Anda di halaman 1dari 61

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA

NIAS DAN MENTAWAI

Dosen Pengampu: Robingah, S.S., M.Sas.

Disusun Oleh:

Ana Aprilya Pertiwi 10621034

Putri Fatihah Amini 10621271

PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS GUNADARMA

2023
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan rasa syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat

ramhat serta karunia-Nya lah, makalah ini dapat kami selesaikan dengan sebaik-baiknya dan

tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi

syarat penilaian mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia.

Kami ucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Manusia dan

Kebudayaan Indonesia karena telah memberikan pengajaran, hal yang berkaitan dengan

Kebudayaan Indonesia sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu.

Pada penyelesaian makalah ini, kami mengalami banyak kesulitan. Penyebab

utamanya ialah kurangnya wawasan serta ilmu pengetahuan yang kurang memadai. Kami

sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami

sangat mengharapkan timbal balik berupa kritik dan saran yang dapat membangun dari para

pembaca. Mohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini terjadi banyak kekurangan atau

kesalahan yang disengaja ataupun tidak disengaja.

Tangerang, 10 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I..........................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................2

1.3 Tujuan Pembahasan...........................................................................................................2

BAB II.........................................................................................................................................4

2.1 Nias....................................................................................................................................4

2.1.1 Wilayah Suku Nias.....................................................................................................4


2.1.2 Sejarah Suku Nias.......................................................................................................5
2.1.3 Masyarakat Suku Nias..............................................................................................13
2.1.4 Kepercayaan serta Cara Berpikir Suku Nias............................................................15
2.1.5 Kesenian, Tarian Tradisional, dan Alat Musik.........................................................17
2.1.6 Makanan Khas Suku Nias.........................................................................................21
2.1.7 Festival Suku Nias....................................................................................................23
2.1.8 Rumah Adat Suku Nias............................................................................................25
2.1.9 Upacara Pernikahan Suku Nias................................................................................26
2.1.10 Pakaian Adat Suku Nias.........................................................................................28
2.1.11 Tradisi dan Adat Istiadat Suku Nias.......................................................................29
2.2 Mentawai.........................................................................................................................32

2.2.1 Wilayah Suku Mentawai..........................................................................................32


2.2.2 Sejerah Suku Mentawai............................................................................................33
2.2.3 Masyarakat Suku Mentawai.....................................................................................34
2.2.4 Kepercayaan, Cara Berpikir, serta Norma yang Berlaku.........................................35
2.2.5 Kesenian...................................................................................................................36
2.2.6 Makanan Khas Suku Mentawai................................................................................41
2.2.7 Tarian Tradisional Suku Mentawai..........................................................................43

ii
2.2.8 Rumah Adat Suku Mentawai....................................................................................45
2.2.9 Upacara Pernikahan Suku Mentawai........................................................................46
2.2.10 Baju Adat Suku Mentawai......................................................................................50
2.2.11 Adat Istiadat Suku Mentawai.................................................................................52
2.2.12 Upacara Adat Suku Mentawai................................................................................54
BAB III.....................................................................................................................................56

3.1 Kesimpulan......................................................................................................................56

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................57

iii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya dan memiliki keragaman budaya serta

suku bangsa. Salah satu contoh yang dapat terlihat secara menonjol adalah budaya dan

keragaman dari masing-masing daerah di Indonesia, diantaranya adalah Nias dan

Mentawai yang berada di wilayah Sumatera. Kedua daerah ini memiliki kebudayaan dan

sejarah yang unik dan menarik.

Kebudayaan Nias, yang memiliki akar sejarah yang kaya dan warisan budaya yang

mendalam, adalah salah satu aset berharga dalam keragaman budaya Indonesia. Terletak

di lepas pantai Sumatera Utara, pulau Nias telah lama dikenal dengan budaya uniknya

yang melibatkan seni, musik, tarian, ritual keagamaan, serta tradisi keseharian yang unik.

Kebudayaan ini telah menjadi penanda identitas masyarakat Nias dan berperan dalam

membentuk karakter dan kehidupan sehari-hari orang-orang Nias.

Di sisi lain, Mentawai merupakan salah satu daerah yang terletak di Sumatera Barat,

dan memiliki budaya yang sangat berbeda dari Nias. Masyarakat Mentawai terkenal

dengan tattoo tradisional yang banyak menghiasi tubuh mereka, dan juga dikenal dengan

rumah-rumah panggung khas mereka. Kebudayaan Mentawai banyak yang berkaitan

dengan alam, dan mereka memiliki kehidupan yang harmoni dengan hutan dan lautan

sekitarnya.

Penting bagi kita untuk memahami budaya Indonesia dengan lebih mendalam karena

Indonesia adalah salah satu negara terbesar di dunia yang kaya akan keanekaragaman

budaya, bahasa, dan tradisi. Melalui pemahaman yang lebih mendalam terhadap budaya

1
Indonesia, kita dapat memahami aspek-aspek kehidupan sehari-hari, nilai-nilai, norma-

norma sosial, dan sistem kepercayaan yang membentuk identitas bangsa ini. Pengetahuan

ini tidak hanya akan memperkaya wawasan kita tentang keragaman budaya di dunia,

tetapi juga dapat membantu mempromosikan toleransi, penghargaan terhadap perbedaan,

serta kerjasama antarbudaya.

Selain itu, dengan lebih memahami budaya Indonesia, kita dapat menghargai peran

yang dimainkan oleh budaya dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan politik negara ini.

Oleh karena itu, studi tentang budaya Mentawai dan Nias, sebagai bagian integral dari

kekayaan budaya Indonesia, memiliki signifikansi yang besar dalam memperdalam

pemahaman kita tentang perbedaan budaya dan upaya untuk menjaga serta

mempromosikan warisan budaya yang unik di Indonesia.

I.2 Rumusan Masalah

Beberapa Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik wilayah, masyarakat, serta sejarah dari suku Nias dan

Mentawai?

2. Bagaimana kepercayaan yang dianut, cara berpikir, serta norma yang berlaku

di suku Nias dan Mentawai?

3. Apa saja kesenian, festival, makanan khas, kegiatan, serta tarian tradisional

dari suku Nias dan Mentawai?

4. Bagaimana bentuk arsitektur rumah adat dari suku Nias dan Mentawai?

5. Bagaimana berlangsungnya upacara pernikahan dan adat istiadat yang

dilakukan oleh suku Nias dan Mentawai?

I.3 Tujuan Pembahasan

Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut:

2
1. Untuk mengetahui karakteristik wilayah, masyarakat, serta sejarah dari suku

Nias dan Mentawai.

2. Untuk menganalisis kepercayaan yang dianut, cara berpikir, serta norma yang

berlaku di suku Nias dan Mentawai.

3. Untuk memahami kesenian, festival, makanan khas, kegiatan, serta tarian

tradisional dari suku Nias dan Mentawai.

4. Untuk mengetahui bentuk arsitektur rumah adat dari suku Nias dan Mentawai.

5. Untuk memahami bagaimana berlangsungnya upacara pernikahan dan adat

istiadat yang dilakukan oleh suku Nias dan Mentawai.

3
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Nias

II.1.1 Wilayah Suku Nias

Suku Nias adalah suku bangsa atau kelompok masyarakat yang mendiami

pulau Nias, Provinsi Sumatera Utara. Gugusan pulaupulau yang membujur di lepas

pantai barat Sumatra yang berbatas Samudra Hindia. Kurang lebih hanya lima pulau

besar yang dihuni; Pulau Nias, Tanah Bala, Tanah Masa, Pulau Tello, dan Pulau Pini.

Dari kelima pulau besar itu, Pulau Nias lah yang memiliki penduduk yang cukup padat

dan menjadi pusat dari kegiatan ekonomi serta pemerintahan. Dalam bahasa setempat,

orang Nias menyebut dirinya ono niha, ono berarti anak atau keturunan, sedangkan

niha artinya manusia. Sedangkan pulau Nias disebut sebagai tano niha, Tano berarti

Tanah danniha artinya manusia.

Pulau Nias memiliki luas sekitar 5.625 kilometer persegi, menjadikannya salah

satu pulau terbesar di antara pulau-pulau di bagian pantai Barat Sumatra. Wilayah ini

cukup besar dan beragam, dengan pesisir pantai yang panjang, hutan hujan,

pegunungan, dan dataran tinggi. Secara geografi, Pulau Nias memiliki pesisir pantai

yang indah yang terkenal dengan ombaknya yang sangat cocok untuk berselancar. Di

bagian dalam pulau, terdapat pegunungan dan bukit yang membentang di sebagian

besar wilayahnya. Pegunungan dan bukit ini memberikan karakteristik topografi yang

bervariasi, menciptakan lanskap yang menarik.

4
II.1.2 Sejarah Suku Nias

Tidak diketahui persis ketika orang pertama kali datang ke Nias. Tetapi

diketahui bahwa ada satu atau beberapa suku lain yang menghuni Nias sebelum

kelompok etnis yang ada saat ini (Ono Niha) menetap di pulau sekitar 700 tahun yang

lalu. Ini disebutkan dalam tradisi lisan dan didukung oleh bukti-bukti arkeologi. Pada

bulan Agustus 1999 ekskavasi pertama dimulai oleh Museum Pusaka Nias yang

bekerjasama dengan Universitas Airlangga di Gua Tögi Ndrawa (Gua Orang Asing),

sebuah gua besar yang berjarak 4 km dari Gunungsitoli dan 130 m di atas permukaan

laut. Sisa-sisa dan alat-alat yang ditemukan, menunjukkan bahwa itu dihuni lebih dari

12.000 tahun yang lalu. Ekskavasi berikutnya oleh Balai Arkeologi Medan (Lihat:

Ketut Wiradnyana dkk. 2002. Gua Tögi Ndrawa, Hunian Mesolitik di Pulau Nias)

menyimpulkan bahwa gua itu berpenghuni oleh manusia sampai 700 tahun yang lalu.

a. 150M – 700M

Pulau Nias berada dekat salah satu jalan lintas utama Asia Tenggara dan

memiliki sejarah panjang berinteraksi dan perdagangan dengan budaya lain.

Dalam tulisan awal Cina, Yunani dan Arab, Sumatera dan daerah sekitarnya

terkenal. Seawal tahun 150 M, Ptolemy penulis Yunani menyebutkan lima pulau

di sebelah barat Sumatera. Mereka dinamakan sebagai "Pulau-pulau Barus" dan

Nias adalah pulau yang terbesar. (Kapur barus adalah zat padat berupa lilin yang

ditemukan dalam pohon laurel kamper di Sumatera). Dari abad ke-7 dan

seterusnya pulau-pulau barat Sumatera dikenal baik oleh pedagang dan pelaut

Cina dan Arab. Orang Nias menjual hasil mereka kepada kapal yang melewati

sebagai pertukaran ke logam dan tekstil.

b. 800M – 1250M

5
Penulisan pertama tentang Nias berasal dari Sulayman, seorang pedagang

Persia, yang pada tahun 851 M mengunjungi Pulau Nias. Dia melihat bahwa para

bangsawan lokal mengenakan banyak perhiasan emas yang indah dan memiliki

kegemaran untuk pengayauan. Seorang pemuda yang ingin menikah, harus

terlebih dahulu memenggal seorang musuh. Juga dicatat bahwa Pulau Nias

memiliki struktur sosial yang kompleks. Pada tahun 1154, Edrisi menulis: "Pulau

ini dihuni oleh sejumlah besar suku-suku." Tradisi lisan Nias menyebutkan enam

suku yang berbeda dari masa ini, dan yang salah satunya adalah suku Bela, yang

keturunannya tinggal di pohon-pohon. Lalu, pada 1100M hingga 1250 M Orang

India dari Kerajaan Aru mendirikan tambang emas di Padanglawas di Sumatera.

Tambang ini menghasilkan banyak emas, dan sejumlah emas itu masuk ke Nias.

c. 1350M

Gelombang imigrasi membawa suku 'Ono Niha' ke Nias sekitar tahun 1350 M.

Sebagian besar orang Nias saat ini adalah keturunan dari kelompok etnis ini.

Diyakini bahwa mereka tiba melalui Singkuang, sebuah pelabuhan di Sumatera

yang menghadapi Pulau Nias. Pemukiman pertama didirikan di Sifalagö Gomo di

Nias Selatan. Orang-orang Ono Niha memiliki pengetahuan unggul untuk teknik

bangunan dan penggunaan dan pembuatan alat besi. Secara cepat mereka menjadi

kelompok yang berpengaruh di daerah ini. Dari Gomo mereka tersebar ke seluruh

pulau sampai semua orang Nias menyebut diri mereka sebagai Ono Niha. Seiring

dengan permulaan dan masuknya imigran “Niha”, maka berakhir pula penghunian

gua Tögi Ndrawa. Tidak diketahui kalau suku tua yang lain di Nias menjadi punah

atau berasimilasi dengan Ono Niha. Tidak jelas dari mana suku Ono Niha berasal.

