Anda di halaman 1dari 11

ETNISITAS, MULTIKULTURALISME DAN PERUBAHAN SOSIAL

VII. MODEL, PARADIGMA DAN FAKTOR PENYEBAB SERTA INSTRUMEN


RESOLUSI KONFLIK VERTIKAL HORIZONTAL.

A. KONFLIK DAN TEORI KONFLIK.

1) Konflik. Merupakan suatu proses sosial antara dua individu atau kelompok sosial
dimana masing-masing pihak berusaha untuk menyingkirkan pihak lain demi mencapai
tujuannya dengan cara memberikan perlawanan yang disertai dengan ancaman dan
kekerasan. Istilah “konflik” berasal dari bahasa Inggris, yaitu “conflict” yang artinya
pertentangan atau perselisihan. Konflik adalah proses disosiatif dalam interaksi sosial
yang terjadi ketika semua pihak dalam masyarakat ingin mencapai tujuannya dalam
waktu bersamaan. Kehidupan dan perkembangan manusia tidak pernah terlepas dari
konflik yang merupakan esensi dari karakteristik manusia yang beragam. Selama masih
ada perbedaan antar manusia, baik dari jenis kelamin, status sosial dan ekonomi,
perbedaan bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran politik, serta budaya dan tujuan
hidupnya, maka konflik tidak dapat dihindari.

Toynbee (1889-1975), mengatakan bahwa awal perbedaan dan konflik kelas itu
sendiri tumbuh dari benih-benih penciptaan metalurgi. Berkaitan dengan persoalan-
persoalan perubahan teknologi baru yang mempengaruhi timbulnya konflik. Di Indonesia
menimbulkan kekhawatiran dan memprihatinkan pada tahun-tahun antara 1997 dan 2002,
setidaknya 10.000 orang terbunuh dalam kekerasan etnis di seluruh nusantara akibat
konflik. Menurut Lombard (2014) bahwasanya di Indonesia sendiri sudah banyak
persilangan suku, namun sering sekali konflik yang mengatasnamakan suku, bahkan di
Indonesia sendiri tidak adanya lembaga yang mengatur suatu suku tertentu. Mengutip
dari Joesoef (2014) bahwasanya apabila konflik dihentikan secara militer, seperti pada
mei 1961 konflik sudah terhenti, namun luka itu masih membekas, dan itu ditularkan
kepada anak cucu, sehingga akan terus memiliki dendam dengan pemerintahan.
2

Lombard (2014) adalah dengan mengkomersialisasikan kesenian, yang mana pada


awalnya mendapat penolakan dari masyarakat daerah terhadap pemerintah. Apabila
segala sesuatu hal sudah menjadi capital maka akan menjadikan suatu konflik terjadi.
Sumber daya alam yang terkandung dalam suatu negara akan beresiko menimbulkan
konflik seperti yang terjadi di Aceh 1975-2005 (Le Billon, 2017). Bagi Joesoef (2014),
salah satu upaya untuk tidak menimbulkan konflik yaitu dengan menghadirkan
komunitas.

2) Teori Konflik.

a) Teori konflik menurut Karl Marx terjadi karena adanya pemisahan kelas
di dalam masyarakat, kelas sosial tersebut antara kaum borjuis dan kaum proletar,
dimana kaum borjuis yang mempunyai modal atas kepemilikkan sarana-sarana
produksi sehingga dapat menimbulkan pemisahan kelas dalam masyarakat. Karl
Marx menunjukkan bahwa dalam masyarakat pada abad ke-19 di Eropa terdiri
dari kelas pemilik modal (kaum borjuis) dan kelas pekerja miskin (kaum proletar).
Kedua kelas tersebut tentunya berada dalam struktur sosial hierarki yang jelas
sekali perbedaannya. Dengan jahatnya kaum borjuis kepada kaum proletar maka
kaum borjuis memanfaatkan tenaga dari kaum proletar. Kaum borjuis melakukan
eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi, keadaan seperti ini
akan terus berjalan selama beriringnya waktu, karena kaum proletar yang pasrah,
menerima keadaan yang sudah ada, kaum proletar menganggap bahwa dirinya itu
sudah takdirnya menjadi buruh atau kaum pekerja. Dari ketegangan hubungan
antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial
besar yang disebut revolusi, hal ini bisa terjadi karena adanya kesadaran dari
kaum proletar yang dieksploitasi kepada kaum borjuis, dari kesadaran tersebut
menjadikan persaingan yang merebutkan kekuasaan, sehingga lahir tatanan kelas
masyarakat pemenang yang kemudian mampu membentuk tatanan ekonomi dan
peradaban yang maju dalam masyarakat.

