Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MANDIRI PRA-UTS

ANALISIS SUKU BANGSA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-


HARI

DOSEN PENGAMPU : IIS SURYANI

Disusun oleh :
Nazela Safrina Shaalihah
1503213164
PR-45-04

PRODI S1 DIGITAL PUBLIC RELATIONS


FAKULTAS KOMUNIKASI DAN BISNIS
TELKOM UNIVERISTY
2021
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... 3
BAB I .............................................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ...................................................................................................................................... 4
B. Tujuan Pembahasan Karya Tulis ........................................................................................................... 5
BAB II ............................................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................................... 6
Etnis Ayah dan Ibu .................................................................................................................................... 6
Adat, Tata Krama, dan Bahasa di Lingkungan Jawa Tengah ................................................................... 10
Dampak Perubahan Globalisasi pada Adat Jawa Tengah ....................................................................... 17
BAB III .......................................................................................................................................................... 20
PENUTUP ..................................................................................................................................................... 20
Kesimpulan.............................................................................................................................................. 20
KATA PENGANTAR

Mari kita panjatkan puji dan syukur kepada yang maha Esa, Allah SWT. Atas ridho dan
karuniaNya saya bisa menyelesaikan tugas pra-uts ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari
karya tulis ini yaitu “Analisis suku bangsa di kehidupan sehari-hari”.

Adapun tujuan dalam pembuatan karya tulis ini yaitu untuk memenuhi tugas pra-uts yang
diberikan oleh Yang Terhormat Ibu Iis Suryani selaku dosen dari Mata Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan, Fakultas komunikasi dan bisnis, Telkom University. Selain itu, karya tulis
ilmiah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang keberagaman etnis yang ada di
Indonesia bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Iis Suryani selaku Dosen
Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan penulis.

Saya jauh dari kata sempurna, maka dari itu saya menerima kritik dan saran atas pembuatan
karya tulis ini. Saya mohon maaf sebesar-besarnya apabila ada kesalahan penulisan dalam tugas
ini. Saya juga berharap dari tugas ini, segala macam kekurangan akan saya perbaiki dan semoga
tugas ini bisa bermanfaat bagi saya maupun yang lain dalam jangka waktu yang panjang.

Wonosobo, 2 November 2021

Nazela Safrina Shaalihah


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki pulau terbanyak di dunia dengan 17.508 pulau dan
lebih dari 360 suku yang ada tersebar dari Sabang sampai Merauke. Hal ini merupakan anugerah
yang Tuhan Maha Kuasa berikan untuk negara Indonesia. Dengan demikian, Indonesia memiliki
beraneka ragam kebudayaan yang multikultural. Setiap individu pasti mempunyai karakter dan
berasal dari suatu suku bangsa dan etnis seperti halnya klasifikasi mahkluk hidup manusia
memiliki beragam kelas, ordo, familia, genus maupun spesies. Akan tetapi dalam Ilmu Sosiologi
itu semua dikenal dengan ras, etnis serta suku bangsa.

Setiap etnis atau suku tentu memiliki perbedaan dan ciri khasnya masing-masing. Perbedaan
tersebut tercipta dari perbedaan geografis yang ada di Indonesia, sumber daya yang dimiliki serta
kepercayaan yang dianut oleh warga masyarakat setempat. Apabila diperhatikan, nilai-nilai
tradisional yang sudah ada dari zaman dahulu masih sangat bisa dan pantas untuk menjadi landasan
untuk perilaku dan sifat pada saat ini. Peranan-peranan masyarakat di dalam Suku Jawa juga
menjadi faktor dari keutuhan nilai-nilai budaya tradisional.