Tapi banyak dari kedatangan pertama di Nias memiliki nama seperti Hia atau Ho,

6
yang juga merupakan nama umum di Cina. Penelitian DNA menemukan, bahwa

keturunan mereka ini (”niha“ atau suku ”manusia“) yang sekarang disebut “Ono

Niha” (orang Nias) paling dekat dengan Taiwan dan Filipina.

d. Tahun 1403 – 1424: Masuknya Pengaruh Cina

Pada tahun 1416, tentara Dinasti Ming Cina di bawah komando Laksamana

Zheng Ho (Haji Sam Po Bo) merebut wilayah di Sumatera yang berhadapan

dengan Pulau Nias. Disitu mereka mendirikan penggergajian kayu dan mendirikan

pelabuhan Singkuang yang berarti "Tanah Baru". Pelabuhan Singkuang terletak di

sebelah selatan dari lokasi Sibolga(saat sekarang). Koloni Cina di Singkuang

menjadi sangat berpengaruh ke Pulau Nias, dan banyak pedagang dari Singkuang

akhirnya menetap di Nias.

e. Tahun 1512 – 1642: Pengaruh Masyarakat Aceh

Pada tahun 1513, atas perintah dari Sultan Ali Mughayat Syah, Kesultanan

Aceh merebut dan menduduki beberapa pelabuhan di pantai barat Sumatera. Kapal

dari Aceh juga sering menggerebek Nias, khususnya di utara. Sampai hari ini

masih ada beberapa pantai yang dikenal sebagai Pantai Aceh dan dikenang sebagai

pantai-pantai di mana perampok mendarat dan menculik orang Nias untuk

menggunakannya sebagai budak. Pada tahun 1642 tujuh buah biduk (perahu layar

besar) dari Aceh mendarat di pantai timur Nias. Sejak itu keturunan Polem berada

di Nias, antara lain di Desa Mudik, Gunungsitoli

f. Tahun 1668: VOC

Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) sampai di Indonesia pada tahun

1603. Hanya dalam beberapa tahun mereka mendominasi perdagangan di tempat

7
yang sekarang adalah Indonesia. Pada tahun 1668 VOC membuat kontrak dengan

bangsawan dan desa-desa di Nias dekat daerah yang sekarang adalah Gunungsitoli

dan Kepulauan Hinako di sebelah barat. VOC mendirikan pusat pertamanya di

Nias di Gunungsitoli, di mana mereka membangun sebuah pelabuhan dan gudang-

gudang. Pada tahun 1740 VOC meninggalkan Nias untuk selama-lamanya karena

pengaruh perusahaannya di Asia Tenggara mulai memudar.

g. Tahun 1750: Perdagangan Budak

Budak selalu telah diambil dan ditahan oleh suku-suku Nias. Ketika desa

berperang satu sama lain, musuh tawanan disimpan sebagai budak oleh para

pemenang. Perampok Aceh juga datang ke Nias untuk menangkap orang yang

mereka menjual sebagai budak di tempat lain. Tapi hanya mulai pada tahun 1750,

orang-orang Nias sendiri terlibat aktif dalam perdagangan budak. Orang

bangsawan Nias mulai menjual musuh-musuh yang telah ditangkap dalam

pertukaran untuk emas.

Pada waktu itu banyak orang muda Nias dijual ke seberang laut, ke Aceh,

Padang, Batavia (Jakarta), Malaysia, Seychelles, Reunion dll. Yang berperan

disitu ialah para bangsawan di Nias. Melalui perdagangan budak mereka

mengumpulkan kekayaan besar. Kekayaan ini yang digunakan untuk membangun

beberapa arsitektur terbaik, patung-patung dan persenjataan di wilayah. Seratus

tahun kemudian tercatat bahwa budaya Nias adalah salah satu masyarakat suku

yang paling maju di Asia. Pada saat ini, budaya di Nias berputar di sekitar perang-

perang, dan sebagian besar upaya dan sumber daya diarahkan ke pertempuran lain

atau pembelaan terhadap serangan.

8
h. Tahun 1821 – 1832: Pengaruh dari Eropa

Selama waktu yang singkat setelah VOC meninggalkan Nias pada tahun 1776,

orang Inggris mengambil alih pos perdagangan di Gunungsitoli. Tetapi segera

ditinggalkan karena tidak cukup menguntungkan. Selama beberapa dekade tidak

ada orang Eropa di Nias sampai 1821 ketika orang Inggris kembali mencoba untuk

membangun diri di Nias. Namun Inggris hanya tinggal sampai 1825 ketika

Belanda kembali untuk secara resmi mengambil kendali Nias. Pada saat ini

Indonesia dijajah oleh Belanda dan dikenal sebagai Hindia Timur Belanda. Pastor

Vallon dan Pastor Bérard adalah misionaris Gereja Katolik pertama yang datang

ke Nias. Vallon meninggal setelah 3 bulan tiba di Nias (1832). Kemudian

menyusul Bérard, dan sesudah beberapa hari dia meninggal juga.

i. Tahun 1840 – 1864: Penjajahan Belanda di Nias

Selama puluhan tahun Belanda hanya menguasai ”Rapatgebied,“ wilayah kecil

di sekitar kota Gunungsitoli. Meninggalkan daerah ini untuk orang Eropa sangat

berbahaya karena sering peperangan antar suku dan pihak pengayau. Pada tahun

1840 Belanda memutuskan untuk mencoba mengambil kendali seluruh pulau.

Sejumlah pangkalan didirikan di sekitar pulau untuk peningkatan perdagangan

serta kontrol militer di seluruh Nias. Namun kontrol itu terbatas pada benteng

pertahanan dan daerah sekitar mereka.

Pertempuran sporadis dan perang terus selama beberapa dekade, terutama di

selatan. Di selatan juga adalah tempat tinggal beberapa kepala suku yang paling

ganas dan paling kuat. Pertempuran besar dengan ribuan prajurit yang bertempur

di bukit di belakang Lagundri. Desa Orahili terutama ganas, dan mereka melawan

9
Belanda selama beberapa dekade. Kadang-kadang, benteng pertahanan dan pos

perdagangan ditinggalkan saat mereka menjadi terlalu berbahaya dan mahal untuk

dijaga. Orang Belanda sering membakar desa-desa sebagai pembalasan atas

serangan yang dilakukan.

j. Tahun 1900 – 1914: Penjajahan Belanda Secara Lengkap

Pada tahun 1900 Belanda mengirim kontingen pasukan besar ke Nias untuk

mengamankan wilayah luar dari Gunungsitoli. Kontrol penuh untuk seluruh pulau

hanya ditetapkan pada tahun 1914. Salah satu daerah terakhir yang 'ditenangkan'

oleh Belanda di seluruh Indonesia. Salah satu dampak abadi kolonialisme Belanda

adalah pembubaran struktur tradisional desa. Secara tradisional, desa-desa Nias

dibangun di puncak-puncak bukit untuk tujuan pertahanan. Penjajah Belanda lalu

membangun jaringan jalan di pulau dan memutuskan bahwa masyarakat setempat

harus hidup di samping jalan tersebut. Ini memiliki dua tujuan: barang dari daerah-

daerah terpencil bisa secara efektif diangkut kembali ke ibukota Gunungsitoli dan

tentara Belanda bisa mudah menjangkau desa-desa kalau ada pemberontakan.

k. Tahun 1916: Pertobatan Massal

Setelah Belanda menenangkan situasi seluruh Pulau Nias dan akses jalan

ditingkatkan, misionaris bisa mencapai semua wilayah pulau. Jumlah orang yang

mualaf ke kekristenan mulai perlahan-lahan meningkat. 1916 melihat lompatan

besar dalam mualaf karena suatu peristiwa yang tidak biasa dikenal sebagai

“Pertobatan Besar” (Fangesa sebua). Pertobatan Besar itu adalah gerakan konversi

massal yang dimulai di desa Helefanikha, Idanoi, dekat Gunungsitoli dan

kemudian tersebar secara cepat ke seluruh pulau. Penggerak utama di balik

10
gerakan ini bukan orang misionaris tetapi mualaf lokal. Selama awalnya semangat

keagamaan banyak praktek-praktek tradisional dilarang. Cukup dimengerti,

pengayauan dan perbudakan dilarang. Tetapi aspek lain dari budaya Nias seperti

pengibaran megalith dan ukiran patung kayu juga dilarang.

l. Tahun 1942 – 1945: Pendudukan Jepang di Indonesia

Selama Perang Dunia II, Jepang menduduki Indonesia yang pada saat itu

dikenal sebagai Hindia Belanda. Pada bulan April 1942 Belanda menyerah dan

tidak lama setelah itu, Jepang tiba di Nias. Sebelum pendudukan itu, terjadi

kejadian tragis di Nias. Pada perjangkitan perang, Belanda telah menginternir

semua orang Jerman yang ada di Indonesia. Ketika Jepang mendekati, Belanda

mencoba untuk mengirim tawanan ke India di atas kapal kapal dagang "Van

Imhoff". Dekat ke Nias Selatan, kapal itu diserang oleh pesawat Jepang. 412

warga sipil Jerman tewas dalam tragedi ini.

Awalnya, sebagian orang-orang Nias menyambut Jepang sebagai pembebas

dari penguasa penjajah Belanda mereka. Perasaan ini berubah ketika orang-orang

di Nias dipaksa bertahan banyak kesulitan untuk mendukung upaya perang Jepang.

Dalam persiapan untuk invasi sekutu, Bunker dan benteng dibangun di sekitar

pulau. Hari ini beberapa bunker ini masih dapat dilihat; di sekitar Gunungsitoli dan

juga di Nias Utara dan Selatan. Pada bulan Agustus 1945 Jepang menyerah, tetapi

butuh beberapa minggu sebelum berita, bahwa perang telah berakhir, mencapai

pulau.

m. Tahun 2004 – 2005: Bencana Alam di Nias

11
Tsunami melanda Pulau Nias pada 26 Desember 2004. Pantai barat

menanggung beban kehancuran dengan 118 korban jiwa, dan semua masyarakat

pesisir terkena dampak. Banyak perahu di sepanjang pantai dihanyutkan ke laut

dan rumah dibanjiri oleh air laut. Lalu, pada tanggal 28 Maret 2005, sebuah gempa

bumi dengan kekuatan 8,5 melanda di Pulau Nias. Banyak bangunan runtuh yang

mengakibatkan lebih dari 900 orang tewas dan ribuan terluka. Infrastruktur di

pulau rusak parah dan banyak masyarakat menghadapi keterpencilan.

Terlepas dari hilangnya nyawa dan kehancuran, gempa juga mengubah lanskap

pulau. Karena tanahnya terangkat akibat gempa, seluruh pulau miring pada

sisinya. Ada catatan bahwa tanah terangkat hingga 2,9 meter di sudut barat laut

pulau. Hal ini menyebabkan perubahan dramatis ke garis pantai; pulau-pulau

meningkat hingga sepuluh kali dalam ukuran dan pulau-pulau baru muncul di

mana sebelumnya tidak ada.

n. Tahun 2005 – 2010: Membangun Kembali Nias

Pada akhir tahun 2005 setelah selesai operasi penyelamatan, tahap rekonstruksi

mulai. Diantara tahun 2005 dan tahun 2010 banyak organisasi internasional dan

organisasi Indonesia masuk ke dalam upaya besar untuk membangun kembali

Nias. Periode ini kadang-kadang disebut 'era LSM' di Nias. Organisasi seperti

Palang Merah, UNICEF, OXFAM, ILO, AUSAID dan Caritas (dan banyak lagi)

mengirim staf untuk membantu membangun kembali Nias.

Selain dari beberapa misionaris, ini adalah pertama kalinya orang asing telah

bekerja di Pulau Nias sejak kepergian orang Belanda. Dana dan bantuan teknis

mengalir ke Nias dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Museum

12
bekerja sama dengan komunitas pembangunan selama waktu ini, terutama dalam

rehabilitasi ratusan rumah tradisional dan situs budaya.

o. Tahun 2008 – 2009: Disentralisasi

Selama gerakkan nasional otonomi daerah yang lebih besar di Indonesia,

diputuskan untuk membagi administrasi Pulau Nias menjadi empat kabupaten dan

satu kota. Kabupaten-kabupaten baru diresmikan antara tahun 2008 dan 2009. Ini

berarti bahwa banyak keputusan akan dibuat oleh pemerintah daerah dan tidak lagi

dari pemerintah pusat di Jakarta.

II.1.3 Masyarakat Suku Nias

Orang Nias, yang tinggal di Pulau Nias di Sumatera Utara, Indonesia, memiliki

beberapa mata pencaharian utama, termasuk bertani, berburu, menangkap ikan, dan

pertukangan. Mereka menanam tanaman seperti padi, umbi-umbian, dan sayuran, serta

memelihara babi, kambing, sapi, dan kerbau. Mereka mempraktikkan pertanian tebang

dan bakar, dan alat serta metode pertanian mereka masih sederhana, tanpa

menggunakan bajak atau sistem irigasi. Selain bertani, mereka juga berburu,

menangkap ikan, dan mengumpulkan hasil hutan. Pertukangan adalah mata

pencaharian penting lainnya, dan orang Nias dikenal dengan ukiran dan kerajinan

kayu berkualitas tinggi. Masyarakat Nias juga memiliki budaya dan tradisi yang kaya,

termasuk bahasa, agama, dan adat istiadat mereka sendiri.

Masyarakat Nias memiliki beberapa kelompok etnis yang berada di sana. Berikut

adalah kelompok etnis yang ada di Nias:

13
1. Suku Nias: Suku Nias adalah kelompok etnik yang berasal dari Pulau Nias.

Mereka menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono berarti anak/keturunan;

Niha = manusia) dan Pulau Nias merupakan tempat asal mereka.

2. Suku Asilulu: Suku Asilulu merupakan kelompok etnis yang berasal dari

wilayah Asilulu, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya yang

berbeda dengan suku Nias.

3. Suku Ono'a Niha: Suku Ono'a Niha merupakan kelompok etnis yang berasal

dari wilayah Ono'a Niha, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya

yang berbeda dengan suku Nias.

