Kelas : R1D
NPM : 201745500209
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas rahmat dan karuniaNya, penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Karya arsitektur dalam kebudayaan Baduy makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Produktif.
Makalah disusun berdasarkan hasil observasi dari internet yang diharapkan berguna untuk
mengembangkan kreatif, daya pikir dan untuk menambah pengetahuan tentang kebudayaan
arsitektur.
Segala petunjuk, arahan dan bantuan dari berbagai pihak yang penulis terima dalam
menyusun maklah ini sangatlah besar artinya. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
BAB 1 ....................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan masalah ..................................................................................................................... 4
BAB 2 ....................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 5
2.1 Sejarah kebudayaan suku Baduy? ............................................................................................. 5
2.2 Wujud kebudayaan suku Baduy? .............................................................................................. 7
2.3 Perspektif yang dianut masyarakat Baduy? .............................................................................. 9
2.4 Karya Arsitektur menurut victor papanek dalam budaya Baduy? .......................................... 10
BAB 3 ..................................................................................................................................................... 15
PENUTUP ........................................................................................................................................... 15
Kesimpulan .................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 16
BAB 1
PENDAHULUAN
Arsitektur adalah seni yang dilakukan oleh setiap individual untuk berimajinasikan diri
mereka dan ilmu dalam merancangbangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup
merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro
yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lanskap, hingga ke level mikro yaitu
desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil
proses perancangan tersebut.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan
secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari.
Suku Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda diwilayah Kabupaten Lebak,
Banten. Sebutan Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat
yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan
gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. "mereka sendiri lebih suka
menyebut diri sebagai urang Kanekes atau orang Kanekes sesuai dengan nama
wilayahmereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang
Cibeo. (Garna, 1993)
2.1.2 Wilayah
Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam
adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
2.1.3 Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek SundaBanten. Mereka juga dapat
berbahasa Indonesia untuk komunkasi dengan masyarakat luar. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal
budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan
di dalam tuturan lisan saja. Bahkan hingga sekarang.
2.1.8 Asal-usul
Terdapat tiga pendapat tentang asal usul masyarakat Kanekes ini yaitu:
Menurut kepercayaan setempat
Menurut kepercayaan orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa
atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam
sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk
warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Menurut ahli sejarah
Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang
mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan
perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim
keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya
pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).
Menurut dokter Van Tricht
Seorang dokter bernama Van Tricht pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928 mengatakan
bahwa orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat
terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa
mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut
Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan
mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara
kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha.
Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan
(wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.
Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
2.2.1 Ide
Kebudayaan suku baduy telah mengalami perubahan. Masyarakat dan kebudayaan di manapun
selalu dalam keadaan berubah, sekalipun masyarakat dan kebudayaan primitif yang terisolasi jauh
dari berbagai perhubungan dngan masyarakat yang lain. Perubahan ini, selain karena jumlah
penduduk dan komposisinya , juga karena adanya difusi kebudayaan, penemuan- penemuan baru,
khususnya teknologi dan inovasi.Difusi kebudayaan adalah persebaran unsur- unsur kebudayaan dari
suatu tempat ke tempat lain di muka bumi, yang di bawa oleh kelompok- kelompok manusia yang
bermigrasi.
Perubahan terjadi umumnya karena pada para pemuda. Angkatan pemuda islam sepertinya telah
terbius oleh akses- akses seni budaya barat. Mereka ingin terlihat modern, sementara mereka begitu
antipati dan menjauhi seni budayanya sendiriyang bernafaskan islam. Penyebab para pemuda islam
menyebrang ke kebudayaan barat di antaranya adalah :
1. Kesenian umat islam berjalan dan hidup secara tradisional, itu- itu juga, stagnant sehingga
kurang menarik minat dan selera pemuda.
2. Seni budaya umat islam kurang kreatif, inovatif, dan variatif. Ketinggalan dalam bobot dan
kualitas.
2.2.2 Aktivitas
Pada saat ini banyak pendekar debus bermukim di Desa Walantaka, Kecamatan Walantaka,
Kabupaten Serang. Yang sangat disayangkan keberadaan debus makin lama kian berkurang,
dikarenakan para pemuda lebih suka mencari mata pencaharian yang lain. Dan karena memang
atraksi ini juga cukup berbahaya untuk dilakukan, karena tidak jarang banyak pemain debus yang
celaka karena kurang latihan maupun ada yang jahil dengan pertunjukan yang mereka lakukan.
Sehingga semakin lama warisan budaya ini semakin punah. Dahulu kita bisa menyaksikan atraksi
debus ini dibanyak wilayah banten, tapi sekarang atraksi debus hanya ada pada saat event event
tertentu. Jadi tidak setiap hari kita dapat melihat atraksi ini. Warisan budaya, yang makin lama makin
tergerus oleh perubahan jaman.
Masyarakat Banten merupakan masyarakat yang mempunyai budaya ketimuran. Namun saat ini
sudah mulai bercampur dengan budaya barat, terutama cara berpakaian pria dan wanitanya, juga
mata pencaharian dan peralatan sehari- hari yang mereka gunakan. Hal tersebut karena sudah
berkembangnya teknologi informasi di dunia, maka masyarakat banten berusaha untuk tidak
tertinggal oleh zaman.
Adapun gangguan- gangguan moral yang di timbulkan oleh moralitas modern di Indonesia, terutama
di tanah Banten antara lain :
2. beauty contess yang memperdagangkan keluwesan dan kecantikan tubuh wanita sebagai
hiburan.
3. pornografi
Budaya barat memang memiliki dampak positif dan negatif terhadap masyarakat Banten, maka kita
harus pandai memilih dan memilah mana yang baik dan yang buruk.
2.2.3 Artefak
Golok/Bedog
Senjata yang biasa digunakan oleh masyarakat Baduy salah satunya adalah Golok. Golok atau bedog
menjadi atribut sehari-hari lelaki Baduy. Ada dua macam Golok yang dibuat dan digunakan oleh
orang Baduy, yaitu golok polos dan golok pamor. Golok polos dibuat dengan proses yang biasa,
menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan bermotor yang ditempa berulang-ulang. Proses
pembuatannya lebih lama dan memerlukan pencampuran besi dan baja yang khusus. Kekuatan dan
ketajaman golok pamor melebihi golok polos biasa, di samping memiliki kharisma tersendiri bagi
yang menyandangnya. Dalam keseharian Suku Baduy golok ini digunakan oleh orang Baduy untuk
menebang pohon, mengambil bambu, dan keperluan lainnya.
Golok Baduy yang telah diyakini kekuatannya yaitu golok yang berpamor. Golok pamor memiliki urat-
urat atau motif gambar yang menyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung golok pada kedua
permukaannya. Proses pembuatannya lebih lama dan memerlukan pencampuran besi dan baja yang
khusus. Kekuatan dan ketajaman golok pamor melebihi golok polos biasa, di samping memiliki
kharisma tersendiri bagi yang menyandangnya.
Kujang
Selain Golok ada juga alat yang biasa digunakan masyarakat Baduy
yaitu Kujang. Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam
dihuma, misalnya untuk nyacar, ngored, dan dibuat. Benda seperti
ini di daerah Sunda yang lain sering dinamakan arit. Kujang dibuat
dari bahan besi dan baja yang ditempa. Alat ini disebut kujang
karena berbentuk mirip kujang sebagai senjata khas Pajajaran dan
kini menjadi simbol daerah Jawa Barat. Istilah kujang ditujukan
untuk bentuk seperti kujang dengan bagian bawah (tangkai)nya
seperti golok dan alat ini banyak digunakan oleh orang Baduy
Dalam Sedangkan bagi orang Baduy Luar
Kapak Beliung
Diantara peralatan lain seperti Golok/Bedog dan Kujang, ada satu alat yang kiranya biasa
digunakan oleh masyarakat Baduy untuk menebang sesuatu yang lebih besar bukan hanya bambu
tapi pohon yaitu Kapak Beliung.
Kapak Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai salah satu perkakas untuk
membangun rumah. Di daerah lain disebut juga kapak. Gagangnya terbuat dari kayu yang agak
panjang (30-35 cm). Tenaga dan daya tekan Baliung harus lebih besar daripada golok, dan karena
itu dibuat dari besi baja yang lebih besar dan tebal pada bagian pangkal (yang tumpulnya). Kapak
beliung ini digunakan ketika membutuhkan kayu bakar atau mungkin untuk membuat rumah baru
masyarakat Baduy.
Lodong
Lodong adalah sebuah wadah yang terbuat dari bambu yang
digunakan masyarakat Baduy terutama kaum wanita sebagai
wadah air nira dari pohon aren. Salah satu kegiatan wanita suku
Baduy adalah mencari lahang untuk dijadikan gula aren. Setiap
pagi mereka membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1
meter, untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang
tumbuh di sekitar kampung dan hutan. Setelah terkumpul,
digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dicetak
menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam
sehari setidaknya dia dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan
dari dua keping tempurung dijualnya Rp 4000. Dapat disimpulkan bahwa dari pencarian air nira
dan digodok menjadi gula aren kemudian dijual, maka hasil penjualan gula aren masyarakat
Baduy digunakan untuk tambahan keperluan sehari-hari.
2.3 Perspektif yang dianut masyarakat Baduy?
Perspektif yang dianut masyarakat Baduy adalah perspektif pada masa lalu. Dasar religi orang Baduy
ialah penghoramatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal.
Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep
dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh agar supaya orang hidup menurut alur
itu dalam menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan
dunia ramai keturunan yang lebih muda). Mereka bertugas menyejahterakan dunia
melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu terbelihara
baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap inti bumi ini berakibat fatal
bagi seluruh kehidupan manusia di dunia. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi
inti pikukuh Baduy tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh peribahasa lojor teu
meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak
boleh disambung). Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang kekuatannya
tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan
dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan.
Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa tertinggi, Batara Tunggal,
melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun dan Batara Tunggal karena orang tidak patuh
kepada pikukuh, hakikat agama Sunda Wiwitan.
Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu generasi-generasi pendahulu
yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai
Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para keturuannya,
dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung.
Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua.
Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya
dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti
dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal
dunia.
2.4 Karya Arsitektur menurut victor papanek dalam budaya Baduy?
Istilah desain tradisional, lebih dahulu muncul dalam khasanah arsitektur dan dikenal dengan istilah
arsitektur vernakular. Menurut Victor Papanek (1995), arsitektur vernakular didasarkan atas
pengetahuan praktis dan teknik tradisional, biasanya dibangun sendiri oleh pemilik dibantu oleh
kerabat dan tukang bangunan setempat dengan menunjukkan kualitas pertukangan tertinggi yang
dimiliki. Struktur desain vernakular cenderung mudah dipelajari dan dipahami. Material yang dipakai
sebagian besar diambil dari lingkungan sekitar. Dari segi bentuk dan penggunaan material, bangunan
merupakan solusi yang tepat dipandang dari segi ekologi dalam arti cocok dengan iklim, lingkungan
dan cara hidup masyarakatnya. Desain vernakular tidak bersifat menonjolkan diri tetapi
menyeleraskan diri dengan alam sekitar. Dari segi ukuran, desain vernakular senantiasa berskala
manusiawi, proses pembuatan sama pentingnya dengan hasil akhir. Desain vernakular adalah
gabungan dari kecocokan dengan lingkungan, berskala manusia, dibuat dengan usaha terhadap
kualitas pertukangan yang tinggi yang pada kasus tertentu disertai dengan perhatian yang besar
terhadap dekorasi, ornamentasi dan hiasan dengan cita rasa sederhana yang menghasilkan desain
yang indah.
Papanek lebih jauh mengemukakan enam paparan (six explanations) mengenai arsitektur vernakular.
Pertama, Paparan Metodologis (Methodological Explanation), yaitu bahwa desain vernakular dapat
dilihat dari metodenya yang merupakan gabungan dari material, alat dan proses. Dalam konteks
desain tradisional Sunda, tampak bahwa setiap material yang dipakai, memiliki karakteristik yang
khas sehingga memerlukan alat khusus yang juga khas untuk mengolahnya dengan melalui proses
pembuatan dan pemasangan tertentu sesuai dengan sifat material dan kemampuan alat. Sifat
material dan jenis bambu tertentu misalnya, dapat dipakai dalam keadaan utuh, dibelah, atau dibuat
anyaman. Masing-masing jenis bambu dipakai untuk bagian tertentu di dalam konstruksi bangunan.
Bambu utuh untuk kaso penyangga atap, bambu gombong dibelah dan diratakan dipakai untuk lantai
(palupuh) sedang awi tali (bambu tali) dianyam dijadikan bilik untuk dinding.
Ketiga, Paparan Evolusi (Evolusionary Explanation), yaitu bahwa meskipun arsitektur vernakular
berakar pada nilai-nilai tradisional, menyimbolkan kontinuitas di dalam masyarakat, pada bagian
tertentu tampak adanya sejumlah perubahan meskipun cenderung lamban. Dalam observasi ke dua
wilayah studi kasus, teori ini juga tampak relevan terutama di kawasan Kampung Kuta Ciamis.
Perubahan penggunaan material baru hasil industri terbatas pada perabotan tertentu yang
disesuaikan dengan nilai tradisi yang dianut dan dipertahankan. Dengan kata lain penggunaan
material hasil industri disesuaikan dengan pemahaman terhadap aturan adat yang berlaku. Bahan
bangunan buatan pabrik seperti kayu lapis dan alas lantai dari plastik (vinyl) telah dipakai seperti
secara umum di Kampung Kuta, tetapi model
rumah tetap dipertahankan berbentuk panggung.
Perubahan yang relatif lamban dan khas
terjadi di kawasan desa Kanekes (Baduy). Di
Baduy, terdapat kawasan yang disebut Baduy
Luar yang memungkinkan warganya dapat
menggunakan peralatan lain di luar peralatan
tradisional tetapi dalam jumlah dan jenis yang
terbatas karena keterikatan pada adat yang
berpusat di Baduy Dalam masih berlangsung.
Kelima, Paparan Budaya (Cultural Explanation) yaitu bahwa bangunan vernakular dipengaruhi oleh
budaya masyarakat setempat terutama dalam tata cara mendirikan bangunan dan perhitungan atau
aturan mendirikan bangunan berdasarkan budaya dan kepercayaan setempat seperti perhitungan
waktu yang tepat, arah hadap bangunan, lokasi, feng-shui, berbagai upacara yang menyertai
berbagai tahapan pembangunan, dan sebagainya.
Keenam, Paparan Estetika Formal (Formal Aesthetic Explanation) yaitu bahwa estetika desain
vernakular/tradisional berbeda dengan desain karya arsitek yang menonjolkan nilai artistik
individualistik yang dipandang sebagai sebuah ungkapan cita rasa arsitektural. Desain vernakular
tidak muncul sebagai sebuah pernyataan arsitektural, tetapi lebih mengedepankan unsur simbolik
dibanding unsur fisik. Teori ini menunjukkan adanya ruang bagi munculnya upaya memahami bentuk
dan makna desain tradisional dengan pendekatan yang berbeda dengan desain modern. Desain
tradisional harus pertama-tama didekati dengan pemahaman terhadap latar budaya masyarakatnya,
karena desain adalah produk dari suatu budaya masyarakat.
Meskipun estetika adalah hal yang universal, perbedaan latar budaya masyarakat pencipta karya seni
tersebut menjadi faktor penting dalam proses penciptaan. Selain karena faktor dasar seperti fase
kebudayaan yang menghasilkan karya seni atau desain tersebut. Masyarakat dengan budaya mitis
berbeda cara pandangnya dengan masyarakat modern dengan budaya ontologis. Seluruh teori
tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan yang oleh Papanek disebut jaring dinamis
(Dynamic Web) sebagaimana dapat terlihat pada Matriks Vernakular (Papanek, 1995).
Gambar 10. Diagram Matriks Vernakular
Matriks vernakular di atas dapat dipakai untuk menjelaskan kondisi desain tradisional. Suatu karya
desain tradisional merupakan gabungan dari berbagai unsur dan setiap unsur saling terkait satu sama
lain. Pada matrix vernakular di atas dapat diketahui unsur-unsur yang berpengaruh pada desain
tradisional yaitu metode, (material, alat, proses dan skala), budaya(citra ruang kolektif, agama-
moralitas, kerja-hiburan, dan status), Desainer (pembuat, pemakai, pemilik), lingkungan-sosial (iklim,
konteks), evolusi (historis, tipologi) dan estetika (formalis, ornamental, organik).Posisi atau
kedudukan masing-masing unsur tersebut di dalam suatu proses penciptaan desain tradisonal
bersifat khas. Misalnya unsur Desainer, di masyarakat tradisional sekaligus adalah pembuat,
pemakai, dan pemilik, sedang unsur Evolusimenunjuk pada perubahan bentuk secara evolusioner
baik secara tipologis maupun historis.Tipologis menunjuk pada adanya perbedaan tertentu tetapi
dengan tipe bentuk yang sama, sedang unsur historis menunjuk pada faktor sejarah perkembangan
desain tersebut.
Unsur Dispersiyang terdiri dari dua faktor yaitugeografis dan sosial menunjuk pada sifat desain
tradisional yang menyebar dalam wilayah dalam batas geografis dan lingkungan sosial tertentu.
