Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN BUKU

Dosen :
Ny. C. Tuhumury, S. Th. SH.MH

Oleh :
Glen Jacob
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON

JUDUL BUKU

SOSIO EPISTEMOLOGI
(MEMBANGUN PENGETAHUAN BERWATAK SOSIAL)

PENGARANG :
Aholiab Watloly

PENERBIT :
Kanisius

TAHUN TERBIT :
2013

TEBAL :
439 Halaman

PENDAHULUAN
Buku Sosio-epistemologi (membangun pengetahuan
berwatak sosial ) memperkenalkan tentang pemikiran baru
dalam epistemologi ( filsafat pengetahuan ) yang menggagas
sebuah teori pengetahuan yang berwatak atau berkarakter
sosial, pengatahuan untuk berpikir inovatif dalam menyingkap
berbagai kemungkinan, baik dalam akal maupun pengalaman,
serta menata dan menguji argumen untuk menumbuhkan
aktivitas, dengan rasio dan nalar social sebagai sebuah tugas
insani yang berharga dan utama, serta mengembalikan hakikat
dan watak sejati kita sebagai mahkluk sosial.
Sosio-epistemologi bertujuan untuk menunjukan adanya
sebuah visi baru tentang hakikat pengetahuan dan keilmuan
yang terpancar dari ruang kedalaman hati dan hidup manusia
(inner vision). pengetahuan bersumber dari pikiran manusia,
bahkan dari kandungan pikir, rasa, karsa atau kehendak dan niat
hati dalam pergulatan hidup anak manusia sebagai anggota
masyarakat dengan kepentingan kepentingan kemanusiaan
dan tugas kemasyarakatannya yang ber-bhinneka tunggal ika.
Sosio-epistemologi berupaya mengembangkan sebuah sistem
pengetahuan yang berwatak atau berkarakter sosial yang
mendorong tindakan-tindakan emansipatif (pembebasan) demi
tugas pencerdasan, humanisasi, cinta kasih, dan kesejahteraan
hidup manusia.

ISI BUKU
BAB I
MENJELAJAHI ATMOSFER PENGETAHUAN
A. LANDASAN PENGETAHUAN.
1. Landasan Ontologi
Istilah Ontologi (Yunani = On ontos). Ontology adalah
cabang filsafat yang mempelajari ada dan
keberadaan. Tidak ada pengetahuan sejati tanpa
manusia dan masyarakat sebagai basis ontologisnya
yang bersifat normatif. Manusia dan masyarakat
menjadi sumber pengada bagi pemikiran dan
pengatahuan sehingga pengetahuan menjadi
sesuatu yang sangat dinamis (berkembang). Tanpa
landasan ontologis manusia dan kemasyarakatan,

maka tidak dapat menghasilkan pengetahuan dan


juga tidak digunakan sebagai sebuah pengetahuan,
entah itu bersifat umum, khusus, maupun
pengetahuan keilmuan. Sebab pengetahuan itu
diadakan dan dikembangkan dari keingintahuan
manusia dan masyarakat. Selain manusia dan
masyarakat, ada juga alam fisik (baik bendawi atau
nonbendawi) serta segala wujud gejala alam dan
aktivitas sebagai landasan dari ontologi.
2. Landasan Epistemologis
Epistemologi, dari kata episteme (yunani) yang
berarti tahu atau pengetahuan (inggris = knowledge)
yang artinya pengetahuan tentang pengetahuan atau
teori tentang pengetahuan. Epistemologi adalah
suatu landasan pemikiran dalam rangka
mengerjakan pengetahuan dan keilmuan, yang
mengandalkan sumber- sumber pengatahuan,
struktur logis (nalar), jangkauan, metode atau cara
kerja serta nilai dan tanggung jawab dalam
mengerjakan pengetahuan. Secara sosioepistemologis dasar epistemologis terdiri dari 2
(dua)hal pokok :
1. Problematika Epistemologi
Pengetahuan bersifat sosial karena digali, disusun,
diuji, dan dikembangkan dalam sebuah lingkungan
kemasyarakatan dengan cara pandang dan cara
kerja yang khas. Pengetahuan tidak bersifat
tunggal dan monopoli, bahkan tidak satupun
pengatahuan bersifat mutlak-apriori(general),
sebaliknya pengetahuan bersifat majemuk sesuai
konteks sosial manusia yang berbhinneka tunggal
ika dan paradigmatis (perspektif-perspektif
pemikiran yang khas).
2. Memperluas Cakrawala Kesadaran
Ada tiga persoalan epistemologis yang selalu
dihadapi sebagai sebuah warisan intelektual
yang belum terhapuskan :
Masyarakat lokal (pribumi) tidak
mempunyai kemampuan dalam
memahami diri serta tertinggal atau buta
dalam melakukan perubahan sosial.

Adanya pengaruh teoritikus sosial


aristocrat (sok kuasa) dan borjuis (sok
bermodal kekayaan ilmu).
Adanya apriori bahwa warisan dan
sumber tradisional yang dimiliki
masyarakat yang bersifat irasional (tanpa
muatan kognitif), mistik, atau magis.

3. Landasan Aksiologis
Aksiologi berasal dari akar kata yunani axios yang
berarti pantas atau wajar, misalnya bepikir yang
pantas. Jadi Aksiologi diartikan sebagai pikiran,
pengetahuan, atau ilmu tentang hal-hal yang pantas,
wajar, atau yang etis.
Masyarakat sebagai sebuah entitas budaya memiliki
sistem nilai berupa tanda kepribadian, kode
peradaban, dan martabat diri. Semua sistem yang
dimaksud tidak turun dari langit melainkan
terjemahan dan pemahaman yang didasarkan pada
orientasi komunitas masyarakat. Aksiologi
pengetahuan hendak menunjukan hal yang
sebaliknya yaitu asumsi-asumsi dasar dari pemikiran
teoritis tentang masyarakat yang bergantung pada
sistem nilai budayanya.

B. INDIGENISASI TEORI PENGETAHUAN.


Indigenisasi teori pegetahuan adalah berusaha
memahami hakikat pengetahuan dari perspektif
masyarakat baik tata pikir yang bersifat harian maupun
pengetahuan lokal yang prailmiah.
Ada dua alasan yang melandasi kepentingan
indigenisasi teori pengetahuan :
Alasan akademis.
Teori tentang masyarakat yang dikembangkan di
indonesia berawal dari barat dan dipakai untuk
untuk menganalisis realitas masyarakat indonesia
dalam sebuah justifikasi ilmiah.
Alasan pembangunan.
Indigenisasi teori pengetahuan berusaha
menunjukan posisi masyarakat sebagai subjek