4. Suku Orahili: Suku Orahili merupakan kelompok etnis yang berasal dari

wilayah Orahili, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya yang

berbeda dengan suku Nias.

5. Suku Lahusa: Suku Lahusa merupakan kelompok etnis yang berasal dari

wilayah Lahusa, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya yang

berbeda dengan suku Nias.

6. Suku Hilisimaetano: Suku Hilisimaetano merupakan kelompok etnis yang

berasal dari wilayah Hilisimaetano, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa

dan budaya yang berbeda dengan suku Nias.

7. Suku Hilinawalo: Suku Hilinawalo merupakan kelompok etnis yang berasal

dari wilayah Hilinawalo, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya

yang berbeda dengan suku Nias.

8. Suku Hilisalawaahe: Suku Hilisalawaahe merupakan kelompok etnis yang

berasal dari wilayah Hilisalawaahe, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa

dan budaya yang berbeda dengan suku Nias.

14
9. Suku Hilinakeo: Suku Hilinakeo merupakan kelompok etnis yang berasal dari

wilayah Hilinakeo, Nias Selatan. Mereka memiliki bahasa dan budaya yang

berbeda dengan suku Nias.

II.1.4 Kepercayaan serta Cara Berpikir Suku Nias

Salah satu aspek yang sangat menarik dalam budaya suku Nias adalah sistem

kepercayaan tradisional mereka, yang dikenal sebagai Fanömba adu. Fanömba adu

adalah fondasi spiritual bagi masyarakat suku Nias, yang memengaruhi setiap aspek

kehidupan mereka, dari agama hingga upacara adat. Dalam makalah ini, kita akan

menjelajahi lebih dalam tentang kepercayaan Fanömba adu suku Nias, menggali

aspek-aspek pentingnya, serta dampaknya pada budaya dan kehidupan sehari-hari

suku ini. Kepercayaan ini tidak hanya merupakan warisan berharga dari nenek

moyang mereka, tetapi juga merangkum konsep-konsep yang relevan dalam konteks

budaya dan agama Nias.

Fanömba adu merupakan kepercayaan tradisional masyarakat Pulau Nias yang

masuk daerah administrasi Sumatera Utara. Fanömba adu sebenarnya hanya merujuk

pada sebuah ritual, yaitu pemujaan patung tetapi kemudian berkembang penggunaanya

menjadi istilah terhadap kepercayaan suku Nias secara umum. Beberapa penulis

menyebut kepercayaan ini sebagai pelebegu yang juga mengacu kepada kepercayaan

tradisional suku lain di Indonesia seperti Batak dan Aceh.

Dalam melaksanakan ritualnya, penganut fanömba adu melakukan Molehe Adu,

yaitu kegiatan pemujaan roh leluhur. Sebagai sarana ritual, dipergunakan patung-

patung kayu (adu). Patung-patung tersebut dipercaya ditempati oleh roh-roh para

leluhur. Contoh dari patung yang berkaitan dengan leluhur di antaranya Adu Zatua

atau patung kayu nenek moyang dari pihak keluarga laki-laki, atau Adu Nuwu yang

15
merupakan patung nenek moyang dari pihak keluarga perempuan. Terkait patung-

patung ini, penganut fanömba adu juga membuatnya untuk menyimbolkan berbagai

sosok seperti ksatria, pemburu andal, atau orang yang memiliki kekuatan.

Dalam kepercayaan fanömba adu, terdapat beberapa dewa yang dikenal oleh para

penganutnya. Dewa pertama adalah Lowalangi. Dewa ini diposisikan sebagai dewa

yang terpenting dari dewa-dewa lainnya. Lowalangi dianggap sebagai penguasa dunia

atas atau sang pencipta. Lowalangi memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman

kepada orang yang berbuat jahat. Istilah Lowalangi kini digunakan sebagai

penyebutan Allah bagi pengikut ajaran Kristen di Nias, pertama kali diperkenalkan

oleh misionaris Denninger pada tahun 1865. Lowalangi dipercaya memiliki keluarga

yang anggota-anggotanya juga dewa bagi orang penganut fanömba adu.

Dewa Lature Danö dianggap sebagai saudara tua dari Lowalangi sekaligus raja

dari dewa-dewa di dunia bawah. Lature Danö bertindak sebagai dewa yang

menyebarkan berbagai bencana seperti penyakit, kematian, dan gempa bumi.

Selanjutnya, ada Silewe Nazarata yang bertindak sebagai dewa pelindung para

pemuka agama sekaligus istri dari Lowalangi. Pendapat lain juga menyebut adanya

peran lain dari Silewe Nasarata, yaitu penghubung antara dewa yang ada di dunia atas

dengan dunia bawah, juga antara kaum dewa dan umat manusia.

Seperti halnya manusia, dewa-dewa juga diyakini diciptakan. Adapun yang

dipercaya sebagai pencipta dari dewa-dewa tersebut dikenal dengan nama Ida

Samihara Luo. Apa yang disebut dengan Ida Samihara Luo ini tidak memiliki realitas,

namun darinya tercipta dua anak kembar. Selanjutnya, dua ana kembar ini kawin dan

perkawinannya menghasilkan para dewa dan manusia. Sebelum dewa Lowalangi dan

Lature Danö ada, kepercayaan juga menyebutkan ada dewa-dewa lain yang eksis

16
setelah alam semesta masih berwujud kekacauan dan kegelapan. Adalah Tuha Sihai

yang dianggap sebagai dewa pertama yang ada. Tuha Sihai tinggal di alam paling atas

seukuran rumah dan mendapat dukungan oleh angin. Dari napas Tuha Sihai kemudian

tercipta Aloloa Nangi dan dari kepalanya muncul pohon Toro'a. Pohon Toro'a

menghasilkan tiga tunas tumbuhan dan dari tunas paling ataslah dewa Lowalangi dan

Lature Danö lahir. Selain keduanya, lahir pula dua roh jahat bernama Nadaoya dan

Afökha.

Sementara itu dari tunas tengah lahir satu roh baik dan roh jahat, sedangan tidak

ada dewa atau roh yang dilahirkan dari tunas paling bawah. Selain dewa, roh juga

memiliki posisi penting dalam kepercayaan fanömba adu. Para penganutnya mengenal

macam-macam roh sebagai penjelmaan dari orang yang sudah meninggal dunia. Ada

banyak roh yang dikenal dan dibedakan berdasarkan apa yang dialaminya semasa

hidup. Misalnya ada Matiana/Maciana, roh perempuan yang meninggal karena

melahirkan anak. Roh ini dianggap ada untuk mengganggu para perempuan yang akan

melahirkan. Kemudian dikenal Solofo yang merupakan roh orang yang piawai dalam

hal berburu. Ada pula Bekhu, roh orang yang mati biasa.[3] Jika roh sudah sampai ke

dunianya, maka yang dilakukannya kemudian adalah melanjutkan hidupnya seperti di

dunia semasa hidupnya. Jika adalah seorang raja meninggal misalnya, maka di dunia

seberang (Tetehöli Ana’a) juga ia akan tetap menjadi raja. Sebaliknya, orang yang

miskin saat hidup di dunia manusia pun akan hidup miskin di dunia seberang

II.1.5 Kesenian, Tarian Tradisional, dan Alat Musik

Tarian dan kesenian tradisional suku Nias adalah ekspresi budaya yang kaya dan

memukau. Terletak di lepas pantai barat Sumatra, Indonesia, pulau Nias adalah rumah

bagi suku yang memiliki warisan seni dan budaya yang unik. Kesenian dan tarian

17
tradisional suku Nias memainkan peran penting dalam memperlihatkan keindahan dan

kekayaan budaya mereka kepada dunia. Dalam makalah ini, kita akan menjelajahi

lebih dalam tentang kesenian dan tarian tradisional suku Nias, mengungkap aspek-

aspek penting dari seni tradisional ini, sejarahnya, serta dampaknya dalam masyarakat

suku Nias. Kita akan menyelami aliran-aliran seni, alat musik tradisional, dan

gerakan-gerakan tarian yang memadukan kepercayaan, ritual, dan keterampilan seni

yang unik. Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang kesenian dan tarian

tradisional suku Nias, kita dapat meresapi kekayaan budaya yang telah mewarnai

kehidupan masyarakat ini selama berabad-abad.

a. Lagu Tano Niha

Lagu tano niha merupakan kebanggaan masyarakat nias. Menurut pandangan

masyarakat nias, lagu tano niha memiliki filosofi yang tinggi, oleh karena itu lagu

tersebut harus dijunjung tinggi. Seiring dengan perkembangan jaman, lagu tano

niha dijadikan sebagai pengiring tari maena, sebagai akibatnya persepsi dan

apresiasi masyarakat terhadap nilai yang terkandung didalam lagu tersebut

menjadi menyimpang.

b. Tari Fataele

Tarian Fataele adalah tarian peperangan yang sarat dengan nuansa mistis. Hal

ini mencerminkan bahwa kebudayaan suku Nias di masa lalu tidak dapat

dipisahkan dari perebutan wilayah dan pertempuran.

c. Tari Maena

Tari Maena salah satu tari tradisi masyarakat nias yang selalu dilakukan pada

setiap pertemuan yang bernuansa kegembiraan dan penuh suka cita, seperti pesta

18
pernikahan,owasa dan sebagainya. Suatu pertemuan atau pesta yang didalamnya

ada kegiatan maena itu merupakan pertanda bahwa semua yang hadir pada

pertemuan tersebut ikut menikmati sukacita, rasa damai, suasana akrab, dan

bahagia. Maena merupakan suatu bentuk lagu yang disajikan secara berkelompok

oleh pria dan wanita sambil melakukan gerakan tari yang terdiri satu orang

sebagai sanehe/penyanyi dan tiga orang sanutuno/penyair.

d. Tari Moyo

Tari moyo disebut juga tari elang yang terus mengepakkan sayapnya dengan

lembut tanpa mengenal lelah. Tarian ini melambangkan keuletan dan semangat

secara bersama dalam mewujudkan sesuatu yang di cita-citakan. Tari mayo

dilaksanakan pada perayaan hari besar tertentu juga untuk menyambut tamu.

Salah satu aspek yang sangat menonjol dalam kekayaan seni budaya suku Nias

adalah alat musik tradisional mereka. Alat musik ini tidak hanya memiliki nilai artistik

yang tinggi, tetapi juga memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari dan

dalam berbagai upacara adat suku ini. Selain hal-hal kesenian yang telah disebutkan di

atas, Nias juga terkenal dengan beberapa alat musiknya yang menarik, diantaranya:

a. Taburana

Alat musik Taburana ini hanya dikenal dan ditemukan di wilayah Nias Selatan.

Tetapi, beberapa kampung di Nias Selatan, Taburana ini biasanya digantung di

dalam rumah besar dan tidak dipindah-pindah. Alat musik ini hanya digunakan

dan dibunyikan oleh Ere saat seorang anggota keluarga bangsawan telah

meninggal dunia. Taburana memiliki ukuran panjang sekitar 275 cm dengan

diameter 40 - 45 cm. Terbuat dari batang pohon feto dan bagian dalamnya

19
dilubangi dari ujung ke ujung seperti pipa. Lubang yang terbesar akan ditutup

dengan kulit kambing sebagai tambur yang dipukul Ere.

b. Tutu

Alat musik Tutu terdapat di seluruh wilayah Pulau Nias. Alat musik ini juga

digantung di dalam rumah dan tidak dipindah-pindahkan. Di Nias Selatan, Tutu

akan digunakan atau dibunyikan ketika salah seorang anggota keluarga

masyarakat biasa meninggal dunia. Sementara di beberapa wilayah Nias lainnya

seperti Nias Tengah, Nias Barat, Nias Timur, dan Nias Utara, Tutu digunakan

ketika seseorang meninggal dunia.

c. Gondra

Gondra merupakan alat musik yang digunakan untuk mengiringi musik

Aramba (gong) pada saat mengadakan pesta "Owasa" dan pesta pernikahan

"Fangowalu". Gondra lebih besar dari Tamburu dan bersuara lebih rendah atau

menggema. Alat pemukul Gondra terbuat dari bilahan bambu yang telah dibentuk,

sedangkan Tamburu tidak menggunakan alat pemukul alias menggunakan jari-jari

tangan. Panjangnya alat pemukul Gondra ini 69 cm sampai 72 cm dan

berdiameter 48 cm sampai 52 cm.

d. Tamburu

Alat musik Tamburu digunakan saat pesta Falowa/Felowa (pernikahan) dari

dulu hingga saat ini. Pada saat membunyikan alat ini, ada tujuan dibaliknya, di

antaranya:

20
1. Musik pengiring rombongan pesta menuju rumah pengantin perempuan,

maupun ketika kembali pulang ke rumah pengantin laki-laki.

2. Tanda bahwa pesta pernikahan sudah "sah" sesuai adat yang berlaku.

3. Sebagai sarana komunikasi kepada kedua belah keluarga mempelai agar

mengetahui kedatangan tamu.

e. Fifi Wofo

Alat musik unik milik masyarakat Nias adalah Fifi Wofo. Fungsinya sebagai

alat berburu yang berperan penting dalam memanggil berbagai jenis burung. Cara

menggunakan Fifi Wofo ini adalah dengan meniup dengan bibir dan sedikit diatur

oleh lidah agar menghasilkan beberapa jenis suara burung.

f. Fata Lewuo

Feta Lewuo sebuah alat musik yang digunakan oleh anak-anak dan kalangan

remaja ketika mereka sedang menjaga padi (Mewpo/Mozago) di sawah (Laza)

atau di pegunungan (Nowi). Kegunaan alat musik ini membantu anak-anak dan

remaja untuk mengusir kawanan burung yang akan memakan atau merusak buah

padi mereka.

