Disusun Oleh:
UNIVERSITAS GUNADARMA
2023
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan rasa syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat
ramhat serta karunia-Nya lah, makalah ini dapat kami selesaikan dengan sebaik-baiknya dan
tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi
Kami ucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Manusia dan
Kebudayaan Indonesia karena telah memberikan pengajaran, hal yang berkaitan dengan
Kebudayaan Indonesia sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu.
utamanya ialah kurangnya wawasan serta ilmu pengetahuan yang kurang memadai. Kami
sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
sangat mengharapkan timbal balik berupa kritik dan saran yang dapat membangun dari para
pembaca. Mohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini terjadi banyak kekurangan atau
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................1
BAB II.........................................................................................................................................4
2.1 Nias....................................................................................................................................4
ii
2.2.8 Rumah Adat Suku Mentawai....................................................................................45
2.2.9 Upacara Pernikahan Suku Mentawai........................................................................46
2.2.10 Baju Adat Suku Mentawai......................................................................................50
2.2.11 Adat Istiadat Suku Mentawai.................................................................................52
2.2.12 Upacara Adat Suku Mentawai................................................................................54
BAB III.....................................................................................................................................56
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................57
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya dan memiliki keragaman budaya serta
suku bangsa. Salah satu contoh yang dapat terlihat secara menonjol adalah budaya dan
Mentawai yang berada di wilayah Sumatera. Kedua daerah ini memiliki kebudayaan dan
Kebudayaan Nias, yang memiliki akar sejarah yang kaya dan warisan budaya yang
mendalam, adalah salah satu aset berharga dalam keragaman budaya Indonesia. Terletak
di lepas pantai Sumatera Utara, pulau Nias telah lama dikenal dengan budaya uniknya
yang melibatkan seni, musik, tarian, ritual keagamaan, serta tradisi keseharian yang unik.
Kebudayaan ini telah menjadi penanda identitas masyarakat Nias dan berperan dalam
Di sisi lain, Mentawai merupakan salah satu daerah yang terletak di Sumatera Barat,
dan memiliki budaya yang sangat berbeda dari Nias. Masyarakat Mentawai terkenal
dengan tattoo tradisional yang banyak menghiasi tubuh mereka, dan juga dikenal dengan
dengan alam, dan mereka memiliki kehidupan yang harmoni dengan hutan dan lautan
sekitarnya.
Penting bagi kita untuk memahami budaya Indonesia dengan lebih mendalam karena
Indonesia adalah salah satu negara terbesar di dunia yang kaya akan keanekaragaman
budaya, bahasa, dan tradisi. Melalui pemahaman yang lebih mendalam terhadap budaya
1
Indonesia, kita dapat memahami aspek-aspek kehidupan sehari-hari, nilai-nilai, norma-
norma sosial, dan sistem kepercayaan yang membentuk identitas bangsa ini. Pengetahuan
ini tidak hanya akan memperkaya wawasan kita tentang keragaman budaya di dunia,
Selain itu, dengan lebih memahami budaya Indonesia, kita dapat menghargai peran
yang dimainkan oleh budaya dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan politik negara ini.
Oleh karena itu, studi tentang budaya Mentawai dan Nias, sebagai bagian integral dari
pemahaman kita tentang perbedaan budaya dan upaya untuk menjaga serta
Beberapa Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik wilayah, masyarakat, serta sejarah dari suku Nias dan
Mentawai?
2. Bagaimana kepercayaan yang dianut, cara berpikir, serta norma yang berlaku
3. Apa saja kesenian, festival, makanan khas, kegiatan, serta tarian tradisional
4. Bagaimana bentuk arsitektur rumah adat dari suku Nias dan Mentawai?
2
1. Untuk mengetahui karakteristik wilayah, masyarakat, serta sejarah dari suku
2. Untuk menganalisis kepercayaan yang dianut, cara berpikir, serta norma yang
4. Untuk mengetahui bentuk arsitektur rumah adat dari suku Nias dan Mentawai.
3
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Nias
Suku Nias adalah suku bangsa atau kelompok masyarakat yang mendiami
pulau Nias, Provinsi Sumatera Utara. Gugusan pulaupulau yang membujur di lepas
pantai barat Sumatra yang berbatas Samudra Hindia. Kurang lebih hanya lima pulau
besar yang dihuni; Pulau Nias, Tanah Bala, Tanah Masa, Pulau Tello, dan Pulau Pini.
Dari kelima pulau besar itu, Pulau Nias lah yang memiliki penduduk yang cukup padat
dan menjadi pusat dari kegiatan ekonomi serta pemerintahan. Dalam bahasa setempat,
orang Nias menyebut dirinya ono niha, ono berarti anak atau keturunan, sedangkan
niha artinya manusia. Sedangkan pulau Nias disebut sebagai tano niha, Tano berarti
Pulau Nias memiliki luas sekitar 5.625 kilometer persegi, menjadikannya salah
satu pulau terbesar di antara pulau-pulau di bagian pantai Barat Sumatra. Wilayah ini
cukup besar dan beragam, dengan pesisir pantai yang panjang, hutan hujan,
pegunungan, dan dataran tinggi. Secara geografi, Pulau Nias memiliki pesisir pantai
yang indah yang terkenal dengan ombaknya yang sangat cocok untuk berselancar. Di
bagian dalam pulau, terdapat pegunungan dan bukit yang membentang di sebagian
besar wilayahnya. Pegunungan dan bukit ini memberikan karakteristik topografi yang
4
II.1.2 Sejarah Suku Nias
Tidak diketahui persis ketika orang pertama kali datang ke Nias. Tetapi
diketahui bahwa ada satu atau beberapa suku lain yang menghuni Nias sebelum
kelompok etnis yang ada saat ini (Ono Niha) menetap di pulau sekitar 700 tahun yang
lalu. Ini disebutkan dalam tradisi lisan dan didukung oleh bukti-bukti arkeologi. Pada
bulan Agustus 1999 ekskavasi pertama dimulai oleh Museum Pusaka Nias yang
bekerjasama dengan Universitas Airlangga di Gua Tögi Ndrawa (Gua Orang Asing),
sebuah gua besar yang berjarak 4 km dari Gunungsitoli dan 130 m di atas permukaan
laut. Sisa-sisa dan alat-alat yang ditemukan, menunjukkan bahwa itu dihuni lebih dari
12.000 tahun yang lalu. Ekskavasi berikutnya oleh Balai Arkeologi Medan (Lihat:
Ketut Wiradnyana dkk. 2002. Gua Tögi Ndrawa, Hunian Mesolitik di Pulau Nias)
menyimpulkan bahwa gua itu berpenghuni oleh manusia sampai 700 tahun yang lalu.
a. 150M – 700M
Pulau Nias berada dekat salah satu jalan lintas utama Asia Tenggara dan
Dalam tulisan awal Cina, Yunani dan Arab, Sumatera dan daerah sekitarnya
terkenal. Seawal tahun 150 M, Ptolemy penulis Yunani menyebutkan lima pulau
Nias adalah pulau yang terbesar. (Kapur barus adalah zat padat berupa lilin yang
ditemukan dalam pohon laurel kamper di Sumatera). Dari abad ke-7 dan
seterusnya pulau-pulau barat Sumatera dikenal baik oleh pedagang dan pelaut
Cina dan Arab. Orang Nias menjual hasil mereka kepada kapal yang melewati
b. 800M – 1250M
5
Penulisan pertama tentang Nias berasal dari Sulayman, seorang pedagang
Persia, yang pada tahun 851 M mengunjungi Pulau Nias. Dia melihat bahwa para
bangsawan lokal mengenakan banyak perhiasan emas yang indah dan memiliki
terlebih dahulu memenggal seorang musuh. Juga dicatat bahwa Pulau Nias
memiliki struktur sosial yang kompleks. Pada tahun 1154, Edrisi menulis: "Pulau
ini dihuni oleh sejumlah besar suku-suku." Tradisi lisan Nias menyebutkan enam
suku yang berbeda dari masa ini, dan yang salah satunya adalah suku Bela, yang
Tambang ini menghasilkan banyak emas, dan sejumlah emas itu masuk ke Nias.
c. 1350M
Gelombang imigrasi membawa suku 'Ono Niha' ke Nias sekitar tahun 1350 M.
Sebagian besar orang Nias saat ini adalah keturunan dari kelompok etnis ini.
Nias Selatan. Orang-orang Ono Niha memiliki pengetahuan unggul untuk teknik
bangunan dan penggunaan dan pembuatan alat besi. Secara cepat mereka menjadi
kelompok yang berpengaruh di daerah ini. Dari Gomo mereka tersebar ke seluruh
pulau sampai semua orang Nias menyebut diri mereka sebagai Ono Niha. Seiring
dengan permulaan dan masuknya imigran “Niha”, maka berakhir pula penghunian
gua Tögi Ndrawa. Tidak diketahui kalau suku tua yang lain di Nias menjadi punah
atau berasimilasi dengan Ono Niha. Tidak jelas dari mana suku Ono Niha berasal.