Di era globalisasi ini, sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan mengaplikasikan nilai-nilai
dan norma budaya dalam memfiltrasi arus globalisasi budaya yang terjadi. Untuk lebih memahami
cara mengaplikasikan nilai dan norma alangkah baiknya melalui tahapan mengenal diri sendiri,
etnis dan suku bangsa. Hal ini dilakukan dengan harapan kita dapat mengetahui secara utuh tentang
budaya yang sudah diturunkan kepada kita secara turun-menurun serta peran dan status yang
diemban dapat menjadi pribadi yang baik dalam melihat suatu streotip setiap suku atau etnis yang
ada di Indonesia.
Tujuan Pembahasan Karya Tulis

1. Menganalisis dan memaparkan pengalaman serta gaya hidup di wilayah Wonosobo, Jawa
Tengah dengan Adat Jawa berdasarkan pengalaman pribadi penulis.

2. Memberikan gambaran terhadap pembaca tentang lingkungan hidup, adat istiadat, seni-
seni, dan pengaruh globalisasi terhadap kebudayaan di Jawa Tengah.

3. Untuk Memenuhi kebutuhan Tugas Pra-UTS Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.


BAB II

PEMBAHASAN

Etnis Ayah dan Ibu

Berbicara mengenai keberagaman etnis atau ras dan budaya di Indonesia yang sangat beragam
dalam kehidupan sehari-hari, banyak pengalaman sekaligus pelajaran yang bisa saya ambil.
Sebagai seorang anak yang lahir dari ayah yang memiliki etnis Jawa dan Minang serta ibu yang
memiliki etnis Sunda banyak perbedaan dan juga persamaan dari kedua etnis yang bisa saya amati
dan pelajari serta menambah wawasan baru.

Saya memiliki seorang ayah yang lahir di Padang, Sumatera Barat. Namun, Beliau besar dan
tumbuh di Jawa tepatnya di Wonosobo, Jawa Tengah. Selain karena besar dan tumbuh di Jawa,
ayah Beliau juga merupakan orang suku asli dari Jawa. Meskipun begitu, adat Minangkabau tetap
melekat pada keluarga Beliau. Minang atau Minangkabau adalah kelompok etnis Nusantara yang
berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka
masakannya. Dengan cita rasanya yang pedas, membuat masakan ini populer di kalangan
masyarakat Indonesia, sehingga dapat ditemukan di hampir seluruh Nusantara. Seringkali saat ada
perayaan seperti lebaran Idul Fitri juga lebaran Idul Adha, masakan ala suku Minang selalu
dihidangkan. Masakan yang selalu hadir dihidangkan dalam acara yaitu rendang. Kita akui bahwa
rendang sudah sangat popular di kalangan masyarakat Indonesia bahkan hingga ke dunia. Rendang
juga termasuk kedalam makanan terlezat di dunia. Ada juga dendeng balado yang khas dengan
rasa pedasnya. Selain itu ada juga sate padang yang khas akan bumbunya yang kental karena