II.1.6 Makanan Khas Suku Nias

Makanan suku Nias mencakup berbagai hidangan yang terbuat dari bahan-bahan

alami seperti ikan, ubi, singkong, dan kelapa. Kombinasi bahan-bahan ini menciptakan

hidangan-hidangan yang lezat dan bergizi, yang mencerminkan pemahaman

mendalam mereka tentang ekologi dan sumber daya lokal. Beberapa makanan khas

dari suku Nias diantaranya adalah:

21
a. Babae

Makanan yang terbuat dari kacang berprotein yang dimasak lembut dan

campuran daging halus. Makanan ini biasanya dihidangkan pada acara-acara

khusus seperti ritual budaya, lamaran, dan pernikahan.

b. Harinake

Makanan favorit masyarakat Nias yang selalu disajikan untuk makan malam.

Makanan ini juga dianggap sebagai makanan menghormati tamu dan mertua.

Makanan ini dibuat dengan bahan dasar daging yang dicincang dan dimasak

dengan bumbu khas Nias.

c. Gowi Nifufu

Makanan yang terbuat dari umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, dan talas) dan

merupakan makanan khas adat Nias. Cara membuatnya adalah dengan menumbuk

halus umbi kemudian dicampur dengan kelapa. Rasa pulen dari umbi dan

dicampur gurihnya kelapa sangat nikmat untuk disantap sebagai pengganti nasi.

d. Tamboyo

Ketupat khas Nias yang terbuat dari beras ketan sehingga teksturnya sangat

pulen. Supaya enak dan berkualitas, ketupat Nias ini takarannya harus pas.

Garamnya tidak boleh berlebih agar hasilnya tidak keasinan, tetapi gurih.

e. Ni Unago

22
Makanan yang terbuat dari ikan tongkol yang diasap dan dijemur terlebih

dahulu. Kemudian ikan tersebut diiris tipis-tipis dan dicampur dengan bumbu-

bumbu khas Nias seperti cabai, bawang merah, dan daun jeruk.

f. Niowuru

Makanan yang terbuat dari daging yang diasinkan, awet dan tahan lama.

Awalnya menggunakan daging babi, kini dapat ditemukan dengan berbagai varian

daging.

II.1.7 Festival Suku Nias

Suku Nias dikenal dengan kebudayaan unik mereka yang dipenuhi dengan

tradisi, seni, dan festival yang menakjubkan. Festival adalah salah satu cara utama di

mana Suku Nias merayakan dan melestarikan warisan budaya mereka. Festival-

festival ini tidak hanya merupakan pesta yang meriah, tetapi juga merupakan jendela

ke dalam kekayaan budaya dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Melalui festival-festival ini, Suku Nias menjalankan peran penting dalam menjaga

identitas budaya mereka yang kaya dan unik.

Festival Ya'ahowu Nias merupakan salah satu festival yang di adakan oleh

suku Nias. Festival tersebut bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan berbagai

tradisi dan kesenian suku Nias. Festival ini dirayakan pada akhir tahun, sebaiknya

pada bulan November. Festival Ya'ahowu adalah kesempatan untuk merayakan

budaya mereka melalui pameran seni, tari, musik, serta pameran dan pertukaran

budaya. Festival ini bertujuan untuk memperkenalkan berbagai budaya dan kesenian

suku Nias kepada masyarakat umum. Festival ini biasanya diadakan pada akhir tahun,

tepatnya bulan November. Festival Ya'ahowu menjadi ajang untuk merayakan warisan

23
budaya mereka melalui pertunjukan seni, tarian, musik, serta pameran dan pertukaran

budaya.

Selama festival berlangsung, berbagai kegiatan seperti parade, pameran seni

budaya, permainan rakyat, serta pameran produk premium dan kuliner khas Sumatera

Utara diselenggarakan. Ada pula tarian tradisional seperti Faluaya (tari perang),

Maena, Tari Moyo, Tari Singa Betina (tari barong) dan lain-lain. Dalam acara tersebut

juga digelar tarian nasional Maena yang melibatkan ribuan penari dengan tujuan

memecahkan rekor MURI. Festival Nias Ya'ahowu merupakan acara populer dan

menarik ribuan pengunjung setiap tahunnya. Berikut adalah beberapa kegiatan yang

dilakukan selama Ya'ahowu Nias Festival:

a. Pawai budaya keliling kota Telukdalam dengan menampilkan busana

daerah dan atraksi budaya dari setiap peserta, kendaraan hias, marching

band.

b. Pagelaran seni budaya dari kabupaten kota se Kepulauan Nias, seperti

Famadaya Harimao, tarian daerah, Famozi Gondra, Orahu, Fame Afo, dan

atraksi budaya lainnya.

c. Tari perang kolosal yang didukung oleh 600 orang penari.

d. Hombo Batu Kolosal yang didukung oleh 100 orang pelompat batu

sekaligus dicatat dalam rekor MURI.

e. Pameran produk unggulan dan kuliner khas Kepulauan Nias.

f. Berbagai perlombaan dan permainan rakyat seperti Rago Ue, Fafusi,

Fabelugama, dan Fabiri.

g. Pertunjukan tari tradisional seperti Faluaya (tari perang), Maena, Moyo

Dance, Lioness Dance (barongsai), dan lainnya.

24
h. Pertunjukan musik tradisional seperti Feha, Sigale-gale, dan lainnya.

i. Pameran seni dan budaya Nias.

j. Pertukaran budaya antara suku Nias dengan masyarakat umum.

Selain itu, pada festival ini juga terdapat kegiatan lain seperti seminar,

workshop, dan diskusi tentang budaya dan kesenian suku Nias. Festival Ya'ahowu

Nias merupakan festival yang sangat populer dan menarik ribuan pengunjung setiap

tahunnya.

II.1.8 Rumah Adat Suku Nias

Rumah adat suku Nias adalah rumah panggung tradisional orang Nias yang

dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung yang tinggi dan besar, yang beralaskan

rumbia. Rumah adat Nias terkenal karena kokoh dan tahan gempa. Ada dua jenis

rumah adat Nias yang terkenal, yaitu Omo Hada dan Omo Sebua.

a. Omo Hada

Rumah adat Nias Omo Hada adalah salah satu rumah adat dalam suku Nias.

Rumah adat ini mempunyai bentuk dan desain dari bangunan unik serta menarik

mata. Rumah adat Omo Hada memiliki kontruksi bangunan tanpa paku, tahan

terhadap gempa, dan proses pembangunan hampir kurang lebih 4 tahun. Omo

Hada adalah rumah adat suku Nias yang dibangun khusus untuk rakyat atau

penduduk biasa. Rumah ini memiliki bentuk persegi dan terdapat tiang-tiang yang

kuat dari batang kayu dengan bagian atap dilapisi daun rumbia.

Omo Hada dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung yang tinggi dan besar,

yang beralaskan rumbia. Bangunan rumah panggung ini tidak berpondasi yang

tertanam ke dalam tanah, serta sambungan antara kerangkanya tidak memakai

25
paku, hingga membuatnya tahan goyangan gempa. Omo Hada memiliki dua

ruangan, yaitu Tawalo dan Forema. Tawalo berfungsi sebagai ruang tamu dan

tempat tidur tamu, sedangkan Forema berfungsi sebagai ruang keluarga, ruang

tamu wanita, serta ruang makan tamu-tamu agung.

b. Omo Sebua

Omo Sebua adalah rumah adat suku Nias yang dibangun khusus untuk kepala

desa atau kepala negeri, serta kaum bangsawan. Rumah ini lebih besar dan lebih

megah dibandingkan dengan Omo Hada, serta memiliki hiasan-hiasan yang

melambangkan status sosial pemiliknya. Omo Sebua dibangun di atas tiang-tiang

kayu nibung yang tinggi dan besar, yang beralaskan rumbia. Bangunan rumah

panggung ini tidak berpondasi yang tertanam ke dalam tanah, serta sambungan

antara kerangkanya tidak memakai paku, hingga membuatnya tahan goyangan

gempa.

Omo Sebua memiliki bentuk seperti rumah panggung yang dibangun di atas

tiang-tiang kayu tinggi besar. Ada perbedaan bentuk antara rumah adat yang

dibangun di Nias Utara, Nias Selatan, dan Nias Tengah. Omo Sebua yang ada di

Nias Utara memiliki perbedaan di bagian atap lotengnya yang lebar dan kisi-kisi

jendela yang besar, sehingga memungkinkan penghuninya mendapat penerangan

dan sirkulasi udara yang maksimal.

II.1.9 Upacara Pernikahan Suku Nias

Upacara pernikahan di suku Nias terdiri dari beberapa tahapan yang harus

dilakukan oleh kedua belah pihak. Berikut adalah tahapan-tahapan upacara pernikahan

di Nias:

26
a. Famaigi Niha

Proses lamaran dimulai dengan kunjungan keluarga calon pengantin pria ke

rumah calon pengantin wanita. Keluarga pria membawa seserahan berupa uang,

sirih, pinang, dan rokok sebagai tanda keseriusan dalam melamar. Jika keluarga

wanita menerima lamaran, maka proses selanjutnya adalah meminta restu dari

orang tua dan leluhur.

b. Fame'e Laeduru (Tunangan)

Setelah mendapat restu dari orang tua dan leluhur, keluarga pria kembali ke

rumah calon pengantin wanita untuk membawa sirih pulang. Sirih pulang adalah

sirih yang dibawa oleh keluarga pria sebagai tanda bahwa mereka akan segera

membawa calon pengantin wanita ke rumah pria.

c. Fanunu Manu

Proses akad nikah atau pengikatan janji kedua mempelai dilakukan di rumah

pengantin pria. Pada saat ini, calon pengantin wanita akan diberikan mahar berupa

uang atau harta lainnya oleh calon pengantin pria. Mahar dalam adat pernikahan

Nias disebut Bowo. Bowo dalam adat pernikahan di Nias adalah sejumlah harta

yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat adat

untuk melangsungkan perkawinan.

Bowo memiliki beberapa makna, antara lain syarat adat, makna kekeluargaan,

makna penghormatan dan penghargaan, makna sosial, dan prestise. Bowo juga

dianggap sebagai ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak. Bowo terjadi

karena pihak laki-laki menyatakan kasih sayang terhadap pihak perempuan. Bowo

27
yang dibutuhkan dalam upacara pernikahan sangat beragam jenis dan jumlahnya.

Namun, jenis bowo yang paling umum adalah uang, emas, babi, ayam, dan beras.

d. Femanga Bawi Nisila Hulu

Setelah proses Fanunu Manu selesai, dilakukan pesta pernikahan yang dihadiri

oleh keluarga, kerabat, dan tetangga. Pesta pernikahan di Nias biasanya diadakan

selama beberapa hari dan diisi dengan berbagai acara seperti tari-tarian dan

nyanyian.

Upacara pernikahan di Nias memiliki banyak nilai-nilai adat dan tradisi yang harus

diikuti oleh kedua belah pihak. Salah satu tradisi yang unik adalah tarian pernikahan

yang dilakukan oleh pengantin pria dan wanita. Tarian ini disebut dengan tarian

fataele, yang merupakan tarian pergaulan yang dilakukan oleh masyarakat Nias. Selain

itu, upacara pernikahan di Nias juga diisi dengan berbagai macam makanan tradisional

seperti sagu lempeng, ikan asap, dan daging babi panggang.

II.1.10 Pakaian Adat Suku Nias

Pakaian adat suku nias dinamakan Baruoholu untuk pakaian laki-laki dan Oroba si

oli untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau

kuning yang dipadu dengan warna hitam, merah, dan putih. Adapun makna filosofi

dari warna itu sendiri adalah:

Kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (ni obakola) dan pola bunga

kapas (ni obowo gafasi) sering dipakai oleh para bangsawan untuk menggambarkan

kejayaan, kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran. Merah yang dipadukan

dengan corak segitiga sering dikenakan oleh prajurit untuk menggambarkan darah,

keberanian dan kapabilitas para prajurit. Hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani

28
menggambarkan situasi kesedihan, ketabahan, dan kewaspadaan. Putih yang sering

dikenakan oleh pemuka agama kuno (ere) menggambarkan kesucian, kemurniaan, dan

kedamaian.

II.1.11 Tradisi dan Adat Istiadat Suku Nias

Suku Nias memiliki berbagai tradisi yang masih dilakukan hingga sekarang.

