Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS STRATIFIKASI SOSIAL SEBAGAI

SUMBER KONFLIK ANTAR ETNIK


DI KALIMANTAN BARAT

Mohammad Ali Al Humaidy

(Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Syariah STAIN Pamekasan dan
Alumni program Magister Ilmu Sosiologi di Universtias Indonesia Jakarta)

Abstrak:
Secara sederhana, tulisan ini akan menganalisa penyebab atau sumber terjadinya konflik antar etnik
di Kalimantan Barat, yang terfokus kepada tingkatan stratifikasi sosial. Penulis berasumsi bahwa
perbedaan stratifikasi sosial yang kemudian terbentuk sistem pranata sosial (The System of Class
Stratifications) mempunyai dampak sosial (konflik antar etnis). Pranata sosial dalam aspek ideologi,
agama, ekonomi, politik, bahasa, pendidikan, budaya dan norma-norma sosial lainnya, secara teoritik
akan menimbulkan gesekan sosial dan pandangan stereotype etnik yang rentan muncul benih-benih
konflik bila dalam realitas sosial menampakkan sifat egois dan fanatisme yang nilai-nilai etnisitas.
Benih-benih konflik bersifat laten, apalagi bila ditopang dengan harapan untuk menguasai dan
mempertahankan power-privilage-prestige. Disinilah timbul pergolakan sosial antara masyarakat
pribumi dengan pendatang ataupun sesama etnis. Demikian pula munculnya pertentangan
antara kelompok yang ingin menguasai dan mempertahankan power-privilage-prestige dengan
kelompok yang ingin merebutnya.Bagi penulis ini sebuah ironi yang perlu kita kaji dan mencari
alternatif pemecahan. Ini penting karena menyangkut hak usaha dan hidup manusia yang bagian
dari hak asasi manusia, sehingga dengan kejadian konflik etnik di bumi nusantara ini, muncul
resolusi konflik sebagai usaha untuk membangun masyarakat pluralis tanpa kekerasan. Alhasil,
sebagai masyarakat akademisi mempunyai amanat untuk memberikan sumbangsih pemikiran agar
konflik yang bermuansa SARA dapat dikurangi atau bahkan mungkin ditiadakan. Sebuah
tantangan untuk mengkaji teori sosiologi khususnya teori (korelasi) stratifikasi sosial dengan konflik
sosial.

Kata kunci:
stratifikasi sosial, etnik, madura, dayak

Pendahuluan mengingatkan kita pada peristiwa kaum


Perbicangan tentang konflik etnis jahiliyah, dimana telah terjadi pembunuhan
dalam perpolitikan nasional kembali aktual antar manusia. Nyawa manusia seakan tak
untuk dibicarakan. Pertikaian etnis bernilai akibat egoisme dan kepentingan
Kalimantan Barat (Sambas, Sampit), Maluku, kelompok. Dalam konteks kekinian, di
Poso dan daerah lain yang telah banyak Indonesia telah muncul budaya
menelan korban harta dan jiwa, komunalisme dan kanibalisme. Sungguh
Analisis Stratifikasi Sosial Sebagai Sumber Konflik
Mohammad Ali Al Humaidy