terbuat dari berbagai rempah yang dicampur dengan kaldu ayam. Sate padang adalah salah satu
makanan favorit di keluarga kami. Makanan terakhir yang wajib ada di setiap acara keluarga yaitu
ayam pop. Ayam pop yang diolah dari ayam kampung dan rasanya gurih serta tidak pedas sehingga
dapat dimakan oleh berbagai kalangan mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Selain makanan
khas adat Minang, beberapa kali keluarga saya juga sering menggunakan pernikahan adat Minang.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa
tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai
(menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan
muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), kemudian dilanjutkan dengan
pernikahan secara Islam yang biasa keluarga kami lakukan di masjid, sebelum kedua pengantin
bersanding di pelaminan. Pada nagari setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi,
mempelai pria akan diberikan gelar sebagai panggilan pengganti nama kecilnya. Selain itu,
pakaian perkawinan adat Minang cukup unik. Baju dari pengantin wanita dinamakan Baju batabue.
Baju batabue adalah pakaian adat Minangkabau baju kurung dengan taburan benang emas. Pernak-
pernik sulaman dari benang emas ini menyimbolkan kekayaan dari tanah Sumatera Barat yang
sangat melimpah. Ada juga Tingkuluak yang menjadi ciri khas yang paling menonjol dari pakaian
adat Minang. Sekilas memang bentuk penutup kepala ini menyerupai segitiga yang sangat lancip.
Yang menjadi ciri khas dari pakaian adat Minangkabau lainnya adalah selempang. Jenis selempang
ini merupakan sebuah selendang yang terbuat dari songket. Biasanya selempang akan dikenakan
pada bagian pundak yang memiliki makna bahwa wanita harus lebih waspada pada segala kondisi
dan memiliki welas asih kepada anak dan cucu. Untuk pengantin pria menggunakan Sarawa.
Sarawa merupakan celana yang menjadi pakaian bawahan untuk pria Minangkabau. Celana ini
berwarna hitam dengan ukuran yang besar pada bagian paha dan betis. Dengan ukuran yang besar
ini melambangkan jiwa besar seorang pemimpin dalam mengambil keputusan dan melaksanakan
tugasnya. Selain itu, pria Minangkabau juga memiliki Deta sebagai penutup kepala. Deta adalah
sebuah kain hitam yang dililitkan pada bagian kepala hingga membentuk beberapa kerutan. Dari
kerutan-kerutan ini memiliki makna bahwa pria akan mempertimbangkan sebagala hal dengan
bijak dengan mempertimbangkan baik dan buruknya pada setiap keputusan.