Tradisi-tradisi tersebut sangat unik dan otentik dengan daerah tersebut. Tradisi-tradisi

tersebut diantaranya ialah:

a. Tradisi Lompat Batu (Fahombo)

Tradisi lompat batu sudah dilakukan sejak zaman para leluhur, di zaman

dahulu mereka sering berperang antar suku sehingga mereka melatih diri agar kuat

dan mampu menembus benteng lawan yang cukup tinggi untuk dilompati. Tradisi

lompat batu diadakan untuk mengukur kedewasaan dan kematangan lelaki nias,

sekaligus ajang menguji fisik dan mental remaja lelaki di nias menjelang usia

dewasa. Tradisi ini dilakukan lelaki nias untuk membuktikan bahwasanya mereka

sudah dibolehkan Zulkifli Warung Internet: Gerbang Dunia Virtual untuk

menikah. Tinggi batu lebih kurang dua meter, lebar Sembilan puluh centimeter,

dan panjang enampuluh centimeter. Batu yang harus dilompati berupa bangunan

mirip tugu dengan permukaan bagian atas datar.

b. Tradisi Fame’e

Fame'e adalah sebuah tradisi dalam upacara pernikahan adat Nias yang

dilakukan 3 hari sebelum perkawinan dilakukan. Tradisi ini merupakan tuntunan

cara hidup untuk berumah tangga. Selain itu, Fame'e juga dapat merujuk pada

tarian penyambutan yang dilakukan oleh masyarakat Nias untuk menyambut tamu

29
kehormatan. Tarian ini serupa dengan tari sekapur sirih dan biasanya dilakukan

atau diperagakan oleh pemuda. Selain itu, Fame'e juga dapat merujuk pada

nasehat untuk calon mempelai yang diberikan 3 hari sebelum perkawinan

dilakukan. Nasehat ini berisi tentang tuntunan cara hidup untuk berumah tangga.

c. Tradisi Menyambut Tamu

Apabila bertamu di salah satu rumah masyarakat Nias, maka tamu tersebut

disambut dengan hangat. Di rumah orang tua zaman dahulu, sajian utama yang

disediakan adalah afo atau sirih serta minuman. Pertanyaan yang akan

disampaikan tuan rumah kurang lebih seperti ini: ya’e göda nafo (Ini sirih kita);

atau na monganga’ö, ya’e yawa göda nafo, he (Kalau saudara mau, di atas ini ada

sirih). Hal ini sudah menjadi tradisi masyarakat Nias dalam menjamu tamu,

bahkan tidak akan membiarkan tamu tersebut pulang tanpa dihidangkan makanan.

Tuan rumah akan berusaha memberikan jamuan ketika tamu berkunjung, sebab

jika tidak menghidangkan sesuatu, keluarga akan merasa malu meski pun tamu

tidak mempermasalahkan atau mengharapkan jamuan tersebut.

d. Sistem Penanggalan

Sistem penanggalan suku Nias (Sara Wangahalö ) disebut juga sebagai

kalender musim pertanian masyarakat tradisional Nias. Masyarakat tradisional

Nias biasanya menyebut tanggal/hari dengan istilah bulan, berpatokan pada fase-

fase Bulan selama 29/30 hari. Selama 29/30 bulan (hari) terdiri dari 15 pertama

Bulan terang dan 15 terakhir Bulan mati. Selama 1 tahun pertanian terdiri dari 12

(biasa) 13 (interkelasi) siklus bulan sehingga jumlah harinya bisa terdiri dari

30
354/355/383/384/385. Awal bulannya mengacu pada kemunculan hilal atau

mayarakat tradisional Nias menyebutnya dengan istilah Bulan Sabit Kecil.

Kemudian untuk siklus 1 periode musim pertaniannya terdiri dari 19 tahun

dengan siklus metonik (3,5,8,11,14,16 dan 19/ 3,2,3,3,3,2,3) dengan tambahan

diakhir siklus tahunan pertanian. Sehingga penanggalan ini tidak memiliki

bilangan tahun dan akan berjalan sebagai siklus teratur. Dan untuk awal setiap

tahunnya ditandai dengan munculnya Bintang Orion (Sara Wangahalö). Oleh

karena itu, melihat dari acuan yang mereka gunakan, maka penanggalan suku Nias

ini tergolong sebagai penanggalan sistem Luni-Solar. Karena selain menggunakan

Bulan sebagai acuan juga menggunakan Matahari untuk musim pertaniannya

dengan menggunakan manzilah Bintang Orion (Sara Wangahalö).

Pengaplikasian penanggalan tradisonal Nias dalam masyarakat Nias digunakan

untuk kegiatan pertanian serta menggunakan fase-fase Bulan untuk menentukan

Bulan baik dan Bulan buruk yang hanya diketahui oleh pemuka agama adat (Ere),

dimana setiap daerah mempunyai ketentuannya masing-masing. Hal ini

dipengaruhi ajaran agama mereka terdahulu dimana nenek moyang masyarakat

Nias menganut ajaran Animisme. Mereka mengenal hari baik dan buruk yang

menjadi kearifan lokal masyarakat setempat bersosialisasi dengan alam sekitar

supaya kehidupannya berjalan sebagaimana diharapkan.

e. Upacara Harimau (Famato Harimaö)

Pada zaman dulu di wilayah Maenamölö, Nias Selatan ada sebuah upacara di

mana patung harimau diusung dan diarak keliling. Karena tidak ada harimau di

Nias, patung itu (Adu Harimao) tampak lebih seperti anjing berkepala kucing.

31
Upacara sakral ini digelar sekali setiap tujuh atau empat belas tahun. Usungan

patung harimau itu kemudian dipatahkan dan patung harimau dibuang di sungai.

Upacara tersebut dinamakan ‘Famatö Harimao’.

Masyarakat lokal percaya bahwa semua dosa yang mereka lakukan selama

tahun-tahun sebelumnya akan hanyut bersama dengan patung. Karena sebagian

besar dari Orang Nias menjadi Kristen, upacara Famatö Harimao tidak lagi

dirayakan. Dalam upaya untuk melestarikan dan merevitalisasi budaya lokal,

upacara perarakan ini kadang-kadang dilakukan di Nias Selatan di acara-acara

tertentu. Hari ini, upacara telah berubah nama menjadi 'Famadaya Harimao'

(perarakan patung harimau).

II.2 Mentawai

II.2.1 Wilayah Suku Mentawai

Kepulauan Mentawai terletak kira-kira 150 km sebelah Barat Kota Padang.

Walaupun letaknya hanya 150 km dari Padang, namun penelitian geologis

menunjukkan kepulauan itu telah 500.000 tahun terpisah daratan Sumatera.

Pemisahan ini menyebabkan kepulauan ini bersifat sebagai oceanic islands

(kepulauan lautan). Ada 40 buah pulau di Kepulauan Mentawai yang terletak di

Samudera Hindia dan jaraknya sekitar 150 km dari pulau Sumatera ke arah barat.

Sebutan Mentawai secara umum ditujukan pada penduduk yang hidup di gugusan

pulau-pulai kecil di lepas pantai Sumatera Barat. Ada 4 pulau besar yang dihuni

yakni Siberut yang merupakan pulau terbesar (94.097 km 2), Pagai Selatan dan Pagai

Utara (91.870 km2), dan Sipora (840 km2). Istilah orang Mentawai sendiri

merupakan sebutan khusus bagi orang-orang yang berbahasa Mentawai dan

32
keturunan leluhur yang dalam cerita mitologis berasal dari Simatalu, suatu tempat di

Pantai Barat pulau Siberut (Darmantom 2012).

Keadaan lingkungan hidup orang Mentawai di empat pulau tersebut secara

umum sangat berbeda. Pulau Siberut sebagai salah satu pulau besar di Mentawai

menurut sejarah merupakan asal mula suku Mentawai, lebih dipengaruhi oleh

lingkungan hutan (Rudito dan Sunarseh, 2013: 17). Sementara itu, pulau Sipora

memiliki lingkungan kebun dan persawahan dikelola oleh penduduk asli maupun

orang-orang yang berasal dari suku lain yang berstatus transmigran. Lebih lanjut,

pulau Pagai lebih banyak memiliki lingkungan industri perkayuan dan peradaban

jasa yang bekerja di industry perkayuan.

II.2.2 Sejerah Suku Mentawai

Sejarah Mentawai menurut suatu cerita yang sejak lama sudah dikenal di

Kepulauan Pagai, pada suatu hari ada dua perahu besar penuh dengan orang laki-

laki, yang pergi meninggalkan Padang menuju arah barat. Agar mereka saling

mengenal saat mereka bertemu kembali, maka sebelum berangkat mereka

mematahkan kulit kerang dan batu gosok menjadi dua, dan masing-masing perahu

membawa setengahnya. Setelah lama mengembara, kedua perahu itu berjumpa lagi

di tengah laut, tidak jauh dari Kepulauan Mentawai. Langsung mereka mulai saling

memanah, karena mereka mengira telah berhadapan dengan musuh. Akan tetapi,

dari kedua belah pihak seorang pun tidak terluka. Mereka mulai berpikir berhadapan

dengan saudara-saudara sendiri dan anggapan ini diperkuat setelah ternyata, bahwa

kedua belah kerang dan batu gosok cocok satu dengan yang lainnya.

Satu di antara kedua perahu itu kembali ke Padang, sedangkan mereka yang

berada di atas perahu yang satu lagi hendak pergi ke daratan, yang kelihatan tidak

33
seberapa jauh, yaitu Pulau Siberut. Kepada kawan-kawan yang hendak kembali ke

Padang dimintalah bibit padi dan kain, tetapi mereka itu menolak dan mengatakan,

“Bila kami memberikan ini kepada kalian, kalian tidak akan memikirkan untuk

kembali lagi kepada kami. Orang-orang Padang yang telah datang ke Siberut, benar-

benar tidak kembali lagi ke Padang dan inilah alasannya kepulauan Mentawai selalu

kekurangan beras dan kain.

II.2.3 Masyarakat Suku Mentawai

Identitas Mentawai menurut Schefold (1991), bermula dari silsilah uma atau

wilayah asal usul. Uma tidak hanya diwujudkan dalam bentuk rumah, tetapi Uma

juga berarti klan, keluarga besar yang identitasnya terlihat pada nama panggilan.

Uma memegang peranan penting di dalam proteksi kolektivitas. Orang Mentawai

melawan para misionaris dan pejabat Belanda karena dirugikan dalam hubungan-

hubungan sosial dan politik, hal mana dipicu oleh hal-hal sensitif, seperti pemaksaan

dan penghinaan terhadap anggota Uma. Di dalam Uma, kepemimpinan dipegang

oleh Pemimpin Uma (Sikebukkat Uma), fungsinya sebagai perantara sosial antar

uma. Sikebukkat Uma tidak memiliki kewenangan politik seperti memaksakan idea

atau gagasan politik yang menyangkut uma lainnya. Fungsi mereka pada umumnya

perantara negosiasi dengan uma lain, memimpin upacara adat, ritual pernikahan dan

pembuka ladang.

Umumnya, sifat orang Mentawai adalah baik hati, ramah, suka menghormati

orang lain, tidak ingin berperang, dan suka kepada hias-hiasan, sehingga tidak jarang

tubuh mereka bertato. Masing-masing Etnik dipimpin oleh seseorang yang dianggap

arif dan bijaksana yaitu biasanya orangtua atau orang yang dituakan. Orang ini

bekerja memimpin Etnik dan menyelesaikan segala masalah yang berkenaan dengan

34
hubungan sosial antar anggota etnik. Pemimpin Etnik atau uma ini disebut dengan

rimata. Adapun yang menjadi tugas dari pemimpin adat dalam masyarakat

diantaranya adalah menentukan batas areal ladang, kebun, hutan yang dimiliki

warganya, mengurus soal pembebasan atau pemakaian tanah apabila akan digunakan

oleh pihak luas seperti perusahaan atau pemerintah, menyelesaikan perselisihan yang

terjadi antara warga baik yang menyangkut harta maupun perkelahian, mengurus

upacara-upacara adat seperti perkawinan, yang saat ini banyak bekerjasama dengan

pihak pemuka agama.

II.2.4 Kepercayaan, Cara Berpikir, serta Norma yang Berlaku

Mengkaji kebudayaan Mentawai tidak terlepas dari keyakinan agama asli orang

Mentawai yang didasari kosmologinya yang disebut dengan arat sabulungan

(Rudito dan Sunarseh, 2013: 34). Menurut Tulius (2012: 69), orang Mentawai tidak

mempunyai istilah tertentu untuk sistem kepercayaan mereka, sampai pihak gereja

dan pemerintah menciptakan istilah tersebut untuk membedakan antara arat

puaranan (salah satu agama yang ada di dunia) dan arat sabulungan (kepercayaan

tradisional). Kepercayaan terakhir ini digunakan oleh orang Mentawai untuk

memahami lingkungan, guna mencapai kesejahteraan untuk masyarakatnya. Orang

Mentawai termasuk penganut animisme yang percaya kepada roh-roh alam, segala

sesuatu yang ada disekelilingnya, dalam hal ini alam semesta, mempunyai jiwa. Arat

sabulungan mengenal 3 roh (dewa), yakni roh laut (Tai Kabagat-Koat), roh hutan

dan gunung (Tai Ka-leleu), dan roh awang-awang (Tai Ka-Manua) (Sihombing,

1979: 9).

Arat adalah adat, sedangkan Sabulungan berasal dari kata “sa” – “bulung” yang

mempunyai arti “sa” = kumpulan”; “bulung” = daun, yakni adat daun-daunan

35
(Sihombing, 1979: 9). Sebagai ilustrasi, daun menurut orang Mentawai adalah

perwujudan dari pemahaman terhadap hutan beserta isinya yang didalamnya

terdapat ajaran keagamaan orang Mentawai. Setiap daun mempunyai sifat yang

mengantarkan manusia kepada keseimbangan dalam mencapai kesejahteraan hidup.

Kepercayaan ini didasari oleh keadaan geografis Mentawai dahulunya yang

merupakan daerah kepulauan yang terpencil dan terisoliasi yang keadaan iklimnya

tidak menguntungkan, sehingga membuat suku Mentawai masa depannya penuh

tantangan. Muturuk merupakan sebuah ekspresi dari arat sabulungan.