suatu peradaban yang memilukan dikala dan juga menggambarkan situasi


Indonesia memasuki era reformasi dan image kemanusiaan di Indonesia secara umum1
sebagai manusia yang beragama dan Kecenderungan negara yang
beradab. hegemonik, refresif dan berbagai macam
Fenomena diatas, muncul per- amputasi kepada rakyat, maka pada kondisi
tanyaan dan analisis berbagai perspsektif dan saat tertentu rakyat akan jenuh dan
(ideologi, politik, sosial, budaya dan membangkitkan perlawanan. Perlawanan
ekonomi) tentang penyebab terjadinya rakyat terhadap penguasa dapat
konflik etnik. Dalam perspektif politik, diwujudkan dalam dua bentuk ; pertama,
muncul anggapan bahwa terjadinya konflik melakukan perlawanan terhadap
itu akibat permainan elit politik sebagai pemerintah atau penguasa, melalui gerakan
upaya untuk men-delegitimasi sparatis atau pembangkangan terhadap
pemerintahan pasca tumbangnya rezim kebijakan negara. Kedua, melakukan
Orde baru, dengan kata lain berkobarnya tindakan hukum yang tidak prosedural dan
berbagai konflik dan kerusuhan sosial yang melanggar norma-norma hukum negara
terjadi di Indonesia belakangan ini, seperti menghakimi sendiri para pelanggar
disinyalir masih berkaitan dengan hukum norma sosial dalam masyarakat
runtuhnya rezim Orde Baru pada tanggal 21 karena perangkat hukum yang ada tidak lagi
Mei 1998. Pada masa rezim Soeharto hampir mendapatkan legitimasi dari masyarakat2.
semua bentuk gejolak sosial bisa diredam Dengan demikian apalah konfik
dengan kekuatan militer (refresif), teror dan sosial (etnik maupun bentuk kerusuhan lain)
bentuk intimidasi lainnya yang dalam bagian dari perlawanan terhadap negara
perspektif apapun sikap politik diatas atau konflik antar kelompok? Secara teoritik,
bertentangan denggan hak-hak asasi kerusuhan-kerusuhan yang melanda kita
manusia (HAM). Akibatnya fatal yaitu dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama,
pemerintah gagal membangun konsolidasi kerusuhan kolektif yang terjadi akibat dari
demokrasi dan ketidak adilan sehingga munculnya ke-aku-an (SARA) suatu
mengakibatkan luka yang dalam di hati kelompok pada kelompok lain. Kerusuhan
rakyat atau konflik (etnik) ini memang di Banyuwangi, Tasikmalaya, Ambon,
terjadi murni antar etnis karena faktor Medan, Kendal, Matraman, Berland dan
ekonomi, politik, kecemburuan sosial dan Wamena, serta perkelahian antar pelajar
faktor lain. adalah tipikal kerusuhan massa vis a vis.
Hal senada dikemukakan oleh Kedua, adalah kerusuhan kolektif
beberapa LSM/NGO pada tanggal 1 Maret yang terjadi akibat state crime (kejahatan
2001 di Jakarta menyatakan bahwa negara) pada masyarakat sipil. Sebuah
pembantaian yang terjadi tidak bisa kerusuhan karena perlawanan massa vis a
disederhanakan sebagai konflik antara orang vis negara, seperti kerusuhan di Lampung,
Dayak dengan Madura, apalagi sebagai Aceh, Timor-timur, Tanjung Priok dan Irian
konflik agama. Tapi akar dari masalah ini Jaya adalah kerusuhan bertipikal
sudah lama tercipta ketika pemerintahan
Orde Baru, yang didukung oleh lembaga-
1 Dibalik Kerusuhan di Kalimantan Tengah, tanggal Down
lembaga hutang internasional, secara to Earth Nr. 49, Mei 2001 http://dte.gn.apc.org/49iKl.htm
bersama-bersama menanam modal di 2 Jamal Bake, Muhammad Abas, Rinusu, Netralitas yang
proyek-proyek besar, yang juga menanam semu (Mengungkap Keberadaan Aparat Keamanan
dalam Berbagai Konflik Etnik di Indonesia), PSPK,
akar dari konflik yang terjadi sekarang ini Jakarta, hal 48.

KARSA, Vol. XII No. 2 Oktober 2007 187


Analisis Stratifikasi Sosial Sebagai Sumber Konflik
Mohammad Ali Al Humaidy

(disebabkan) state crime 3. Disini penulis sendiri akibat pengaruh dan dominasi
melihat militer sebagaimana diatas pendatang dalam bidang ekonomi,
memunyai peran besar dalam konflik etnis, penguasaan tanah, pendatang kurang
sehingga ada pengaruh tersendiri terhadap menghormati adat setempat, politik,
kelompok/SARA itu. birokrasi dan pengembangan agama.
Setiap fenomena sosial politik Konflik etnik yang sampai saat ini belum
merupakan produksejarah dan tidak juga ada titik temu, mulai dari penyebab
terlepas dari latar belakang sejarahnya utama dan solusi sebagai upaya untuk
(ahistory). Ini berlaku pada fenomena menumbuhkan rasa kekeluargaan,
konflik di Kalbar. Sejak tahun 1960-an di kebersamaan dan solidaritas kemanusiaan.
Kalbar telah terjadi sembilan kali konflik Upaya rekonsiliasi yang terinisiatif dari
yang cukup besar. Delapan kali di antaranya kedua belah pihak ataupun pemerintah yang
adalah konflik antara pendatang baru menjadi fasilitator (baca : penengah) sampai
Madura dengan warga Dayak, dan hanya saat belum mampu meredam konflik
satu kali dengan Melayu -- Melayu Sambas. tersebut.
Selama delapan kali konflik antara Madura Berdasarkan kajian Elsam5 (Lembaga
Kalbar dengan Dayak, tak seorang pun dan Studi dan Advokasi Masyarakat) bahwa
tak sekali pun Melayu Kalbar bergabung hampir semua tokoh masyarakat adat
dengan saudaranya, Dayak, memberikan Dayak, dan para akademisi Dayak memiliki
reaksi terhadap Madura Kalbar, walaupun analisis dan argumentasi yang sama tentang
mereka memiliki pengalaman pahit yang akar penyebab konflik etnis yang terjadi,
sama dalam berhubungan dengan yakni ketidakadilan hampir di semua aspek
pendatang baru Madura . 4 sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum
Namun demikian, harus diakui pula yang dialami penduduk asli Dayak,
bahwa banyak faktor yang dapat menjadi sehingga mereka termarginalisasi
pemicu konflik etnik (konflik horisontal) sedemikian rupa. Terlepas dari akar
seperti di Sambas dan Sampit, diantaranya persoalannya, tapi yang jelas rangkaian
dampak dari keterusikan atas harga diri konflik tersebut telah mendatangkan
penduduk lokal, keterbelakangan ekonomi, penderitaan bagi para korbannya. Bahwa
keterasingan masyarakat lokal di daerah diabaikannya hak-hak penduduk asli,
ternyata ketika bereskalasi menjadi
3 Pada kerusuhan pertama modus operandinya dapat kekerasan sebagai manifes untuk
ditengarai dengan delapan ciri: [1] kerusuhan berada pada
mengembalikan
wilayah tertentu. [2] para pelaku (yang tidak berubah) [3]
hak-hak itu, justru
dimulai dengan picu awal yang sangat beragam [4]. mendatangkan akibat yang sama parahnya,
berlangsung secara simultan dan terus menerus bahkan pelanggaran HAM atas masyarakat
turun menurun [5]. ada simbolisasi dan ideologi tertentu
yang dilibatkan [6]. lokal dan particular [7] muncul
pendatang.
secara spontan dan sporadis [8] cenderunng beringas, Kajian Teoritis
fandalistik, dan destruktif. Sedangkan pada kerusuhan Secara teoritik, kajian ini berangkat
kedua penyebabnya lima hal ; [1]. karena proses
militerisasi yang terus menerus[2]. proses ketidak
dari konsep-konsep dasar tentang teori
seimbangan hubungan pusat daerah konflik. Dalam teori konflik, penulis
[3]. adanaya
ketimpangan-kesenjangan sosial di masyarakat. menggunakan analisa Dahrendrof yang
[4].
munculnya rasa kesukuan yang mendalam [5]. perasaan
frustasi dan putus aasa yang berkepanjangan. Baca : M.
berpendapat bahwa kekuasaan dan
Yudie R. Haryono, Neo Tribalisme, Kompas-jakarta, 23
November 2000, hal. 30. 5Kalimantan: Konflik Etnis Tak Kunjung Usai. Silahkan
4 Konflik Etnis di Sambas, Suatu Reaksi yang berlebiha, baca di
Republika, 31 Maret 1999. http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2001_0304/02.html