dan aktor pengembangan pengetahuan dan aktor


pembangunan dengan segala modal sosial.
Beberapa ciri budaya prakapitalis yang dijumpai dalam
masyarakat kita adalah :
Cenderung mengutamakan hubungan sosial dari
hubungan ekonomi.
Tingkah laku ekonominya lebih berorientasi pada
komsumsi (makan, minum, pakai, ritual agama,
dan sebagainya) daripada produksi.
Cenderung menyamakan hubungan kerja dengan
hubungan patriakhal.
Lebih mengutamakan pemikiran spiritual dari
pemikiran kritis.
Pasrah pada kemiskinan yang tidak pernah
tertangani.
Mentalitas komsumtif (menunggu untuk
menggunakan).
Ilmu, ilmuwan, dan lembaga keilmuan masih
dilihat sebagai kekuatan eksklusif daripada
kekuatan produktif.
Lemahnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.
BAB II
ARTI PENTINGNYA SOSIO EPISTEMOLOGI, PENGETAHUAN
BERWATAK SOSIAL.
A. MENGAPA SOSIO EPISTEMOLOGI ?
Kehadiran Sosio epistemologi (pengetahuan berwatak
sosial) didorong oleh oleh sebuah pergolakan pemikiran
yang panjang dan rumit di dalam filsafat pengetahuan
(epistemologi). Pengetahuan itu tidak ada dengan
sendirinya, tetapi diproses dan dilahirkan dalam bentuk
kesadaran luhur untuk membebaskan manusia dari
ancaman dehumanisasi sejati dan berdamai sejahtera.
Filsafat pengetahuan memandang pengetahuan itu sendiri
adalah salah satu fenomena eksistensi manusia yang
memiliki fungsi eksistensial, yaitu fungsi yang
berhubungan dengan hakekat keberadaan manusia dalam
lingkungan masyarakat.
B. MEMBARUI HAKIKAT PENGETAHUAN DAN KEILMUAN.
Benih benih pemikiran sosio-epistemologi awalnya
dimunculkan oleh Immanuel kant (1734-1840) dalam

filsafat kritisnya(kritisme kant). Kemudian berkembang luas


dengan bangkitnya kekuatan intelektual sosial di dalam
epistemologi abad ke dua puluh. Gerakan intelektual itu
nyata dalam pemikiran Dilthey (1833-1911), Husserl(18591938), dan Heidegger(1889-1976), kemudian mengalami
proses kematangan di dalam Teori Kritis (1895) yang
mewujudkan diri sebagai kritik pembaruan atas
epistemologi modern. Inti filosofis yang dimaksud
menunjukan bahwa teori pengetahuan dan keilmuan
haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri
manusia dan dirinya sendiri untuk menuju proses
humanisasi dan sesama melalui tindakan pendidikan
secara sadar. Ada dua asumsi yang melandasi pemikiran
filosofis itu adalah :
1. Pendidikan (teori pengetahuan dan keilmuan)
merupakan jalur permanen pembebasan dimana
orang menjadi sadar.
2. Individu atau masyarakat terus membudayakan diri
secara permanen dalam aksi budaya pembebasan
(humanisasi diri).
C. MENGATASI IDEOLOGISME DAN TEKNOLOGISME
DALAM PENGETAHUAN DAN KEILMUAN SOSIAL.
Ideologisme artinya bersifat memaksa (memutlakan)
kebenaran sebagai satu-satunya kebenaran yang sah dan
berlaku mutlak dalam segala hal, sedangkan teknologisme
artinya mengandalkan diri pada kekuatan teknis (rekayasa)
dalam menangani relitas sosialnya.
Dengan bersandar pada model teori ilmu alam dan
untuk berhasil mengklaim diri sebagai ilmu ilmiah, maka
ilmu-ilmu sosial pun terjebak didalam sikap ideologisme,
metodologisme dan teknologisme ilmu-ilmu alam itu
sendiri. Sikap keilmuan yang demikian telah
mengakibatkan hilangnya ciri sosial, seperti cinta kasih dan
etika atau nilai yang merupakan dasar teoretis dan sumber
pemekaran bagi ilmu-ilmu sosial.
D. HAKIKAT SOSIO-EPISTEMOLOGI
Sosio-epitemologi (pengetahuan berwatak atau
berkarakter sosial) merupakan sebuah gagasan filsafat
pengetahuan (epistemologi). Tujuannya untuk
mengembangkan sistem (teori, metode, dan penerapan)
pengetahuan dan keilmuan yang mendorong manusia dan
masyarakat pada praxis-emansipatoris. Skema kerja

filosofis tersebut dilakukan dengan mengembangkan


sebuah dialektika pola kontras antara kedua kategori
(kategori filsafat trancendental dan kategori sosial yang
immanen) untuk menghasilkan praxis emansipatoris.
Sosio-epistemologi menunjuk pada esensi pengetahuan
dan keilmuan sebagai jembatan pembebasan dalam
mewujudkan kebebasan sejati(kemanusiaan sejati), inti dari
filosofis pembebasan yang dimaksud adalah humanisasi
diri individu manusia dan sesama (lingkungan dan
masyarakatnya).
A. Melakukan Penyadaran Diri.
Belajar dari Paulo Freire sosio-epistemologi hendak
menunjukan bahwa teori pengetahuan maupun
keilmuan harus dikembangkan dengan cara
menumbuhkan kesadaran diri. Sosio-epistemologi
sebagai sebuah teori pengetahuan yang berwatak atau
berkarakter sosial. Caranya, bukan dengan kekerasan,
tetapi menumbuhkan kekuatan kesadaran kritis sebagai
proses pencerdasan hidup. melaui itu pengetahuan dan
keilmuan tidak akan terkurung dalam sekat-sekat
egoismenya yang cenderung memperalat dan
mengeksploitasi manusia atau masyarakat.
a. Kesadaran Magis (Magical Consciousness)
Menurut Freire, kesadaran magis membuat
manusia hanya melihat atau
mengambinghitamkan faktor diluar manusia,
dalam hal ini , alam natural dan Sang Tuhan atau
supranatural,sebagai penyebab kemiskinan dan
kemelaratan.
b. Kesadaran Palsu atau Kesadaran Naif (Naival
Consciousness)
Masyarakat sering terbelenggu dalam sebuah
cengkeraman kesadaran naif atau kesadaran
palsu yang seolah memperbudakan diri pada
kenikmatan hawa nafsu materiallisme.
Materiallisme adalah paham yang menyadarkan
diri pada suatu materi, dimana materi dijadikan
sebagai ukuran satu-satunya atas klaim
kebenaran dan kepastian.
c. Kesadaran Kritis (critical consciousness)