Selain adat Minangkabau yang melekat erat di keluarga, adat Jawa khususnya Jawa Tengah juga
memiliki khas tersendiri di keluarga saya. Ayah dari ayah saya atau kakek saya, Beliau merupakan
orang asli Kebumen, Jawa Tengah. Maka dari itu, adat Jawa masih kental di keluarga saya
khususnya keluarga dari ayah. Budaya-budaya Jawa yang kuno hingga modern masih dianut di
keluarga. Seperti contoh mulai dari adat penikahan, tujuh bulanan ketika hamil sampai adat-adat
lainnya yang akan saya jelaskan di bab dua sesuai dengan tempat tinggal saya yaitu di Jawa.

Disisi lain, berbicara mengenai etnis dari ibu yang bersuku Sunda asli, banyak kebudayaan dan
juga tradisi yang keluarga saya anut terlebih khusus di dalam keluarga ibu. Suku Sunda dikenal
dengan sosok yang ramah murah senyum di kalangan masyarakat. Bahasa yang khas atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Bahasa Sunda ini juga diterapkan dalam keluarga ibu saya yang
bertempat tinggal di Bandung. Ibu saya yang sedari kecil dan besar di Bandung serta memiliki
orang tua bersuku asli Sunda menjadikan adat Sunda cukup melekat didalam keluarga. Di
lingkungan Sunda ada ungkapan ciri sabumi ciri sadesa. Ungkapan ini memiliki arti bahwa di
setiap lingkungan ada ciri dan tata cara tersendiri yang mempengaruhi tindak tanduk para
penghuninya. Jika ungkapan ini dikaitkan dengan bidang etika, dapat dikatakan bahwa pada orang
Sunda pun ada kesadaran bahwa di setiap lingkungan budaya tak terkecuali lingkungan budaya
Sunda, tentu ada nilai-nilai etis yang diterima oleh para penghuni lingkungan tersebut. Nilai-nilai
etika Sunda ini bisa menjadi acuan kebiasaan-kebiasaan bagi masyarakat Sunda secara umum.
Seperti contoh, orang Sunda dikenal dengan logat berbicaranya yang khas dengan logat yang
mendayu seperti ada nada yang bergelombang. Dari logat bicaranya saja sudah bisa dikenali kalau
mereka orang Sunda. Memiliki selera humor yang tinggi dan juga lucu menjadikan situasi serius
masih bisa bercanda merupan ciri khas lain dari orang Sunda. Ciri khas yang cukup menonjol dari
suku Sunda yaitu pelafalan huruf F yang sering dibaca P. Konon ternyata ada penjelasan ilmiah
mengapa orang Sunda mengucap bacaan huruf F atau V menjadi P karena huruf tersebut memang
tidak dikenal dalam aksara Sunda pada zaman dahulu. Hal ini mungkin turun menurun menjadi
kebiasaan orang Sunda. Orang Sunda juga memiliki nama yang unik seperti Maman, Asep, Cecep,
Dede, Elis dan lain-lain. Hal ini juga terjadi kepada keluarga saya. Om dan tante saya memiliki
nama yang khas sunda yaitu Asep dan Lilis. Kolot baheula di masyarakat Sunda sering memberi
nama anak dengan awalan Asep yang konon katanya berasal dari kata “Kasep” artinya “ganteng”
dengan ekspektasi agar anaknya menjadi orang yang ganteng dan banyak digandrungi, walaupun
pada realitanya ada yang berlawanan. Selain itu juga, masyarakat suku Sunda terkenal akan orang
yang pandai membuat akronim yang mudah diingat orang seperti makanan Cilok yang berarti Aci
Dicolok, ada juga Cireng yang berarti Aci Digoreng, Combro yang artinya Oncom Dijero dan lain
sebagainya. Meskipun kadang terdengar cukup aneh tapi kebiasaan orang Sunda ini sukses
membuat jajanan kuliner ala Sunda viral hingga kota-kota lain di seluruh Indonesia. Hal lain yang
menjadi ciri khas suku Sunda yaitu orang-orangnya yang cantik dan ganteng. Tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa tatar Sunda terkenal dengan wanita-wanitanya yang cantik dan pria-pria
yang ganteng. Dalam sebuah lagu yang cukup terkenal misalnya ada istilah Mojang Priangan yang
menggambarkan kecantikan wanita-wanita Sunda. Cerita menarik dibalik orang Sunda yang cantik
dan ganteng juga dialami keluarga saya. Saya yang merantau tinggal di Jawa cukup menarik