KARSA, Vol. XII No. 2 Oktober 2007 188


Analisis Stratifikasi Sosial Sebagai Sumber Konflik
Mohammad Ali Al Humaidy

wewenang merupakan sumber daya yang seperti dianalisis oleh Lewis A. Coser10
langka terhadap terjadinya pertikaian, tidak harus merusakkan atau bersifat
sehingga menjadi sumber utama terjadinya disfungsional untuk sistem dimana konflik
konflik dan perubahan pada pola-pola yang itu terjadi, melainkan bahwa konflik itu
telah melembaga, antara yang berkuasa dan dapat mempunyai konseksensi-konsekwensi
yang dikuasai, dimana peranan yang positif atau menguntungkan sistem itu
berkuasa mempunyai kepentingan untuk dengan kata lain konflik berfungsi sebagai
mempertahankan keadaan dan yang stimulus untuk integrasi antar kelompok.
dikuasai berkepentingan untuk membagi Dari paparan diatas, secara normatif
kembali kekuasaan atau wewenang.6 bermakna bahwa konflik sosial sebuah
Sisi lain, dalam menganalisa konflik keniscayaan dalam masyarakat yang dilalar
dari sisi hubungan sosial antara individu- belakangi oleh pertarungan atau perbedaan
individu, terlihat hubungan yang terjadi kepentingan antara pihak superdinat
secara simultan, yaitu konsensus dan (penguasa) yang senantiasa berusaha untuk
konflik. Kedua kondisi ini merupakan suatu mempertahankan kekuasaan (status quo)
yang ilmiah sifatnya (natural) di dalam bahkan memperbesar kekuasaan. Sedangkan
berbagai hubungan sosial. Simmel pihak subordinat (yang dikuasai)
berpendapat: Social life involved harmony and berkeinginan untuk mendapatkan
conflict, abtraction, and repulsion, love and kekuasaan (pemerataan kekuasaan dan
hatred 7. Seorang tokoh Amitai Etzioni retribusi kekuasaan).
membenarkan juga dimana ia mengatakan : Demikian juga yang terjadi di
Some conflict is foundation for whatever Kalimantan bahwa terjadinya konflik
harmony exist 8. terbuka antara penduduk lokal yang telah
Sekalipun ada anggapan bahwa sulit berjuang untuk menampilkan diri sebagai
untuk merumuskan konflik, bagi Lewis A. kelompok yang harus menjadi raja dinegeri
Coser, konflik adalah perselisihan mengenai sendiri dengan penduduk pendatang yang
nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang juga berjuang untuk mencari nafkah (masa
berkenaan dengan status, kekuasaan, depan). Disinilah awal munculnya konflik
sumber-sumber kekayaan yang etnik ketika para penduduk lokal merasa
persediaannya tidak mencukupi, dimana terusik (tidak ikhlas) setelah mengamati
pihak -pihak yang berselisih tidak hanya para pendatang mampu survive atau
bermaksud memperoleh barang-barang menguasai khususnya disektor ekonomi.
yang diinginkan, melainkan ingin memojok- Munculnya kekerasan terhadap etnis
kan, merugikan dan meng-hancurkan lawan lain tidak semata-mata faktor ekonomi
mereka 9. namun juga kemungkinan tidak didahului
Konflik dan masyarakat punya fungsi dengan proses panjang perkembangan
tersndiri. Fungsi konflik dalam masyarakat kedua elemen tersebut. Oleh karena itu,
kekerasan di Sambas dan Sampit bisa
ditafsirkan sebagai politically constructed
6 Prof.Dr. Soerjono Soekanto, SH., MA dan Ratih
Lestarini,SH. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam
Perkembangan Sosiologi, Jakarta: Sinar Grafika, cet. 1998)
hal.78.
7 Harold M. Hodges, Conflict and Consensus, New York,The