Dengan kata lain suatu desain tradisional tertentu umumnya dapat ditemui di dalam wilayah yang
sama secara geografi dan sosial yaitu kesamaan kelompok masyarakat berdasar ras atau etnik dan
berdasarkan unsur Budaya memiliki kesamaan dalam faktor agama dalam pengertian sistem
kepercayaan dalam arti luas menyangkut unsur kosmologi.
Unsur estetikyang mencakup faktor bentuk (formalis), ornamentasi dan organikmenunjuk adanya
acuan baku yang dimiliki masyarakat pencipta desain tersebut dalam hal bentuk, jenis ornamentasi
dan karakteristik organik. Pengertian organik kemungkinan mengacu pada bentuk yang bersumber
pada karakteristik serta bahan atau material alami dan simbolik yang merupakan bagian integral dari
kebudayaan penciptanya. Seluruh unsur tersebut merupakan warisan dari generasi sebelumnya yang
ditiru generasi berikut tanpa perubahan yang berarti sebagaimana karakteristik umum desain
tradisional.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Konsep estetika Baduy dapat ditelusuri selain dari artefak tradisional yang dihasilkan kebudayaan
masyarakat Baduy juga dapat ditelusuri dari sumber lain seperti kosmologi, bahasa dan naskah Sunda
kuno. Dari temuan yang ada pada berbagai sumber tersebut dapat dikembangkan upaya kreatif
dalam penciptaan produk baru seperti desain dan arsitektur kontemporer. Unsur lain seperti
geografis, artefak budaya juga dapat menjadi bahan bagi penciptaan unsur estetika berbasis budaya
Sunda di dalam berbagai karya seni dan arsitektur kontemporer. Beberapa contoh sebagaimana
diuraikan di atas merupakan salah satu upaya menciptakan identitas lokal pada setiap karya desain
yang pada akhirnya menciptakan estetika yang khas budaya Sunda.
Peniruan terhadap artefak budaya tradisional sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan sedapat
mungkin tanpa merusak karakteristik bentuk formal.Misalnya bentuk atap julang ngapak harus tetap
memperhatikan karakterisitk bentuk julang ngapak.Inovasi yang dilakukan sering membuat
karakteristik bentuk tradisional menjadi hilang dan berubah sementara istilah dan pemahamannya
tetap. Seperti penyebutan atap julang ngapak tetapi sudah dalam bentuk yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/8924284/ARSITEKTUR_TRADISIONAL_BADUY_DALAM_DAN_LUAR_OLEH
_Galuh_Fajar_Puspasari_1211662022_Nugroho_Wisnu_Broto_1211665022_PROGRAM_STUDI_S-
1_KRIYA_SENI_JURUSAN_KRIYA_FAKULTAS_SENI_RUPA_INSTITUT_SENI_INDONESIA_YOGYAKARTA_
2014
https://smktpp.wordpress.com/wisata-kabupaten-bayolali-jawa-tengah/
https://cecepekapermana.wordpress.com/2009/02/24/arsitektur-tradisional/
http://computerssmaintenance.blogspot.com/2011/11/wujud-kebudayaan-masyarakat-
indonesia.html
Dharsono, Soni Kartika (2007), Estetika, Rekayasa Sains, Bandung
Fadillah, Moh. Ali (2006): Pengultusan Orang Suci pada Masyarakat Sunda: Sebuah Kontinuitas Unsur
Budaya, prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda, jilid 1, Bandung, Rosidi, Ajip, Ekadjati, Edi
S., Alwasilah, A. Chaedar, Editor, Yayasan Kebudayaan Rancage, 419-432
Hidayat, Rachmat Taufik, Haerudin Dinding, Muhtadin, Teddy AN Darpan, Sastramidjaja, (2005):
Peperenian Urang Sunda, Kiblat Buku Utama, Bandung
Holt, Claire, (1967): Art in Indonesia, Cornel University Press, New York.
Jamaludin, (2011): Makna Simbolik Estetika Sunda: Kajian Wadah Makanan Pokok di Masyarakat
Baduy, disertasi, Program Ilmu Seni Rupa dan Desain Sekolah Pascasarjana ITB.
Natawisastra, Mas (1979): Saratus Paribasa Jeung Babasan III, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Papanek, Victor (1995): The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design and Architecture, Thames
and Hudson, London
Walker, John A. (1989): Design History and the History of Design, Pluto Press London