Pada prinsipnya Arat Sabulungun merupakan suatu pengetahuan, nilai, aturan

dan norma yang dipergunakan oleh masyarakat dalam memahami serta

menginterpretasi lingkungan hidup yang ada di sekitarnya yang terdiri dari pola-pola

interaksi manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, udara, dan juga benda-

benda hasil buatan manusia. Arat Sabulungun adalah adat istiadat yang hidup dalam

masyarakat yang tercakup di dalamnya kepercayaan kepada hal-hal supra natural

seperti roh-roh dan arwah-arwah yang mendiami seluruh alam ini baik tumbuh-

tumbuhan, binatang, tanah dan benda-benda buatan manusia, sehingga merupakan

juga kosmologi orang Mentawai (Darmanto, 2012).

II.2.5 Kesenian

Kesenian Suku Mentawai dibedakan menjadi seni ukir dan seni rupa. Biasanya

patung-patung yang dibuat, seperti patung Sikerei, monyet, burung dan patung

manusia. Patung monyet dibuat sesuai spesies jumlah monyet yang endemik di

Mentawai, seperti Joja, Bilou, Simakobuk dan Bokkoi. Sedangkan patung burung

seperti, elang, ruak-ruak, dan bangau. Hasil karya seni patung biasanya diletakkan di

Uma. Patung burung digantung langsung di atas loteng atau atap. Patung burung

36
dibuat untuk mainan roh binatang yang pernah diburuh agar binatang lainnya atau

jiwa binatang tidak liar ketiak diburu untuk kebutuhan pesta adat (punen).

Selain di atas, mereka juga membuat lukisan-lukisan di badan yang berbentuk

tato. Tato dalam bahasa Mentawai disebut tiktik. Tato bagi Suku Mentawai adalah

sebuah identitas, bukan hanya sebagai aksesoris ataupun hiasan di tubuh saja, yang

menggambarkan keseimbangan antara penghuni hutan dengan alam (Kusuma,

2016). Pemahaman subjek terhadap tradisi budaya tato pada umumnya tentang

bagaimana proses pembuatan tato tersebut dilakukan. Bahan tato ini terbuat dari

asap lampu yang ditampung, kemudian dicampur dengan air tebu agar bisa

melengket dan menghitam di tubuh. Alat pembuat tato sangat sederhana terbuat dari

kayu dan dipasang besi runcing di ujungnya, kemudian dibuat pemukulnya dari kayu

yang dibentuk kecil. Selain di atas, mereka juga membuat lukisan-lukisan di badan

yang berbentuk tato. Tato dalam bahasa Mentawai disebut tiktik. Mulai dari

persiapan sebelum pembuatan tato seperti persiapan dalam menentukan sipatiti

(tetua suku), mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, menentukan

motif apa yang sesuai dengan orang yang akan ditato (biasanya dilakukan oleh

sipatiti) hingga mempersiapkan pesta kecil yang disebut ulia sebagai bentuk

permohonan kepada roh leluhur agar diberikan perlindungan, keselamatan dan

kelancaran dalam proses pembuatan tato.

Masyarakat suku Mentawai telah melakukan tato sejak remaja. Tato yang

bertebaran di semua bagian tubuhnya merupakan bagian tak terpisahkan dengan

hidupnya. Tato kemudian dilajutkan ketika mereka sudah dewasa dan mampu

berburu binatang di hutan. Semua binatang yang berhasil ditangkap, akan

diekspresikan dengan membuat tato di bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian,

dapat dipahami bahwa tato bagi masyarakat tradisional Suku Mentawai merupakan

37
simbol kekuatan yang dapat menaikkan harga diri. Semakin banyak tato yang terajah

dalam tubuhnya, semakin tinggi harga dirinya, karena akan dihormati sebagai suku

yang memiliki kemampuan berburu dengan baik. Tato juga memiliki fungsi

kosmologis sebagai keseimbangan alam, di mana semua benda memiliki jiwa dan

dan harus diabadikan pada tubuh.

Bagi masyarakat tradisional Suku Mentawai, tato juga merupakan bagian dari

prosesi pernikahan. Tato yang menghiasi pergelangan tangan hingga jari-jari

sepasang mempelai menandai bahwa mereka telah melakukan penikahan.

Pelaksanaan tato memerlukan waktu yang cukup lama yaitu empat hari dengan

menggunakan perlengkapan dan bahan sederhana yang menimbulkan rasa sakit yang

luar biasa.

Punen adalah sebuah pesta yang dilakukan orang Mentawai ketika ada peristiwa-

peristiwa penting. Punen merupakan sebuah gambaran suatu periode hidup bersama

dan beberapa pengalaman bersama yang menggambarkan kehidupan Orang

Mentawai yang tergantung pada pesta atau punen. Punen yang memiliki arti

‘selametan, upacara, dan pesta’ adalah tradisi yang sarat akan makna dan filosofi

kehidupan. Orang Mentawai melakukan banyak punen dan lia yang pada dasarnya

bertujuan mempererat hubungan antaranggota masyarakat. Menurut ZF,

(perempuan, 45 tahun, peneliti budaya Mentawai Universitas PGRI Padang) terdapat

nilai-nilai religi yang kental (hubungan manusia dengan roh leluhur) dan kearifan

lokal (berbagi makanan) yang dilakukan secara sadar dan mendalam dalam tradisi

punen. Punen merupakan wadah untuk menjaga keseimbangan alam semesta agar

tetap terjaga, begitu pula hubungan manusia, alam, dan Sang Pencipta. Punen

diharapkan menjadi perekat sosial agar semakin kuat dan masyarakat pun tidak

38
terjebak pada keadaan yang individualistis. Oleh karena itu, tradisi punen terus

dipertahankan agar keseimbangan hubungan antara alam, manusia, dan Tuhan tetap

terjaga.

Salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Kepulauan Mentawai adalah musik-

musik tradisional. Alat-alat musik tradisional yang dimiliki adalah

kateubak/gajeumak (sejenis ketipung), tuddukat, dan lain sebagainya. Hingga saat

ini, hanya dua alat musik tradisional Mentawai yang masih hidup dan dipakai dalam

kegiatan sosial orang Mentawai. Kedua alat musik tersebut adalah alat musik

Tuddukat dan kateubak (gajeuma). Kedua alat musik tersebut sering dipakai dalam

kegiatan sosial uma yang diantaranya dalam acara punen, puliaijat maupun untuk

berburu. Tuddukat merupakan alat musik tradisional Mentawai yang berbentuk

mirip seperti kentongan besar yang bahannya diambil dari bahan dasar kayu hutan

jenis tertentu. Menurut Simanjuntak (2007;101) cara memainkan alat musik

tuddukat ini adalah dengan menggunakan pemukul yang disebut tetektek yang

kemudian bisa menghasilkan bunyi.

Tuddukat merupakan alat musik tradisional Mentawai yang berbentuk mirip

seperti kentongan besar yang bahannya diambil dari bahan dasar kayu hutan jenis

tertentu. Menurut Simanjuntak (2007;101) cara memainkan alat musik tuddukat ini

adalah dengan menggunakan pemukul yang disebut tetektek yang kemudian bisa

menghasilkan bunyi. Tuddukat terdiri dari 3 buah kentongan yang sama bentuknya,

namun ukuran ketiganya tidak sama. Ukuran-ukuran yang dimiliki tuddukat tersebut

menentukan suara yang ditimbulkan dalam memainkan musik tersebut. Tuddukat

yang memiliki ukuran besar disebut ina, tuddukat ukuran menengah disebut

sikatalaga, sedangkan tuddukat ukuran kecil disebut toga. Jika ketiganya dibunyikan

maka akan menghasilkan “nada”. Setiap nada dan suara yang dihasilkan musik

39
tuddukat tersebut memiliki makna bagi masyarakat Mentawai. Makna dari bunyi

nada suara tuddukat tersebut bisa diterjemahkan dalam rangkaian kalimat yang

mengandung arti atau pesan tersendiri dimana bunyi itu berasal. Tuddukat besar

(ina) mengandung bunyi vokal i dan u, sedangkan tuddukat sedang (sileleite)

menghasilkan bunyi vokal e dan o, sementara tuddukat kecil (toga) memiliki nada

suara bunyi vokal a. Tuddukat ini dimainkan dalam upacara-upacara keagamaan.

Bunyi dalam Tuddukat tidak semata sebagai komunikasi sesama manusia, tetapi

juga komunikasi dengan alam roh. Meskipun bukan dalam arti bagian dari ritual

Sikerai, akan tetapi Tuddukat menjadi tetabuhan yang dipahami memiliki bahasa

emosi manusia untuk dikomunikakan kepada kerabat sebagai bentuk berbagian

dalam Umma atau koloni. Hal tersebut disebabkan kehidupan mereka selalu

berdampingan dengan ritmik alam, termasuk bunyi-bunyi yang ada disekitar

kehidpan mereka, seperti suara hewan, desir ombak, tiupan angin, bahkan suara

dedaunan. Bagi orang Mentawai, bunyi memegang peranan penting dalam

berkomunikasi, guna menyampaikan rasa, perasaan, berita, bahkan cerita.

Dengan demikian, secara fungsional Tuddukut difungsikan sebagai berikut:

1. Kegemberiaan dari mendapat tamu,

2. Kegembiraan mendapat hasil buruan,

3. Kegembiraan mendapat panen,

4. Kegembiraan mau berladang,

5. Kesedihan karena ada yang sakit,

6. Kesedihan kerena ada yang meninggal,

7. Kewaspadaan karena ada bencana atau huruhara,

8. Ungkapan berdoa.

40
II.2.6 Makanan Khas Suku Mentawai

Makanan khas suku Mentawai mencerminkan kehidupan yang harmonis dengan

alam sekitar dan budaya mereka yang tradisional. Proses memasak makanan mereka

sering melibatkan teknik sederhana yang mempertahankan cita rasa alami bahan-

bahan, dan makanan ini menjadi simbol penting dari identitas dan keberlanjutan

budaya Mentawai. Makanan khas suku Mentawai memiliki karakteristik tersendiri

yang mencerminkan kehidupan dan budaya tradisional mereka yang sangat

tergantung pada sumber daya alam sekitar. Berikut adalah deskripsi beberapa

makanan khas Mentawai:

1. Kapurut sagu

Kapurut sagu seperti namanya merupakan olahan berbahan dasar sagu.

Kapurut dalam bahasa setempat berarti bungkus. Sagu yang digunakan dalam

kapurut sagu yaitu tepungnya yang sudah mengeras berwarna cokelat.

Pembuatan kapurut sagu terbilang sederhana. Tepung sagu terlebih dahulu

disaring supaya tidak menggumpal. Setelah itu tepung dibungkus daun sagu,

kemudian dibakar. Kapurut sagu yang sudah matang dikeluarkan dari

bungkusnya berupa batang-batang sagu siap disantap.

2. Anggau

Anggau merupakan sejenis kepiting yang ditemukan di Kepulauan

Mentawai. Biasanya masyarakat hanya merebus anggau lalu dicampur dengan

bumbu-bumbu seadanya. Kepiting jenis ini memiliki ciri-ciri bercangkang warna

ungu, badang hitam, kaki dan capit kemerahan. Anggau dipanen dalam dalam

satu kali biasanya pada bulan Agustus hingga September. Anggau diakui sangat

enak meski diolah dengan sangat sederhana.

3. Batra

41
Batra disebut-sebut sebagai kuliner ekstrem dari Mentawai karena berbahan

utama ulat sagu. Ulat sagu bisa dimakan langsung hidup-hidup atau diolah

sederhana seperti dibakar. Ulat sagu atau larva kumbang merah biasanya hidup

dalam batang sagu yang membusuk. Bentuknya gemuk-gemuk sebesar jempol

orang dewasa. Batra biasanya diolah lebih dahulu sebelum dikonsumsi. Bisa

dibakar, ditumis dengan bumbu, atau direbus lalu dikonsumsi bersama sagu.

4. Toek

Sama seperti batara, toek juga merupakan makanan ekstrem dari Mentawai

karena biasa dimakan dalam keadaan hidup-hidup hanya setelah mencucinya

dari kotoran kayu. Toek merupakan sejenis ulat yang berasal dari kayu tumung.

Biasanya masyarakat memanen toek di sungai-sungai. Bentuk toek panjang

dengan warna putih.

5. Subet

Subet merupakan makanan yang terbuat dari keladi, campuran kelapa, dan

pisang yang diberi bumbu seperti gula dan garam dan dibentuk bulat. Makanan

ini punya cita rasa manis alami sesuai dengan bahan yang digunakannya.

Makanan ini bisa disajikan dengan campuran kelapa parut ataupun keju.

6. Sihobuk

Sihobuk merupakan makanan khas Mentawai terbuat dari tepung sagu yang

dibungkus dalam bambu dan dibakar di atas bara api. Makanan ini enak dimakan

bersama dengan lauk berkuah. Sihobuk sering ada di acara pernikahan dan acara

keluarga.

7. Sala lauak

42
Makanan khas Suku Mentawai ini mirip dengan combro khas Jawa Barat.

Sala lauak punya bentuk bulat yang berisi teri atau udang halus. Sala lauak

memiliki tekstur yang renyah di luar dan lembut di dalam.

II.2.7 Tarian Tradisional Suku Mentawai

Kehidupan masyarakat Suku Mentawai selalu menjaga dan melaksanakan

tradisi-tradisi yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Di samping melakukan tato,

mereka juga melakukan muturuk. Muturuk merupakan tarian adat/ritual sesembahan

untuk nenek moyangnya yang dilakukan oleh seorang sikerei muda. Ritual muturuk

dilakukan dalam upacara-upacara adat (agama) seperti punen, puliaijat atau lia.