Bila dalam kesadaran magis penyebab


ketidakberdayaan atau faktor penindasan terletak
pada alam dan supranatural sebagai penyebab
dan pada kesadaran naif, sebaliknya, dalam
kesadaran kritis hendak ditunjukan bahwa
ketidakberdayaan itu sendiri disebabkan oleh
struktur-struktur sosial, politik, ekonomi, budaya
serta struktur pengetahuan dan keilmuan yang
angkuh (egois) yang begitu kuat dan
membelenggu dan mendeterminasi kehidupan
manusia.
B. Fondasi Dialektika.
Sebagaimana pendidikan pembebasan, tidak melihat
masyarakat sebagai objek dan subjek atomis (berdiri
sendiri), justru ia menempatkannya sebagai subjek
dalam posisi kebertautan (dialektis) dengan kesadaran
sesaat, palsu dan struktur-struktur pengetahuan
maupun struktur sosialnya yang menindas. Keduanya
ditempatkan dalam sebuah dialektika (tegangan
dialektis). Alasanya, karena sama-sama berada dalam
kondisi dehumanisasi (kehilangan arti kemanusiaan dan
kebebasan sejati).
C. Dialog Bebas Sebagai Jembatan Menuju Humanisasi.
Sosio-epistemologi mengandalkan sebuah dialog yang
bebas yang membimbing pada kebebasan (humanisasi)
sejati. Dialog bebas dalam sosio-epistemologi
mengandalkan pendekatan dialogis, non-hierarkis, dan
digerakan oleh cinta.
D. Memberi Kepastian Jiwa Dan Kreativitas Pemikiran.
Dengan teori pengetahuan dan keilmuannya yang yang
berwatak sosial, membenamkan dan memekarkan
dirinya dalam relitas struktur kemasyarakatannya.
Tujuannya untuk menangkap berbagai nuansa
kecemasan, keprihatinan, dan harapan sebagai sebuah
setting teori.
a. Mendorong Lahirnya Tanggapan Jiwa.
Sosio-epistemologi membimbing dan
mendorong lahirnya sebuah tanggapan jiwa
dalam diri manusia atau masyarakat. Alasanya,
tanggapan jiwa, sebagai sebuah daya batin
dalam diri manusia.
b. Memupuk Serta Merangsang Pertumbuhan
Teori Pengetahuan Dan Keilmuan.

Hakikat sosio-epistemologi sebagai teori


pengetahuan dan keilmuan berwatak sosial
menegaskan pula bahwa unsur-unsur sosial
budaya masyarakat menjadi pupuk dan
perangsang pertumbuhan teori pengetahuan
dan keilmuan, baik pengetahuan secara umum
maupun pengetahuan khusus.
BAB IV
AWAL MUNCULNYA BENIH-BENIH PEMIKIRAN SOSIOEPISTEMOLOGI
A. FILSAFAT KRITIS SEBAGAI RAHIM PESEMAIAN BENIH
PEMIKIRAN SOSIO-EPISTEMOLOGI.
Spirit pemikiran sosio-epistemologi telah muncul
sebagai benih-benih pemikiran yang subur di dalam rahim
pemikiran filsafat kritis sejak zaman Immanuel Kant
dengan rasio kritisnya sampai Hegel, Hegelian muda, dan
kaum strukturalis Prancis. Immanuel Kant dengan filsafat
kritisnya, berusaha membangun sebuah wawasan
epistemologi kritis untuk membangun dasar-dasar
kebenaran pengetahuan agar orang terhindar dan tidak
terjebak dalam kebuntuan intelektual dan kemandulan
berpikir dengan cara, membangun refleksi-refleksi kritis
yang bersifat empiris-transendental dalam sebuah
tegangan (pertautan dialektis). Bibit pemikiran kritis itu
kemudian berkembang pada zaman Hegel dan kaum
kritikus yang disebut Hegelian muda seperti Karl Marx.
Istilah Teori Tradisional adalah sebuah istilah yang
lazim dalam tradisi filsafat kontemporer, khususnya dalam
tradisi filsafat Kritis. Teori Tradisional dan Teori Kritis
diperkenalkan oleh Max Horkheimer dalam artikenya yang
berjudul Traditional and Critical Theory tahun 1937.
Meskipun demikian,para filsuf kritis tradisional itu sendiri
terjebak ke dalam ambisi zamanya yang berusaha
menyelesaikan segala permasalahan itu secara tuntas dan
paripurna di dalam tangannya sendiri.
Hegel akhirnya sama seperti kant yang menundukan
kritik teori pengetahuan di bawah pengetahuan absolut.
Akibatnya, sosio-epistemologi yang secara awal telah
dirintis dan diberi dasar oleh Kant dan Hegel pun akhirnya
membeku dan macet. Pandangan tersebut akhirnya

terjebak dalam kecederungan dogmatisme yang kuat dan


besifat historis.
B. MARX SEBAGAI BIDAN KELAHIRAN SOSIOEPISTEMOLOGI
1. SEMANGAT PEMIKIRAN SOSIO-EPISTEMOLOGI DI
DALAM MARX
Karl Marx (1818-1883) merupakan tokoh yang dapat
dinilai sebagai pemenang yang berhasil membedah benihbenih pemikiran Sosio-epistemologi dan mengeluarkannya
dari rahim kandungan alam pemikiran filsafat kritis
Immanuel kant. Sejarah perkembangan sosio-epistemologi
secara gamblang menunjukan bahwa Karl Marx-lah yang
pada awalnya telah meletakan sebuah pemikiran kritis di
dalam teori sosial dalam usahanya untuk membebaskan
rakyat yang tertindas.
Teori kesadaran diri Marx dimunculkan dalam hubungan
dengan pemikiran Marx tentang kerja itu sendiri
mempunyai tiga tahap atau saat( yang dalam pandangan
Marx tidak berurutan secara historis) :
1) Kesadaran diri yang primitif tentang manusia
yang tenggelam dalam hidup spesies-nya.
2) Pengasingan diri atau alienasi dari kehidupan
spesies.
3) Realisasi diri atau pemenuhan diri dalam segala
kegiatan kreatif.
2. MATERIALISME SEJARAH
Materialisme sejarah merupakan usaha Marx untuk
mengembangkan pandangan sejarah menurut prinsipprinsip ekonomi. Marx memandang proses kehidupan
manusia dari dua faktor yang memiliki hubungan sejarah,
yaitu faktor ekonomi sebagai basis dan masalah kesadaran
manusia yang berwujud dalam ilmu, filsafat, ideologi, dan
agama sebagai suprastruktur. Akibatnya, perubahan
perubahan dalam struktur ekonomi akan mengakibatkan
perubahan dalam struktur ekonomi akan mengakibatkan
perubahan dalam struktur kesadaran atau struktur
perubahan massyarakat, dan tidak sebaliknya. Berdasarkan
pemikiran inilah Marxisme ortodoks menolak masalah
suprastruktur dan hanya memusatkan diri pada masalah
ekonomi sebagai pokok analisnya.

3. MENGEMBANGKAN TEORI SOSIAL ATAS DASAR


PENDEKATAN KONFLIK
Pandangan epistemologi Marx yang bersifat materialis
telah mendorongnya untuk mengembangkan kontruksi
teoretisnya tentang masyarakat dengan sebuah
pendekatan konflik. Kelemahan Marx sebagai seorang filsuf
moral, terletak pada pengandaiannya mengenai revolusi,
Marx juga tidak memedulikan faktor kemiskinan, nafsu,
persaingan dan rasa bosan karena kerja monoton karena
alasan-alasan ekonomis belaka. Akibatnya, teori sosial Karl
Marx lebih memantapkan kedudukan konflik sebagai
kekuatan utama dalam sejarah perkembangan menuju
masyarakat ideal yang dicita-citakannya.
4. KERJA SEBAGAI KATEGORI EPISTEMOLOGI
Pandangan Marx tentang materialisme sejarah
sekaligus menampakkan sebuah usaha untuk
mengembangkan pandangan sejarah menurut prinsip
ekonomi dan sekaligus menempatkan kerja (labour)
sebagai kategori epistemologi. Marx memandang bahwa
hanya dalam kerja itulah, manusia mengubah dunia,
melalui kerja maka pengetahuan semakin bertumbuh dan
dengan demikian menjadi praxis.
Pengetahuan manusia dapat bertumbuh melalui kerja,
yang dapat dilihat dalam tiga tahapan sejarah.
I.
Tahap manusia kodrati, merupakan tahap ketika
alam menguasai manusia dan institusi
pemilikan.alam sebagai objek bagi manusia
belum dikembangkan.
II.
Tahap pengembangan milik pribadi, ditandai
dengan proses pemisahan antara manusia
dengan alam.
III.
Tahap kapitalisme, kapitalisme adalah institusi
yang mengakibatkan terwujudnya pengasingan
atau alienasi diri. Menurut Marx tahap ini akan
digantikan oleh tahap berikutnya, tahap
komunisme.
IV.
Tahap komunisme yaitu tahap perkembngan yang
paling sempurna ketika penguasaan oleh manusia
begitu sempurna.

