Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KAHASANAH KEBUDAYAAN SUKU BADUY

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Kependudukan dan Ketenagakerjaan

Disusun Oleh:
Nama : Siti Nurhayati Lutfah
NIM : BID090108
Prodi : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS BALE BANDUNG
2012
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas rahmat dan
karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kahasanah
Kebudayaan Suku Baduy”, makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
mata pelajaran Produktif.
Makalah  disusun berdasarkan hasil observasi yang diharapkan berguna
untuk mengembangkan kreatif, daya pikir dan untuk menambah pengetahuan
tentang kebudayaan. 
Segala petunjuk, arahan dan bantuan dari berbagai pihak yang penulis terima
dalam menyusun maklah ini sangatlah besar artinya. Untuk itu, dalam kesempatan
ini kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................................1
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Suku Baduy....................................................................................................................2
2.2 Pembagian Kelompok Masyarakat Suku Baduy...........................................................2
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Asal-Usul Kebudayaan Suku Baduy.............................................................................5
3.2 Mata Pencaharian Suku Baduy......................................................................................6
3.3 Hukum Di Dalam Masyarakat Baduy...........................................................................7
3.4 Segi Pakaian Suku Baduy..............................................................................................8
BAB IV KESIMPULAN...................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………11
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya
itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran kehidupan Suku Baduy ?
2. Ada berapa kelompok masyarakat pada suku baduy ?
3. Bagaimana Sistem Pemerintahan Suku Baduy ?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam makalah ini akan di jelaskan mengenai asal usul Suku Baduy, dan
perkembangan kebudayaan Suku Baduy.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Suku Baduy


  Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok
masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan
mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah
(nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada
di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu
kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993 ).
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di
wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan
mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka
juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto.
2.2 Pembagian Kelompok Masyarakat Suku Baduy

Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik
dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan
adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia
luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih
terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.Masyarakat Kanekes secara umum
terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy


Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo,
Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih
alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu
dengan orang asing (non WNI).

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes
Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
 Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
 Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
 Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua
adat)
 Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
 Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit
sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal


sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar
mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu,
dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala
berwarna hitam.

Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes
Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes
Luar:

 Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.


 Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
 Menikah dengan anggota Kanekes Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar

 Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya


tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar.
Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak
ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
 Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu,
seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
 Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang
menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos
oblong dan celana jeans.
 Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca
& plastik.
 Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu
Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi
sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Asal Usul Kebudayaan Suku Baduy

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering
pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan
mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau
asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah,
yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa
prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar
Sunda' yang cukup minim keberadaannya.

Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya


pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya
Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari
Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung
dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi
dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai
Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk
itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan
mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di
Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa
kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja
ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan
musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut
yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146).

Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-
orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda
(1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan
suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan
(tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan
di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan
(wiwitanasli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda
Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan
Darmasiksa.

3.2 Mata Pencaharian Suku Baduy


Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma
dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren,
tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.
Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy
dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan
Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di
langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy
sendiri.
Inti dari kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari ‘pikukuh’
(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan
sesedikit mungkin:“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung”
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)suku
Baduy memiliki tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku sebagai pemimpinnya yang
disebut Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan dilaksanakan
oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap jaro memiliki fungsi dan tugasnya
masing-masing. Yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.
Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan
berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara
tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang,
yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan
dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat
bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional,
yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampong.

3.3 Hukum di Dalam Masyarakat Baduy


Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat
dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar
aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran
ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku
pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam
lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika
hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau
akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat
Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang
sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala
orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh
bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik
kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih
dari satu.

3.4 Segi Pakaian Suku Baduy


Dari segi berpakain, didalam suku baduy terdapat berbedaan dalam berbusana yang
didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan
Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut
jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai
kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang
hanya dililitkan pada bagian pinggang. Serta pada bagian kepala suku baduy menggunakan
ikat kepala berwarna putih. bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju
kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Terlihat
dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka
sudah terpengaruh oleh budaya luar. Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan
wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang
mencolok. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari
tumit sampai dada. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka
secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup.
BAB IV
Kesimpulan dan Rekomendasi

Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya


diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Di dalam proses pernikahan suku baduy pasangan yang akan menikah selalu
dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan
bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak
mereka masing-masing
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Orang Kanekes/Suku Baduy


http.//id.shvoong.com › Ilmu Sosial
perpustakaan.untirta.ac.id/berita-112-asal-usul-suku-baduy.html

Anda mungkin juga menyukai