Dalam upacara adat, roh makhluk yang masih hidup maupaun sudah mati akan

diberikan sesaji yang banyak oleh anggota suku. Uma dihias, daging babi disajikan,

dan diadakan tarian muturuk (tarian) untuk menyenangkan mereka sehingga mereka

akan mengembalikan keharmonisan. Dengan menari dan berpesta, sikerei meminta

kepada roh-roh nenek moyangnya agar dijauhkan dari segala penyakit dan

menyanyikan mantra-mantra yang keluar dengan sendirinya dari mulutnya. Mantra

dan tarian merupakan media komunikasi sikerei dengan para leluhur. Roh-roh

leluhur itu dipercayai dapat menjaga dan melindungi kehidupan mereka.

Berdasarkan hasil analisis data, tarian adat suku Mentawai dikategorikan ke

dalam dua bagian, yaitu turuk sikerei dan turuk simata.

1. Turuk sikerei

Tarian yang khusus ditampilkan oleh Sikerei (tabib) dalam upacara atau

ritual adat dengan tujuan memanggil, mengibur, dan meminta kekuatan pada roh,

misalnya pada saat pengobatan dan upacara setelah kematian. Seorang penari

harus mengenakan pakaian dan hiasan lengkap agar roh-roh leluhur tertarik dan

43
mendekat. Selain itu, turuk sikerei juga ditujukan untuk menghibur jiwa

(simagere) orang yang sakit atau yang sedang dalam proses pengobatan agar

tidak meninggalkan tubuhnya. Turuk sikerei dalam ritual adat dapat pula

dikategorikan dalam dua jenis, yaitu turuk biasa yang artinya turuk yang

gerakannya meniru tingkah laku hewan di alam. Fungsi turuk biasa ini selain

menghibur semua yang hadir dalam upacara, juga untuk menarik perhatian roh

agar mendekat dan hadir dalam upacara tersebut. Kedua adalah turuk yang

khusus ditujukan untuk memanggil dan mengembalikan jiwa (simagere) ke

dalam tubuh anggota keluarga yang sakit. Turuk ini disebut “lajot simagere”,

berbeda dari turuk sikerei yang biasa. Gerakan dalam turuk lajo simagere hanya

berupa putaran berbentuk lingkaran dan hentakan kaki yang khas.

2. Turuk simata

Tarian yang dibawakan oleh orang awam atau yang bukan Sikerei. Tarian simata

pada umumnya ditampilkan pada saat pesta adat yang bersifat gembira, seperti

pesta perkawinan, rumah baru, sampan baru dan syukuran ketika mendapatkan

hasil buruan di hutan. Tujuan tari ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur,

gembira atau kebahagian. Selain mengungkapkan kegembiraan dengan muturuk

(menari), setiap anggota dapat mempererat keharmonisan hubungan mereka

dengan harus saling menyesuaikan gerakan satu sama lain. Gerakan yang

ditampilkan dalam tarian sikerei maupun simata, pada umumnya adalah gerakan-

gerakan yang meniru kehidupan sehari-hari binatang di hutan. Gerakan-gerakan

itu dikenal dengan istilah uliat. Melalui gerakan tangan dan badan para penari,

turuk tersebut menceritakan tentang tingkah laku, aktivitas-aktivitas hewan yang

ada di hutan.

44
II.2.8 Rumah Adat Suku Mentawai

Secara fisik, bangunan Uma berbentuk rumah panggung dengan ukuran yang

relatif besar dan memanjang ke belakang. Uma berfungsi sebagai rumah tempat

tinggal, tempat berkumpul dan bermusyawarah bagi seluruh anggota dalam suatu

keluarga luas (clan) berdasarkan keturunan ayah (patrilineal) yang disebut suku.

Uma juga digunakan untuk pelaksanaan pesta adat (punen) sehingga ukuran Uma

tersebut besar dan luas (Hernawati, 2007: 31). Selain itu juga, Uma dapat dikatakan

sebagai sebuah pola pemukiman tradisional Mentawai. Di sekitar sebuah Uma

didirikan rumah-rumah lain yang umumnya lebih kecil dan sederhana yang disebut

sapou atau lalep. Setiap sapou atau lalep dihuni oleh satu keluarga inti (kepala

keluarga) yang merupakan anggota Uma atau keluarga besar tersebut (Hernawati,

2007: 31). Oleh karena itu, Uma menjadi pusat kehidupan sosial, budaya, dan

ekonomi seluruh anggota Uma.

Ada beberapa rangkaian dalam membangun Uma, seperti menggelar upacara

atau persembahan serta ada pula keikei atau pantangan yang harus dijalankan. Bila

aturan dilanggar, pendiri Uma beserta anggotanya diyakini bisa menjadi korban.

Tahap awal membangun Uma, semua anggota, khususnya laki-laki, harus terlebih

dahulu menyiapkan tonggak yang merupakan sisa kayu yang sudah membusuk

namun keras. Kayu itu disebut uggla. Bisa dari bakau yang besar atau kayu-kayu

yang kuat. Untuk membusukkan kayu itu perlu waktu berbulan-bulan. Setelah semua

tonggak terkumpul, barulah tiang kerangka didirikan disusul dengan pemasangan

lantai.

Setelah itu, semua anggota suku mencari bahan atap yakni daun sagu. Sebelum

dipasang, daun tersebut dianyam sedemikian rupa terlebih dahulu. Kemudian

dilanjutkan memasang dinding dari bilah papan. Lalu, dibuat dua perapian, yang satu

45
terletak di bagian belakang masih di dalam Uma gunanya untuk memasak sagu dan

makanan lain sedangkan satu lagi di tengah yang disebut abu. Abu di tengah Uma

itu sebagai pelengkap ritual, misalkan tempat memanaskan gajeumak (gendang) atau

hal lain yang terkait ritual. Setelah itu dibuatlah semacam rak tempat menyimpan

perkakas yang ditaruh di bagian depan Uma seperti lulak, dan gajeuma. Lulak

merupakan tempat makanan yang terbuat dari kayu. Selanjutnya baru dipasang

kabitat berwarna hitam putih tepat di depan atas Uma. Kabitat mirip dengan tampah

beras yang terbuat dari bambu yang dianyam. Benda itu menyimbolkan bahwa Uma

milik suatu suku. Setelah kabitat selesai, dibuat bubbungan. Benda itu dibuat dari

daun duri sejenis rotan. Gunanya untuk menutup pertemuan atap. Daun tersebut

harus dipastikan kering sebelum dipasang. Lalu, dipasanglah sabbau atau alat untuk

menahan bubbungan agar tidak terbawa angin. Disusul dengan pemasangan seu atau

penutup atap bagian depan. Posisinya di depan Uma atau di bawah kabitat.

II.2.9 Upacara Pernikahan Suku Mentawai

Bagi mayoritas penduduk Desa pulau Siberut Kabupaten Mentawai, sebelum

memutuskan untuk menikah biasanya harus melalui tahapan yang menjadi pra syarat

bagi pasangan tersebut. Tahapan tersebut diantaranya adalah masa perkenalan atau

kemudian setelah masa ini dirasa cocok, maka mereka akan melalui tahapan berikut

yaitu meminang. Peminangan adalah kelanjutan dari masa perkenalan dan masa

berkencang. Selanjutnya, melaksakan pertunagan sebelum akhirnya mereka

memutuskan untuk melaksanakan pernikahan (Narwoko, 2009:25). Tujuan

perkawinan menurut hukum adat yang besifat kekerabatan adalah untuk

mempertahankan dan meneruskan keturunan garis kebapakan atau keibuan, untuk

kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat

46
budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan (H. Hilman

Hadikusuma, 1990).

Menurut (Hernawati, 2004) Alak toga (mas kawin) merupakan bentuk

penghargaan kepada keluarga perempuan dan tanda dalam ikatan perkawinan. Alak

toga (mas kawin) hanya diberikan oleh pihak laki-laki setelah serah terima

maka ini menandakan keluarga kedua belah pihak telah terikat satu dengan yang

lain. Alak toga (mas kawin) itu dipenuhi harus oleh ama (wali dari calon pegantin

perempuan) yang menjadi ama ini adalah orang tua kandung, saudara laki-laki

dan baja (saudara laki-laki dari ayah baik itu yang lebih tua atau yang lebih muda).

Alak toga (mas kawin) merupakan benda seperti kuali besar bergantungan yang

berjejer rapi sebagai hiasan dinding yang dikoleksi dirumah (uma). Kuali itu adalah

alak toga atau mas kawin dari pihak laki-laki untuk keluarga perempuan.

Penerapan Tradisi Alak Toga pada proses pelamaran, ketika seorang gadis dan

pemuda telah sepakat untuk menikah maka keluarga si pemuda memberikan tanda

pertunangan (alaket). Pemberian alaket ini dilakukan oleh ibu si pemuda yang

datang kerumah gadis, bentuk alaket ini berupa kain panjang atau perhiasan manik-

manik. Dengan diterimanya alaket ini berarti sang gadis tidak bisa lagi untuk

menerima lamaran dari orang lain. Jika terjadi hal yang demikian (sang gadis

memutuskan pertunangan) berarti alaket itu harus dikembalikan. Tetapi apabila si

pemuda yang memutuskan pertunangan maka alaket itu tetap milik si gadis.

Pada hari yang telah ditentukan bersama maka diadakan acara pasoga, yaitu:

keluarga pemuda datang menjemput gadis yang akan dijadikan calon istrinya.

Mereka datang dengan membawa katusuru berupa barang-barang seperti kuali,

periuk, parang, dan kelambu. Diacara ini juga dibahas mas kawin (alak toga) yang

diminta oleh keluarga perempuan. Alak toga hanya diberikan oleh pihak laki-laki,

47
sedangkan balasan yang diberikan oleh pihak perempuan disebut dengan punualaket.

Setelah serah terima maka ini menandakan keluarga kedua belah pihak telah terikat

satu dengan yang lain.

Setelah ada kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai alak toga yang akan

diberikan maka tahapan selanjutnya adalah keluarga perempuan datang ke rumah

pemuda untuk mengambil mas kawin (pasialak alak toga) yang telah disetujui tadi.

Lalu mereka pergi ketempat tanaman-tanaman yang dijadikan sebagai alak toga.

Barulah setelah semua itu selesai maka diadakan persiapan untuk pesta. Pihak laki-

laki mengumpulkan babi, ayam dan kayu bakar, sedangkan pihak perempuan

mengumpulkan bambu, pisang, keladi dan kelapa.

Makna benda-benda dari tradisi alak toga sebagai berikut:

1. Kuali

Bermakna bahwa pernikahan akan diberkahi selamanya, siap menjalani hidup

yang penuh tentangan dan akan baik di masa depan dan juga akan mendapatkan

keberuntungan hidup yang akan datang.

2. Periuk

Bermakna dapat terlindungi dari hal yang buruk dalam bekeluarga, dan dapat

menjaga keharmonisan rumah tangga, dapat terhindar dari malapetaka.

3. Parang

Bermakna dapat memecahkan masalah diberbagai kehidupan yang akan dialami

oleh pasangan suami istri, dan dapat memudahkan kehidupan yang akan

mendatang.

4. Kelambu

Bermakna dapat melindungi kehidupan bekeluarga nantinya seperti hal-hal yang

tidak diinginkan dan juga akan menjaga keharmonisan rumah tangga.

48
Pada masyarakat Mentawai, menjunjung tinggi adat istiadat yang berarti segala

sesuatu yang menyangkut hal yang paling peka dalam diri masyarakat Mentawai,

seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus

dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata. Apabila seseorang melakukan

kesalahan atau melanggar norma adat akan dikenakan hukuman, sanksi atau denda

yang disebut tulou. Ada beberapa macam denda adat yang dikenakan pada

masyarakat dan ini terkait pada tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang dan

pemutusan denda adat dilakukan oleh rimata (pemimpin kelompok kerabat/klan).

Alat untuk membayar tulou biasanya meliputi beberapa macam benda material yang

mereka miliki. Cara tradisional dalam penyelesaian sengketa itu difokuskan pada

pembayaran denda oleh si terdakwa itu sendiri atau oleh sanak saudaranya. Ukuran

dari dendaan itu ditentukan setelah melakukan perundingan-perundingan di antara

kedua belah pihak.

Di Mentawai, ada beberapa jenis tulou. Ini dapat diterapkan pada seseorang yang

berperilaku salah di masyarakat. Pelecehan seksual dan serangan kejam dapat

dikategorikan sebagai pelanggaran sosial yang serius. Pada masa lalu, seseorang

akan diminta untuk menyerahkan sebidang tanah sebagai pembayaran untuk

kesalahan semacam ini. Dua jenis kesalahan serius adalah tulou pakaila (pelecehan

seksual) dan tulou kisi (penyerangan). Selain itu terdapat dua jenis tulou lain

berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan, yaitu, tulou uruat atau dendaan

kepala, yaitu tulou yang diberlakukan pada seseorang karena telah melakukan

pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain.

Pemberian tulou atau denda adat bertujuan untuk mengatur hidup masyarakat

agar berjalan aman dan tidak terjadi pelanggaran hukum. Tulou memiliki sisi baik

dan buruknya. Sisi positifnya, tulou dapat mengatur hajat hidup orang banyak,

49
terutama agar orang tidak berbuat semena-mena yang melanggar hukum adat di

Mentawai. Sisi negatifnya, terlalu banyak jumlah denda yang dipatokkan sehingga

perekonomian orang yang dikenai tulou melemah drastis. Ada kesan bahwa tulou

sebagai sarana untuk memperkaya diri oleh salah satu pihak yang bersengketa.

