Anda di halaman 1dari 19

Tokoh utama dalam teori konflik ini ialah Ralf Dahrendorf.

Beliau mengatakan bahwa


masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang
terus menerus diantara unsure-unsurnya, kemudian setiap elemen atau institusi memberikan
sumbangan terhadap disentegrasi sosial, dan yang terakhir teori konflik menilai keteraturan yang
terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan
kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan
posisi, yang keduanya merupakan fakta sosial.
Sedangkan menurut Lewis A Coser (Poloma, 1987:115 dan Turner, 1986:165). Menurut Coser,
konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negative. Fungsional secara positif
apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat negative apabila
bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan system nilai yang ada dalam masyarakat,
konflik bersifat fungsional negative apabila menyerang suatu nilai inti. Dalam hal konflik antara
suatu kelompok dengan kelompok lain, konflik dapat bersifat fungsional positif karena akan
membantu pemantapan batas-batas structural dan mempertinggi interaksi dalam kelompok.
Masalah konflik atau terhambatnya proses integrasi sosial antara transmigran (madura) dengan
penduduk asli (dayak) seringkali juga didasari oleh perbedaan atau pertentangan nilai. Selain itu,
perbedaan nilai yang menyangkut unsure budaya fisik juga dapat menyulut terjadinya konflik
yang bersifat destruktif atau fungsional negative terhadap integrasi sosial. Apalagi apabila
kemudian disadari bahwa diantara kedua belah pihak terdapat juga pertentangan kepentingan
sehingga masing-masing pihak berposisi sebagai kelompok kepentingan terhadap yang lain.
Yekni Maunati, dalam Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, mengemukakan
bahwa Orang Dayak adalah masyarakat yang defensif dan tidak reaktif. Banyak orang bilang
bahwa etnis ini adalah etnis yang penyabar dan jarang marah. Etnis Dayak punya sistem
hubungan yang cukup baik dengan etnis lain seperti saling menghormati dan sangat percaya atas
apa yang dilakukan orang pada dirinya. Namun kepercayaan mereka bukannya tanpa balasan
artinya mereka bisa sangat kecewa jika dibohongi atau dikecewakan. Mereka bisa sangat baik
dan menghamba jika di perlakukan baik namun akan sangat marah jika dikecewakan atau
dibohongi. Perbedaan budaya pada dua komunitas ini melahirkan perbedaan pemaknaan tentang
kehidupan masing masiang . Etnis Dayak menyatakan bahwa Orang Madura telah melanggar
batas-batas nilai mereka dan Etnis Madura menganggap hal tersebut biasa bagi mereka.
(Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politi Kebudayaan, 2004). Sehingga, akibat dari perbedaan

cara pandang nilai atau kaidah-kaidah yang sedari awalnya ada di lingkungan masyarakat
Sampit, dan setelah datangnya suku Madura ke daerah mereka, maka terjadilah disentegrasi
sosial hingga mengakibatkan rentetan konflik-konflik sosial yang berpuncak pada Februari 2001
silam.
Pembantaian yang terjadi tidak bisa disederhanakan sebagai konflik antara orang Dayak
dengan Madura, apalagi sebagai konflik agama. Tapi akar dari masalah ini sudah lama tercipta
ketika pemerintahan Orde Baru, yang didukung oleh lembaga-lembaga hutang internasional,
secara bersama-bersama menanam modal di proyek-proyek besar, yang juga menanam akar
dari konflik yang terjadi sekarang ini dan juga menggambarkan situasi kemanusiaan di
Indonesia secara umum (Pernyataan NGO, Jakarta 1 Maret 2001).
Dalam perspektif institusional dalam teori konflik Dahrendorf dinyatakan bahwa masyarakat
tersusun dalam suatu struktur dimana sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuatan
(power)

termasuk

penguasaan resources, kesempatan,

dan

peluang

yang

lebih

besar

dibandingkan dengan anggota masyarakat lain. Dengan demikian, lapisan ini mampu
mengendalikan dan mengontrol kehidupan sosial ekonomi dalam system sosialnya. Sebagai
akibat lebih lanjut adalah adanya ketimpangan dan distribusi yang tidak merata antara lapisan
yang lebih menguasai power, resources, dan kesempatan, disbanding lapisan lain.
Ketidakseimbangan pengiriman jumlah pendatang atau transmigran dari suku Madura ke wilayah
Sampit sehingga menekan posisi para penduduk aslinya yaitu suku dayak. Membuat rentetan
konflik diwilayah tersebut tejadi. Orang Suku Dayak dapat dikatakan menjadi suatu kelompok
minoritas di wilayahnya sendiri, sehingga kelompok Suku Madura terlihat lebih menguasai tanah
Ibu masyarakat Dayak tersebut. Potensi kearah konflik akan menjadi semakin bertambah besar
apabila kelompok minoritas cenderung bersifat ekslusif sebagaimana disebutkan sebagai lima
karakteristik kelompok minoritas berikut ini (Wagley and Harris, dalam Julian : 1986:234).
1)

Minoritas merupakan sub ordinasi dari masyarakat yang kompleks

2)

Minoritas cenderung mempunyai cirri fisik atau penampilan budaya khusus yang tidak

disukai oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat.