Melalui paradigma kerja sebagai kategori epistemologo,


marx bermaksud menunjukan perbedaan antara manusia
dan hewan. Menurutnya, hewan masih tenggelam di
dalam alamnya sendiri sementara menusia manusia justru
telah mengatasi alam.
5. EPISTEMOLOGI INSTRUMENTAL KARL MARX
Habermas (1972:32) menjelaskan bahwa dengan
adanya sintesis melalui kerja, maka Marx telah
menemukan Epistemologi Instrumental yang khas
dalam pandangannya. Epistemologi instrumental
merupakan antitesis terhadap epistemologi Kant yang
bersifat transendental. Marx tidak secara eksplisit
membahas ilmu-ilmu manusia atau ilmu-ilmu budaya, ia
hanya menunjukan tatanan relasi masyarakat dengan
ketepatan penelitian ilmu ilmu alam. Akibatnya ilmu-ilmu
budaya dipahami sebagai pengetahuan untuk mengontrol
proses-proses kehidupan sosial, sebagaimana ilmu-ilmu
alam mengontrol proses alamiah.

BAB V
TEORI KRITIS SEBAGAI PELETAK DASAR BANGUNAN
FILSAFAT SOSIO-EPITEMOLOGI
A. GAMBARAN UMUM TEORI KRITIS
Meskipun teori kritis belum menampilkan Sosioepistemologi di dalam ssebuah karya yang bersifat lengkap
dan sistematis, namun meraka telah menunjukan seratserat pemikiran Sosio-epistemologi itu secara ekslusif di
dalam struktur pemikiran dan semangat intelektualnya.
Istilah Teori Kritis ingin memperjelas basis
epistemologinya. Intinya adalah melakukan refleksi Kritis
atas proses persepsi yang terjadi pada subjek epistemologi
dan pertautan dialektisnya atas kepentingan-kepentingan
praxis. Penggunaan istilah teori kritis berhubungan
dengan inti ajaran atau pemikiran filsafatnya.
B. MENUMBUHKAN ENERGI KEBEBASAN
Maksud teori kritis adalah ingin memberikan kesadaran
untuk membebaskan manusia dari irasionalisme, secara
khusus rasionalitas pencerahan yang menurut mereka,

telah membahayakan manusia. Sasaran utama teori kritis


adalah mengembangkan kritik rasio atas dasar rasio
komunikasi dan emansipasi sejati. Ciri yang paling
menonjol pada teori kritis adalah sikap independensi
mereka terhadap pertai Marxis, baik dari kubu sosial
demokrat maupun komunisme soviet.
C. SOSIO EPISTEMOLOGI DALAM PEMIKIRAN TEORI
KRITIS AWAL
1. KRITIK TERHADAP MARX DALAM MERESPON
ZAMAN
Secara garis besar, inti pemikiran Sosio-epistemologi
di dalam teori kritis awal berpusat pada tiga hal
penting.
1) Menetapkan kembali persoala-persoalan besar
dalam filsafat.
2) Menolak pandangan Marxisme ortodoks dan
tuntutan rasional yang bersifat ideologis.
3) Merumuskan teori masyarakat yang
memungkinkan perubahan ekonomi, budaya,
dan kesadaran diri.
Berdasarkan ketiga maksud tersebut, mereka berusaha
mengkritik berbagai situasi dan wacana pemikiran (mitos
intelektual) yang berkembang pada saat itu.
2. MEMBONGKAR SELUBUNG IRASIONALITAS
MASYARAKAT MODERN
Pemikiran Sosio-epitemologi di dalam Teori Kritis
Awal diluncurkan di dalam konteksnya yang khas. Teori
kritis itu berteori dalam konteks realitas sosialnya yang
memadukan dua rezim kekuasaan, yaitu
totaliterisme, stalinisme, dan resim otoriter
Nazisme Hitler yang menghasilkan fasisme.
Kekuasaan kedua rezim tersebut dan kedasyatan
perang dunia II secara jelas menampakan wajah
keberingasan perkembangan modernitas itu sendiri.
Setelah perang dunia II, gagasan teori kritis awal
mendapat sambutan luar biasa dari kalangan
cendekiawan muda,khususnya dari kalangan
mahasiswa kiri di eropa dan amerika serikat. Gagasan
tersubut memengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa
tahun 60-an sampai 70-an yang terkenal dengan nama
the new left movement (gerakan kiri baru), gagasan-

gagasan mereka dianggap sebagai kitab suci gerakan


tersebut. Gerakan-tersebut tersebut secara tegas
menjalankan misinya melalui aksi kekerasan bersenjata.
Akibatnya, terjadilah perselisihan antara Horkheimer,
Adorno, dan Marcuse dengan mahasiswa, dan mereka
secara resmi mengundurkan diri dari gerakan-gerakan
ini pada tahun 1967.
Teori kritis awal ditinggalkan oleh para mahasiswa
karena dianggap menyangkal dirinya sendiri dengan
mengabaikan atau menolak konsekuensi praxis yang
dituntutnya sendiri.
D. MAX HORKHEIMER (1895-1973)
Max Horkheimer adalah pendiri teori kritis. Lahir di
suffenhausen, dari keluarga pengusaha tekstil yang kaya.
Ia menjadi doktor filsafat pertama pada universitas
frankfurt (1922). Sesudah perang dunia I, Horkheimer
mulai memmpelajari karya-karya marx.
1. GAMBARAN UMUM SOSIO-EPISTEMOLOGI MAX
HORKHEIMER
Karya-karya Horkheimer umumnya menunjukan inti
pergumulannya, yaitu melakukan kritik teori dalam
rangka praxis. Praxis adalah aktivitas revolusioner
yang mengubah relasi-relasi antara manusia.
Horkheimer mengungkapkan pandangannya tentang
sosio-epistemologi dengan menunjukan tiga
pengandaian dasar yang membuat teori trdisional
menjadi ideologis.
1) Teori Tradisional mengandaikan bahwa
pengetahuan manusia tidak menyejarah atau
historis.
2) Tuntutan ilmu secara tegas mewajibkan sang
ilmuwan untuk bersikap netral baik fakta
maupun objek yang ingin diketahui, akibatnya
teori yang dihasilkan pun bersifat netral.
3) Teori Tradisional memisahkan teori dari
praxis.
2. INTI SOSIO-EPISTEMOLOGI HORKHEIMER
Max Horkheimer hendak mengemukakan sebuah visi
baru terhadap teori-teori sosial. Menurutnya seharusnya
setiap teori tentang masyarakat tidak bersifat netral,
ahistoris, dan memisahkan diri dari praxis, teori-teori