Macmillan , The Macmillan Co, 1971,hal.9 10Lewis A. Coser, The Functions of Social Conflict (Glence, I
8 Ibid, hal. 13 11: Free Press, 1956) seperti yang dikutip pada Doyle Paul
9 K.J. Veeger,The Structure of Sociological Theory, (Illionis, The Johnson Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2, terj. Robert
Dorsey, 1978), hal 82. M.Z. Lawang, (Gremedia, Jakarta : 1986), hal. 195.

KARSA, Vol. XII No. 2 Oktober 2007 189


Analisis Stratifikasi Sosial Sebagai Sumber Konflik
Mohammad Ali Al Humaidy

ethnic violence. 11 Miskinnya dialog antar hirarki majemuk (Multiple Hierarchy Model)13.
etnik, paguyuban antar komunitas etnis, Model hirarki tunggal, terdapat dua asumsi,
pendidikan yang rendah, belum bahwa keluarga adalah unit yang tepat
berfungsinya lembaga agama/adat, untuk mengadakan studi terhadap sistem
lemahnya penegakan hukum bagian stratifikasi sosial dan mengasumsikan
instrumen faktor munculnya konflik ini. bahwa semua ketidak samaan dalam
Konflik etnis biasanya bernuanasa masyarakat ditentukan faktor ekonomi.
konflik budaya, karena perbedaan budaya Sedangkan model hirarki majemuk (lihat
terletak pada masyarakat yang majemuk bagan) bahwa stratifikasi sosial sebagai hasil
yang dijadikan dasar dalam pembagian interaksi sosial dari berbagai faktor seperti
kelompok etnis. Namun apakah yang kelas, kesukuan, jenis kelamin dan usia,
berperan dari perbedaan kultural dalam kedua pendekatan yang membagi tiga
menciptakan konflik etnis. Apakah dapat klasifikasi sosial yaitu values, norms dan
dikatakan bahwa semakin perbedaan beliefs14. Ketiga klasifikasi ini akan diuraikan
kultural dan ekonomi yang ada dalam suatu secara makro beserta data-data pendukung
kelompok masyarakat, maka akan semakin yang penulis kumpulkan (lihat Figure 1-2).
besar potensi konflik etnis yang akan timbul.
Kebudayaan bisa pula dimengerti
sebagai totalitas tindakan komunikasi dan
sistem-sistem makna. Posisi seseorang
dalam kebudayaan akan ditentukan oleh
'kemelek-hurufan budaya' (cultural literacy),
yaitu pengetahuan akan sistem-sistem
makna dan kemampuannya untuk
menegosiasikan sistem-sistem itu dalam
berbagai konteks budaya12.

Stratifikasi dan Konflik Sosial di Kalbar


Kajian stratifikasi sosial ini, secara Konsep stratifikasi sosial dalam
khusus penulis menggunakan tulisan masyarakat dapat berupa stratifikasi kelas,
Vincent Jeffries and H. Edward Ransford etnik, jenis kelamin atau usia. Konsep kelas
yaitu Social Stratification a multiple hierarchy menunjuk pada stratifikasi sosial
approach khususnya tentang The Multiple berdasarkan perbedaan pendapatan, posisi
Hierarchy Model dan The Ideology of Ethnic pekerjaan, tingkt pendidikan dan gaya
Stratification. Beberapa pendekatan yang hidup. Stratifikasi kelas ini, menurut
penulis pergunakan dalam tulsian ini Rossides mendeskripsikannya ke dalam lima
adalah; pertama, model stratifikasi sosial struktur kelas; kelas atas, kelas menengah ke
yang ada di masyarakat yaitu model hirarki atas, kelas menengah ke bawah, kelas
tunggal (Single Hierarchy Model) dan model pekerja dan kelas bawah. Masing-masing
struktur kelas mempunyai ciri-ciri identitas
sosial; kelas atas bercirikan penghasilan besar
11 Rochman Achwan, Menuju Disntegrasi Bangsa atau
Integrasi Baru ?, makalah disampaikan pada Simposium
tentang Permasalahan Integrasi dan Disintegrasi Bangsa, 13 Vincent Jeffries and H. Edward Ransford, Social
diselenggarakan oleh PPKB-LPUI, Depok 31 Maret 2001. Stratification a multiple hierarchy approach, (Boston : Allyn
12 Antariksa, Budaya Sebagai Medan Pertarungan KUASA, and Bacon, Inc), 1980 hal. 3-12.