perhatian karena katanya memiliki paras yang cantik khas wanita Sunda sehingga sering dipanggil
sebagai “Neng Geulis Bandung” di sekolah saya di Jawa. Hal ini juga dialami adek saya yang
diperlakukan serupa di sekolahnya yaitu dibilang “Ganteng banget, pantesan orang Sunda sih”.
Berbicara mengenai merantau, konon mayoritas orang Sunda tidak suka merantau. Kebiasaan
orang Sunda ingin mengabdi untuk daerahnya. Pada daerah Bandung misalnya, di sana merupakan
ladang untuk berdagang karena Bandung juga dikenal sebagai kota tujuan wisata. Seiring
perkembangan zaman, banyak juga ditemui orang Sunda di perantauan terkhusus untuk tujuan
pendidikan ataupun pekerjaan seperti orang Sunda merantau ke luar daerah. Hal inilah yang
dialami saya sekeluarga. Saya yang lahir di Bandung dan tinggal di Bandung mengharuskan kami
sekeluarga pindah karena tuntutan pekerjaan. Meskipun begitu, pindah ke daerah Jawa tak
dijadikan beban oleh keluarga kami. Disini, kami juga menemukan sesama orang Sunda di
perantauan. Kami saling akrab dan juga berbicara menggunakan logat Sunda dan menganggap
mereka sebagai dulur. Meskipun sebelumnya tak saling kenal. Hal itu timbul karena adanya
perasaan senasib dan seperjuangan dari daerah yang sama. Hal itu menjadi contoh untuk tetap
menjaga kekeluargaan dimanapun berada. Itu juga termasuk kedalam ciri khas orang Sunda yaitu
menganggap saudara jika bertemu sesama Sunda di perantauan. Disisi lain, berbicara mengenai
makanan khas ataupu tradisi makanan, orang Sunda juga memiliki kekhasannya tersendiri. Pada
tradisi makan berjamaah khas orang Sunda, orang Sunda memiliki kebiasan makan berjamaah
dengan banyak orang, teman, maupun saudara. Biasanya mereka makan bersama-sama dan nasi
diletakkan di atas daun pisang yang dilebarkan bersama lauk-pauknya. Ada beberapa istilah untuk
makan berjamaah orang Sunda ini, antara lain bancakan, botram, dan papahare. Bancakan artinya
kegiatan menyantap makanan secara berjamaah yang makanannya itu diletakkan di atas wadah
berupa nyiru. Nasi dihidangkan dengan beberapa lauk pendamping seperti lalapan, urap, sambal,
tahu, tempe, ayam, dan lain-lain. Kebiasaan ini dilakukan dalam rangka selamatan seperti
tasyakuran ulang tahun. Botram, kegiatan makan nasi berjamaah secara lesehan dengan alas daun
pisang dilengkapi lauk pauk mirip bancakan, hanya saja tempatnya lebih fleksibel bisa di
sembarang tempat. Papahare juga hampir sama dengan botram, kegiatan makan berjamaah di satu
tempat yang direncanakan (bukan di restoran), dan setiap orang membawa makanan sendiri-diri
dari rumah kemudian bisa disantap dan saling bertukar lauk dengan yang lain dan alat makannya
tidak harus memakai daun pisang, bisa menggunakan piring. Jika tadi tradisi makannya, sekarang
saya bahas makanannya. Salah satu santapan yang wajib dalam makanan orang Sunda yaitu
lalapan dan sambal. Selain itu, petai dan jengkol juga menambah selera makan orang Sunda. Tidak
semuanya menyukai petai dan jengkol, namun kebanyakan orang Sunda menggemarinya. Hal ini
juga terjadi kepada saya dan Ibu saya. Kami tidak bisa makan apabila tidak ada lalapan dan sambal,
rasanya kurang nikmat jika makan tidak ada lalapan dan sambal. Bahkan kebiasaan ini sudah
terjadi sejak saya kecil. Jujur dapat dikatakan bahwa saya adalah orang yang tidak bisa makan jika
makanan tersebut tidak ada sambal atau tidak pedas (dalam konteks nasi dan lauk). Saya memilih
tidak makan jika tidak ada sambal. Walaupun saya sudah sering keluar masuk rumah sakit karena
penyakit maag yang terlalu banyak makan-makanan pedas dan lainnya, hal itu tetap tidak
menghalangi saya untuk berhenti makan pedas. Hal ini bisa dikatakan karena saya sudah
kecanduan makanan pedas sedari kecil hingga terbawa ketika sudah dewasa.