tentang masyarakat haruus bersifat kritis baik terhadap


dirinya sendiri maupun terhadap relitas
kemasyarakatannya.
Dengan metode dialektis, sekurang-kurangnya ada
empat hal yang hendak ditampilkan.
1) Melakukan kritik imanen terhadap realitas
masyarakat.
2) Bersikap kritis terhadap dirinya sendiri dengan
maksud agar tidak jatuh kedalam salah satu
bentuk ideologi.
3) Generasi pertama teori kritis mempunyai
kecurigaan terhadap masyarakat aktual,
teristimewa terhadap ideologi-ideologi palsu.
Meskipun demikian, Horkheimer menyadari bahwa
perubahan-perubahan tidak selamanya mengarah pada
suatu teori yang seluruhnya baru sejauh masyarakat itu
sendiri tidak berupah secara radikal.
3. TEORI DAN PEMBAGIAN KERJA
Horkheimer secara kritis memandang bahwa konsep
teori dan pembagian kerja selalu didasarkan
padaaktivitas ilmiah yang dilakukan dalam pembagian
tertentu. Pemikiran horkheimer tersebut sebenarnya
menunjuk pada inti gagasan sosio-epitemologi bahwa
masyarakat intelektual ( masyarakat rasional ) sebagai
keseluruhan selalu merupakan hasil atau produk dari
berbagai sektor produksi, kenyataan itulah yang
membuat sektor- sektor itu sendiri ( termasuk ilmu )
tidak dapat berdiri sendiri dan mencukupi diri sendiri.
E. THEODOR WIESENGRUND ADORNO (1903 1963)
Adorno lahir di frankfurt dari keluarga pedagang anggur
dan keturuna yahudi. Ia belajar sosiologi, filsafat, serta
musik dan mendapat gelar doktor filsafat dengan
disertasi mengenai fenomologi Husserl. Berbeda dengan
Horkheimer yang begitu pesimis akan nasionalisme
sosialis, Adorno mempunyai kesan yang kuat bahwa
kenyataan itu akan segera lewat dan Ia akan tinggal lama
di jerman.
1. Gambaran Umum Sosio-Epistemologi Adorno

Adorno lebih menampilkan pemikiran-pemikiran


sosio-epistemologinya dalam bentuk pemikiran yang
lepas dan tidak sistematis.
2. Inti Sosio-Epistemologi Adorno
pokok refleksi kritis Adorno adalah pada rasionalisasi
masyarakat ssebagaimana ditunjukan dalam teori-teori
masa pencerahan dan sesudahnya, yang disebut Teori
Tradisional. Intinya pada emansipasi melalui jalan
menambah rasionalitas yang sesungguhnya.
F. HERBERT MARCUSE ( 1898-1973 )
Lahir di Berlin dari keturunan Yahudi. Meraih doktor
filsafat
Tahun 1923. Kepopulerannya berawal di Amerika Serikat,
kemudian memuncak di Eropa ketika ia memberi kuliahkuliah di Berlin. Marcuse tidak jarang digelari sebagai
filsuf new left atau inspirator revolusi mahasiswa
tahun 1968.
1. GAMBARAN UMUM SOSIO-EPISTEMOLOGI
MARCUSE
Corak filsafat Marcuse lebih sistematis dari
Horkheimer maupun Adorno. Kekhususannya adalah
bahwa ia sungguh ekslusif memusatkan perhatiannya
pada teori saja dan tidak pernah melibatkan diri dalam
penelitian empiris.

2. INTI SOSIO-EPISTEMOLOGI MARCUSE


Pemikiran Sosio-epistemologi Marcuse secara khusus
diarahkan dalam rangka melakukan sebuah analisis
kritis atas kehidupan masyarakat industri modern.
Pemikirannya bertautan dengan suasana filsafat Hegel
dan Marx.
G. KEMACETAN TEORI KRITIS AWAL
Inti kegagalan Teori Kritis Awal dalam merealisasikan
ambisinya adalah pada konsep rasionalitas yang telah

terjebak dan sebaliknya dikuasai oleh pemahaman formal


rasionalitas pencerahan yang dikritiknya sendiri. Teori kritis
Awal telah terjebak dalam pemikirannya yang begitu
sempit mengenai rasio karena mengikuti cara pandang
pencerahan atas rasio yang demikian.
BAB VI
MASA PEMATANGAN SOSIO-EPISTEMOLOGI
DALAM PERIODE PEMBARUAN TEORI KRITIS
A. JURGEN HABERMAS SEBAGAI PEMBARU
1. HIDUP DAN KARYA JURGEN HABERMAS
Habermas lahir pada tahun 1929 di Gummesbach
dan meraih doktor filsafat pada tahun 1956 di
Universitas Bonn dalam usianya yang kedua puluh
tujuh. Habermas baru berkenalan dengan Lembaga
Penelitian Sosial di Frankfurt dan secara resmi menjadi
asisten Adorno pada tahun 1956. Ia menjadi populer di
kalangan mahasiswa Jerman dan bahkan menjadi
idola untuk kalangan tertentu pada tahun 1960-an.
Ternyata, Habermas sendiri begitu kritis dan, akhirnya,
menentang aksi-aksi kemahasiswaan yang melewati
batas dengan menggunakan kekerasan.

2. GAMBARAN UMUM PEMIKIRAN HABERMAS


Habermas berusaha melampaui para pendahulunya
dengan cara mengintegrasikan pemikiran-pemikiran
para filsuf analitis tersebut kedalam pemikiran dialektis
Teori Kritisnya.
3. HABERMAS DAN TRADISICSS ( CRITICAL SOCIAL
SCIENCE )
Sejarah besar ilmu Sosial menunjukan adanya tiga
momen pemikiran yang sekaligus menggambarkan tiga
periode kritis di dalam sejarah ilmu sosial itu sendiri.
a) ILMU SOSIAL POSITIF