Tapi banyak dari kedatangan pertama di Nias memiliki nama seperti Hia atau Ho,
6
yang juga merupakan nama umum di Cina. Penelitian DNA menemukan, bahwa
keturunan mereka ini (”niha“ atau suku ”manusia“) yang sekarang disebut “Ono
Pada tahun 1416, tentara Dinasti Ming Cina di bawah komando Laksamana
dengan Pulau Nias. Disitu mereka mendirikan penggergajian kayu dan mendirikan
menjadi sangat berpengaruh ke Pulau Nias, dan banyak pedagang dari Singkuang
Pada tahun 1513, atas perintah dari Sultan Ali Mughayat Syah, Kesultanan
Aceh merebut dan menduduki beberapa pelabuhan di pantai barat Sumatera. Kapal
dari Aceh juga sering menggerebek Nias, khususnya di utara. Sampai hari ini
masih ada beberapa pantai yang dikenal sebagai Pantai Aceh dan dikenang sebagai
menggunakannya sebagai budak. Pada tahun 1642 tujuh buah biduk (perahu layar
besar) dari Aceh mendarat di pantai timur Nias. Sejak itu keturunan Polem berada
7
yang sekarang adalah Indonesia. Pada tahun 1668 VOC membuat kontrak dengan
bangsawan dan desa-desa di Nias dekat daerah yang sekarang adalah Gunungsitoli
gudang. Pada tahun 1740 VOC meninggalkan Nias untuk selama-lamanya karena
Budak selalu telah diambil dan ditahan oleh suku-suku Nias. Ketika desa
berperang satu sama lain, musuh tawanan disimpan sebagai budak oleh para
pemenang. Perampok Aceh juga datang ke Nias untuk menangkap orang yang
mereka menjual sebagai budak di tempat lain. Tapi hanya mulai pada tahun 1750,
Pada waktu itu banyak orang muda Nias dijual ke seberang laut, ke Aceh,
tahun kemudian tercatat bahwa budaya Nias adalah salah satu masyarakat suku
yang paling maju di Asia. Pada saat ini, budaya di Nias berputar di sekitar perang-
perang, dan sebagian besar upaya dan sumber daya diarahkan ke pertempuran lain
8
h. Tahun 1821 – 1832: Pengaruh dari Eropa
Selama waktu yang singkat setelah VOC meninggalkan Nias pada tahun 1776,
ada orang Eropa di Nias sampai 1821 ketika orang Inggris kembali mencoba untuk
membangun diri di Nias. Namun Inggris hanya tinggal sampai 1825 ketika
Belanda kembali untuk secara resmi mengambil kendali Nias. Pada saat ini
Indonesia dijajah oleh Belanda dan dikenal sebagai Hindia Timur Belanda. Pastor
Vallon dan Pastor Bérard adalah misionaris Gereja Katolik pertama yang datang
di sekitar kota Gunungsitoli. Meninggalkan daerah ini untuk orang Eropa sangat
berbahaya karena sering peperangan antar suku dan pihak pengayau. Pada tahun
serta kontrol militer di seluruh Nias. Namun kontrol itu terbatas pada benteng
selatan. Di selatan juga adalah tempat tinggal beberapa kepala suku yang paling
ganas dan paling kuat. Pertempuran besar dengan ribuan prajurit yang bertempur
di bukit di belakang Lagundri. Desa Orahili terutama ganas, dan mereka melawan
9
Belanda selama beberapa dekade. Kadang-kadang, benteng pertahanan dan pos
perdagangan ditinggalkan saat mereka menjadi terlalu berbahaya dan mahal untuk
Pada tahun 1900 Belanda mengirim kontingen pasukan besar ke Nias untuk
mengamankan wilayah luar dari Gunungsitoli. Kontrol penuh untuk seluruh pulau
hanya ditetapkan pada tahun 1914. Salah satu daerah terakhir yang 'ditenangkan'
oleh Belanda di seluruh Indonesia. Salah satu dampak abadi kolonialisme Belanda
harus hidup di samping jalan tersebut. Ini memiliki dua tujuan: barang dari daerah-
daerah terpencil bisa secara efektif diangkut kembali ke ibukota Gunungsitoli dan
Setelah Belanda menenangkan situasi seluruh Pulau Nias dan akses jalan
ditingkatkan, misionaris bisa mencapai semua wilayah pulau. Jumlah orang yang
besar dalam mualaf karena suatu peristiwa yang tidak biasa dikenal sebagai
“Pertobatan Besar” (Fangesa sebua). Pertobatan Besar itu adalah gerakan konversi
10
gerakan ini bukan orang misionaris tetapi mualaf lokal. Selama awalnya semangat
pengayauan dan perbudakan dilarang. Tetapi aspek lain dari budaya Nias seperti
Selama Perang Dunia II, Jepang menduduki Indonesia yang pada saat itu
dikenal sebagai Hindia Belanda. Pada bulan April 1942 Belanda menyerah dan
tidak lama setelah itu, Jepang tiba di Nias. Sebelum pendudukan itu, terjadi
semua orang Jerman yang ada di Indonesia. Ketika Jepang mendekati, Belanda
mencoba untuk mengirim tawanan ke India di atas kapal kapal dagang "Van
Imhoff". Dekat ke Nias Selatan, kapal itu diserang oleh pesawat Jepang. 412
dari penguasa penjajah Belanda mereka. Perasaan ini berubah ketika orang-orang
di Nias dipaksa bertahan banyak kesulitan untuk mendukung upaya perang Jepang.
Dalam persiapan untuk invasi sekutu, Bunker dan benteng dibangun di sekitar
pulau. Hari ini beberapa bunker ini masih dapat dilihat; di sekitar Gunungsitoli dan
juga di Nias Utara dan Selatan. Pada bulan Agustus 1945 Jepang menyerah, tetapi
butuh beberapa minggu sebelum berita, bahwa perang telah berakhir, mencapai
pulau.
11
Tsunami melanda Pulau Nias pada 26 Desember 2004. Pantai barat
menanggung beban kehancuran dengan 118 korban jiwa, dan semua masyarakat
dan rumah dibanjiri oleh air laut. Lalu, pada tanggal 28 Maret 2005, sebuah gempa
bumi dengan kekuatan 8,5 melanda di Pulau Nias. Banyak bangunan runtuh yang
mengakibatkan lebih dari 900 orang tewas dan ribuan terluka. Infrastruktur di
Terlepas dari hilangnya nyawa dan kehancuran, gempa juga mengubah lanskap
pulau. Karena tanahnya terangkat akibat gempa, seluruh pulau miring pada
sisinya. Ada catatan bahwa tanah terangkat hingga 2,9 meter di sudut barat laut
meningkat hingga sepuluh kali dalam ukuran dan pulau-pulau baru muncul di
Pada akhir tahun 2005 setelah selesai operasi penyelamatan, tahap rekonstruksi
mulai. Diantara tahun 2005 dan tahun 2010 banyak organisasi internasional dan
Nias. Periode ini kadang-kadang disebut 'era LSM' di Nias. Organisasi seperti
Palang Merah, UNICEF, OXFAM, ILO, AUSAID dan Caritas (dan banyak lagi)
Selain dari beberapa misionaris, ini adalah pertama kalinya orang asing telah
bekerja di Pulau Nias sejak kepergian orang Belanda. Dana dan bantuan teknis
mengalir ke Nias dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Museum
12
bekerja sama dengan komunitas pembangunan selama waktu ini, terutama dalam
diputuskan untuk membagi administrasi Pulau Nias menjadi empat kabupaten dan
satu kota. Kabupaten-kabupaten baru diresmikan antara tahun 2008 dan 2009. Ini
berarti bahwa banyak keputusan akan dibuat oleh pemerintah daerah dan tidak lagi
Orang Nias, yang tinggal di Pulau Nias di Sumatera Utara, Indonesia, memiliki
beberapa mata pencaharian utama, termasuk bertani, berburu, menangkap ikan, dan
pertukangan. Mereka menanam tanaman seperti padi, umbi-umbian, dan sayuran, serta
memelihara babi, kambing, sapi, dan kerbau. Mereka mempraktikkan pertanian tebang
dan bakar, dan alat serta metode pertanian mereka masih sederhana, tanpa
menggunakan bajak atau sistem irigasi. Selain bertani, mereka juga berburu,
pencaharian penting lainnya, dan orang Nias dikenal dengan ukiran dan kerajinan
kayu berkualitas tinggi. Masyarakat Nias juga memiliki budaya dan tradisi yang kaya,
Masyarakat Nias memiliki beberapa kelompok etnis yang berada di sana. Berikut
13
1. Suku Nias: Suku Nias adalah kelompok etnik yang berasal dari Pulau Nias.
2. Suku Asilulu: Suku Asilulu merupakan kelompok etnis yang berasal dari
wilayah Asilulu, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya yang
3. Suku Ono'a Niha: Suku Ono'a Niha merupakan kelompok etnis yang berasal
dari wilayah Ono'a Niha, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya
4. Suku Orahili: Suku Orahili merupakan kelompok etnis yang berasal dari
wilayah Orahili, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya yang
5. Suku Lahusa: Suku Lahusa merupakan kelompok etnis yang berasal dari
wilayah Lahusa, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya yang
dari wilayah Hilinawalo, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya
14
9. Suku Hilinakeo: Suku Hilinakeo merupakan kelompok etnis yang berasal dari
wilayah Hilinakeo, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya yang
Salah satu aspek yang sangat menarik dalam budaya suku Nias adalah sistem
kepercayaan tradisional mereka, yang dikenal sebagai Fanömba adu. Fanömba adu
adalah fondasi spiritual bagi masyarakat suku Nias, yang memengaruhi setiap aspek
kehidupan mereka, dari agama hingga upacara adat. Dalam makalah ini, kita akan
menjelajahi lebih dalam tentang kepercayaan Fanömba adu suku Nias, menggali
suku ini. Kepercayaan ini tidak hanya merupakan warisan berharga dari nenek
moyang mereka, tetapi juga merangkum konsep-konsep yang relevan dalam konteks
masuk daerah administrasi Sumatera Utara. Fanömba adu sebenarnya hanya merujuk
pada sebuah ritual, yaitu pemujaan patung tetapi kemudian berkembang penggunaanya
menjadi istilah terhadap kepercayaan suku Nias secara umum. Beberapa penulis
menyebut kepercayaan ini sebagai pelebegu yang juga mengacu kepada kepercayaan
yaitu kegiatan pemujaan roh leluhur. Sebagai sarana ritual, dipergunakan patung-
patung kayu (adu). Patung-patung tersebut dipercaya ditempati oleh roh-roh para
leluhur. Contoh dari patung yang berkaitan dengan leluhur di antaranya Adu Zatua
atau patung kayu nenek moyang dari pihak keluarga laki-laki, atau Adu Nuwu yang
15
merupakan patung nenek moyang dari pihak keluarga perempuan. Terkait patung-
patung ini, penganut fanömba adu juga membuatnya untuk menyimbolkan berbagai
sosok seperti ksatria, pemburu andal, atau orang yang memiliki kekuatan.