Newsletter KUNCI No. 11, Februari 2002 14 Vincent Jeffries and H. Edward Ransford, hal. 358-359.

KARSA, Vol. XII No. 2 Oktober 2007 190


Analisis Stratifikasi Sosial Sebagai Sumber Konflik
Mohammad Ali Al Humaidy

dan kaya, punya otoritas menentukn pluralitas yang tinggi. Berbagai orang dari
kebijakan, latar belakang pendidikan yang agama, dan etnis serta kebudayaan yang
tinggi, kelas menengah atas bercirikan berbeda menetap di daerah ini. Sungguh
mempunyai penghasilan yang tinggi, sebuah peradaban yang indah manakala
profesional, manager, mempunyai naluri perbedaan suku, agama dan budaya menjadi
bisnis tinggi dan berpendidikan universitas. spirit utama membangun masyarakat,
Kelas menengah ke bawah adalah namun sejarah telah mencatat bahwa bumi
berpenghasilan rata-rata memiliki usaha Kalimantan Barat gagal membangun
dalam skala kecil dan tingkat pendidikan peradaban itu seiring dengan munculnya
setingkat sekolah kanjutan, sedangkan bagi konflik antar etnis. Hal ini terbukti dengan
kelas pekerja pendapatan rendah dan bekerja seringnya terjadi konflik yang melibatkan
semi terampil dan bagi kelas bawah etnik di Kalimantan Barat, diantaranya pada
pendapatan sangat kecil dan bekerja sebagai tahun 1967 yang melibatkan etnis Dayak
buruh yang tidak terampil yang riskan dengan Tionghoa, tahun 1979, 1996/1997
menjadi pengangguran. 15. antara etnis Dayak dengan Madura,
Sebagaimana yang kita maklumi kemudian tahun 1999 yang melibatkan etnis
bahwa Kalimantan Barat (Sampit dan Melayu dan Dayak dengan etnis Madura.
Sambas) menjadi daerah tujuan migran Kejadian-kejadian tersebut memakan korban
Madura, dimana sejarah perpindahan orang yang tidak sedikit, baik nyawa manusia
Madura ke kalimanatan Barat sejak tahun maupun harta benda. Hal itulah yang
190216 dan kebanyakan mereka berasal dari kemudian membuat Kalbar, terutama bagi
dua kabupaten bagian barat pulau Madura masyarakat luar identik dengan konflik
yaitu Bangkalan dan Sampang17. Kalimantan antar etnis18.
Barat menjadi daerah tujuan migrasi orang Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie,
Madura karena pada saat itu kepadatan M.Sc. berpendapat19 bahwa kekerasan dan
penduduknya rendah yaitu 17 jiwa per konflik biasa pula ditimbulkan oleh faktor
kilometer persegi (1980), sedangkan sosial budaya, seperti hilangnya dan
penduduk Madura sangat padat namun terhambatnya pencarian identitas budaya.
tidak diimbangi dengan sumber daya alam Di Kalbar fenomena identitas budaya yang
yang subur sehingga kondisi ini menjadi paling menonjol adalah media identifikasi
motivasi untuk bermigrasi di negeri orang. (media of identification) dan identifikasi etnis
Migrasi orang Madura ke Kalimantan dan keagamaan (ethno, religio identification)
bagian dari pergumulan bertemuanya antar yang menghasilkan kekerasan dan konflik
suku yang sebelumnya telah hidup di antar anggota komunitas Dayak dan
Kalimantan seperti Melayu, Cina dan suku Melayu dengan Madura yang telah terjadi 12
lainnya yang mengandung nilai-nilai kali sejak 1963.
Pemahaman agama yang rendah akan
memunculkan konflik sosial apalagi bila
15 Vincent Jeffries and H. Edward Ransford , hal 121.
16 Ada tiga tahap perpindahan orang Madura ke
Kalimantan Barat, pertama periode perintisan (1902-1942), 18Hardianti, Pluralitas dan Hubungan Etnik di Kalimantan
kedua, periode surut (11942-1950), ketiga, ini terjadi Barat, dalam http://www.mail-
lantaran kehadiran Jepang dan revolusi kemerdekaan. ar-
Ketiga, setelah tahun 1950. (Sudagung, 2001 : Mengurai chive.com/mediacare@yahoogroups.com/msg27329.htm
Pertikaian Etnis ; Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke l
Kalimantan Barat, ISAI-Yayasan Adikarya Ikapi dan The 19
Ford Foundation, Jakarta : hal. 76). http://www.kongresbud.budpar.go.id/46%20syarif%20ibr
17 Ibid, hal. 50. ahim%20alqadrie.htm

KARSA, Vol. XII No. 2 Oktober 2007 191


Analisis Stratifikasi Sosial Sebagai Sumber Konflik
Mohammad Ali Al Humaidy

salah satu kelompok secara kuantitas Dayak mayoritas beragama Kristen


menguasai kelompok lain serta watak Katholik (namun sejak tahun 1986
masing-masing etnis secara egoisitis bahwa masyarakat Dayak Halong mengenal agama
agama yang dipegang adalah paling benar Buddha Kaharingan, Buddha Belihan atau
(fanatisme beragama) dan menyalahkan Buddha Dharma21) sedangkan orang
agama lain apalagi bila ditiupkan isu-isu Madura bergama Islam.
penyebaran agama terhadap orang yang
telah beragama.
Sisi lain, hasil penelitian Al-Qadri
(1999) memaparkan data bahwa etnik
Melayu berkisar 47%, termasuk komunitas
Dayak yang masuk Islam dan menyatakan
diri sebagai Melayu, Dayak 37%, Tiongha
12%, Jawa 3%, Madura 3%, Bugis 2%, Sunda
1% dan sisanya 2% kelompok etnik lain.
Sedangkan prosentase penduduk Sambas
berdasarkan etnik adalah Melayu 47%,
Dayak 28%, Cina 11%, Madura 9,4% dan
sisanya 4,6% dari jumlah sekitar 791.937 jiwa
pada tahun 1996 dan hampir 900.000 jiwa
tahun 199920
Melihat data-data diatas maka
kemungkinan terjadi benturan budaya
serta persaingan untuk menguasai sangat Dalam konteks ini, posisi agama
besar sehingga rentan muncul benih konflik (pendidikan) bukan hanya masuk pada
etnik, sebab kelompok mayoritas tentu akan penjabaran ajaran formal dalam tataran
tersugesti untuk menguasai dan ritual dan tradisi, karena dengan begitu
mempertahankan kekuasaan atau institusi pendidikan hanya merupakan upaya
strategis lainnya.Dari sisi keberagaman etnik ideologisasi. Sebaliknya pendidikan hen-
tentu sedikit banyak akan mempengaruhi daknya dipahami dalam sistem transendensi
komunikasi, dus timbulnya disharmoni antar selutuh aspek kehidupan. Artinya trensen-
etnik. Sebagaimana lazimnya masing- densi justru menghargainya dan bersama
masing etnik akan senantiasa merumuskan kebutuhan manusia sebagai
mempertahankan budaya dan norma- refleksi teologis masing-masing.
norma. Pendidikan agama semestinya diarahkan
Demikian pula dari aspel agama, untuk mengajak orang menerima dan terbu-
secara statistik (tabel;1 dan 2) masyarakat ka terhadap pluralisme. Dengan begitu pe-
muslim di Kalimantan Barat lebih banyak serta didik diberikan kesempatan untuk
dari agama lain meskipun mereka (muslim) mencerna "rasa keberagamaannya"dengan
tidak semuanya dari Madura artinya Islam bahsanya sendiri dan menumbuhkan kesa-
sudah ada sebelum masyarakat Madura daran keberagamaan itu di tengah-tengah
migrasi ke Kalimantan Barat. Masyarakat komunitas lain diluarnya. Disini peserta

21 Sinar Dharma 09 Waisak 2549BE/2005, lihat di


20Kantor Bapeda Tk. I Kalbar, sebagaimana dikutip Al- http://www.mail-
Qadri (1999). archive.com/mabindo@yahoogroups.com/msg00767.html