Adat, Tata Krama, dan Bahasa di Lingkungan Jawa Tengah

Kali ini, saya sebagai penulis akan membahas suku Jawa yaitu suku dimana tempat saya tinggal
sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama sampai dengan Sekolah Menengah Atas. Jawa
merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku bangsa ini menempati sebagian besar wilayah
pulau Jawa. Budaya yang dimiliki suku Jawa sudah banyak menarik perhatian para peneliti sejak
zaman dahulu. Banyak sisa-sisa peradaban suku Jawa yang dapat diamati dan dipelajari sampai
sekarang.

Bahasa yang digunakan orang Jawa adalah Bahasa Jawa. Para ahli membagi Bahasa Jawa kedalam
dua kategori yaitu bahasa keseharian dan bahasa kesusastraan. Bahasa susastra itu dapat dirinci
lagi menjadi apa yang disebut "Bahasa Jawa Kuno" yang dipakai dalam prasasti kraton antara abad
ke-8 dan ke-18, serta dalam karya sastra kuno antara abad ke-10 dan ke-14. Bahasa Jawa itu
mempunyai tingkat-tingkat penggunaannya yang rumit, yang terdiri dari paling tidak sembilan
gaya bahasa. Di antara sembilan gaya bahasa yang paling dasar, yaitu gaya tak resmi (ngoko), gaya
setengah resmi (madya), dan gaya resmi (krami). Keseluruhan bahasa Jawa ini bisa juga dilihat
dari logat-logat yang digunakan yang penuturnya itu berada pada lingkungan geografis tertentu.
Logat-logat itu antara lain logat Banyumas, logat Solo-Yogya, logat Jawa Pesisir, logat Cirebon
lndramayu-Tegal, logat Surabaya, logat Banyuwangi-Biambangan, dll. Hal ini juga terjadi di
lingkungan sekolah saya. Saya yang bersekolah di Negeri diwajibkan untuk menggunakan bahasa
daerah yaitu Bahasa Jawa. Bahkan, setiap Hari Kamis dijadikan sebagai Hari Kamis Jawa yang
artinya semua siswa, guru dan staff sekolah diwajibkan untuk berbicara menggunakan Bahasa
Jawa. Hal ini dilakukan agar Bahasa Jawa tetap lestari dan tidak punah. Siswa yang ketahuan tidak
menggunakan Bahasa Jawa di Hari Kamis Jawa akan dikenakan sanksi berupa point yang dapat
mempengaruhi kelulusan.

Dalam rangka memahami kearifan dalam budaya Jawa melalui kitab Wedatama dan Wulangreh,
Soetjipto Wirosardjono membagi orang Jawa dalam dua lapisan, yaitu lapisan-lapisan sosial yang
menghayati ke-Jawa-annya melalui ajaran, norma, dan tata nilai yang berbeda. Yang satu adalah
lapisan kraton, sekitar kraton dan kawasan pengaruhnya dalam feodal Jawa (priyai) dan yang lain
adalah lapisan pinggiran yang terdiri dari orang-orang desa, orang gunung dan massa rakyat
lainnya yang tidak mengidentifikasikan dirinya dengan jaringan feodal Jawa.

Sebagian besar orang Jawa tinggal di pedesaan. Desa itu merupakan wilayah hukum yang
sekaligus menjadi pusat pemerintahan di bawah kecamatan. Dalam sebuah desa, rumah-rumah
umumnya mengelompok, yang di antaranya menghadap ke jalan desa. Masing-masing rumah
dengan pekarangannya dipisahkan dengan pagar bambu atau pagar tumbuh-tumbuhan dengan
rumah lain. Di sekeliling kumpulan rumah itu terdapat wilayah pertanian sawah atau tegalan.
Bentuk rumah mereka pun bisa dibilang masih jadul, belum menggunakan lantai keramik, jendela
masih menggunakan model kuno yang menjulang tinggi ke atas serta peralatan yang masih jadul
seperti lemari dari kayu yang sudah tua, kursi dan meja yang kuno dan lain sebagainya. Model
rumah seperti ini mungkin sudah jarang ditemukan di masyarakat. Namun, rumah yang saya
tempati dapat dikategorikan sebagai rumah kuno. Rumah ini peninggalan kakek saya yang sudah
berdiri sejak tahun 1950-an. Meskipun sudah banyak perubahan yang dilakukan, tetapi ciri khas
rumah kuno tetap terlihat di rumah ini. Seperti contoh pada lantai yang belum menggunakan
keramik, jendela yang menjulang tinggi persis seperti jendela model kuno, lemari tua, radio sampai
alat ketik yang dibiarkan sengaja dipajang di dalam rumah. Hal ini dilakukan agar keluarga besar
ketika pulang kampung tetap merasakan vibes ala Jawa Kuno. Terlebih lagi di daerah Wonosobo
ini masih banyak ditemukan bangunan-bangunan kuno seperti pada rumah dinas Bupati Wonosobo
serta Kantor Bupati yang masih berbentuk ala Jawa kuno.