Dalam kepercayaan fanömba adu, terdapat beberapa dewa yang dikenal oleh para
penganutnya. Dewa pertama adalah Lowalangi. Dewa ini diposisikan sebagai dewa
yang terpenting dari dewa-dewa lainnya. Lowalangi dianggap sebagai penguasa dunia
atas atau sang pencipta. Lowalangi memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman
kepada orang yang berbuat jahat. Istilah Lowalangi kini digunakan sebagai
penyebutan Allah bagi pengikut ajaran Kristen di Nias, pertama kali diperkenalkan
oleh misionaris Denninger pada tahun 1865. Lowalangi dipercaya memiliki keluarga
Dewa Lature Danö dianggap sebagai saudara tua dari Lowalangi sekaligus raja
dari dewa-dewa di dunia bawah. Lature Danö bertindak sebagai dewa yang
Selanjutnya, ada Silewe Nazarata yang bertindak sebagai dewa pelindung para
pemuka agama sekaligus istri dari Lowalangi. Pendapat lain juga menyebut adanya
peran lain dari Silewe Nasarata, yaitu penghubung antara dewa yang ada di dunia atas
dengan dunia bawah, juga antara kaum dewa dan umat manusia.
dipercaya sebagai pencipta dari dewa-dewa tersebut dikenal dengan nama Ida
Samihara Luo. Apa yang disebut dengan Ida Samihara Luo ini tidak memiliki realitas,
namun darinya tercipta dua anak kembar. Selanjutnya, dua ana kembar ini kawin dan
perkawinannya menghasilkan para dewa dan manusia. Sebelum dewa Lowalangi dan
Lature Danö ada, kepercayaan juga menyebutkan ada dewa-dewa lain yang eksis
16
setelah alam semesta masih berwujud kekacauan dan kegelapan. Adalah Tuha Sihai
yang dianggap sebagai dewa pertama yang ada. Tuha Sihai tinggal di alam paling atas
seukuran rumah dan mendapat dukungan oleh angin. Dari napas Tuha Sihai kemudian
tercipta Aloloa Nangi dan dari kepalanya muncul pohon Toro'a. Pohon Toro'a
menghasilkan tiga tunas tumbuhan dan dari tunas paling ataslah dewa Lowalangi dan
Lature Danö lahir. Selain keduanya, lahir pula dua roh jahat bernama Nadaoya dan
Afökha.
Sementara itu dari tunas tengah lahir satu roh baik dan roh jahat, sedangan tidak
ada dewa atau roh yang dilahirkan dari tunas paling bawah. Selain dewa, roh juga
memiliki posisi penting dalam kepercayaan fanömba adu. Para penganutnya mengenal
macam-macam roh sebagai penjelmaan dari orang yang sudah meninggal dunia. Ada
banyak roh yang dikenal dan dibedakan berdasarkan apa yang dialaminya semasa
melahirkan anak. Roh ini dianggap ada untuk mengganggu para perempuan yang akan
melahirkan. Kemudian dikenal Solofo yang merupakan roh orang yang piawai dalam
hal berburu. Ada pula Bekhu, roh orang yang mati biasa.[3] Jika roh sudah sampai ke
dunia semasa hidupnya. Jika adalah seorang raja meninggal misalnya, maka di dunia
seberang (Tetehöli Ana’a) juga ia akan tetap menjadi raja. Sebaliknya, orang yang
miskin saat hidup di dunia manusia pun akan hidup miskin di dunia seberang
Tarian dan kesenian tradisional suku Nias adalah ekspresi budaya yang kaya dan
memukau. Terletak di lepas pantai barat Sumatra, Indonesia, pulau Nias adalah rumah
bagi suku yang memiliki warisan seni dan budaya yang unik. Kesenian dan tarian
17
tradisional suku Nias memainkan peran penting dalam memperlihatkan keindahan dan
kekayaan budaya mereka kepada dunia. Dalam makalah ini, kita akan menjelajahi
lebih dalam tentang kesenian dan tarian tradisional suku Nias, mengungkap aspek-
aspek penting dari seni tradisional ini, sejarahnya, serta dampaknya dalam masyarakat
suku Nias. Kita akan menyelami aliran-aliran seni, alat musik tradisional, dan
yang unik. Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang kesenian dan tarian
tradisional suku Nias, kita dapat meresapi kekayaan budaya yang telah mewarnai
masyarakat nias, lagu tano niha memiliki filosofi yang tinggi, oleh karena itu lagu
tersebut harus dijunjung tinggi. Seiring dengan perkembangan jaman, lagu tano
niha dijadikan sebagai pengiring tari maena, sebagai akibatnya persepsi dan
menjadi menyimpang.
b. Tari Fataele
Tarian Fataele adalah tarian peperangan yang sarat dengan nuansa mistis. Hal
ini mencerminkan bahwa kebudayaan suku Nias di masa lalu tidak dapat
c. Tari Maena
Tari Maena salah satu tari tradisi masyarakat nias yang selalu dilakukan pada
setiap pertemuan yang bernuansa kegembiraan dan penuh suka cita, seperti pesta
18
pernikahan,owasa dan sebagainya. Suatu pertemuan atau pesta yang didalamnya
ada kegiatan maena itu merupakan pertanda bahwa semua yang hadir pada
pertemuan tersebut ikut menikmati sukacita, rasa damai, suasana akrab, dan
bahagia. Maena merupakan suatu bentuk lagu yang disajikan secara berkelompok
oleh pria dan wanita sambil melakukan gerakan tari yang terdiri satu orang
d. Tari Moyo
Tari moyo disebut juga tari elang yang terus mengepakkan sayapnya dengan
lembut tanpa mengenal lelah. Tarian ini melambangkan keuletan dan semangat
dilaksanakan pada perayaan hari besar tertentu juga untuk menyambut tamu.
Salah satu aspek yang sangat menonjol dalam kekayaan seni budaya suku Nias
adalah alat musik tradisional mereka. Alat musik ini tidak hanya memiliki nilai artistik
yang tinggi, tetapi juga memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari dan
dalam berbagai upacara adat suku ini. Selain hal-hal kesenian yang telah disebutkan di
atas, Nias juga terkenal dengan beberapa alat musiknya yang menarik, diantaranya:
a. Taburana
Alat musik Taburana ini hanya dikenal dan ditemukan di wilayah Nias Selatan.
dalam rumah besar dan tidak dipindah-pindah. Alat musik ini hanya digunakan
dan dibunyikan oleh Ere saat seorang anggota keluarga bangsawan telah
diameter 40 - 45 cm. Terbuat dari batang pohon feto dan bagian dalamnya
19
dilubangi dari ujung ke ujung seperti pipa. Lubang yang terbesar akan ditutup
b. Tutu
Alat musik Tutu terdapat di seluruh wilayah Pulau Nias. Alat musik ini juga
seperti Nias Tengah, Nias Barat, Nias Timur, dan Nias Utara, Tutu digunakan
c. Gondra
Aramba (gong) pada saat mengadakan pesta "Owasa" dan pesta pernikahan
"Fangowalu". Gondra lebih besar dari Tamburu dan bersuara lebih rendah atau
menggema. Alat pemukul Gondra terbuat dari bilahan bambu yang telah dibentuk,
d. Tamburu
dulu hingga saat ini. Pada saat membunyikan alat ini, ada tujuan dibaliknya, di
antaranya:
20
1. Musik pengiring rombongan pesta menuju rumah pengantin perempuan,
2. Tanda bahwa pesta pernikahan sudah "sah" sesuai adat yang berlaku.
e. Fifi Wofo
Alat musik unik milik masyarakat Nias adalah Fifi Wofo. Fungsinya sebagai
alat berburu yang berperan penting dalam memanggil berbagai jenis burung. Cara
menggunakan Fifi Wofo ini adalah dengan meniup dengan bibir dan sedikit diatur
f. Fata Lewuo
Feta Lewuo sebuah alat musik yang digunakan oleh anak-anak dan kalangan
atau di pegunungan (Nowi). Kegunaan alat musik ini membantu anak-anak dan
remaja untuk mengusir kawanan burung yang akan memakan atau merusak buah
padi mereka.
Makanan suku Nias mencakup berbagai hidangan yang terbuat dari bahan-bahan
alami seperti ikan, ubi, singkong, dan kelapa. Kombinasi bahan-bahan ini menciptakan
mendalam mereka tentang ekologi dan sumber daya lokal. Beberapa makanan khas
21
a. Babae
Makanan yang terbuat dari kacang berprotein yang dimasak lembut dan
b. Harinake
Makanan favorit masyarakat Nias yang selalu disajikan untuk makan malam.
Makanan ini juga dianggap sebagai makanan menghormati tamu dan mertua.