Umumnya, para analisis sejarah menyebut aliran ini


dengan Positivist Social Science (PSS). Menurut teori
kritis, momen pemikiran pertama inilah yang
meletakkan dasar-dasar ideologi positivisme baik
pada tataran substansial maupun cara kerja atau
metodenya pada alam pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Menurut penganut aliran ini, orang harus mengabdi
pada prestasi intelektualitas yang luhur tanpa harus
dipengaruhi oleh kekuatan atau keyakinan lain di
luarnya yang tidak memiliki jaminan yang pasti.
Akibatnya, hilanglah makna nilai, etika, dan unsur
subjektivitas seperti rasa cinta, persahabatan sejati,
dan pengharapan di dalam diri manusia.
b) HERMENEUTIKA SOSIAL ( HABERMAS 1972:140186)
Aliran pemikiran ini dikenal dengan Interpretative
Social Science(ISS). Ciri pemikiran ini dipelopori oleh
Wilhem Dilthey (1833-1911) dan Marx Weber (18641920). Dilthey maupun Weber mengembangkan ciri
pemikiran ini sehubungan dengan kecemasannya yang
begitu besar terhadap ciri pemikiran positivisme sosial
sebelumnya .
c) SOSIOLOGI KRITIS
Periode ini lebih dikenal Interpretative Social Science
(ISS). Arus pemikiran ini lebih merupakan sebuah kritik
pembaruan atas isi pemikiran dan suasana intelektual
teori sosial sebelumnya yang dipandangnya sebagai
anti demokratik dan nonhumanis.
B. PROYEK SOSIO-EPISTEMOLOGI HABERMAS
Pemikiran Sosio-epistemologi Habermas lebih
menampakan sebuah proyek pemikiran. Pemikiran Sosioepistemologi Habermas bergerak dalam bentangan filsafat
yang membahas pertautan antara pengetahuan dengan
fenomena-fenomena sosial. Sosio-epistemologi yang

dimaksud lebih mengarah pada sebuah sistem


pengetahuan atau sebuah proyek pemikiran yang terbuka
dan menyejarah.
1. PEMBARUAN ATAS ARTI TEORI PENGETAHUAN
Melalui karyanya Knowledge and Human
Interests, Habermas berusaha menelusuri hakikat
dan asal usul Epistemologi Teori Kritis. Asumsi atau
prinsip dasar yang dianut oleh Habermas dalam
rangka penelusuran yang dimaksud adalah khas
karena Ia menggunakan pendekatan Kritik Historis.
2. PERTAUTAN ANTARA TEORI DAN PRAXIS
Menurut Habermas, teori harus dipertautkan
dengan praxis, Sosio-epistemologi menunjukan
bahwa praxis tidak selamanya bersifat tindakantindakan teknis, tetapi berhubungan dengan refleksi
teoretis yang bersifat kritis karena mengandaikan
adanya sebuah tindakan sadar di bawah bimbingan
atau arahan rasio. Sosio-epistemologi bermaksud
membimbing segala usaha pengembangan alam
pengetahuan untuk memahami kepentingan manusia
secara dialektis bertegangan antara aspek empiris
(sosial aktual) dan transendental.
3. KOMUNIKASI RASIONAL
Habermas berusaha mengatasi kebuntuan
pemahaman para pendahulunya mengenai konsep
rasionalisasi yang bersifatt timpang. Misalnya, Max
Weber (penganut teori Tradisional) yang memahami
rasionalisasi secara empiris. Herbert Marcuse
(penganut Teori Kritis) yang hanya membatasi
pandangan kritisnya atas rasionalisasi teknologis.
Bagi Habermas pemikiran-pemikiran mengenai
rasionalisasi di atas bersifat timpang, menurutnya
letak watak Ideologis dan Teknokratis

rasionalisasi justru pada pengabaian aspek interaksi


atau aspek praxis-nya.
4. KEBEBASAN NILAI
Sehubungan dengan proyek pemikiran Sosioepitemologi tersebut, Habermas secara tegas
menolak adanya postulat kebebasan nilai di dalam
teori pengetahuan dan ilmu. Menurutnya, postulat
demikian pada dasarnya berakar dalam pendekatan
positivistik untuk menentukan objektivitas
keilmuannya yang bersifat murni.
5. KRITIK IDEOLOGI DAN KRITIK ILMU
Menurut Habermas, pengetahuan, Ilmu, dan
ideologi merupakan kehidupan sosial Manusia. Kritik
Sosio-epistemologi atas sifat ideologis ilmu atau
pengetahuan bertujuan untuk mengembalikan
refleksi atas ilmu pada refleksi atas pengetahuan.
Melalui refleksi itulah diperlihatkan bahwa ilmu-ilmu
tidak dapat dipersatukan dalam sebuah metodologi
karena masing-masing memiliki kemungkinan kondisi
atau syarat yang berbeda. Prinsipnya, syarat-syarat
yang memungkinkan bagi pengetahuan dan Praxis
terletak pada kepentingan-kepentingan yang
mengarahkan pengetahuan tersebut.
1. Manusia sebagai spesies memiliki kepentingan teknis
untuk mengontrol lingkungan eksternalnya melalui
perantaraan kerja.
2. Manusia sebagai spesies memiliki kepentingan
praktis untuk menjalin saling pemahaman timbal
balik melalui perantaraan bahasa.
3. Manusia sebagai spesies memiliki kekuatan
emansipatoris untuk membebaskan diri dari
hambatan-hambatan ideologis.
BAB VII

INTI ARGUMEN SOSIO-EPISTEMOLOGI SEBAGAI PROGRAM


TEORI
A. PROGRAM TEORI
1. ARTI PROGRAM TEORI
Istilah program teori mengandung pengertian bahwa
Sosio-epistemologi adalah jenis teori pengetahuan yang
bersifat terbuka,baik terhadap perkembangan pemikiran
itu sendiri maupun terhadap tuntutan koreksi dan
perbaikan dan penyempurnaan secara terus menerus.
2. ARTI KRITIS DI DALAM SOSIO-EPISTEMOLOGI
SEBAGAI PROGRAM TEORI
Kritis merupakan salah satu istilah kunci di dalam
memahami arti hakikat Sosio-epistemologi sebagai
program teori. Istilah Kritis memiliki pengertian yang
utuh dan khas.
3. LOGIKA DISKURSIF DALAM SOSIO-EPISTEMOLOGI
SEBAGAI PROGRAM TEORI
Sosio-epistemologi ( pengetahuan berwatak sosial),
sebagai program teor, mengandung sebuah logika diskursif
atau logika pembelajaran. Artinya, dialektika Sosioepistemologi yang bersifat tegangan dialektis, memiliki
hukum dialektisnya yang khas. Ciri logika dialektik yang
dimaksud tidak mengikuti hukum-hukum perkembangan
dialekta ontologis.
4. SOSIO-HISTORIS MANUSIA DALAM SOSIOEPISTEMOLOGI SEBAGAI PROGRAM TEORI
Secara substansial maupun metodologis, hukum
logika diskursif, dalam Sosio-epistemologis sebagai
program teori, tidak memandang realitas kehidupan Sosiohistoris. Manusia sebagai fakta atomis atau objek-objek
natural yang bisa dipungut begitu saja.
B. HAKIKAT SOSIO-EPITEMOLOGI SEBAGAI PROGRAM
TEORI