b) Teori konflik menurut Dahrendorf dalam setiap kelompok seseorang


berada dalam posisi dominan berupaya mempertahankan status quo yang berarti
orang tersebut mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti keadaan
3

sebelumnya. Sedangkan masyarakat yang dalam posisi marginal atau kaum yang
terpinggirkan berusaha mengadakan perubahan. Konflik dapat merupakan proses
penyatuan dan pemeliharaan stuktur sosial. Jadi tidak selamanya konflik itu
bersifat negatif ada juga segi positifnya. Konflik dapat saling menjaga garis batas
antara dua atau lebih kelompok, konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat
kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak terpecah ke dalam
dunia sosial sekelilingnya. Misalnya perang yang terjadi di Timur Tengah antara
Saudi Arabia dan Israel yang telah memperkuat identitas kelompok masing-
masing negara.

c) Teori konflik menurut Lewis A. Coser dibagi menjadi dua, yang pertama
konflik realistis dan konflik non realistis. Konflik realistis berasal dari
kekecewaan terhadap adanya tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam
hubungan yang ditujukan kepada obyek yang dianggap mengecewakan.
Contohnya seperti para karyawan perusahaan yang melakukan mogok kerja
supaya gaji mereka dapat dinaikkan oleh atasannya. Sedangkan konflik non
realistis berasal dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan yang paling tidak
dari salah satu pihak. Contohnya pada masyarakat yang buta huruf yang dalam
membalaskan dendamnya dengan pergi ke dukun santet supaya dendam-
dendamnya terbayarkan, sedangkan pada masyarakat maju yang melakukan
pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan untuk melawan
kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.

d) Teori konflik menurut Joel A. Digirolamo adalah poses yang dimulai


ketika individu atau kelompok merasakan perbedaan dan pertentangan antara
dirinya dan individu atau kelompok lain tentang kepentingan dan sumber daya,
keyakinan, nilai, atau praktik-praktik yang penting bagi mereka. Konflik
menyatakan perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok.
Perbedaan atau pertentangan sering kali bisa terjadi karena perbedaan pendapat,
hal ini dikatakan konflik non fisik atau lisan tanpa adanya kekerasan, Namun bisa
juga, dari konflik non fisik atau lisan bisa berkembang menjadi benturan fisik
dengan kekerasan.
4

3) Jenis Konflik. Menurut jenisnya, konflik dapat dibedakan berdasarkan posisi


pelaku konflik yang berkonflik, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal.

a) Konflik Vertikal, adalah konflik antar komponen masyarakat di dalam satu


struktur yang memiliki hierarki, misalnya adalah yang terjadi antara elite dan
massa (rakyat). Elit yang dimaksud adalah aparat militer, pusat pemerintah atau
kelompok bisnis. Hal yang menonjol dalam konflik vertikal adalah terjadinya
kekerasan yang biasa dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat. Sejalan dengan
perspektif Marxis, adanya konflik kelas antara bangsawan dan rakyat biasa
menjadi salah satu penyebab. Ketidakadilan kelas tersebut menimbulkan
kebencian dari rakyat biasa terhadap pemerintah yang cenderung merangkul kaum
bangsawan dalam praktek sosial. Bentuk konflik dapat berupa aksi mogok,
boikot, unjuk rasa, kerusuhan, anarkisme, gerakan separatis terhadap kekuasaan
negara. Sebagai contohnya, konflik antara GAM dan Pemerintah Republik
Indonesia yang merupakan wujud dari rasa ketidakadilan antara kenyataan dengan
pengharapan di berbagai bidang khususnya bidang pembangunan. GAM lahir
karena kebijakan pemerintah RI saat itu yang dinilai sentralistik. Hal ini
membawa dampak pada kemiskinan, kebodohan, dan tingkat keselamatan
masyarakat yang rendah. Yang menjadikan ini sebagai konflik vertical adalah
karena pemerintah pusat menjalankan berbagai operasi baik secara politik
maupun militeristik untuk menumpas gerakan ini.

b) Konflik Horizontal, adalah konflik antar individu atau kelompok yang


memiliki kedudukan yang sama, yaitu terjadi dikalangan massa atau rakyat
sendiri. Bentuk konflik disebabkan karena isu SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antar Golongan), yang diwujudkan dalam bentuk pertikaian antar kelompok,
anarkisme, dan tawuran. Sebagai contohnya, Tragedi Ambon – Maluku Berdarah
(1999 - 2002).Konflik yang berdasarkan atas identitas agama yaitu Islam dengan
Kristen, tercatat 5.000 nyawa menjadi korban. Agama yang berkembang di
Indonesia mempunyai karakteristik dan ciri khasnya tersendiri. Terutama dalam
sistem sosial masyarakat, dimana pada dasarnya adat istiadat serta norma–norma
dalam masyarakat merupakan produk dari agama. Agama menjadi propaganda
5

paling murah dan efektif disepanjang sejarah bunuh membunuh manusia.


Berdasarkan hal tersebut, maka tidak jarang kalau akhirnya timbul konflik dalam
masyarakat yang dibungkus dengan alasan diferensiasi agama. Konflik ini timbul
karena perbedaan ajaran dan nilai dari masing-masing agama. Konflik yg terjadi
di Ambon ini bermula dari konflik biasa dari kedua orang yang kebetulan berbeda
agama kmudian berkembang menjadi Konflik Agama Islam dan Kristen.

B. RESOLUSI KONFLIK VERTIKAL HORIZONTAL.

Dalam menyelesaikan suatu konflik, menurut Kimmel (2006) : menggunakan


istilah "mikrokultur" untuk merujuk pada komunitas dalam arti, norma komunikasi, dan
perilaku; persepsi dan harapan bersama; peran dan hubungan yang dapat berkembang di
antara individu dari latar belakang budaya yang berbeda saat mereka berinteraksi dari
waktu ke waktu. Hal senada apabila dibenturkan dengan apa yang dikatakan oleh tokoh
fenomenologi Carl Schmitt (dalam Ito 2013), maka manusia secara persepsi akan berbeda
karena memang tergantung dari intensionalitasnya atas objek, sehingga menurut aliran
ini, maka perbedaan tidak dapat dipisahkan.

Resolusi konflik sebagai kajian keilmuan, merupakan hal yang bisa dikatakan
baru. Pada awalnya disetiap konflik terjadi dalam suatu masyarakat selalu cenderung
berujung pada kekerasan antar pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Oleh karena itu,
resolusi konflik merupakan kajian keilmuan yang baru. Menurut Morton Deutsch resolusi
konflik merupakan sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam
memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi terjadinya konflik, kemudian membuat
resolusi terhadap konflik. Prof. Dr. Alo Liliweri berpendapat bahwa resolusi konflik
bertujuan menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang
relatif dapat bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.

Jadi resolusi konflik adalah tentang bagaimana menghadapi konflik, bagaimana


menyelesaikannya, bagaimana mengatasinya, bagaimana mengelolanya dan mungkin
bagaimana menghilangkan konflik. Resolusi konflik merupakan istilah yang lebih
komprehensif yang menyiratkan bahwa akar terdalam yang merupakan sumber dari
konflik adalah ditangani dan diubah. Hal ini berarti bahwa perilaku kekerasan tidak lagi,
6

sikap bermusuhan tidak lagi dan struktur konflik telah berubah menuju arah perubahan
dan penyelesain konflik dengan baik.

1) Resolusi Konflik David Myers (2007). Dikemukakan oleh David Myers dalam
bukunya exploring social psychology, yakni :

a) Regulation : perlu ada sebuah tatanan cara bermain yang adil bagi
kelompok atau pihak manapun. Selain itu ketegasan terhadap pelanggaran oleh
pihak manapun akan mengurangi terjadinya konflik. Oleh karena itu perangkat
hukum yang digunakan harus independen dan tidak berorientasi pada pihak yang
sekarang berkuasa. Pada saat sebuah pelanggaran dibiarkan atau tidak ada
penyelesaian yang tegas (probability of resolution discontent), maka konflik akan
semakin besar.

b) Small is beautiful : Dalam kelompok yang kecil masing-masing anggota


kelompok lebih responsible, effective dan identified with group success. Selain itu
akan semakin meningkatkan pula kerjasama diantara mereka. Klandermans(2005)
mengatakan bahwa seseorang dalam satu kelompok memiliki tujuan yang sama,
memiliki rasa, dan aman. Oleh karena itu pemampatan jumlah pihak yang terlibat
diharapkan juga tidak menimbulkan “rasa lebih” dari para anggotanya, sehingga
membuat mereka merasa memiliki peluang yang sama, walaupun secara realitas
tidaklah demikian.

c) Communication : Komunikasi merupakan kesempatan untuk saling


bertukar informasi dan perasaan. Jadi hilangnya atau terhambatanya komunikasi
akan menumbuhkan mistrust diantara kelompok atau pihak yang ada. Padahal
rasa percaya satu dengan yang lain menjadi sebuah dasar munculnya interaksi
yang berkelanjutan. Selain itu komunikasi akan memudahkan terjadinya
agreement dari masing-masing pihak yang saling berkonflik.

d) Changing the Payoffs : Pembalikan manfaat akan sebuah kejadian akan


sangat penting untuk mengurangi konflik, utamanya memberikan rewards adanya
kerjasama dan punishment dari adanya eksploitasi yang mengarah kepada konflik.
7

Teori psikologi reward punishment dari Teori Skinner (dalam Alwisol, 2016)
mengenai Operant Conditioning Technques.

e) Appeals to Altruistic Norms : Perlunya para pemimpin kelompok melihat


sebuah perilaku dari anggotanya yang fanatis dengan mengarahkan pada
keinginan untuk bekerjasama dengan parpol, bukan malah memprovokasi untuk
berkonflik. Karena pemimpin sangat menentukan massa di level grass root ini
akan diarahkan kemana. Perlunya melihat fanatis untuk disikapi dengan
mengarahkan pada keinginan untuk bekerjasama. Jika kita teringat pada saat
penerapan undang-undang pokok agraria, Partai Komunis mendapat kritikan
untuk mendidik, mengarahkan kadernya agar tidak terjadinya konflik di kalangan
bawah masyarakat. Jika kita teringat dengan pembukaan UUD yang berbunyi
bahwa ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.

2) Pendekatan Resolusi dan Pengelolaan Konflik menurut Moore (dalam Hadi,


2006).
8

Terdapat banyak model penyelesaian konflik secara teoretis, akan tetapi


ada beberapa model yang berhubungan dengan table diatas adalah sebagai
berikut:

a) Model penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk


bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui sumber-sumber
konflik : apakah konflik data, relasi, nilai, struktural, kepentingan dan lain
sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan
konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar masing-masing
sehingga menurut model ini, tidak ada cara penyelesaian konflik yang tunggal.

b) Model Boulding. Model ini menawarkan metode mengakhiri konflik


dengan tiga cara, yakni menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai
prosedur. Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai
jawaban terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat
sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik.
Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan strategi
perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi
atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat mengakhiri
konflik.

c) Model pluralisme budaya. Model ini dapat membantu untuk melakukan


resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi
tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan
yang baru masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain
9

asimilasi, faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah


akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau lebih yang mengalami
konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, dan perubahan
penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama.

d) Model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk,
yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model penyelesaian
konflik dengan cara paksaan, di mana masingmasing pihak dipaksa untuk
mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil
pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga
harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Sementara itu, mediasi berarti pihak
ketiga hanya berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi
dalam masyarakat.

3) Teori Resolusi Konflik.

a) Negoisasi. Secara etimologi, negosiasi berasal dari bahasa Inggris ialah


negosiation artinya suatu perundingan untuk mendapatkan suatu kesepakatan.
Negosiasi adalah proses peundingan dua pihak yang bertikai baik sifatnya
individual maupun kelompok untuk mencari solusi penyelesaian bersama yang
saling menguntungkan. Negoisasi merupakan hal yang bisa dilakukan dalam
penyelesaian sengketa/konflik. Negoisasi merupakan komunikasi dua arah ketika
masing-masing pihak berharap ingin menyelesaikan sengketa/konflik. Cara
melakukan negoisasi tiap orang atau kelompok berbeda-beda, hal ini dipengaruhi
oleh latar belakang pengalaman budaya dan pendidikan, sifat dan karakter.
Menurut Suyud Margono, Negoisasi adalah: “Komunikasi dua arah yang
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda”. Gary Goodpalter
menyatakan bahwa negoisasi adalah “Proses upaya untuk mencapai kesepakatan
dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan
keanekaragaman”. Menurut Prof. Dr.Syahrizal Abbas negosiasi adalah salah satu
strategi penyelesaian sengketa dimana para pihak setuju untuk menyelesaikan
persoalan mereka melalui proses musyawarah dan perundingan. Dengan kata lain,
10

negosiasi adalah suatu proses struktur dimana para pihak yang bersengketa
berbicara sesama mereka mengenai persoalan yang dipeselisihkan dalam rangka
mencapai persetujuan atau kesepakatan bersama.