II.2.10 Baju Adat Suku Mentawai

Beberapa suku tradisional di Indonesia sampai saat ini masih mempertahankan

penggunaan kabit kulit kayu sebagai pakaian, antara lain Suku Donggala, Suku

Dayak dan Suku Mentawai (Melalatoa, 1995: 547). Kabit adalah sebutan Suku

Mentawai untuk pakaian laki-laki berupa cawat yang terbuat dari kulit kayu. Pada

masa lalu, kabit selalu dipakai oleh kaum laki-laki dalam suasana apapun, tapi akhir-

akhir ini hanya laki-laki yang berprofesi sebagai sikerei yang masih memakai kabit

sebagai pakaian. Orang Mentawai di luar sikerei, berpakaian celana pendek atau

kaos untuk pakaian sehari-hari, dan akan memakai kabit dari kulit kayu apabila

mereka hendak berburu di hutan atau mencari ikan di sungai. Cara mengenakan

kabit, diselempangkan menutupi kelamin, dan ditalikan di bagian pinggang.

Penggunaan kabit tidak disertai dengan atasan seperti t-shirt. Bila seseorang

memakai kabit, maka bagian tubuh lainnya dibiarkan telanjang, menampakkan

hiasan tato (rajah).

Pakaian asli untuk kaum wanita Mentawai berupa rok, sementara tubuh bagian

atas dibiarkan telanjang. Wanita dewasa menggunakan rok yang dibuat dari daun-

daunan (kaliu) kelapa, sementara para gadis memakai rok yang terbuat dari daun

pisang. Daun-daunan tersebut dirangkai menjadi satu dengan hiasan berbagai bunga.

Saat ini sebagian besar kaum wanita Mentawai telah menggunakan rok dari kain,

50
kecuali sebagian kecil penduduk yang tinggal di pedalaman yang masih

mempertahankan pakaian dari daun-daunan.

Meski tidak sepopuler jaman dulu, namun kabit masih digunakan penduduk

Mentawai sampai saat ini. Kabit dianggap efisien karena bisa langsung diperoleh

dari alam tanpa harus membeli dan nyaman digunakan untuk berburu atau mencari

ikan. Kabit untuk sikerei berbeda dengan kabit untuk orang biasa, karena diberi

pewarna dari getah kulit bakao sehingga berwarna merah, sementara kabit untuk

orang biasa tidak diberi warna. Selain digunakan untuk keperluan praktis, kabit juga

memiliki fungsi sosial. Kebanyakan anak muda Mentawai sudah tidak mau lagi

memakai kabit, mereka beralasan malu jika mengenakan kabit, karena nampak

seperti orang telanjang.

Proses pembuatan kabit dari kulit kayu merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

kaum laki-laki dalam masyarakat ini. Mereka membuat kabit hanya berdasarkan

kebutuhan pribadi, dan tidak untuk dijual. Proses ini memakan waktu antara 3-4 jam

dan dilakukan secara perorangan atau bersama-sama. Pembuatan kabit dimulai

dengan mencari kayu yang memiliki kulit bagus, seperti baikkoo (pohon karet),

pohon beringin, bea, dan sukun. Pohon yang dipilih harus lurus tanpa ranting,

berpenampang bulat dengan diameter ideal 50-100 cm, dan tinggi sekitar 3 meter.

Setelah mendapatkan pohon yang sesuai, langkah pertama adalah menebangnya

menggunakan parang dan membersihkan ranting-ranting. Batang pohon kemudian

dibawa pulang, karena proses selanjutnya harus dilakukan di sekitar rumah atau

uma. Batang pohon digores memanjang, dan kulit kayunya dilepaskan dengan

parang. Setelah menjadi lembaran sekitar 50 cm, kulit kayu dibersihkan dari kulit

luar. Lapisan pertama kulit kayu dibuang, dan yang digunakan sebagai bahan utama

kain adalah kulit kayu lapisan kedua (bagian dalam).

51
Proses selanjutnya melibatkan pemukulan kulit kayu dengan alat pemukul kayu

yang disebut panasalat (pasinongnongan). Panasalat terbuat dari kayupaula dan

memiliki pahatan-pahatan bergelombang yang dipukulkan ke kulit kayu. Ini

dilakukan berulang-ulang sampai kulit kayu mencapai lebar dan ketipisan yang

diinginkan. Sesekali, kulit kayu yang telah elastis direnggangkan dengan tangan

sebelum digulung kembali dan dipukul lagi dengan panasalat. Setelah mencapai

ketipisan dan kelebaran yang diinginkan, kulit kayu direndam untuk mengurangi

getahnya.

Proses terakhir melibatkan pencucian kulit kayu dalam sungai yang airnya

mengalir sampai benar-benar bersih dari getah. Kemudian, bahan kabit dikeringkan

dengan sinar matahari (dijemur). Setelah kering, kabit siap untuk digunakan.

Keseluruhan proses ini menunjukkan keterampilan dan keahlian kaum laki-laki

dalam memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari.

II.2.11 Adat Istiadat Suku Mentawai

Pada masyarakat Mentawai, menjunjung tinggi adat istiadat yang berarti segala

sesuatu yang menyangkut hal yang paling peka dalam diri masyarakat Mentawai,

seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus

dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata. Apabila seseorang melakukan

kesalahan atau melanggar norma adat akan dikenakan hukuman, sanksi atau denda

yang disebut tulou. Pemutusan denda adat dilakukan oleh rimata (pemimpin

kelompok kerabat/klan). Alat untuk membayar tulou biasanya meliputi beberapa

macam benda material yang mereka miliki. Cara tradisional dalam penyelesaian

sengketa itu difokuskan pada pembayaran denda oleh si terdakwa itu sendiri atau

52
oleh sanak saudaranya. Ukuran dari dendaan itu ditentukan setelah melakukan

perundingan-perundingan di antara kedua belah pihak.

Di Mentawai, ada beberapa jenis tulou. Ini dapat diterapkan pada seseorang yang

berperilaku salah di masyarakat. Pelecehan seksual dan serangan kejam dapat

dikategorikan sebagai pelanggaran sosial yang serius. Pada masa lalu, seseorang

akan diminta untuk menyerahkan sebidang tanah sebagai pembayaran untuk

kesalahan semacam ini. Secara umum terdapat dua jenis tulou berdasarkan jenis

pelanggaran yang dilakukan.

1. Tulou uruat atau dendaan kepala, yaitu tulou yang diberlakukan pada seseorang

karena telah melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain.

Tindakan pembunuhan tergolong pada kesalahan yang dinilai paling berat dalam

masyarakat.

2. Tulou patukuogat, yaitu jenis tulou dikenakan pada seseorang yang melakukan

penyelewengan seks, pencurian dan penghinaan terhadap orang lain. Walaupun

tidak seberat kesalahan pembunuhan, namun perbuatan penyelewengan dapat

membuat sebuah uma pecah dan kalau tidak diselesaikan secara adil oleh rimata

dapat menimbulkan permusuhan yang berkepanjangan.

Pemberian tulou atau denda adat bertujuan untuk mengatur hidup masyarakat

agar berjalan aman dan tidak terjadi pelanggaran hukum. Tulou memiliki sisi baik dan

buruknya. Sisi positifnya, tulou dapat mengatur hajat hidup orang banyak, terutama

agar orang tidak berbuat semena-mena yang melanggar hukum adat di Mentawai. Sisi

negatifnya, terlalu banyak jumlah denda yang dipatokkan sehingga perekonomian

orang yang dikenai tulou melemah drastis. Ada kesan bahwa tulou sebagai sarana

untuk memperkaya diri oleh salah satu pihak yang bersengketa.

53
II.2.12 Upacara Adat Suku Mentawai

Suku Mentawai melakukan beberapa upacara adat, antara lain:

1. Upacara Punen Uma

Upacara punen uma atau upacara pesta rumah adalah upacara yang dilakukan

ketika pembuatan uma telah diselesaikan. Upacara tersebut biasanya dipimpin

oleh kepala klan yang dalam istilah lokalnya disebut dengan kepala Etnik.

Upacara ini merupakan kebiasaan dari penganut arat sabulungan yang dilakukan

sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta dan juga roh-roh nenek

moyang mereka. Dalam upacara atau punen uma ini semua anggota Etnik

berkumpul di dalam uma baru tersebut.

Dalam pelaksanaan punen bisa dikatakan hampir selalu tidak terlepas dari 2

binatang babi (saina’) dan juga ayam (gogouk) sebagai alat ritus yang bisa

dibilang pokok. Sebagai wujud syukur kepada roh-roh baik yang sudah

membantu dan melindungi mereka, maka mereka juga akan mengundang roh-roh

tersebut dalam punen tersebut. Roh-roh tersebut diantaranya adalah roh teteu ma

simalose, Pagetasabau dan juga ukkui.

2. Ritual Panangga

Ritual panangga merupakan ritual yang dilakukan pada saat pembukaan lahan

milik warga atau Etnik agar dalam pembukaan lahan ladang baru tersebut tidak

diganggu oleh roh nenek moyang dan harapannya dari lahan tersebut diberikan

banyak rezeki berupa panen yang melimpah dari tanaman yang ada di lahan

tersebut seperti halnya buah-buahan.

BAB III

PENUTUP

54
III.1 Kesimpulan

Kedua masyarakat, Nias dan Mentawai, menunjukkan keanekaragaman budaya

yang kaya dan unik. Baik Nias maupun Mentawai memiliki tradisi, adat istiadat, seni,

dan ritus yang membentuk identitas budaya mereka sendiri. Meskipun kedua

masyarakat ini telah mengalami berbagai perubahan sosial, ekonomi, dan politik,

mereka tetap memiliki ketahanan budaya. Nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal

tetap menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari mereka.

Kedua budaya memiliki peran yang signifikan dalam menjaga keharmonisan

dengan alam dan lingkungan sekitar melalui ritual dan upacara. Hal ini mencerminkan

kedalaman spiritual dan kepercayaan yang melekat pada kebudayaan mereka.

Meskipun memiliki ketahanan budaya, keduanya dihadapkan pada tantangan

modernisasi dan globalisasi. Perubahan ekonomi, migrasi, dan pengaruh luar dapat

mengancam keberlanjutan dan kelestarian budaya tradisional.

Sementara terdapat persamaan dalam hal pelestarian budaya, terdapat juga

perbedaan yang signifikan antara kebudayaan Nias dan Mentawai. Perbedaan ini

mencakup aspek-aspek seperti bahasa, seni, dan tatanan sosial. Dengan memahami

dan menghargai keberagaman budaya serta mengambil langkah-langkah konkrit untuk

melindungi dan memelihara warisan budaya, diharapkan kebudayaan Nias dan

Mentawai dapat terus berkembang dalam harmoni dengan perubahan zaman.

55
DAFTAR PUSTAKA

Arisafitri, N., & Izzuddin, A. (2021). Sistem Penanggalan Suku Nias Perspektif Ilmu Falak

dan Astronomi. Al-Afaq: Jurnal Ilmu Falak Dan Astronomi, 3(2), 143-170.

Handini, R. (2007). Tradisi Pembiatan Kabit dari Kulit Kayu Pada Suku Mentawai, Sumatera

Barat. AMERTA, 25(1), 39-47.

Laia, F. (2019). Alat musik tradisional Nias. Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh, Direktorat

Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nur, M. (2019). Sikerei Dalam Cerita: Penelusuran Identitas Budaya Mentawai Sikerei In

The Story: Tracing Mentawai Cultural Identity. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 89-

102.

Rumbiati, A. R., & Putra, Y. Y. (2017). Konsep diri pada masyarakat mentawai yang

memakai tato. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi Universitas Negeri Padang), 6(2),

114-125.

Saparuddin, S. (2022). Turuk Uliat Bilou: Tarian Ritual Masyarakat Rogdog Pulau Siberut

Kabupaten Kepulauan Mentawai. Bercadik: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni,

5(2), 145-158.

Sari, I. P., Yuhelna, Y., & Yatim, Y. MAKNA ALAK TOGA DALAM TRADISI LAMARAN

PADA MASYARAKAT NON MUSLIM DI DESA SIGAPOKNA KEC. SIBERUT

BARAT KAB. KEPULAUAN MENTAWAI. Puteri Hijau: Jurnal Pendidikan

Sejarah, 8(2), 227-231.

56
Sihite, A. C., Manik, H., Manao, M. M., Tambunan, H., & Sitepu, S. (2022). Etnomatematika:

Eksplorasi Rumah Adat Omo Hada Nias Utara Pada Konsep Geometri. SEPREN:

Journal of Mathematics Education and Applied, 4(01), 46-55.

Sudarno, R. C. (2017, May). Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Yang Terkandung Dalam Tarian

Adat Suku Mentawai. In Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran dan Pendidikan

Dasar 2017 (pp. 1081-1089).

Tatubeket, R. M., Agustina, A., & Efi, A. (2019). Peran Musik Tuddukat Dalam Ritual Arat

Sabulungan Di Kabupaten Mentawai. Jurnal Sosiologi Agama, 13(1), 75-105.

Ulita, N. (2017). Kajian Visual Warna Pada Kesenian Muturuk Mentawai. Narada, 4(3), 259-

273.

Yuniarto, P. R. (2021). Nilai Budaya dan Identitas Kolektif Orang Suku Mentawai dalam

Paruruk, Tulou, dan Punen. Masyarakat Indonesia, 47(2), 129-146.

Zai, A. C. K., & Daulay, M. A. J. MAKANAN ETNIS NIAS: KAJIAN LINGUISTIK

KULINER. JURNAL SASTRA INDONESIA (SASINDO), 12(1), 91-105.

57

Anda mungkin juga menyukai