KARSA, Vol. XII No. 2 Oktober 2007 192


Analisis Stratifikasi Sosial Sebagai Sumber Konflik
Mohammad Ali Al Humaidy

pendidikan tidak dipaksa memahami pema- yang digunakan oleh kaum laki-laki Dayak24
haman dan pengalaman lain dalam bahasa (hal 263-4).
sang guru. Peserta pendidikan dilatih untuk Menurut Prof. AB. Tangdililing
menggunakan kepekaan atas plutalitas (per- bahwa munculnya streotip diebabkan faktor
bedaan) dan memahaminya dengan bahasa budaya. Pandangan seorang atau kelompok
batinnya sendiri. masyarakat etnik menurut budayanya
Banyak kalangan menilai bahwa masing-masing akan menentukan stereotip
sumber konflik tidak lepas dari faktor etnik lainnya. Kalau ada budaya yang
karakter/watak. Orang Madura sejak lama berbeda, maka pada saat itulah muncul
telah terstereotype pemalas, pendendam, stereotype.25 Penulis mencontohkan beberapa
egois dan stigma lain yang cenderung karakter negatif bagi terhadap suku Madura
destruktif, meskipun image orang Madura seperti masyarakat Dayak menganggap
yang cenderung destruktif ini dibantah oleh orang Madura kurang menghargai orang
Antropolog asal Belanda, Dr Huub de Jonge lain, keras kepala, dan kebiasaan berkelahi
dimana dia berpendapat bahwa anggapan yang disebut carok ; angoan potea tolang, e
tersebut terkadang hanya untuk tembang pote mata (lebih baik putih tulang
22
kepentingan kelompok lain . Mien Ahmad daripada putih mata), yang artinya lebih
Rifai23 secara utuh menjelaskan pembawaan baik mati daripada menanggung malu.
orang Madura; jhin (perseorangan), Gherr Padahal, bagi orang Madura konsep ini
(kaku dan kasar), Bngalan (pemberani), bagian dari spirit hidup dalam mencari
Koko (kukuh), Sahuduna (apa adanya), kehidupan di Madura atau diluar Madura,
Sacca (tukus setia), Jijib (tertib), Nongghng sehingga akibat stigmasisasi yang salah
(melecehkan), bir (pamer), Pengko (keras kaprah ini, nuncul rasa buruk sangka dan
kepala), Sanggp (tanggap), Bilet (ulet), pengkotakan komunikasi.
Junl (berkewirausahaan), Lalampang Tanpa bermaksud membela etnis
(ketualangan), Parmpen (hemat dan manapun, secara prinsip watak/pembawaan
cermat), Sokkla (berkeagamaan), Ta- diatas melekat kepada tiap manusia (bersifat
karataan (lantang). hakiki) dan kapan saja bisa terjadi. Demikian
Demikian halnya dengan citra Dayak juga dalam hal kekerasan (pembunuhan)
yang dengan kuat masih dihubungkan dimana orang Madura dikenal dengan
dengan keterbelakangan atau istilah yang carok26, sedangkan masyarakat Dayak
kita kenal dengan primitif, seperti mengenal tradisi pengayauan yaitu adat
pemburu kepala manusia, makan orang, dan memenggal kepala27.
memiliki ekor. Namun, citra negatif bahwa Lalu mengapa orang Madura ketika
orang Dayak memiliki ekor terbantahkan. merantau kemudian menunai sukses secara
Hal itu dijelaskan oleh salah seorang materi? Mungkin petanyaan ini sering
narasumber penulis bahwa sebenarnya ekor
tersebut adalah bagian dari cawat kulit kayu
24 Selengkapnya, baca Yekti Maunati, Identitas Dayak,
Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, (Yogyakarta; LKiS),
Cet. I, 2004, hal 263-264)
25 Edi Petebang dan Eri Sutrisno, Konflik Etnik Sambas, (ISAI
22 http://www.antara.co.id/arc/2007/3/12/antropolog- ; Jakarta, 2000), hal. 115
belanda--anggapan-orang-madura-keras-tak-benar/ 26 Selengkapnya baca buku A. Latief Wiyata, Carok Konflik
23 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura, Pembawaan, Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta;
Perilakum Etos Kerja, Penampilan dan Pandangan LKiS), Cet. II, 2006.
Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, 27 Edi Petebang dan Eri Sutrisno, Konflik Etnik di Sambas,

(Yogyakarta; Pilar Media), 2007; hal 199-235. (ISAI; Jakarta), 2000, hal 66.