Pengetahuan adalah sebuah fenomena kemanusiaan


yang terbuka. Pengetahuan memiliki sifat yang dinamis
dan kemungkinan-kemungkinan kekeliruan
atauketerbatasan di dalamnya. Inti program teori tersebut
diarahkan pada usaha membangun solusi melalui proses
kritik dan konsensus yang terbuka dalam rangka Praxis.
BAB VIII
SOSIO-EPISTEMOLOGI SEBAGAI PROGRAM KRITIK
ATAS TEORI PENGETAHUAN
A. KRITIK TEORI PENGETAHUAN (KRITIK TRANSENDEN)
Kritik atas teori pengetahuan merupakan salah satu
dimensi pokok dalam Sosiologi-epistemologi. Disebut kritik
transenden karena kegiatan Sosio-epistemologi pada
tataran ini berusaha untuk melakukan refleksi atau
pengujian-pengujian yang bersifat normatif (transenden)
untuk menunjukan hakikat, isi, dan keabsahan atau
validitas pengetahuan itu sendiri. Prinsipnya, kritik Sosioepistemologi pada tataran transenden bermaksud
mengatasi dan mencairkan berbagai kebekuan dogmatis
yang menguasai alam pengembangan pengetahuan di
bawah kekuasaan sainstisme dan positivisme.
Kesimpulannya, tanpa norma transenden maka
argumentasi-argumentasi pengetahuan itu akan menjadi
lumpuh dan mati.
B. KRITIK TEORI SOSIAL (KRITIK IMANEN)
Berbeda dengan kritik transenden, bidang Sosioepistemologi kedua ini mengandaiakan adanya usaha kritik
yang bersifat imanen. Bidang kritik Sosio-epistemologi ini
beranggapan bahwa pemahaman posivistis atas teori-teori
sosial sebagaimana nyata dalam teori sosial abad modern
mengandung relevansi politis yang sama beratnya dengan
tuntutan politis lain. Jadi, kritik sosio-epistemologi pada
tataran imanen ini berusaha menunjukan adanya otonomi

manusia serta kesadaran diri atau refleksi dirisebagai inti


pengembangan teori pengetahuan (epistemologi) maupun
secara khusus teori sosial.
C. PERTAUTAN ANTARA TEORI DAN PRAKTIK
Penegasan diri Sosio-epistemologi dalam sebuah
tegangan dialektis menunjukan bahwa bidang ini,
disampinng mengandung muatan dialektis antara
transendental-imanen, juga mengandung tegangan
dialektis antara teori dan praktis. Sosio-epistemologi
memandang bahwa pengertian teori yang demikian,
sekurang-kurangnya telah dimulai pada zaman yunani
purba. Prinsip sosio-epistemologinya bahwa teori sebagai
pengembang tindakan berpikir, merupakan perbuatan khas
manusia yang bersifat komunikatif. Proses historis itulah
yang sekaligus yang sekaligus merupakan bagian integral
dalam penghayatan-pengayatan kognitif manusia
mengenai tansendensi dari kenyataan.
BAB IX
PERBEDAAN ANTARA SOSIOLOGI-EPISTEMOLOGI
DENGAN
SOCIOLOGY OG KNOWLEDGE
A. PERBEDAAN POSISI PENGANDAIAN
Sosio-epistemologi (pengetahuan berwatak sosial),
dalam hal ini, disebut juga sebagai epistemologi sosial,
sama halnya sebagaimana dikemukakan oleh Fuller (19913). Fuller telah menyamakan epistemologi sosialnya
dengan epistemologi pengetahuan (sociology of
knowledge). Segala pengandaian dasar mengenai
kepenuhan arti, hakikat, pendekatan dan skop sosioepistemologi telah terpenuhi di dalam sosiologi
pengetahuan tersebut ? tinjauan kritis ini kurang dapat
mendudukan perbedaan posisi pemikiran antara sosioepistemologi dan sociology of knowledge.

1) Perlu ditegaskan bahwa Sosio-epitemologi tetap


merupakan sebuah program kritis atau program
teori. Bidang filsafat ini bukanlah sebuah toeri yang
sifatnya tergesa-gesa, yang serta merta mengklaim
dirinya sebagai sebuah teori yang tunggal, serba
sempurna, serbamutlak, dan final serta memadai
pada dirinya sendiri.
2) Fuller menyamakan antara epistemologi sosialnya
dengan sosiologi pengetahuan dengan maksud untuk
menggugat tuntutan-tuntutan pengetahuan sektoral.
Sejarah pemikiran mencatat bahwa sosiologi
pengetahuan justru bukan disamakan dengan
epistemologi, tetapi dibedakan secara radikal.
Akibatnya, dalam sosiologi pengetahuan, peranan
nilai-nilai transdental seperti rasio dikesampingkan
dan diganti dengan fakta-fakta pengalaman.
B. SALING MENGANDAIKAN
Pendeknya, Sosio-epistemologi (pengetahuan
berwatak sosial) tidak dapat disamakan dengan Sosiologi
Pengetahuan, tetapi mendapatkan keuntungan
daripadanya. Bidang sosiologi pengetahuan ini justru
dibutuhkan di dalam Sosio-epistemologi sebagai bagian
dari kritik imanen, namun tidak identik dengannya.

BAB X
SOSIO-EPISTEMOLOGI SEBAGAI KATEGGORI
EPISTEMOLOGI

Sehubungan dengan arti dan hakikat Sosioepistemologi adalah : Apakah Sosio-epistemologi


(Pengetahuan Berwatak Sosial) memenuhi tuntutan-

tuntutan dasar Epistemologi dalam membuktikan dirinya


sebagai sebuah cabang filsafat atau special epistemology?

A. KATEGORI RASIONAL
1. SOSIO-EPISTEMOLOGI SEBAGAI KRITIK RASIO
MODERN
Umumnya, dipandang bahwa ketegori pokok
epistemologi adalah tuntutan rasionalnya, apapun yang
dapat dilakukan baik mengenai proses kerja maupun isi
pengetahuan yang dihasilkan oleh sebuah bidang
epistemologi. Tuntutan rasional dalam epistemologi
sekurang-kurangnya telah dimulai sejak Rene Descartes
yang dipacu oleh situasi zamannya yang begitu kuat
memperjuangkan otonomi rasio dari belenggu kekuasaan
mitos dan teologi zaman abad ssebelumnya yang bersifat
deterministis. Pendekatan Descartes tersebut sekaligus
menandai ciri lahirnya epistemologi modern yang dasarnya
dibangun di atas rasio.
Melalui pandangan dualismenya (rasio terpisah dari
pengalaman),Descartes telah mengabaikan hakikat rasio
sebagai hal yang bereksistensi dan berada dalam dinamika
interaksi dengan kepenuhan realitasnya yang utuh dan
majemuk.
2. PEMBARUAN ATAS TUNTUTAN RASIO
Ciri rasionalitas ini dipandang sebagai jawaban Sosioepistemologi terhadap tuntutan sejarah dalam rangka
usaha untuk menjernihkan tuntutan-tuntutan rasio
zamannya yang bersifat irasional. Bibit kelahiranya sebagai
kritik rasio telah dimunculkan melalui pemikiran Teori
Kritis Awal yang kemudian dibarui dan dikembangkan
secara lebih luas oleh Habernas.
3. MEMBANGUN RASIONALITAS YANG UTUH DAN
MENDASAR