3)

Minoritas cenderung mengembangkan kesadaran berkelompok dan rasa kebersamaan

diantara mereka
4)

Anggota kelompok minoritas diwarisi aturan dan nilai turun temurun daari kelompok

mereka, untuk mempertahankan karakteristik kelompok pada generasi berikutnya.

5)

Anggota kelompok minoritas cenderung melakukan endogamy atau perkawinan diantara

sesame anggotanya sendiri.


Dalam hal ini kelompok etnis dayak merupakan kelompok minoritas yang semakin lama semakin
tertekan akibat rentetan masalah sosial yang terjadi pada etnis mereka, hanya saja kelompok
dayak terlalu lama memendam rasa amarah mereka dari tahun ke tahun sehingga mengakibatkan
perang yang memuncak pada Februari 2001. Ketidakadilan yang mereka rasakan menjadi factor
utama mereka melaksanakan perang ini. ketidakadilan yang mereka rasakan tentu saja takkan
mereka rasakan apabila sedari awal pemerintah dapat mempertimbangkan lebih matang ketika
ingin mengirim para transmigran ke wilayah Sampit, Kalimantan Tengah.
Menurut Coser jika diimplementasikan dalam permasalahan konflik antara suku dayak dan
madura :
1.

Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi

dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang
ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Terhadap persoalan konflik antara suku
bangsa dayak dan madura adanya permasalahan penguasaan sumber daya yang tidak merata dari
segi ekonomi dan lebih menguntungkan suku dayak sebagai pendatang dengan segala bentuk
arogansi menurut suku asli terhadap penguasaan sumber daya teritorial. Sehingga dalam bentuk
kekecewwaan terhadap perlakuan yang tidak adil menurut suku dayak tersebut sehingga mereka
membangkitkan identitas kesuku bangsaannya untuk mempertahankan penguasaannya dalam hal
teritorial sumberdaya yang ada di wilayah teritorial kekuasaan suku asli.
Terhadap perlakuan yang ingin memonopoli penguasaan sumber aya tersebut dilakukan dengan
cara memusnahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan suku madura, karena batas batas
rasionalitas kemanusiaan sudah tidak lagi menjadi tolak ukur pada saat konflik. Maka dari itu,
ada banyak anak anak bayi, perempuan, wanita hamil suku madura dianggap menjadi musuh
bersama dan dapat menjadi cikal bakal yang menjadi potesi regenerasi penguasaan sumber daya
tersebut.
2.

Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang

antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.

Dalam hal ini pemerintah sebagai pihak ketiga yang mampu memfasilitasi sebagala kebuntuan
yang membuat masyarakat berhentik berkonflik agar tidak jatuh korban jiwa berikutnya. Tetapi
permasalahan ini tetap menjadi bahan referensi oleh suku dayak walaupun pemerintah sebagai
fasilitator untuk mendamaikan kedua belah pihak dengan peran peran dari para tokoh masing
masing suku agar menjaga masyarakatnya untuk mengatur kembali tatanan tatanan sosial yang
ada di dalam struktur dan fungsional dari masyarakatnya untuk meraih sumber daya yang ada
dalam lingkup teritorialnya
Konflik didalam suatu masyarakat sudah tidak dapat dipisahkan lagi konflik sudah menjadi suatu
bagian dalam masyarakat. Berlaku dalam semua aspek relasi social yang terbentuk bisa berupa
relasi antar individu, relasi individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Istilah
konflik sering di sinonimkan dengan istilah seperti competition, disharmony, tension,
antagonism, friction, hostility,struggle atau controversy (Michell, 1994 : 1). Konflik merupakan
suatu fenomena wajar dan alamiah yang terjadi pada masyarakat manapun, dimanapun,
kapanpun dan siapapun. Konflik hadir di tengah tengah masyarakat baik tradisional maupun
modern. Menurut pandangan Michell (1997 : 7) konflik adalah sesuatu yang tak dapat dielakan
karena it can originate in individual and group reactois of scare resources : to division of function
wihtin society:and to differentiation of power and resultant competition for limited supplies of
goods, status valued roles and power as-an-end-in-itself. Coser mendifinisikan konflik sebagai
nilai nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan status kekuasaan (status quo) mengumpulkan
sumber materi atau kekayaan yang langka, dimana pihak - pihak yang berkonflik tidak hanya
ditandai oleh perselisihan tetapi juga berusaha untuk menghancurkan pihak lawan. Menurut
pandangan Coser ini memang benar bahwa dalam konflik sampit di Kalimantan Barat etnis
Dayak mempertahankan kekuasaanya mulai dari social politik dan ekonomi sehingga dengan ini
etnis Dayak lebih memilih untuk melawan dengan kekerasan. Konflik antara Dayak dan Madura
memang sempat menjadi suatu topik yang sangat bombastis bahkan konflik sampit ini juga
menjadi salah satu masalah bagi Negara dan pemerintah kita. Dalam menyikapi masalah ini
pemerintahpun harusnya mengeluarkan suatu solusi untuk menyatukan kedua etnis ini harus ada
proses integrasi yang netral dan tidak berbau SARA. Dalam hal ini peran pemerintah dalam
mengadakan integrasi di antara keduanya sangatlah penting sehingga setelah selesai diharapkan
konflik ini tidak muncul kembali. Saat ini harusnya pemerintah juga memberikan pendidikan
multicultural dalam kurikullum pendidikan di negeri kita, Malahan di Malaysia ada kebijakan

yang mengacu pada pendidikan multikultural. Kebijakan itu pada masa perdana mentri
Mahamatir mochamad yaitu mendirikan banyak sekolah multikultural, yang mengatasi
perbedaan suku, agama, ideology serta kepemilikan modal. Masalah yang terpenting dalam
pendidikan multikultural adalah bagaimana didalam sekolah itu tumbuh secara alamiah perasaan
emosional yang menyatu antara warga masyarakat dari berbagai strata sosial maupun etnis
tertentu. Dengan membangun landasan kebangsaan melalui sekolah multikultura, akhirnya
sekarang Malaysia berhasil menyikapi dengan tepat masalah masalah besar yang cukup
mendasar di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Harusnya kita perlu belajar dari negara
tetangga kita itu. Nah yang harus kita amati, telisik dan dalami apa yang dimaksud masyarakat
yang multikultural dan apa yang disebut dengan masyarakat majemuk. Implementasi apa yang
terjadi dari masyarakat multikultural ini. Konflik sampit sendiri memang sekarang sudah mereda
akan tetapi suatu saat nanti konflik ini juga dapat terjadi lagi. Hipotesa ahli ilmu politik seperti P.
Laslettt (1982) mungkin benar bahwa sistem kekuasaan otoritarian adalah bentuk adaptif dari
suatu pengaturan masyarakat majemuk dengan populasi besar yang terikat sebagai suatu negarabangsa yang tinggal di pulaupulau yang banyak dan tersebar luas.
Max weber berpandangan bahwa pertentangan merupakan salah satu prinsip kehidupan social
yang sangat kukuh dan tak dapat dihilangka. Dalam susunan masyarakat apapun pada masa yang
akan dating, orang orang akan tetap selalu bertarung dan merebutkan berbagai sumber daya,
walaupun mengambil bentuk bentuk dan tingkat kekerasan yang secara substansial sangat
bervariasi. Bentuk konsepsi weber, maka dalam relasi orang Dayak Kanaytn Madura, baik
orang Dayak Kanayatn maupun orang Madura membayangkan ingin meraih dominasi dalam hal
pandangan dunia mereka baik berupa falsafah hidup, perilaku cultural, maupun kebiasaan,
kebiasaan tertentu. Sehingga dalam hal ini diantra keduanya saling melindungi yang sesuatu
yang dianggap benar dan dianggap menuntungkan bagi masing masing kelompok. Sedangkan
Ralf Dahrendof melihat konflik itu muncul karena adanya superordinat dan subordinat yang
berkonflik dan kemudian terjadi perubahan sosial. Dalam konteks ini konflik sampit ini memang
dalam diantara keduanya berkonflik ini di harapkan adanya suatu perubahan social etnis Dayak
menginginkan akan suatu pengakuan bahwa orang Dayak yang berkuasa dan menguasai sumber
sumber yang ada karena mereka sebagai warga local dan orang Madura hanya sebagai
pendatang. Ini seperti pemikiran Max tentang memandang suatu konflik yang terjadi.

Konflik Madura dan Dayak merupakan konflik yang tidak berlatar belakang etnis belaka, banyak
factor factor yang mempengaruhinya mulai dari etnis, social, bidaya, ekonomi dan politik. Kita
harusnya dapat berkaca di depan dengan setelah adanya konflik ini harus menjadi pelajaran
untuk melangkah ke depan dengan lebih baik lagi. Konflik juga memiliki dampak positif diantara
sebagai membangun kesatuan antar kelompok sehingga lebih solit lagi. Konflik juga sebagai
media interaksi antara dua orang yang berkonflik yaitu adalah Madura dan Dayak. Interaksi yang
baik antar sesam individu serta saling toleransi dapat meredam konflik itu muncul. Penerapan
semangat kebhinekaan di dalam diri kita dapat membuat kita sadar akan perbedaan yang ada di
Nusantara ini Indonesia yang merupakan negara kesatuan serta menerapkan pancasila sila ketiga
yaitu persatuan Indonesia. Sosialisasi dan pengetahuan mendalam tentang multikulturalisme juga
dapat membuat kita tahu dengan orang yang berbeda daerah dengan kita itu harus kita hargai
karena kita sebangsa dan senegara.
Menrut Konflik yang dikemukakan oleh Weber bahwa konflik dapat terjadi melalui 3 hal yaitu
Kelas, status, dan partai hal tersebut juga terjadi pada konflik di Kalimantan Barat ini. Ditinjau
dari penguasaan kekuasaan dan otoritas yang dimiliki oleh etnis Dayak ternyata etnis Dayak
tidak mempunyai kekuasaan yang begitu besar di tanah atau di daerah mereka sendiri. Etnis
Dayak sering dianggap etnis yang tidak berpendidikan, terbelakang, dan terasing sehingga
melalui pencitraan negatif tersebut kekuasaan dalam pemerintahan tidak diberikan kepada
masyarakat lokal tersebut melainkan diberikan kepada pendatang seperti Jawa, Cina, dan
Madura. Hal ini terbukti dari Dari tujuh daerah tingkat II di Kalbar, pada 1997, hanya satu kepala
daerah dipercayakan kepada etnis Dayak. Di lembaga legislatif, baik di tingkat I maupun di
tingkat II. Dari data diatas menunjukan bahwa memang benar masyarakat etnis Dayak tidak
mempunyai otoritas yang kuat dalam pemerintahan. Etnis Dayak merupakansuatu kelompok
yang memiliki kepentingan politis yaitu untuk memperebutkan kekuasaan yang berada dalam
daerah nenek moyangnya untuk mengatur segala sesuatu yang menyangkut daerahnya itu.
Mereka menginginkan agar putra daerah dapat mengatur daerahnya sendiri bukan dari
masyarakat pendatang karena masyarakat pendatang dianggap tidak memiliki pengetahuan
sebanyak putra daerah.Sedangkan pada sektor ekonomi yang lebih menengah ternyata
masyarakat dayak juga tidak begitu memiliki kekuasaan di daerahnya sendiri. Salah satu
contohnya ditunjukan bahwa Retribusi pasar dipungut dan dikuasi pengaturannya oleh warga
Madura juga pajak pemotongan hewan dan penguasaan daerah-daerah serta sumber daya tertentu

oleh masyarakat Madura. Arogansi dari etnis Madura yang merasa bahwa mereka adalah imigran
yang berhasil membuat kesewenang-wenangan terhadap segala sektor. Konflik tersebut datang
dari kelompok kepentingan yang berebda yang tercipta dari perebutan sumber daya alam maupin
ekonomi. Masyarakat Dayak menunjukan bentuk kekecewaan atau kecemburuan terhadap etnis
Madura sebagai pendatang yang menguasai hampir seluruh sektor ekonomi mereka.
Kecemburuan tersebut diakibatkan adanya ketidakadilan terhadap pendapatan sumber sumber
daya tersebut. Dan terakhir adalah status seperti yang sudah saya jelaskan diatas merujuk pada
satu komunitas yang memiliki gaya hidup dan perasaan identitas kelompok yang sama dan
bersifat beda dengan kelompok status yang lain.
Setelah membahas konflik antar etnik yang terkait dengan etnik Cina, sekarang kita akan
membicarakan konflik antar etnik yang paling besar yang pernah terjadi di Indonesia, yakni
konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan beberapa tahun lalu (tragedi Sambas
dan Sampit), dimana ribuan orang terbunuh dan puluhan ribu lainnya harus menjadi pengungsi di
negerinya sendiri. Hidayah (2002) menyebutkan bahwa sebenarnya pemantik konflik hanya
disebabkan oleh perkelahian antar pemuda etnis dayak dengan etnis madura. Akan tetapi karena
dalam perkelahian itu ada yang terbunuh maka muncullah solidaritas dan balas dendam kesukuan
karena pada konflik tersebut terjadi pembunuhan, dan kemudian diperkuat pula oleh prinsipprinsip adat sehingga konflik menjadi berkepanjangan dan membawa korban yang luar biasa
besar.
Banyak analisis telah dilakukan untuk mencari tahu akar dari adanya konflik. Selain analisis
yang menunjukkan adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja mengorganisir terjadinya
kekerasan, ada banyak analisis lain yang mendasarkan pada berbagai perspektif. Sebuah analisis
menyimpulkan bahwa terjadinya perebutan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas yang
telah menyebabkan terjadinya konflik. Dulu saat sumber daya ekonomi cukup melimpah dan
mudah didapatkan maka konflik terhindarkan. Akan tetapi begitu sumberdaya ekonomi semakin
terbatas dan semakin banyak orang memperebutkannya maka terjadilah kompetisi perebutan
sumberdaya. Sebagai konsekuensi logis dari adanya kompetisi perebutan sumber daya adalah
terciptanya prasangka antar etnik. Dan lalu adanya prasangka terhadap etnik lain menjadi
justifikasi

kekerasan

terhadap

etnik

tersebut.

Sebagai lanjutan dari analisis diatas, analisis lain menunjukkan bahwa adanya kesenjangan
ekonomi antara etnis Dayak dan etnis Madura sebagai penyebab konflik. Kesenjangan ekonomi
itu tercipta sebagai konsekuensi dari adanya kompetisi perebutan sumberdaya ekonomi dimana
relatif etnis Madura memenangkannya. Namun menurut Purbangkoro (2002) kondisi sosial
ekonomi etnik Madura dan etnik lain relatif sama sehingga tak ada alasan yang menyatakan telah
terjadi kecemburuan sosial antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan.
Sementara itu Asykien (2001) menunjukkan bahwa konflik antar etnik itu terjadi karena sifat
negatif keduanya. Sifat-sifat kurang terpuji etnik Dayak : 1) Fanatis dan mendewakan kesukuan,
2) tidak punya tenggang rasa dan pendengki etnis yang dimusuhi, 3) menggeneralisasikan
kesalahan orang-perorang kepada keseluruhan etnis, 4) melestarikan budaya mengayau, 5) suka
menyebarluaskan kebencian dan prasangka buruk. Sedangkan sifat-sifat etnik Madura yang
menimbulkan dendam etnik lain : 1) mencuri, menjambret, dan menipu, 2) menempati tanah
orang lain tanpa izin, 3) membuat kekacauan dalam perjudian, 4) melanggar lalu lintas, 5)
merampas milik etnik lain di penambangan emas. Dari sifat-sifat negatif yang diklasifikasikan
Asykien diatas menjadi jelas bahwasanya pertentangan antar etnis merupakan kulminasi dari
adanya prasangka etnik. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan digunakan
sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut, meskipun toh sebetulnya pelakunya hanyalah
segelintir orang saja. Rupa-rupanya generalisasi sifat-sifat buruk seseorang menjadi sifat-sifat
buruk kelompok yang telah menjadi penyebab berkembangnya prasangka etnik di Kalimantan.
Akibatnya kesalahan satu orang atau kelompok kecil orang juga digeneralisasikan ke
keseluruhan etnik. Seterusnya konflik antar etnik tinggal menunggu saat yang tepat.
Menurut definisi kerja Coser konflik adalah "perjuangan mengenai nilai serta tuntutan atas
status, kekuasaan dan sumber daya yang yang bersifat langka dengan maksud menetralkan,
mencederai atau melenyapkan lawan. Kajian Coser terbatas pada fungsi positif dan konflik, yaitu
dampak yang mengakibatkan peningkatan dalam adaptasi, hubungan sosial atau kelompok
tertentu (Kamanto Sunarto: 243). Pandangan pendekatan konflik berpangkal pada anggapananggapan dasar berikut ini :
Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berahir, atau
dengan penataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap
masyarakat.

Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan perkataan lain
konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi
dan perubahan-perubahan sosial.
Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas
sejumlah orang yang lain (Nasikun: 16-17).
Teori konflik melihat masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap
elemen institusi memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.Teori konflik menilai
keteraturan yang terdapat dalam masyarakat disebabkan karena adanya tekanan atau paksaan
kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Tugas utama menganalisa konflik adalah
mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam situasi konflik
seseorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh
golongannya (George Ritzer: 29-30). Aspek terakhir konflik Dahrendorf adalah mata rantai
antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin kearah perubahan dan
pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk
mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka
perubahan yang akan terjadi perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula dengan
konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif (George
Ritzer: 33).
Teori konflik menurut Karl Marx terletak pada teorinya mengenai kelas, Marx berpendapat
bahwa sejarah masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas, dengan munculnya
kapitalisme terjadi perpisahan tajam antara mereka yang memiliki alat produksi dan mereka yang
hanya mempunyai tenaga. Perkembangan kapitalisme memperuncing kontradiksi antara kedua
kategori sosial hingga pada akhirnya terjadi konflik diantara dua kelas.
Menurut Ralf Dahrendorf, dalam tulisannya mengenai kelas dan konflik kelas dalam masyarakat
industri. Menurutnya perubahan sosial tidak hanya datang dari dalam tetapi juga diluar
masyarakat; bahwa perubahan dari dalam tidak selalu disebabkan konflik sosial dan bahwa
disamping konflik kelas terdapat pula konflik sosial yang berbentuk lain, ia pun mengamati

bahwa konflik tidak selalu menghasilkan evolusi, selanjutnya Dahrendorf mencatat bahwa
kekuasaan politik selalu mengikuti kekuasaan dibidang industri. Menurut teori konflik versi
Dahrendorf masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang didasarkan pada kekuasaan
(dominasi satu pihak oleh pihak yang lain atas dasar paksaan) yang dinamakannya "Imperatively
Coordinate Associations" (asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa). Karena kepentingan
kedua pihak dalam asosiasiasosiasi tersebut berbeda pihak penguasa berkepentingan untuk
mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan untuk memperoleh
kekuasaan, maka dalam asosiasi akan terjadi polarisasi dan konflik antar dua kelompok.
Keberhasilan kelompok yang dikuasai untuk merebut kekuasaan dalam asosiasi akan
menghasilkan perubahan sosial. Teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga, seperti
kekuasaan dan wewenang, benda-benda material, dan apa yang menghasilkan kenikmatan, agak
langka sehingga tidak dapat di bagi sama rata diantara rakyat. Maka dengan telah munculnya
golongan-golongan dan kelompok-kelompok oposisi yang merasa diri dirugikan dan menginginkan porsi lebih besar dari dirinya sendiri atau hendak menghalang-halangi atau mencegah
pihak lain dari memperoleh dan menguasai barang itu (J. Veeger: 92).
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi.Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.Dengan dibawa sertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat
dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya.
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan
merupakan teori dalam paradigma fakta sosial.Konflik mempunyai bermacam-macam landasan
seperti teori Marxian dan Simmel.Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan
keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja.Sedangkan Simmel berpendapat bahwa kekuasaan
otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan konflik.
Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di dalam
masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai sarana untuk meningkatkan integrasi sosial
maka kalangan penganut teori konflik justru melihat masyarakat merupakan arena dimana satu
kelompok dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan power dan mengontrol
bahkan melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain

merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang
menguntungkan kelompok-kelompok lainnya.
Adapun asumsi yang mendasari teori sosial nonMarxian dibawa oleh Dahrendorf. Ralf
Dahrendorf mempunyai pandangan lain dalam melihat konflik sosial. Bagi Dahrendorf, konflik
di masyarakat disebabkan oleh berbagai aspek sosial. Bukan melulu persoalan ekonomi
sebagaimana menurut Karl Marx.Aspek-aspek sosial yang ada di masyarakat ini kemudian
terwujud dalam bentuk teratur dalam organisasi sosial.Konflik sosial merupakan sesuatu yang
endemik dalam pandangan Dahrendorf.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori konflik Dahrendorf dimana manusia adalah
makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial.
Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam
berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi yang menguasai orang atau
kelompok yang tidak mendominasi. Teori konflik memandang masyarakat disatukan oleh
ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat
mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini
mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu
menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis.
Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.Dia menyebut otoritas
tidak terletak dalam individu tapi dalam posisi.Sumber struktur konflik harus dicari dalam
tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Menurut Dahrendorf,
tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam
masyarakat. Karena memusatkan perhatian kepada struktur berskala luas seperti peran
otoritas itu, Dahrendorf ditentang para peneliti yang memusatkan perhatian pada tingkat
individual.
Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci adalam analisis Dahrendorf.Otoritas secara
tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi.Mereka yang menduduki posisi otoritas
diharapkan mengendalikan bawahan.Artinya, mereka berkuasa karena harapan dari orang yang
berada disekitar mereka, bukan karena ciri-cri psikologis mereka sendiri.Otoritas bukanlah
fenomena sosial yang umum, mereka tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari

kontrol ditentukan di dalam masyarakat.Terakhir, karena otoritas adalah absah, sanksi dapat
dijatuhkan pada pihak yang menentang. Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama
lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi
legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan authority, dimana beberapa posisi
mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain.
Konflik yang terjadi antara pedagang Pasar Raya dengan Pemko Padang jika merujuk pada teori
otoritas Dahrendorf, maka dapat disimpulkan bahwa Pemko Padang merupakan pihak pemegang
otoritas sementara para pedagang adalah pihak yang tidak memegang otoritas.Dalam hal ini,
pedagang berada pada posisi ketidakbebasan yang dipaksakan.Sementara itu, Pemko Padang
didelegasikan kekuasaan dan otoritas.Maka dari itu, Pemko Padang memiliki kewenangan untuk
mengelola pasar yang merupakan asset Negara.[4]
Proses sosial yang ditekankan dalam model konflik berlaku untuk hubungan sosial antara
kelompok dalam (ingroup) dan kelompok luar (out-group). Kekuatan solidaritas internal dan
integrasi kelompok dalam (in-group) akan bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau
konflik dengan kelompok luar (out-group) bertambah besar. Dengan adanya 2 sisi tersebut terjadi
suatu bentuk integrasi yang kuat antara kelompok pedagang sebagai kelompok yang merasa
dirugikan dengan pembuat kebijakan yaitu Dinas Pasar. Kelompok pedagang ini melakukan
perlawanan dengan cara memperkuat in groupnya agar dapat melawan kebijakan dari Dinas
Pasar.
Dahrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap pendekatan yang pernah dominan dalam
sosiologi, yaitu kegagalan dalam menganalisa masalah konflik sosial. Dia menegaskan bahwa
proses konflik sosial itu merupakan kunci bagi struktur sosial. Dahrendorf telah berperan sebagai
corong teoritis utama yang menganjurkan agar perspektif konflik dipergunakan dalam rangka
memahami dengan lebih baik fenomena sosial.
Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu menjadi dua tipe. Kelompok semu
(quasi group) merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan
kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. Tipe yang
kedua adalah kelompok kepentingan (interest group), terbentuk dari kelompok semu yang lebih
luas.Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota

yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam
masyarakat.
Pada konflik pedagang Pasar Raya Padang dengan Pemko Padang ini, terjadi harapan peran yang
disadari (kepentingan tersembunyi telah disadari).Kelompok kepentingan ini telah memiliki
struktur organisasi dan tujuan yang jelas. Para pedagang yang terdiri dalam Asosiasi Pedagang
Pasar menyadari kepentingan yang ia perjuangkan yakni mendapatkan tempat yang layak dan
representative untuk berdagang dengan gratis.
D.

Penyebab Knflik

Konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif.Konflik
terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan.Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya
diselesaikan tanpa kekerasan dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagain
besar atau semua pihak yang terlibat.Penyebab konflik menurut Dahrendorf adalah kepemilikan
wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam.Jadi, konflik bukan hanya materi (ekonomi
saja).
Dahrendorf memandang bahwa konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem.
Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan mungkin terlibat
konflik. Maka dari itu, unit analisis konflik adalah keterpaksaan yang menciptakan organisasiorganisasi sosial bisa bersama sebagai sistem sosial.Dahrendorf menyimpulkan bahwa konflik
timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan itu.Contohnya, kesenjangan status
sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya
serta kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti
diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan dan kejahatan.Masing-masing tingkat
tersebut saling berkaitan membentuk sebuah rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk
menghadirkan perubahan, baik yang konstruktif maupun yang destruktif.
Dahrendorf memahami relasi-relasi dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan.Ia
mendefinisikan kekuasaan menjadi penyebab timbulnya perlawanan. Esensi kekuasaan yang
dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan kontrol dan sanksi sehingga memungkinkan
mereka yang memiliki kekuasaan memberi berbagai perintah dan mendapatkan apa yang mereka

inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Jadi, konfik kepentingan menjadi fakta
tidak terhindarkan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kekuasaan.
Dahrendorf menjelaskan penyebab konflik dalam 6 teori utama.Teori hubungan masyarakat
menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan
permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.Teori negosiasi prinsip
menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan
tentang konflik oleh pihak yang mengalami konflik.Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa
konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik fisik, mental maupun
sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan
otonomi sering merupakan inti pembicaraan dalam konflik.
Sementara itu, teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak
diselesaikan.Teori kesalahpahaman antarbudaya berpandangan berbeda, teori ini berasumsi
bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dakan cara-cara komunikasi diantara berbagai
budaya yang berbeda.Teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
masalah-masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya
dan ekonomi.
Dinamika konflik menurut Dahrendorf akan muncul karena adanya suatu isu tertentu yang
memunculkan dua kelompok untuk berkonflik. Dasar pembentukan kelompok adalah otoritas
yang dimiliki oleh setiap kelompok yaitu kelompok yang berkuasa dan kelompok yang
dikuasai.Kepentingan kelompok yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasaanya sedangkan
kelompok yang dikuasai adalah menentang legitimasi otoritas yang ada.
Dahrendorf memandang wewenang dalam masyarakat modern dan industrial sebagai
kekuasaan.Relasi wewenang yaitu selalu relasi antara super dan subordinasi.Dimana ada relasi
wewenang, kelompok-kelompok superordinasi selalu diharapkan mengontrol perilaku kelompok
subordinasi melalui permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan.Berbagai harapan
tertanam relative permanent dalam posisi sosial pada karakter individual. Saat kekuasaan
merupakan tekanan satu sama lain, maka kekuasaan dalam hubungan kelompok terkoordinasi ini
memeliharanya menjadi legitimasi.

Konflik yang terjadi bersumber pada perbedaan pendapat mengenai pembangunan kembali Pasar
Raya Padang Inpres II, III dan IV setelah rusak pascagempa tanggal 30 September
2009.Perbedaan kepentingan menjadi latar belakang munculnya konflik pasar.Berbagai
permasalahan dapat disimpulkan sebagai berikut.Pertama, terjadinya konflik antar warga Pasar
Raya dengan Pemerintah disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan alternatif
pembangunan Pasar Raya.Walikota sebagai pemimpin Pemko Padang, pertama kali melontarkan
ide untuk membangun kembali Pasar Raya menjadi bangunan pasar yang modern (mall).Tujuan
dari pembangunan tersebut agar bangunan Pasar Raya lebih nyaman untuk dijadikan tempat jualbeli. Sebab, pascagempa 2009 lalu Pasar Raya Padang semakin semrawut, saluran drainase
tersumbat yang menyebabkan becek, sampah-sampah menumpuk, tata ruang pasar tidak terurus
dan sebagainya.
Isu kedua, bahwa pasar akan dibangun oleh investor. Kata investor merupakan sosok yang
ditakuti oleh para pedagang. Mekanisme pasar sebagai pasar tradisional kemungkinan akan
diganti dengan mekanisme bisnis dengan untung yang sebesar besarnya. Isu yang dibangun
investor ditambah lagi dengan isu kurangnya ruang di dalam pasar.Para pedagang takut jika
mereka tidak mendapatkan tempat berdagang setelah pasar modern dibangun.
Ketiga, perbedaan kepentingan tersebut telah melahirkan konflik yang nyata antara pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan dengan warga pasar sebagai pihak yang dikuasai.Pemerintah ingin
menggunakan otoritasnya sebagai pemegang kekuasaan dalam menentukan bentuk bangunan
Pasar Raya. Alasan Kota Padang dimasa depan dan untuk menambah pemasukan PAD
menjadikan landasan untuk menjadikan Pasar Raya menjadi pasar modern. Tragedi Sentral Pasar
Raya (SPR) yang dibangun diatas terminal angkutan kota beberapa tahun lalu nyatanya telah
menyingkirkan pedagang kecil. Para pedagang tidak ingin hal itu terulang lagi.Para pedagang
takut jika pedagang besar dengan modal besar masuk dan membeli lahan di pasar yang
baru.Pedagang pasar sebagai pihak yang dikuasai oleh pemda tidak lagi punya otoritas untuk
menentangnya terlebih lagi untuk menagih janji.Warga pasar sebagai yang dikuasai berusaha
untuk melawan pemegang kekuasaan.Konflik pun muncul ketika pemegang kekuasaan bertahan
dalam menggunakan kekuasaannya.

Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat
berbagai kritik, yang berasal dari sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial
dari Simmel. Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakan landasan untuk teoriteori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx.Masalah mendasar dalam teori konflik adalah
teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-fungsionalnya.Teori
konflik Ralf Dahrendorf menarik perhatian para ahli sosiologi Amerika Serikat sejak
diterbitkannya buku Class and Class Conflict in Industrial Society, pada tahun 1959.
Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses
perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen
kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk
keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang
memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan
ketertiban dalam masyarakat.
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang dikenal
dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi dibagi menjadi
dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus.Teori konflik harus menguji konflik
kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori konsesus
harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa
konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan
demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap
posisi yang lain.
Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa
perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial
sistematis.Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi
yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbedabeda.Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak bersifat
statis.Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan tertentu dan
tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentu pada lingkungan lainnya. Sehingga seseorang yang
berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin saja menempati posisi
superordinat pada kelompok yang lain.

Kekuasaan atau otoritas mengandung dua unsur yaitu penguasa (orang yang berkuasa) dan orang
yang dikuasai atau dengan kata lain atasan dan bawahan. Kelompok dibedakan atas tiga tipe
antara lain : 1. Kelompok Semu (quasi group) 2. Kelompok Kepentingan (manifes) 3. Kelompok
Konflik Kelompok semu adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama tetapi
belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam tipe kelompok kedua,
yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan kelompok ketiga yakni
kelompok konflik sosial. Sehingga dalam kelompok akan terdapat dalam dua perkumpulan yakni
kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok yang dibawahi (bawahan). Kedua kelompok ini
mempunyai kepentingan berbeda. Bahkan, menurut Ralf, mereka dipersatukan oleh kepentingan
yang sama.
Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap mempertahankan status quo
sedangkan mereka berada di bawah (yang dikuasai atau bawahan ingin supaya ada
perubahan.Dahrendorf mengakui pentingnya konflik mengacu dari pemikiran Lewis Coser
dimana hubungan konflik dan perubahan ialah konflik berfungsi untuk menciptakan perubahan
dan perkembangan. Jika konflik itu intensif, maka perubahan akan bersifat radikal, sebaliknya
jika konflik berupa kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktural secara tiba-tiba. Menurut
Dahrendorf, Adanya status sosial didalam masyarakat (sumber konflik yaitu: Adanya benturan
kaya-miskin, pejabat-pegawai rendah, majikan-buruh) kepentingan (buruh dan majikan, antar
kelompok,antar partai dan antar Adanya dominasi Adanya ketidakadilan atau diskriminasi.
agama). kekuasaan (penguasa dan dikuasai).

Dahrendorf menawarkan suatu variabel penting yang mempengaruhi derajat kekerasan dalam
konflik kelas/kelompok ialah tingkat dimana konflik itu diterima secara eksplisit dan diatur.
Salah satu fungsi konflik atau konsekuensi konflik utama adalah menimbulkan perubahan
struktural sosial khususnya yang berkaitan dengan struktur otoritas, maka Dahrendorf
membedakan tiga tipe perubahan Perubahan keseluruhan personel didalam posisi struktural
yakni: Perubahan sebagian personel dalam posisi dominasi.
Penggabungan kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang
berkuasa. Perubahan sistem sosial ini menyebabkan juga perubahan-perubahan lain didalam

masyarakat

antara

lain Munculnya

kelas,

Dekomposisi

tenaga

kerja,

Dekomposisi

modal: menengah baru Analisis Dahrendorf berbeda dengan teori Marx, yang membagi
masyarakat dalam kelas borjuis dan proletar sedangkan bagi Dahrendorf, terdiri atas kaum
pemilik modal, kaum eksklusif dan tenaga kerja. Hal ini membuat perbedaan terhadap bentukbentuk konflik, dimana Dahrendorf menganggap bahwa bentuk konflik terjadi karena adanya
kelompok yang berkuasa atau dominasi (domination) dan yang dikuasai (submission), maka jelas
ada dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui
penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan.
Sedangkan Marx berasumsi bahwa satu-satunya konflik adalah konflik kelas yang terjadi karena
adanya pertentangan antara kaum pemilik sarana produksi dengan kaum buruh.Dahrendorf
memandang manusia sebagai makhluk abstrak dan artifisial yang dikenal dengan sebutan homo
sociologious dengan itu memiliki dua gambaran tentang manusia yakni citra moral dan citra
ilmiah.Citra moral adalah gambaran manusia sebagai makhluk yang unik, integral, dan
bebas.Citra ilmiah ialah gambaran manusia sebagai makhluk dengan sekumpulan peranan yang
beragam yang sudah ditentukan sebelumnya.
Asumsi Dahrendorf, manusia adalah gambaran citra ilmiah sebab sosiologi tidak menjelaskan
citra moral, maka manusia berperilaku sesuai peranannya maka peranan yang ditentukan oleh
posisi sosial seseorang di dalam masyarakat, hal inilah masyarakat yang menolong membentuk
manusia, tetapi pada tingkat tertentu manusia membentuk masyarakat. Sebagai homo sosiologis,
manusia diberikan kebebasan untuk menentukan perilaku yang sesuai dengan peran dan posisi
sosialnya tetapi di sisi lain dibatasi juga oleh peran dan posisi sosialnya di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Jadi ada perilaku yang ditentukan dan perilaku yang otonom, maka keduanya harus seimbang.
Salah satu karya besar Dahrendorf Class and class Conflict in Industrial Society dapat
dipahami pemikiran Dahrendorf dimana asumsinya bahwa teori fungsionalisme struktural
tradisional mengalami kegagalan karena teori ini tidak mampu untuk memahami masalah
perubahan sosial, terutama menganilisis masalah konflik.
Dahrendorf mengemukakan teorinya dengan melakukan kritik dan modifikasi atas pemikiran
Karl Marx, yang berasumsi bahwa kapitalisme, pemilikandan kontrol atas sarana-sarana produksi

berada di tangan individu-individu yang sama, yang sering disebut kaum borjuis dan kaum
proletariat.
Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah karena
setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya bahwa perubahan
sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan
konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan,
karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.[5]

Anda mungkin juga menyukai