KARSA, Vol. XII No. 2 Oktober 2007 193


Analisis Stratifikasi Sosial Sebagai Sumber Konflik
Mohammad Ali Al Humaidy

muncul dikala orang membicarakan orang tanah perantauan.. Perasaan ini diungkap
Madura yang hampir di bumi nusantara dalam semboyan Angoan potea tolang, e
ataupun dii berbagai negara. Abdurrahman tembang pote mata (lebih baik putih tulang
berpendapat bahwa orang Madura daripada putih mata), yang artinya lebih
mempunyai sifat-sifat pantang menyerah, baik mati daripada malu31. Oleh sebab itu
ulet, percaya diri, sifat keras dan karena didorong rasa malu bila gagal
mempunyai solidaritas kelompok kuat. Hal merantau, maka mereka berjuang dengan
ini dikarenakan adanya pengaruh agama gigih dan tekun. Andalan utama mereka
Islam28 yang ada dalam al-Quran surat Ar- dalam perjuangan itu adalah kondisi badan
Radu (Guruh) ayat 11 bahwa manusia mereka yang kuat dan tahan cuaca.
tidak boleh putus asa. Manusia wajib Kesanggupannya serta keikhlasannya untuk
berusaha atau berikhtiar memperbaiki menderita, disertai sifat hemat dan
nasibnya, karena Tuhan tidak akan kebiasaan menabung, lambat laun membuat
mengubah nasib seseorang apabila orang itu perjuangan mereka membuahkan hasil.
tidak berusaha mengubahnya.29 Dari beberapa hasil penelitian bahwa
Katolik sebagai agama mayoritas bagi mata pencaharian orang Dayak adalah
kelompok etnis Dayak di Kalimantan Barat bertani dengan sistem ladang berpindah.
juga mengajarkan penganutnya untuk Ada pula diantara yang bekerja sebagai
mempertahankan tidak saja kelestarian penoreh getah. Untuk memenuhi kebutuhan
hutan dan SDA lainnya tetapi juga identitas mereka akan makan daging, mereka
nilai budaya mereka. Ketika pembangunan beternak babi yang biasanya dilepas begitu
yang berorientasi pada negara dan saja seperti orang Melayu dan Jawa
berdasarkan pada paradigma pertumbuhan memelihara ayam. Orang Dayak juga
ekonomi semata selama tiga dekade terkenal sebagai pemburu binatang yang
ditambah dengan lima tahun pada era berani. Mereka biasanya menggunakan
reformasi menimbulkan proses deforestasi tombak, sumpit atau mandau.
dan hilangnya identitas budaya kelompok Demikian juga orang Madura, sisi
etnis ini. Kondisi seperti ini menyebabkan kinerja dan tenhik lebih baik dari warga
mereka merasa sangat terluka dan Dayak, dalam mengerjakan lahan pertanian
terpinggirkan yang pada gilirannya terlihat semi permanen (tidak berpindah-
memungkinkan timbulnya kekerasan dan pindah), gotong royong dalam bertani lebih
konflik terhadap kelompok lain yang kuat, justru yang berbeda sama sekali adalah
dianggap sebagai penyebab timbulnya orang Madura lebih suka memelihara
proses tersebut.30 binatang sapi, apalagi babi yang diharamkan
Sifat rasa malu, yang dalam bahasa dalam hukum Islam.
Madura disebut todus, adalah salah satu sifat Dalam sistem komunikasi, orang
orang Madura yang membuat mereka Madura sendiri hidup secara berkelompok
sanggup menjalani hidup menderita di dalam satu kawasan tertentu sehingga
menciptakan klen eksklusif. Mereka
28 Abdurrachman, : Sekelumit Cara mengenal Masyarakat mempunyai masjid sendiri, punya aturan-
Madura, Samsuri (ed). Madura. Proyek Penelitian Madura aturan sendiri sesuai dengan apa yang
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., (IKIP:
Malang, 1977), hal. 12-13.
mereka pahami dari para kyai mereka.
29 Sudagung, Opcit, hal. 28. Kelompok ini terkesan agak sulit didekati
30

http://www.kongresbud.budpar.go.id/46%20syarif%20ibr
ahim%20alqadrie.htm 31 Sudagung, Op.Cit, hal. 119

KARSA, Vol. XII No. 2 Oktober 2007 194


Analisis Stratifikasi Sosial Sebagai Sumber Konflik
Mohammad Ali Al Humaidy

oleh etnik lain termasuk kedua suku asli dan Dayak yang penting untuk dilestarikan.
Kalimanatan Barat yaitu Dayak dan Melayu, Faktor pendidikan sangat
sehingga menciptakan jarak, bukan hanya mempengaruhi pola fikir, tingkah laku dan
secara fisik melainkan juga secara kultural sikap, sebab dengan pendidikan itu akan
dengan bagian masyarakat dan etnik lainnya banyak pengetahuan dan keterampilan
di Kalimantan Barat. termasuk tentang kepribadian yang
Demikian juga orang Dayak, secara diperoleh, sehingga terbentuklah
umum tidak begitu berbeda dengan sifat kepribadian yang kreatif, mandiri dan
orang Madura, yaitu rasa kesukuan disertai bertanggung jawab.
solidaritas kelompok yang kuat. Disamping Demikian sebaliknya, dengan
itu orang Madura juga mempunyai sifat pendidikan yang rendah akan
cepat curiga dan pendendam, kendatipun mengakibatkan pola fikir yang kurang
mereka memiliki sifat yang baik yakni kreatif, memandang hidup secara sempit
hemat dan suku menabung. Etnis Madura dan cenderung fatalistis. Terobosan
dikenal dengan ikatan kekerabatan yang dibidang pendidikan penting setidaknya
sangat kuat, semisal orang Madura untuk menyadarkan mereka tentang makna
menganggap semua orang itu taretan hidup, minimal dalam konsep
(saudara) baik yang mempunyai ikatan bermasyarakat terbangun mental progresif
keluarga atau tidak.32 Alhasil, secara prinsip dan berwawasan luas. (bersambung). Wa
banyak persamaan antara orang Madura Allh alam bi al-sawb

A. Latif Wiyata, Memahami Perilaku Budaya Orang Madura,


32

Kompas, 06 April 2001.

KARSA, Vol. XII No. 2 Oktober 2007 195


Analisis Stratifikasi Sosial Sebagai Sumber Konflik
Mohammad Ali Al Humaidy

KARSA, Vol. XII No. 2 Oktober 2007 782

Anda mungkin juga menyukai