Rasio dalam hal ini tidak sekedar beresensi tetapi


bereksistensi serta nyata di dalam tindakan-tindakan
Praxis menyejarah. Jenis pengetahuan demikian tidak
menyingkirkan potensi sosial rasio itu sendiri dalam rangka
pengambangan pengetahuan, tetapi sebaliknya
melibatkannya dalam rangka pengambilan keputusan
intelektual yang sekaligus menghasilkan emansipasi sosial.
Daya nalar dalam sosio-epistemologi bukan semata-mata
dipahami sebagai kemampuan untuk menemukan
kebenaran dan konsensus untuk praxis, melainkan untuk
bergerak lebih jauh dalam pencaharian kebenaran.
Kesimpulannya, tuntutan rasionalitas di dalam Sosioepistemologi secara langsung dihubungkan dengan
kemampuan Intelektual dan komunikasi. Meskipun
demikian, komunikasi yang dimaksudkan bukanlah
komunikasi sembarangan karena bersifat komunikasi
bersyarat.
B. KATEGORI KEBENARAN
1. HAKIKAT KEBENARAN
Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema
sentral dalam Sosio-epistemologi. Pengetahuan itu sendiri
selalu dipahami sebagai hal yang terbukti benar. Melalui
pengetahuan maka manusia berusaha mendapatkan
kebenaran dan bila manusia telah menyadari dirinya
mendapatkan kebenaran maka kemudian manusia
merasakan adanya kepastian. Akibatnya, terhadap
kebenaran dan kepastian lazim diberi nilai mutlak.
2. TUNTUTAN KEBENARAN DI DALAM SOSIOEPISTEMOLOGI
a.
ARTI KEBENARAN DALAM SOSIO EPISTEMOLOGI
Kebenaran Pengetahuan adalah kebenaran dalam
batas-batas pengetahuan manusia. Keterbatasan inilah

yang telah membuat munculnya berbagai pendekatan


terhadap kebenaran dan kepastian pengetahuan yang
dimaksud.
b. CIRI KEBENARAN DI DALAM SOSIO-EPISTEMOLOGI
Tuntutan Sosio-epistemologi atas kebenaran
pengetahuan memiliki sebuah makna kritis. Artinya,
Sosio-epistemologi hendak menunjukan bahwa
kebenaran pengetahuan tersebut tidak bersifat tunggal,
tetapi justru bersifat majemuk, hipotesis, konsensus,
dan bertegangan (negosiatif).

Majemuk. Alasannya, realitas kebenaran yang


dihadapi dalam Sosio-epistemologi bukanlah realitas
kebenaran bendawi yang statis, tunggal, dan terisoler.
Hipotesis. Alasannya, bahwa tidak ada kebenaran
yang dapat memutlakkan diri secara sepihak serta
mengklaim diri sebagai yang benar satu-satunya,
terlepas dari yang lain.
Konsensus. Alasannya, hakikat kebenaran dimaksud
walaupun bersifat mutlak, namun tidak terisolasi dari
inti kehidupan manusia yang bersifat majemuk dan
komunikatif.
Kebenaran Bertegangan, ciri kebenaran dalam Sosioepistemologi merupakan kebenaran dialektis
bertegangan yang berfungsi dalam rangka
memperluas dan memperdalam konsep-konsep
kebenaran epistemologi dari ancaman kebekuan dan
kebuntuan dogmatisme.
3. KEBENARAN SOSIO-EPISTEMOLOGI SEBAGAI PRAXIS
Inti kebenaran sebagai praxis menunjuk pada aspekaspek pembebasan atau emansipasi yang mengarah pada

kedewasaan dan kematangan hidup. Melalui pertimbangan


Kritis diatas, dapat dilihat bahwa kebenaran pengetahuan
yang diusahakan dalam Sosio-epistemologi secara khusus
berorientasi pada inti pergumulannya, yaitu dalam rangka
kepentingan praxis manusia. Perwujudan kebenaran
pengetahuan tersebut dapat bergerak pada dua tatarannya
yang khas.
1. Melalui jalur penyelidikan yang empiris untuk
menghasilkan jenis pengetahuan instrumental. Jenis
pengetahuan ini diarahkan secara langsung pada
kepentingan teknis.
2. Melalui jalur ilmu-ilmu kemanusiaan.

BAB XIII
TUNTUTAN TEORETIS, METODIS, VALIDITAS DALAM
SOSIO-EPISTEMOLOGI
A. ARTI TEORI
Secara khusus Sosio-epistemologi adalah tuntutan
atau klaim teoretisnya untuk membuktikan
kememmadaian diri sebagai sebuah teori pengatahuan
yang sejati.
1. VARIABEL TEORI
Sosio-epistemologi lebih dipahami sebagai
sebuah Program teori atau Kritik Teori bukan
sekadar sebuah teori sektoral dalam pengertian yang
final dan ketat. Jelasnya, istilah Teori itu sendiri telah
mengandung makna pembebasan atau emansipasi
manusia secara utuh di dalamnya.
2. VARIABEL PENGETAHUAN
Kiranya tidak lagi berpanjang lebar untuk
menjelaskan variabel pengetahuan ini karena hal ini

telah dibicarakan secara cukup mendasar pada


bagian awal bab ini, yaitu mengenai hakikat Sosioepistemologi. Prinsipnya, dapat dikatakan bahwa
hakikat pengetahuan yang diusahakan disini
bukanlah suatu pengetahuan sektoral dalam bentuk
ilmu khusus.
B. TUNTUTAN METODE
Salah satu kategori pokok Sosio-epistemologi yang
sangat menonjol adalah metode atau cara kerja. Tuntutan
yang berlaku bagi Sosio-epistemologi sehubungan dengan
metode ini adalah bagaimana corak metode yang cocok
dalam membuktikan dirinya sebagai cabang epistemologi.
Para filsuf terbagi dalam dua aliran pemikiran sehubungan
dengan tuntutan metodis tersebut.
1. Kelompok yang mempertahankan ciri ilmu-ilmu
sosial.
2. Kelompok yang berpendirian bahwa keberhasilan
ilmu sosial akan dapat ditunjang dengan penerapan
metode ilmu-ilmu alam.
C. TUNTUTAN VALIDITAS
Tuntutan validitas ini mendasari diri pada pertautan
dialektis antara unsur-unsur epistemiknya yang bersifat
harmoni (sejalan) atau maupun teristimewa yang
disharmoni (tidak sejalan atau saling berseberangan).
Logika validitas ini, hendak menunjukan bahwa
pengetahuan sebagai tindakan berpikir adalah sebuah
perbuatan komunikasi antara kategori-kategorinya yang
bersifat transenden dan imanen.
I.

Imanen menunjukan adanya daya-daya kognitif yang


terwujud di dalam bahasa, budaya, dan perilaku harian

II.

masyarakat yang bersifat sosio-empiris (kontekstual).


Validitas pada aras transenden di sisi lain menunjukan
bahwa pengetahuan pada dasarnya memiliki syarat

normatif sehingga objektifitas pengetahuan dapat


terpelihara.

KESIMPULAN
Buku Sosio-epistemologi ingin menegaskan sebuah
cabang filsafat pengetahuan sebagai jalan teoretis yang
berbasis pada sebuah rasio sosial untuk membelah misteri
pengetahuan, keilmuan, dan kepentingan manusia dan
masyarakat dalam sebuah pertautan dialektis. Pendeknya
buku ini dirancang untuk memperkenalkan kepada
pembaca, sketsa penalaran Sosio-epistemologi yang
berupa sebuah proyek pemikiran filosofis untuk terus
menyapa realitas sosial yang selalu mengalir dan menyapa
dengan aneka kepentingan untuk dikritisi dan dimaknai
bagi kehidupan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai