Disusun oleh :
Kelompok 2
1. Hasfiyah ( 4152121051 )
2. Riska Indri Yanti ( 4152121055 )
3. Soraya Najiha ( 4153121058 )
4. Triwahyu Ramadhani ( 4151121071 )
5. Yuni Choirun Nisa Siregar ( 4151121079 )
6. Zaman Kontemporer
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer adalah era tahun-tahun terakhir yang kita
jalani hingga saat sekarang. Hal yang membedakan pengamatan tentang ilmu pada zaman
sekarang adalah bahwa zaman modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar
abad ke-17, sedangkan kontemporer memfokuskan sorotannya pada berbagai perkembangan
terakhir yang terjadi hingga saat sekarang. Beberapa contoh perkembangan ilmu kontemporer
adalah : Santri, Priyayi, dan Abangan. Lebih lanjut semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami
perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan
teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran
kuantitatif sebagai andalan utamanya.
Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan. Pada
periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang
mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan.
Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong
benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga
ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan
cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia
untuk menjelajah dunia melalui internet. Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh
keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi
bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah
membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar
dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini. Namun, dibalik keberhasilan itu,
ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk
kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini.
Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah
memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya.
Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang
tak terkendali. Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata
telah menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang
diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya
sendiri, yaitu manusia. Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan
teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagai
kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut
“Teori Kritik Masyarakat”.
Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap
determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi
dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari
berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan meretifikasi dunia sosial. Selain itu
Positivisme dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif
yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan
kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat
diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat”
menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa
menantangsistem yang eksis. Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan
pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value,
fisikal, reduktif dan matematika. Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu
kebenaran,. Rich (1979) mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth is notone
thing, -or even a system. It is an increasing completely” Pengalaman manusia begitu kompleks
sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh sebuahteori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak
ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral. Usaha untuk menghasilkan
ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu
bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan
ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu
merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apa
yang disebut “obyektivitas”.“ Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and
valuationally. Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata,
oleh sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggung- jawabkan secara empirik, sehingga dapat
dipercaya dan diandalkan.
Abdullah, A. (2002). Studi Agama Normativitas Atau Historivitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mukhtar. (2014). Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Kencana Prenadamedia.
Mulyadi, K. (2005). Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistic. Jakarta: UIN Press.
Surajiyo. (2005). Ilmu Filsafat Suatu Pengantaar. Jakarta: Bumi Aksara 2005.