Makanan ini dibuat dengan bahan dasar daging yang dicincang dan dimasak
c. Gowi Nifufu
Makanan yang terbuat dari umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, dan talas) dan
merupakan makanan khas adat Nias. Cara membuatnya adalah dengan menumbuk
halus umbi kemudian dicampur dengan kelapa. Rasa pulen dari umbi dan
dicampur gurihnya kelapa sangat nikmat untuk disantap sebagai pengganti nasi.
d. Tamboyo
Ketupat khas Nias yang terbuat dari beras ketan sehingga teksturnya sangat
pulen. Supaya enak dan berkualitas, ketupat Nias ini takarannya harus pas.
Garamnya tidak boleh berlebih agar hasilnya tidak keasinan, tetapi gurih.
e. Ni Unago
22
Makanan yang terbuat dari ikan tongkol yang diasap dan dijemur terlebih
dahulu. Kemudian ikan tersebut diiris tipis-tipis dan dicampur dengan bumbu-
bumbu khas Nias seperti cabai, bawang merah, dan daun jeruk.
f. Niowuru
Makanan yang terbuat dari daging yang diasinkan, awet dan tahan lama.
Awalnya menggunakan daging babi, kini dapat ditemukan dengan berbagai varian
daging.
Suku Nias dikenal dengan kebudayaan unik mereka yang dipenuhi dengan
tradisi, seni, dan festival yang menakjubkan. Festival adalah salah satu cara utama di
mana Suku Nias merayakan dan melestarikan warisan budaya mereka. Festival-
festival ini tidak hanya merupakan pesta yang meriah, tetapi juga merupakan jendela
ke dalam kekayaan budaya dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Melalui festival-festival ini, Suku Nias menjalankan peran penting dalam menjaga
Festival Ya'ahowu Nias merupakan salah satu festival yang di adakan oleh
suku Nias. Festival tersebut bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan berbagai
tradisi dan kesenian suku Nias. Festival ini dirayakan pada akhir tahun, sebaiknya
budaya mereka melalui pameran seni, tari, musik, serta pameran dan pertukaran
budaya. Festival ini bertujuan untuk memperkenalkan berbagai budaya dan kesenian
suku Nias kepada masyarakat umum. Festival ini biasanya diadakan pada akhir tahun,
tepatnya bulan November. Festival Ya'ahowu menjadi ajang untuk merayakan warisan
23
budaya mereka melalui pertunjukan seni, tarian, musik, serta pameran dan pertukaran
budaya.
budaya, permainan rakyat, serta pameran produk premium dan kuliner khas Sumatera
Utara diselenggarakan. Ada pula tarian tradisional seperti Faluaya (tari perang),
Maena, Tari Moyo, Tari Singa Betina (tari barong) dan lain-lain. Dalam acara tersebut
juga digelar tarian nasional Maena yang melibatkan ribuan penari dengan tujuan
memecahkan rekor MURI. Festival Nias Ya'ahowu merupakan acara populer dan
menarik ribuan pengunjung setiap tahunnya. Berikut adalah beberapa kegiatan yang
daerah dan atraksi budaya dari setiap peserta, kendaraan hias, marching
band.
Famadaya Harimao, tarian daerah, Famozi Gondra, Orahu, Fame Afo, dan
d. Hombo Batu Kolosal yang didukung oleh 100 orang pelompat batu
24
h. Pertunjukan musik tradisional seperti Feha, Sigale-gale, dan lainnya.
Selain itu, pada festival ini juga terdapat kegiatan lain seperti seminar,
workshop, dan diskusi tentang budaya dan kesenian suku Nias. Festival Ya'ahowu
Nias merupakan festival yang sangat populer dan menarik ribuan pengunjung setiap
tahunnya.
Rumah adat suku Nias adalah rumah panggung tradisional orang Nias yang
dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung yang tinggi dan besar, yang beralaskan
rumbia. Rumah adat Nias terkenal karena kokoh dan tahan gempa. Ada dua jenis
rumah adat Nias yang terkenal, yaitu Omo Hada dan Omo Sebua.
a. Omo Hada
Rumah adat Nias Omo Hada adalah salah satu rumah adat dalam suku Nias.
Rumah adat ini mempunyai bentuk dan desain dari bangunan unik serta menarik
mata. Rumah adat Omo Hada memiliki kontruksi bangunan tanpa paku, tahan
terhadap gempa, dan proses pembangunan hampir kurang lebih 4 tahun. Omo
Hada adalah rumah adat suku Nias yang dibangun khusus untuk rakyat atau
penduduk biasa. Rumah ini memiliki bentuk persegi dan terdapat tiang-tiang yang
kuat dari batang kayu dengan bagian atap dilapisi daun rumbia.
Omo Hada dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung yang tinggi dan besar,
yang beralaskan rumbia. Bangunan rumah panggung ini tidak berpondasi yang
25
paku, hingga membuatnya tahan goyangan gempa. Omo Hada memiliki dua
ruangan, yaitu Tawalo dan Forema. Tawalo berfungsi sebagai ruang tamu dan
tempat tidur tamu, sedangkan Forema berfungsi sebagai ruang keluarga, ruang
b. Omo Sebua
Omo Sebua adalah rumah adat suku Nias yang dibangun khusus untuk kepala
desa atau kepala negeri, serta kaum bangsawan. Rumah ini lebih besar dan lebih
kayu nibung yang tinggi dan besar, yang beralaskan rumbia. Bangunan rumah
panggung ini tidak berpondasi yang tertanam ke dalam tanah, serta sambungan
gempa.
Omo Sebua memiliki bentuk seperti rumah panggung yang dibangun di atas
tiang-tiang kayu tinggi besar. Ada perbedaan bentuk antara rumah adat yang
dibangun di Nias Utara, Nias Selatan, dan Nias Tengah. Omo Sebua yang ada di
Nias Utara memiliki perbedaan di bagian atap lotengnya yang lebar dan kisi-kisi
Upacara pernikahan di suku Nias terdiri dari beberapa tahapan yang harus
dilakukan oleh kedua belah pihak. Berikut adalah tahapan-tahapan upacara pernikahan
di Nias:
26
a. Famaigi Niha
rumah calon pengantin wanita. Keluarga pria membawa seserahan berupa uang,
sirih, pinang, dan rokok sebagai tanda keseriusan dalam melamar. Jika keluarga
wanita menerima lamaran, maka proses selanjutnya adalah meminta restu dari
Setelah mendapat restu dari orang tua dan leluhur, keluarga pria kembali ke
rumah calon pengantin wanita untuk membawa sirih pulang. Sirih pulang adalah
sirih yang dibawa oleh keluarga pria sebagai tanda bahwa mereka akan segera
c. Fanunu Manu
Proses akad nikah atau pengikatan janji kedua mempelai dilakukan di rumah
pengantin pria. Pada saat ini, calon pengantin wanita akan diberikan mahar berupa
uang atau harta lainnya oleh calon pengantin pria. Mahar dalam adat pernikahan
Nias disebut Bowo. Bowo dalam adat pernikahan di Nias adalah sejumlah harta
yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat adat
Bowo memiliki beberapa makna, antara lain syarat adat, makna kekeluargaan,
makna penghormatan dan penghargaan, makna sosial, dan prestise. Bowo juga
dianggap sebagai ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak. Bowo terjadi
karena pihak laki-laki menyatakan kasih sayang terhadap pihak perempuan. Bowo
27
yang dibutuhkan dalam upacara pernikahan sangat beragam jenis dan jumlahnya.
Namun, jenis bowo yang paling umum adalah uang, emas, babi, ayam, dan beras.
Setelah proses Fanunu Manu selesai, dilakukan pesta pernikahan yang dihadiri
oleh keluarga, kerabat, dan tetangga. Pesta pernikahan di Nias biasanya diadakan
selama beberapa hari dan diisi dengan berbagai acara seperti tari-tarian dan
nyanyian.
Upacara pernikahan di Nias memiliki banyak nilai-nilai adat dan tradisi yang harus
diikuti oleh kedua belah pihak. Salah satu tradisi yang unik adalah tarian pernikahan
yang dilakukan oleh pengantin pria dan wanita. Tarian ini disebut dengan tarian
fataele, yang merupakan tarian pergaulan yang dilakukan oleh masyarakat Nias. Selain
itu, upacara pernikahan di Nias juga diisi dengan berbagai macam makanan tradisional
Pakaian adat suku nias dinamakan Baruoholu untuk pakaian laki-laki dan Oroba si
oli untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau
kuning yang dipadu dengan warna hitam, merah, dan putih. Adapun makna filosofi
Kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (ni obakola) dan pola bunga
kapas (ni obowo gafasi) sering dipakai oleh para bangsawan untuk menggambarkan
dengan corak segitiga sering dikenakan oleh prajurit untuk menggambarkan darah,
keberanian dan kapabilitas para prajurit. Hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani
28
menggambarkan situasi kesedihan, ketabahan, dan kewaspadaan. Putih yang sering
dikenakan oleh pemuka agama kuno (ere) menggambarkan kesucian, kemurniaan, dan
kedamaian.
Suku Nias memiliki berbagai tradisi yang masih dilakukan hingga sekarang.
Tradisi-tradisi tersebut sangat unik dan otentik dengan daerah tersebut. Tradisi-tradisi
Tradisi lompat batu sudah dilakukan sejak zaman para leluhur, di zaman
dahulu mereka sering berperang antar suku sehingga mereka melatih diri agar kuat
dan mampu menembus benteng lawan yang cukup tinggi untuk dilompati. Tradisi
lompat batu diadakan untuk mengukur kedewasaan dan kematangan lelaki nias,
sekaligus ajang menguji fisik dan mental remaja lelaki di nias menjelang usia
dewasa. Tradisi ini dilakukan lelaki nias untuk membuktikan bahwasanya mereka
menikah. Tinggi batu lebih kurang dua meter, lebar Sembilan puluh centimeter,
dan panjang enampuluh centimeter. Batu yang harus dilompati berupa bangunan
b. Tradisi Fame’e
Fame'e adalah sebuah tradisi dalam upacara pernikahan adat Nias yang
cara hidup untuk berumah tangga. Selain itu, Fame'e juga dapat merujuk pada
tarian penyambutan yang dilakukan oleh masyarakat Nias untuk menyambut tamu
29
kehormatan. Tarian ini serupa dengan tari sekapur sirih dan biasanya dilakukan
atau diperagakan oleh pemuda. Selain itu, Fame'e juga dapat merujuk pada
dilakukan. Nasehat ini berisi tentang tuntunan cara hidup untuk berumah tangga.
Apabila bertamu di salah satu rumah masyarakat Nias, maka tamu tersebut
disambut dengan hangat. Di rumah orang tua zaman dahulu, sajian utama yang
disediakan adalah afo atau sirih serta minuman. Pertanyaan yang akan
disampaikan tuan rumah kurang lebih seperti ini: ya’e göda nafo (Ini sirih kita);
atau na monganga’ö, ya’e yawa göda nafo, he (Kalau saudara mau, di atas ini ada
sirih). Hal ini sudah menjadi tradisi masyarakat Nias dalam menjamu tamu,
bahkan tidak akan membiarkan tamu tersebut pulang tanpa dihidangkan makanan.
Tuan rumah akan berusaha memberikan jamuan ketika tamu berkunjung, sebab
jika tidak menghidangkan sesuatu, keluarga akan merasa malu meski pun tamu
d. Sistem Penanggalan
Nias biasanya menyebut tanggal/hari dengan istilah bulan, berpatokan pada fase-
fase Bulan selama 29/30 hari. Selama 29/30 bulan (hari) terdiri dari 15 pertama
Bulan terang dan 15 terakhir Bulan mati. Selama 1 tahun pertanian terdiri dari 12
(biasa) 13 (interkelasi) siklus bulan sehingga jumlah harinya bisa terdiri dari
30
354/355/383/384/385. Awal bulannya mengacu pada kemunculan hilal atau
bilangan tahun dan akan berjalan sebagai siklus teratur. Dan untuk awal setiap
karena itu, melihat dari acuan yang mereka gunakan, maka penanggalan suku Nias
Bulan baik dan Bulan buruk yang hanya diketahui oleh pemuka agama adat (Ere),
Nias menganut ajaran Animisme. Mereka mengenal hari baik dan buruk yang
Pada zaman dulu di wilayah Maenamölö, Nias Selatan ada sebuah upacara di
mana patung harimau diusung dan diarak keliling. Karena tidak ada harimau di
Nias, patung itu (Adu Harimao) tampak lebih seperti anjing berkepala kucing.
31
Upacara sakral ini digelar sekali setiap tujuh atau empat belas tahun. Usungan
patung harimau itu kemudian dipatahkan dan patung harimau dibuang di sungai.
Masyarakat lokal percaya bahwa semua dosa yang mereka lakukan selama
besar dari Orang Nias menjadi Kristen, upacara Famatö Harimao tidak lagi
tertentu. Hari ini, upacara telah berubah nama menjadi 'Famadaya Harimao'
II.2 Mentawai
Samudera Hindia dan jaraknya sekitar 150 km dari pulau Sumatera ke arah barat.
Sebutan Mentawai secara umum ditujukan pada penduduk yang hidup di gugusan
pulau-pulai kecil di lepas pantai Sumatera Barat. Ada 4 pulau besar yang dihuni
yakni Siberut yang merupakan pulau terbesar (94.097 km 2), Pagai Selatan dan Pagai
Utara (91.870 km2), dan Sipora (840 km2). Istilah orang Mentawai sendiri
32
keturunan leluhur yang dalam cerita mitologis berasal dari Simatalu, suatu tempat di
umum sangat berbeda. Pulau Siberut sebagai salah satu pulau besar di Mentawai
menurut sejarah merupakan asal mula suku Mentawai, lebih dipengaruhi oleh
lingkungan hutan (Rudito dan Sunarseh, 2013: 17). Sementara itu, pulau Sipora
memiliki lingkungan kebun dan persawahan dikelola oleh penduduk asli maupun
orang-orang yang berasal dari suku lain yang berstatus transmigran. Lebih lanjut,
pulau Pagai lebih banyak memiliki lingkungan industri perkayuan dan peradaban
Sejarah Mentawai menurut suatu cerita yang sejak lama sudah dikenal di
Kepulauan Pagai, pada suatu hari ada dua perahu besar penuh dengan orang laki-
laki, yang pergi meninggalkan Padang menuju arah barat. Agar mereka saling
mematahkan kulit kerang dan batu gosok menjadi dua, dan masing-masing perahu
membawa setengahnya. Setelah lama mengembara, kedua perahu itu berjumpa lagi
di tengah laut, tidak jauh dari Kepulauan Mentawai. Langsung mereka mulai saling
memanah, karena mereka mengira telah berhadapan dengan musuh. Akan tetapi,
dari kedua belah pihak seorang pun tidak terluka. Mereka mulai berpikir berhadapan
dengan saudara-saudara sendiri dan anggapan ini diperkuat setelah ternyata, bahwa
kedua belah kerang dan batu gosok cocok satu dengan yang lainnya.
Satu di antara kedua perahu itu kembali ke Padang, sedangkan mereka yang
berada di atas perahu yang satu lagi hendak pergi ke daratan, yang kelihatan tidak
33
seberapa jauh, yaitu Pulau Siberut. Kepada kawan-kawan yang hendak kembali ke
Padang dimintalah bibit padi dan kain, tetapi mereka itu menolak dan mengatakan,
“Bila kami memberikan ini kepada kalian, kalian tidak akan memikirkan untuk
kembali lagi kepada kami. Orang-orang Padang yang telah datang ke Siberut, benar-
benar tidak kembali lagi ke Padang dan inilah alasannya kepulauan Mentawai selalu
Identitas Mentawai menurut Schefold (1991), bermula dari silsilah uma atau
wilayah asal usul. Uma tidak hanya diwujudkan dalam bentuk rumah, tetapi Uma
juga berarti klan, keluarga besar yang identitasnya terlihat pada nama panggilan.
melawan para misionaris dan pejabat Belanda karena dirugikan dalam hubungan-
hubungan sosial dan politik, hal mana dipicu oleh hal-hal sensitif, seperti pemaksaan
oleh Pemimpin Uma (Sikebukkat Uma), fungsinya sebagai perantara sosial antar
uma. Sikebukkat Uma tidak memiliki kewenangan politik seperti memaksakan idea
atau gagasan politik yang menyangkut uma lainnya. Fungsi mereka pada umumnya
perantara negosiasi dengan uma lain, memimpin upacara adat, ritual pernikahan dan
pembuka ladang.
Umumnya, sifat orang Mentawai adalah baik hati, ramah, suka menghormati
orang lain, tidak ingin berperang, dan suka kepada hias-hiasan, sehingga tidak jarang
tubuh mereka bertato. Masing-masing Etnik dipimpin oleh seseorang yang dianggap
arif dan bijaksana yaitu biasanya orangtua atau orang yang dituakan. Orang ini
bekerja memimpin Etnik dan menyelesaikan segala masalah yang berkenaan dengan
34
hubungan sosial antar anggota etnik. Pemimpin Etnik atau uma ini disebut dengan
rimata. Adapun yang menjadi tugas dari pemimpin adat dalam masyarakat
diantaranya adalah menentukan batas areal ladang, kebun, hutan yang dimiliki
warganya, mengurus soal pembebasan atau pemakaian tanah apabila akan digunakan
oleh pihak luas seperti perusahaan atau pemerintah, menyelesaikan perselisihan yang
terjadi antara warga baik yang menyangkut harta maupun perkelahian, mengurus
upacara-upacara adat seperti perkawinan, yang saat ini banyak bekerjasama dengan
Mengkaji kebudayaan Mentawai tidak terlepas dari keyakinan agama asli orang
(Rudito dan Sunarseh, 2013: 34). Menurut Tulius (2012: 69), orang Mentawai tidak
mempunyai istilah tertentu untuk sistem kepercayaan mereka, sampai pihak gereja
puaranan (salah satu agama yang ada di dunia) dan arat sabulungan (kepercayaan
Mentawai termasuk penganut animisme yang percaya kepada roh-roh alam, segala
sesuatu yang ada disekelilingnya, dalam hal ini alam semesta, mempunyai jiwa. Arat
sabulungan mengenal 3 roh (dewa), yakni roh laut (Tai Kabagat-Koat), roh hutan
dan gunung (Tai Ka-leleu), dan roh awang-awang (Tai Ka-Manua) (Sihombing,
1979: 9).
Arat adalah adat, sedangkan Sabulungan berasal dari kata “sa” – “bulung” yang
35
(Sihombing, 1979: 9). Sebagai ilustrasi, daun menurut orang Mentawai adalah
terdapat ajaran keagamaan orang Mentawai. Setiap daun mempunyai sifat yang
merupakan daerah kepulauan yang terpencil dan terisoliasi yang keadaan iklimnya
menginterpretasi lingkungan hidup yang ada di sekitarnya yang terdiri dari pola-pola
interaksi manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, udara, dan juga benda-
benda hasil buatan manusia. Arat Sabulungun adalah adat istiadat yang hidup dalam
seperti roh-roh dan arwah-arwah yang mendiami seluruh alam ini baik tumbuh-
II.2.5 Kesenian
Kesenian Suku Mentawai dibedakan menjadi seni ukir dan seni rupa. Biasanya
patung-patung yang dibuat, seperti patung Sikerei, monyet, burung dan patung
manusia. Patung monyet dibuat sesuai spesies jumlah monyet yang endemik di
Mentawai, seperti Joja, Bilou, Simakobuk dan Bokkoi. Sedangkan patung burung
seperti, elang, ruak-ruak, dan bangau. Hasil karya seni patung biasanya diletakkan di
Uma. Patung burung digantung langsung di atas loteng atau atap. Patung burung
36
dibuat untuk mainan roh binatang yang pernah diburuh agar binatang lainnya atau
jiwa binatang tidak liar ketiak diburu untuk kebutuhan pesta adat (punen).
tato. Tato dalam bahasa Mentawai disebut tiktik. Tato bagi Suku Mentawai adalah
sebuah identitas, bukan hanya sebagai aksesoris ataupun hiasan di tubuh saja, yang
2016). Pemahaman subjek terhadap tradisi budaya tato pada umumnya tentang
bagaimana proses pembuatan tato tersebut dilakukan. Bahan tato ini terbuat dari
asap lampu yang ditampung, kemudian dicampur dengan air tebu agar bisa
melengket dan menghitam di tubuh. Alat pembuat tato sangat sederhana terbuat dari
kayu dan dipasang besi runcing di ujungnya, kemudian dibuat pemukulnya dari kayu
yang dibentuk kecil. Selain di atas, mereka juga membuat lukisan-lukisan di badan
yang berbentuk tato. Tato dalam bahasa Mentawai disebut tiktik. Mulai dari
(tetua suku), mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, menentukan
motif apa yang sesuai dengan orang yang akan ditato (biasanya dilakukan oleh
sipatiti) hingga mempersiapkan pesta kecil yang disebut ulia sebagai bentuk
Masyarakat suku Mentawai telah melakukan tato sejak remaja. Tato yang
hidupnya. Tato kemudian dilajutkan ketika mereka sudah dewasa dan mampu
dapat dipahami bahwa tato bagi masyarakat tradisional Suku Mentawai merupakan
37
simbol kekuatan yang dapat menaikkan harga diri. Semakin banyak tato yang terajah
dalam tubuhnya, semakin tinggi harga dirinya, karena akan dihormati sebagai suku
yang memiliki kemampuan berburu dengan baik. Tato juga memiliki fungsi
kosmologis sebagai keseimbangan alam, di mana semua benda memiliki jiwa dan
Bagi masyarakat tradisional Suku Mentawai, tato juga merupakan bagian dari
Pelaksanaan tato memerlukan waktu yang cukup lama yaitu empat hari dengan
menggunakan perlengkapan dan bahan sederhana yang menimbulkan rasa sakit yang
luar biasa.
Punen adalah sebuah pesta yang dilakukan orang Mentawai ketika ada peristiwa-
peristiwa penting. Punen merupakan sebuah gambaran suatu periode hidup bersama
Mentawai yang tergantung pada pesta atau punen. Punen yang memiliki arti
‘selametan, upacara, dan pesta’ adalah tradisi yang sarat akan makna dan filosofi
kehidupan. Orang Mentawai melakukan banyak punen dan lia yang pada dasarnya
nilai-nilai religi yang kental (hubungan manusia dengan roh leluhur) dan kearifan
lokal (berbagi makanan) yang dilakukan secara sadar dan mendalam dalam tradisi
punen. Punen merupakan wadah untuk menjaga keseimbangan alam semesta agar
tetap terjaga, begitu pula hubungan manusia, alam, dan Sang Pencipta. Punen
diharapkan menjadi perekat sosial agar semakin kuat dan masyarakat pun tidak
38
terjebak pada keadaan yang individualistis. Oleh karena itu, tradisi punen terus
dipertahankan agar keseimbangan hubungan antara alam, manusia, dan Tuhan tetap
terjaga.
Salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Kepulauan Mentawai adalah musik-
ini, hanya dua alat musik tradisional Mentawai yang masih hidup dan dipakai dalam
kegiatan sosial orang Mentawai. Kedua alat musik tersebut adalah alat musik
Tuddukat dan kateubak (gajeuma). Kedua alat musik tersebut sering dipakai dalam
kegiatan sosial uma yang diantaranya dalam acara punen, puliaijat maupun untuk
mirip seperti kentongan besar yang bahannya diambil dari bahan dasar kayu hutan
tuddukat ini adalah dengan menggunakan pemukul yang disebut tetektek yang
seperti kentongan besar yang bahannya diambil dari bahan dasar kayu hutan jenis
tertentu. Menurut Simanjuntak (2007;101) cara memainkan alat musik tuddukat ini
adalah dengan menggunakan pemukul yang disebut tetektek yang kemudian bisa
menghasilkan bunyi. Tuddukat terdiri dari 3 buah kentongan yang sama bentuknya,
namun ukuran ketiganya tidak sama. Ukuran-ukuran yang dimiliki tuddukat tersebut
yang memiliki ukuran besar disebut ina, tuddukat ukuran menengah disebut
sikatalaga, sedangkan tuddukat ukuran kecil disebut toga. Jika ketiganya dibunyikan
maka akan menghasilkan “nada”. Setiap nada dan suara yang dihasilkan musik
39
tuddukat tersebut memiliki makna bagi masyarakat Mentawai. Makna dari bunyi
nada suara tuddukat tersebut bisa diterjemahkan dalam rangkaian kalimat yang
mengandung arti atau pesan tersendiri dimana bunyi itu berasal. Tuddukat besar
menghasilkan bunyi vokal e dan o, sementara tuddukat kecil (toga) memiliki nada
Bunyi dalam Tuddukat tidak semata sebagai komunikasi sesama manusia, tetapi
juga komunikasi dengan alam roh. Meskipun bukan dalam arti bagian dari ritual
Sikerai, akan tetapi Tuddukat menjadi tetabuhan yang dipahami memiliki bahasa
dalam Umma atau koloni. Hal tersebut disebabkan kehidupan mereka selalu
kehidpan mereka, seperti suara hewan, desir ombak, tiupan angin, bahkan suara
8. Ungkapan berdoa.
40
II.2.6 Makanan Khas Suku Mentawai
alam sekitar dan budaya mereka yang tradisional. Proses memasak makanan mereka
sering melibatkan teknik sederhana yang mempertahankan cita rasa alami bahan-
bahan, dan makanan ini menjadi simbol penting dari identitas dan keberlanjutan
tergantung pada sumber daya alam sekitar. Berikut adalah deskripsi beberapa
1. Kapurut sagu
Kapurut dalam bahasa setempat berarti bungkus. Sagu yang digunakan dalam
disaring supaya tidak menggumpal. Setelah itu tepung dibungkus daun sagu,
2. Anggau
ungu, badang hitam, kaki dan capit kemerahan. Anggau dipanen dalam dalam
satu kali biasanya pada bulan Agustus hingga September. Anggau diakui sangat
3. Batra
41
Batra disebut-sebut sebagai kuliner ekstrem dari Mentawai karena berbahan
utama ulat sagu. Ulat sagu bisa dimakan langsung hidup-hidup atau diolah
sederhana seperti dibakar. Ulat sagu atau larva kumbang merah biasanya hidup
orang dewasa. Batra biasanya diolah lebih dahulu sebelum dikonsumsi. Bisa
dibakar, ditumis dengan bumbu, atau direbus lalu dikonsumsi bersama sagu.
4. Toek
Sama seperti batara, toek juga merupakan makanan ekstrem dari Mentawai
dari kotoran kayu. Toek merupakan sejenis ulat yang berasal dari kayu tumung.
5. Subet
Subet merupakan makanan yang terbuat dari keladi, campuran kelapa, dan
pisang yang diberi bumbu seperti gula dan garam dan dibentuk bulat. Makanan
ini punya cita rasa manis alami sesuai dengan bahan yang digunakannya.
Makanan ini bisa disajikan dengan campuran kelapa parut ataupun keju.
6. Sihobuk
Sihobuk merupakan makanan khas Mentawai terbuat dari tepung sagu yang
dibungkus dalam bambu dan dibakar di atas bara api. Makanan ini enak dimakan
bersama dengan lauk berkuah. Sihobuk sering ada di acara pernikahan dan acara
keluarga.
7. Sala lauak
42
Makanan khas Suku Mentawai ini mirip dengan combro khas Jawa Barat.
Sala lauak punya bentuk bulat yang berisi teri atau udang halus. Sala lauak
untuk nenek moyangnya yang dilakukan oleh seorang sikerei muda. Ritual muturuk
dilakukan dalam upacara-upacara adat (agama) seperti punen, puliaijat atau lia.
Dalam upacara adat, roh makhluk yang masih hidup maupaun sudah mati akan
diberikan sesaji yang banyak oleh anggota suku. Uma dihias, daging babi disajikan,
dan diadakan tarian muturuk (tarian) untuk menyenangkan mereka sehingga mereka
kepada roh-roh nenek moyangnya agar dijauhkan dari segala penyakit dan
dan tarian merupakan media komunikasi sikerei dengan para leluhur. Roh-roh
1. Turuk sikerei
Tarian yang khusus ditampilkan oleh Sikerei (tabib) dalam upacara atau
ritual adat dengan tujuan memanggil, mengibur, dan meminta kekuatan pada roh,
misalnya pada saat pengobatan dan upacara setelah kematian. Seorang penari
harus mengenakan pakaian dan hiasan lengkap agar roh-roh leluhur tertarik dan
43
mendekat. Selain itu, turuk sikerei juga ditujukan untuk menghibur jiwa
(simagere) orang yang sakit atau yang sedang dalam proses pengobatan agar
tidak meninggalkan tubuhnya. Turuk sikerei dalam ritual adat dapat pula
dikategorikan dalam dua jenis, yaitu turuk biasa yang artinya turuk yang
gerakannya meniru tingkah laku hewan di alam. Fungsi turuk biasa ini selain
menghibur semua yang hadir dalam upacara, juga untuk menarik perhatian roh
agar mendekat dan hadir dalam upacara tersebut. Kedua adalah turuk yang
dalam tubuh anggota keluarga yang sakit. Turuk ini disebut “lajot simagere”,
berbeda dari turuk sikerei yang biasa. Gerakan dalam turuk lajo simagere hanya
2. Turuk simata
Tarian yang dibawakan oleh orang awam atau yang bukan Sikerei. Tarian simata
pada umumnya ditampilkan pada saat pesta adat yang bersifat gembira, seperti
pesta perkawinan, rumah baru, sampan baru dan syukuran ketika mendapatkan
hasil buruan di hutan. Tujuan tari ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur,
dengan harus saling menyesuaikan gerakan satu sama lain. Gerakan yang
ditampilkan dalam tarian sikerei maupun simata, pada umumnya adalah gerakan-
itu dikenal dengan istilah uliat. Melalui gerakan tangan dan badan para penari,
ada di hutan.
44
II.2.8 Rumah Adat Suku Mentawai
Secara fisik, bangunan Uma berbentuk rumah panggung dengan ukuran yang
relatif besar dan memanjang ke belakang. Uma berfungsi sebagai rumah tempat
tinggal, tempat berkumpul dan bermusyawarah bagi seluruh anggota dalam suatu
keluarga luas (clan) berdasarkan keturunan ayah (patrilineal) yang disebut suku.
Uma juga digunakan untuk pelaksanaan pesta adat (punen) sehingga ukuran Uma
tersebut besar dan luas (Hernawati, 2007: 31). Selain itu juga, Uma dapat dikatakan
didirikan rumah-rumah lain yang umumnya lebih kecil dan sederhana yang disebut
sapou atau lalep. Setiap sapou atau lalep dihuni oleh satu keluarga inti (kepala
keluarga) yang merupakan anggota Uma atau keluarga besar tersebut (Hernawati,
2007: 31). Oleh karena itu, Uma menjadi pusat kehidupan sosial, budaya, dan
atau persembahan serta ada pula keikei atau pantangan yang harus dijalankan. Bila
aturan dilanggar, pendiri Uma beserta anggotanya diyakini bisa menjadi korban.
Tahap awal membangun Uma, semua anggota, khususnya laki-laki, harus terlebih
dahulu menyiapkan tonggak yang merupakan sisa kayu yang sudah membusuk
namun keras. Kayu itu disebut uggla. Bisa dari bakau yang besar atau kayu-kayu
yang kuat. Untuk membusukkan kayu itu perlu waktu berbulan-bulan. Setelah semua
lantai.
Setelah itu, semua anggota suku mencari bahan atap yakni daun sagu. Sebelum
dilanjutkan memasang dinding dari bilah papan. Lalu, dibuat dua perapian, yang satu
45
terletak di bagian belakang masih di dalam Uma gunanya untuk memasak sagu dan
makanan lain sedangkan satu lagi di tengah yang disebut abu. Abu di tengah Uma
itu sebagai pelengkap ritual, misalkan tempat memanaskan gajeumak (gendang) atau
hal lain yang terkait ritual. Setelah itu dibuatlah semacam rak tempat menyimpan
perkakas yang ditaruh di bagian depan Uma seperti lulak, dan gajeuma. Lulak
merupakan tempat makanan yang terbuat dari kayu. Selanjutnya baru dipasang
kabitat berwarna hitam putih tepat di depan atas Uma. Kabitat mirip dengan tampah
beras yang terbuat dari bambu yang dianyam. Benda itu menyimbolkan bahwa Uma
milik suatu suku. Setelah kabitat selesai, dibuat bubbungan. Benda itu dibuat dari
daun duri sejenis rotan. Gunanya untuk menutup pertemuan atap. Daun tersebut
harus dipastikan kering sebelum dipasang. Lalu, dipasanglah sabbau atau alat untuk
menahan bubbungan agar tidak terbawa angin. Disusul dengan pemasangan seu atau
penutup atap bagian depan. Posisinya di depan Uma atau di bawah kabitat.
memutuskan untuk menikah biasanya harus melalui tahapan yang menjadi pra syarat
bagi pasangan tersebut. Tahapan tersebut diantaranya adalah masa perkenalan atau
kemudian setelah masa ini dirasa cocok, maka mereka akan melalui tahapan berikut
yaitu meminang. Peminangan adalah kelanjutan dari masa perkenalan dan masa
46
budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan (H. Hilman
Hadikusuma, 1990).
penghargaan kepada keluarga perempuan dan tanda dalam ikatan perkawinan. Alak
toga (mas kawin) hanya diberikan oleh pihak laki-laki setelah serah terima
maka ini menandakan keluarga kedua belah pihak telah terikat satu dengan yang
lain. Alak toga (mas kawin) itu dipenuhi harus oleh ama (wali dari calon pegantin
perempuan) yang menjadi ama ini adalah orang tua kandung, saudara laki-laki
dan baja (saudara laki-laki dari ayah baik itu yang lebih tua atau yang lebih muda).
Alak toga (mas kawin) merupakan benda seperti kuali besar bergantungan yang
berjejer rapi sebagai hiasan dinding yang dikoleksi dirumah (uma). Kuali itu adalah
alak toga atau mas kawin dari pihak laki-laki untuk keluarga perempuan.
Penerapan Tradisi Alak Toga pada proses pelamaran, ketika seorang gadis dan
pemuda telah sepakat untuk menikah maka keluarga si pemuda memberikan tanda
pertunangan (alaket). Pemberian alaket ini dilakukan oleh ibu si pemuda yang
datang kerumah gadis, bentuk alaket ini berupa kain panjang atau perhiasan manik-
manik. Dengan diterimanya alaket ini berarti sang gadis tidak bisa lagi untuk
menerima lamaran dari orang lain. Jika terjadi hal yang demikian (sang gadis
pemuda yang memutuskan pertunangan maka alaket itu tetap milik si gadis.
Pada hari yang telah ditentukan bersama maka diadakan acara pasoga, yaitu:
keluarga pemuda datang menjemput gadis yang akan dijadikan calon istrinya.
periuk, parang, dan kelambu. Diacara ini juga dibahas mas kawin (alak toga) yang
diminta oleh keluarga perempuan. Alak toga hanya diberikan oleh pihak laki-laki,
47
sedangkan balasan yang diberikan oleh pihak perempuan disebut dengan punualaket.
Setelah serah terima maka ini menandakan keluarga kedua belah pihak telah terikat
Setelah ada kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai alak toga yang akan
pemuda untuk mengambil mas kawin (pasialak alak toga) yang telah disetujui tadi.
Lalu mereka pergi ketempat tanaman-tanaman yang dijadikan sebagai alak toga.
Barulah setelah semua itu selesai maka diadakan persiapan untuk pesta. Pihak laki-
laki mengumpulkan babi, ayam dan kayu bakar, sedangkan pihak perempuan
1. Kuali
yang penuh tentangan dan akan baik di masa depan dan juga akan mendapatkan
2. Periuk
Bermakna dapat terlindungi dari hal yang buruk dalam bekeluarga, dan dapat
3. Parang
oleh pasangan suami istri, dan dapat memudahkan kehidupan yang akan
mendatang.
4. Kelambu
48
Pada masyarakat Mentawai, menjunjung tinggi adat istiadat yang berarti segala
sesuatu yang menyangkut hal yang paling peka dalam diri masyarakat Mentawai,
seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus
kesalahan atau melanggar norma adat akan dikenakan hukuman, sanksi atau denda
yang disebut tulou. Ada beberapa macam denda adat yang dikenakan pada
masyarakat dan ini terkait pada tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang dan
Alat untuk membayar tulou biasanya meliputi beberapa macam benda material yang
mereka miliki. Cara tradisional dalam penyelesaian sengketa itu difokuskan pada
pembayaran denda oleh si terdakwa itu sendiri atau oleh sanak saudaranya. Ukuran
Di Mentawai, ada beberapa jenis tulou. Ini dapat diterapkan pada seseorang yang
dikategorikan sebagai pelanggaran sosial yang serius. Pada masa lalu, seseorang
kesalahan semacam ini. Dua jenis kesalahan serius adalah tulou pakaila (pelecehan
seksual) dan tulou kisi (penyerangan). Selain itu terdapat dua jenis tulou lain
berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan, yaitu, tulou uruat atau dendaan
kepala, yaitu tulou yang diberlakukan pada seseorang karena telah melakukan
Pemberian tulou atau denda adat bertujuan untuk mengatur hidup masyarakat
agar berjalan aman dan tidak terjadi pelanggaran hukum. Tulou memiliki sisi baik
dan buruknya. Sisi positifnya, tulou dapat mengatur hajat hidup orang banyak,
49
terutama agar orang tidak berbuat semena-mena yang melanggar hukum adat di
Mentawai. Sisi negatifnya, terlalu banyak jumlah denda yang dipatokkan sehingga
perekonomian orang yang dikenai tulou melemah drastis. Ada kesan bahwa tulou
sebagai sarana untuk memperkaya diri oleh salah satu pihak yang bersengketa.
penggunaan kabit kulit kayu sebagai pakaian, antara lain Suku Donggala, Suku
Dayak dan Suku Mentawai (Melalatoa, 1995: 547). Kabit adalah sebutan Suku
Mentawai untuk pakaian laki-laki berupa cawat yang terbuat dari kulit kayu. Pada
masa lalu, kabit selalu dipakai oleh kaum laki-laki dalam suasana apapun, tapi akhir-
akhir ini hanya laki-laki yang berprofesi sebagai sikerei yang masih memakai kabit
sebagai pakaian. Orang Mentawai di luar sikerei, berpakaian celana pendek atau
kaos untuk pakaian sehari-hari, dan akan memakai kabit dari kulit kayu apabila
mereka hendak berburu di hutan atau mencari ikan di sungai. Cara mengenakan
Penggunaan kabit tidak disertai dengan atasan seperti t-shirt. Bila seseorang
Pakaian asli untuk kaum wanita Mentawai berupa rok, sementara tubuh bagian
atas dibiarkan telanjang. Wanita dewasa menggunakan rok yang dibuat dari daun-
daunan (kaliu) kelapa, sementara para gadis memakai rok yang terbuat dari daun
pisang. Daun-daunan tersebut dirangkai menjadi satu dengan hiasan berbagai bunga.
Saat ini sebagian besar kaum wanita Mentawai telah menggunakan rok dari kain,
50
kecuali sebagian kecil penduduk yang tinggal di pedalaman yang masih
Meski tidak sepopuler jaman dulu, namun kabit masih digunakan penduduk
Mentawai sampai saat ini. Kabit dianggap efisien karena bisa langsung diperoleh
dari alam tanpa harus membeli dan nyaman digunakan untuk berburu atau mencari
ikan. Kabit untuk sikerei berbeda dengan kabit untuk orang biasa, karena diberi
pewarna dari getah kulit bakao sehingga berwarna merah, sementara kabit untuk
orang biasa tidak diberi warna. Selain digunakan untuk keperluan praktis, kabit juga
memiliki fungsi sosial. Kebanyakan anak muda Mentawai sudah tidak mau lagi
memakai kabit, mereka beralasan malu jika mengenakan kabit, karena nampak
Proses pembuatan kabit dari kulit kayu merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
kaum laki-laki dalam masyarakat ini. Mereka membuat kabit hanya berdasarkan
kebutuhan pribadi, dan tidak untuk dijual. Proses ini memakan waktu antara 3-4 jam
dengan mencari kayu yang memiliki kulit bagus, seperti baikkoo (pohon karet),
pohon beringin, bea, dan sukun. Pohon yang dipilih harus lurus tanpa ranting,
berpenampang bulat dengan diameter ideal 50-100 cm, dan tinggi sekitar 3 meter.
dibawa pulang, karena proses selanjutnya harus dilakukan di sekitar rumah atau
uma. Batang pohon digores memanjang, dan kulit kayunya dilepaskan dengan
parang. Setelah menjadi lembaran sekitar 50 cm, kulit kayu dibersihkan dari kulit
luar. Lapisan pertama kulit kayu dibuang, dan yang digunakan sebagai bahan utama
51
Proses selanjutnya melibatkan pemukulan kulit kayu dengan alat pemukul kayu
dilakukan berulang-ulang sampai kulit kayu mencapai lebar dan ketipisan yang
diinginkan. Sesekali, kulit kayu yang telah elastis direnggangkan dengan tangan
sebelum digulung kembali dan dipukul lagi dengan panasalat. Setelah mencapai
ketipisan dan kelebaran yang diinginkan, kulit kayu direndam untuk mengurangi
getahnya.
Proses terakhir melibatkan pencucian kulit kayu dalam sungai yang airnya
mengalir sampai benar-benar bersih dari getah. Kemudian, bahan kabit dikeringkan
dengan sinar matahari (dijemur). Setelah kering, kabit siap untuk digunakan.
kebutuhan sehari-hari.
Pada masyarakat Mentawai, menjunjung tinggi adat istiadat yang berarti segala
sesuatu yang menyangkut hal yang paling peka dalam diri masyarakat Mentawai,
seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus
kesalahan atau melanggar norma adat akan dikenakan hukuman, sanksi atau denda
yang disebut tulou. Pemutusan denda adat dilakukan oleh rimata (pemimpin
macam benda material yang mereka miliki. Cara tradisional dalam penyelesaian
sengketa itu difokuskan pada pembayaran denda oleh si terdakwa itu sendiri atau
52
oleh sanak saudaranya. Ukuran dari dendaan itu ditentukan setelah melakukan
Di Mentawai, ada beberapa jenis tulou. Ini dapat diterapkan pada seseorang yang
dikategorikan sebagai pelanggaran sosial yang serius. Pada masa lalu, seseorang
kesalahan semacam ini. Secara umum terdapat dua jenis tulou berdasarkan jenis
1. Tulou uruat atau dendaan kepala, yaitu tulou yang diberlakukan pada seseorang
Tindakan pembunuhan tergolong pada kesalahan yang dinilai paling berat dalam
masyarakat.
2. Tulou patukuogat, yaitu jenis tulou dikenakan pada seseorang yang melakukan
membuat sebuah uma pecah dan kalau tidak diselesaikan secara adil oleh rimata
Pemberian tulou atau denda adat bertujuan untuk mengatur hidup masyarakat
agar berjalan aman dan tidak terjadi pelanggaran hukum. Tulou memiliki sisi baik dan
buruknya. Sisi positifnya, tulou dapat mengatur hajat hidup orang banyak, terutama
agar orang tidak berbuat semena-mena yang melanggar hukum adat di Mentawai. Sisi
orang yang dikenai tulou melemah drastis. Ada kesan bahwa tulou sebagai sarana
53
II.2.12 Upacara Adat Suku Mentawai
Upacara punen uma atau upacara pesta rumah adalah upacara yang dilakukan
oleh kepala klan yang dalam istilah lokalnya disebut dengan kepala Etnik.
Upacara ini merupakan kebiasaan dari penganut arat sabulungan yang dilakukan
sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta dan juga roh-roh nenek
moyang mereka. Dalam upacara atau punen uma ini semua anggota Etnik
Dalam pelaksanaan punen bisa dikatakan hampir selalu tidak terlepas dari 2
binatang babi (saina’) dan juga ayam (gogouk) sebagai alat ritus yang bisa
dibilang pokok. Sebagai wujud syukur kepada roh-roh baik yang sudah
membantu dan melindungi mereka, maka mereka juga akan mengundang roh-roh
tersebut dalam punen tersebut. Roh-roh tersebut diantaranya adalah roh teteu ma
2. Ritual Panangga
Ritual panangga merupakan ritual yang dilakukan pada saat pembukaan lahan
milik warga atau Etnik agar dalam pembukaan lahan ladang baru tersebut tidak
diganggu oleh roh nenek moyang dan harapannya dari lahan tersebut diberikan
banyak rezeki berupa panen yang melimpah dari tanaman yang ada di lahan
BAB III
PENUTUP
54
III.1 Kesimpulan
yang kaya dan unik. Baik Nias maupun Mentawai memiliki tradisi, adat istiadat, seni,
dan ritus yang membentuk identitas budaya mereka sendiri. Meskipun kedua
masyarakat ini telah mengalami berbagai perubahan sosial, ekonomi, dan politik,
mereka tetap memiliki ketahanan budaya. Nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal
dengan alam dan lingkungan sekitar melalui ritual dan upacara. Hal ini mencerminkan
modernisasi dan globalisasi. Perubahan ekonomi, migrasi, dan pengaruh luar dapat
perbedaan yang signifikan antara kebudayaan Nias dan Mentawai. Perbedaan ini
mencakup aspek-aspek seperti bahasa, seni, dan tatanan sosial. Dengan memahami
55
DAFTAR PUSTAKA
Arisafitri, N., & Izzuddin, A. (2021). Sistem Penanggalan Suku Nias Perspektif Ilmu Falak
dan Astronomi. Al-Afaq: Jurnal Ilmu Falak Dan Astronomi, 3(2), 143-170.
Handini, R. (2007). Tradisi Pembiatan Kabit dari Kulit Kayu Pada Suku Mentawai, Sumatera
Laia, F. (2019). Alat musik tradisional Nias. Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh, Direktorat
Nur, M. (2019). Sikerei Dalam Cerita: Penelusuran Identitas Budaya Mentawai Sikerei In
The Story: Tracing Mentawai Cultural Identity. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 89-
102.
Rumbiati, A. R., & Putra, Y. Y. (2017). Konsep diri pada masyarakat mentawai yang
memakai tato. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi Universitas Negeri Padang), 6(2),
114-125.
Saparuddin, S. (2022). Turuk Uliat Bilou: Tarian Ritual Masyarakat Rogdog Pulau Siberut
5(2), 145-158.
Sari, I. P., Yuhelna, Y., & Yatim, Y. MAKNA ALAK TOGA DALAM TRADISI LAMARAN
56
Sihite, A. C., Manik, H., Manao, M. M., Tambunan, H., & Sitepu, S. (2022). Etnomatematika:
Eksplorasi Rumah Adat Omo Hada Nias Utara Pada Konsep Geometri. SEPREN:
Sudarno, R. C. (2017, May). Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Yang Terkandung Dalam Tarian
Tatubeket, R. M., Agustina, A., & Efi, A. (2019). Peran Musik Tuddukat Dalam Ritual Arat
Ulita, N. (2017). Kajian Visual Warna Pada Kesenian Muturuk Mentawai. Narada, 4(3), 259-
273.
Yuniarto, P. R. (2021). Nilai Budaya dan Identitas Kolektif Orang Suku Mentawai dalam
57