Berbicara mengenai adat istiadat yang ada di Jawa, ada beberapa tradisi yang saya ikuti di daerah
saya. Yang pertama ada Slametan. Untuk keselamatan keseluruhan warga desa sering diadakan
slametan atau upacara yang disebut bersih desa atau merti desa. Kata merti desa berasal dari kata
mreti atau preti yang berarti "pemujaan terhadap roh leluhur" dari suatu desa dengan menyajikan
makanan, minuman, buah-buahan, bunga-bungaan, dan sebagainya. Sajian ini ditujukan kepada
roh leluhur sebagai penjaga desa yang disebut ”danyang desa”. Upacara ini juga bermakna sebagai
ungkapan rasa syukur karena desa telah memberikan sesuatu kepada kehidupan mereka selama
setahun berjalan. Dalam menghadapi tahun berikutnya mereka juga harus membersihkan diri
secara lahir dan batin. Kebersihan secara lahir itu diwujudkan dengan membersihkan desa, seperti
jalan desa, kuburan, halaman, rumah, dan sebagainya. Kebersihan batin dilakukan dengan
melakukan slametan yang dilakukan ditempat kepala desa atau tempat tertentu lainnya. Selamatan
itu dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan roh-roh jahat, dan bagi individu
membersihkan diri dari dosa, kejahatan, dan segala sesuatu yang bisa menyebabkan kesengsaraan.
Upacara itu biasanya diselenggarakan pada bulan Sela, bulan ke-11 penanggalan Jawa atau bulan
Syawal penanggalan Arab. Dalam slametan tadi setiap kepala keluarga datang ke tempat upacara
yang masing-masing membawa makanan, nasi dengan lauk pauknya. Makanan yang dibawa tadi
disatukan sehingga menjadi bercampur dengan makanan yang dibawa oleh yang lain. Makanan
yang telah bercampur baur itu nanti diambil lagi oleh warga, sehingga makanan yang di bawa
pulang itu sudah berbeda dengan yang dibawanya tadi. Ini melambangkan kebersamaan, saling
menikmati bersama, yang tidak punya menikmati makanan dari yang lebih berpunya dan
sebaliknya. Makanan itu nanti di rumah dimakan oleh anggota keluarga masing-masing. Sebagian
dari makanan itu dibagikan kepada anak-anak yang datang melihat atau mengerumuni upacara itu.
Dengan demikian nilai kebersamaan tadi dirasakan secara merata oleh seluruh warga desa. Secara
keseluruhan upacara itu merupakan simbol yang bermuatan nilai kebersamaan.

Yang kedua ada tradisi upacara Wetonan. Kata wetonan dalam bahasa Jawa memiliki arti
memperingati hari kelahiran. Biasanya wetonan pertama akan dilakukan ketika bayi telah
berumur 35 hari, pada hari tersebut keluarga dari bayi akan mengadakan upacara nyelapani.
Kata “nyelapani” memiliki bentuk dasar “selapan” yang sama artinya dengan satu bulan dalam
perhitungan Jawa. Perhitungan tersebut didasarkan pada perhitungan hari dari penanggalan
Masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) dan perhitungan hari dari
penanggalan Jawa (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing). Kombinasi dari dua perhitungan tersebut
menghasilkan penyebutan hari yang khas dalam masyarakat Jawa seperti Senin Pon, Selasa
Wage, Rabu Kliwon, Kamis Legi, Jumat Pahing, dan seterusnya dimulai dari Pon kembali. Latar
belakang wetonan didasari oleh kepercayaan masyarakat Jawa untuk menghormati sedulur
papat (empat saudara). Masyarakat Jawa juga percaya bahwa apabila sedulur pribadi dipelihara
dan diperhatikan dengan baik, maka mereka akan membantu bayi atau orang yang bersangkutan
sepanjang hidupnya. Salah satu hal yang juga wajib ada dalam wetonan adalah bubur merah
putih. Bubur ini menjadi hidangan khas ketika wetonan berlangsung. Dengan
melakukan wetonan seseorang diharapkan tidak akan lupa dan akan selalu waspada terhadap
segala kemungkinan yang dapat terjadi pada dirinya.

