnya hal ini akan mempersulit rekonsiliasi dan menghasilkan
lingkungan yang rawan konflik.

10
G. Daftar Pustaka
Buchanan, Cate. 2011. Pengelolaan Konflik Di Indonesia - Sebuah Anlisis Konflik Di Maluku, Papua,
dan Poso. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Centre For Humanitarian Dialogue

Habib, Achmad. 2004. Konflik Antaretnik Di Pedesaan. Pasang Surut Hubungan Cina – Jawa.
Yogyakarta : LKiS Pelangi Aksara

Hadi, Syamsul, dkk. 2006. Disintegrasi Pasca Orde Baru, Negara, Konflik Lokal dan Dinamika
Internasional. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Ierawati, Awani, dkk. 2004. Kerusuhan Sosial di Indonesia Studi Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas.
Jakarta : Grasindo

Ismail, Nawari, dan Muhaimin AG. 2011. Konflik Umat Beragama dan Budaya Lokal.Bandung : Lubuk
Agung

Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer.
Jakarta : Raja Grafindo Persada

Pieris, John. 2004. Tragedi Maluku, Sebuah Krisis Peradaban. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Triyono, Lambang, dkk. 2004. Potret Retak Nusantara. Yogyakarta : Centre Studies Peace and Security
(CSPS) Universitas Gajah Mada

11

Anda mungkin juga menyukai