b) Mediasi. Mediasi artinya menengahi. Dalam kamus besar bahasa


indonesia (KBBI) mediasi berarti suatu proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam
penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat. Penyelesaian sengketa dengan
mediasi pada saat ini hanya dibatasi hanya untuk sengketa dibidang keperdataan
saja. Hal ini dikarenakan adanya pendapat/pandangan bahwa sengketa atau
konflik tidak merugikan masyarakat secara umum. Mediasi merupakan sebuah
proses dimana pihak-pihak yang bertikai dengan bantuan dari seorang praktisi
resolusi pertikaian. Metode pemecahan konflik dengan cara menengahi para
kelompok yang saling terlibat konflik melalui bantuan pihak ketiga. Pelaku
mediasi yang bertugas sebagai penengah disebut dengan mediator yang bertugas
menjelaskan proses dan membantu kedua belah pihak untuk menyelesaikan
konflik dengan tahapan-tahapan mediasi yang telah disiapkan.

c) Konsiliasi. Penyelesaian sengketa dengan konsiliasi apabila dengan cara


mediasi tidak mendapatkan hasil yang baik. Dalam konsiliasi para pihak yang
bersengketa/berkonflik menunjuk mediator (konsiliator) untuk menjadi penengah.
Bedanya mediator dalam proses mediasi adalah kalau mediator dalam proses
mediasi tidak memeiliki kewenangan untuk memaksa para pihak yang
bersengketa. pada proses konsiliasi mediator, mediator memiliki kewenangan
untuk memaksa para pihak untuk mengikuti aturan yang telah diputuskan oleh
pihak ketiga.

d) Arbitrase. Arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999


tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelsaian Sengketa. Pasal 1 angka 8 UU No.30
tahun 1999 memberikan definisi mengenai arbitrase yaitu “Badan yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Menurut
definisi di atas, lembaga arbitrase dapat diartikan sebagai lembaga penyelsaian
11

sengketa bagi para pihak yang bersengketa. Lembaga ini dimaksudkan agar setiap
sengketa yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan secara tetap dan memiliki
kekuatan hukum sehingga kepentingan masing-masing pihak terlindungi.

Melihat konflik dengan kaca mata Marxisme yang mengatakan bahwa konflik
akibat terjadinya pembagian kelas di kalangan masyarakat. Tesis Marx yang mengatakan
bahwa yang dapat menumbangkan ini apabila terjadinya sistem Komunisme, sehingga
satu-satunya jalan untuk menghindarkan konflik antar kelas dengan cara merevolusi
sistem yang ada sekarang ini, dimana Kapitalisme sebagai sistem yang membelenggu
masyarakat. Menurut Daud Joesof (2014), dengan cara melibatkatkan partisapasi rakyat
indonesia dalam segala lini, memanusiakan manusia, sehingga masyarakat akan merasa
“di uwongke”. Konflik tidak dapat dihindari, maka harus diselesaikan secara bijak
menggunakan pendekatan resolusi konflik. Konflik yang dilatarbelakangi perjuangan
mempertahankan harga diri, atas nama etnis, agama, suku atau adat istiadat, Negara harus
mengantisipasi, dengan kebijakan yang taat pada asas keadilan hukum tanpa diskriminasi.
Kebijakan atau penegakan hukum yang diskriminatif terhadap komunitas masyarakat
tertentu secara tidak langsung akan merendahkan diri mereka sehingga muncul
perlawanan. Perjuangan mempertahankan harga diri tidak mengenal kuat atau lemah
secara fisik atau secara jumlah. Bagi komunitas jumlah sedikit yang harga dirinya telah
dijatuhkan oleh kelompok laim, perlawanan adalah bukti eksistensi, bahwa mereka masih
memiliki harga diri. Namun akibat dari konflik tetap saja kerusakan bagi banyak orang.

Anda mungkin juga menyukai