Yang ketiga yaitu tradisi upacara Popokan. Konon awal mulanya diadakan upacara Popokan
karena sebuah desa diteror oleh kemunculan harimau. Berbagai cara dilakukan warga desa agar
harimau tersebut pergi namun selalu gagal. Hingga akhirnya muncul seorang pemuka agama
yang menyarankan mengusir harimau tidak dengan kekerasan. Warga pun menuruti saran
pemuka agama tersebut dan berhasil. Warga mengusir harimau dengan cara melempari harimau
dengan lumpur sawah. Sejak peristiwa tersebut, tradisi Popokan digelar setiap tahun. Tujuannya
untuk menjauhkan kejahatan dan menolak bala di daerah mereka. Warga percaya, lumpur yang
dilemparkan mengandung berkah. Karenanya, alih-alih marah, mereka justru senang saat terkena
lumpur. Tradisi ini sering dilakukan di daerah saya. Biasanya sebelum memulai tradisi ini,
masyarakat berkumpul mengadakan rapat untuk menyiapkan alat bahan yang diperlukan. Sesudah
rapat, barulah ditentukan kapan acara tradisi ini akan dilakukan.

Yang keempat yaitu tradisi Syawalan. Tradisi syawalan digelar rutin seminggu setelah Shalat Idul
Fitri. Syawalan menjadi tradisi bermaaf-maafan setelah hari raya Idul Fitri. Jika Syawalan adalah
tradisi setelah lebaran Idul Fitri, lain lagi dengan tradisi Sadranan. Tradisi Sadranan ata tradisi
Nyadran dilakukan setiap menjelang Ramadhan tepatnya pada bulan Sya’ban. Budaya ini sudah
dijaga selama ratusan tahun dan masih dilakukan hingga saat ini. Dalam kalender Jawa, Bulan
Ramadhan disebut juga dengan Bulan Ruwah, sehingga acara Nyadran sering disebut juga dengan
acara Ruwah. Masing-masing daerah di tanah Jawa punya ciri khas masing-masing dalam tradisi
ini. Masyarakat di beberapa daerah membersihkan makam sambil membawa bungkusan berisi
makanan hasil bumi yang disebut sadranan. Secara tradisi, sadranan akan ditinggalkan di area
pemakaman. Tak jarang, masyarakat juga meninggalkan uang untuk biaya pengelolaan makam.
Salah satu yang khas dan pasti ada di setiap Nyadran, adalah acara makan bersama atau kenduri.
Prosesi ini menjadi salah satu yang ditunggu oleh warga. Setiap keluarga membawa masakan hasil
bumi. Masyarakat membaur menikmati makanan, yang dihidangkan di atas daun pisang.
Masyarakat yang melakukan tradisi Nyadran percaya, membersihkan makam adalah simbol dari
pembersihan diri menjelang Bulan Suci. Bukan hanya hubungan manusia dengan Sang Pencipta,
Nyadran dilakukan sebagai bentuk bakti kepada para pendahulu dan leluhur. Kerukunan serta
hangatnya persaudaraan sangat terasa setiap kali tradisi Nyadran berlangsung.

Selanjutnya ada tradisi Mitoni. Tradisi Mitoni atau biasa disebut juga dengan tradisi Tingkeban
adalah tradisi yang dilakukan untuk Ibu hamil yang usia kandungannya menginjak tujuh bulan.
Mungkin untuk tradisi ini, di beberapa daerah juga memiliki tradisi yang serupa namun berbeda
dalam penamaannya saja. Acara mitoni adalah sebuah doa agar calon ibu dilancarkan selama
mengandung hingga melahirkan janin. Mitoni ini juga disertai doa agar kelak si anak menjadi anak
yang baik dan berbakti kepada orang tua. Seperti pada umumnya, dalam pelaksanaan
upacara mitoni, perempuan yang sedang hamil 7 bulan dimandikan dengan air bunga setaman.
Gayung yang digunakan terbuat dari batok kelapa. Siraman ini bertujuan untuk membersihkan
secara lahir dan batin dari calon ibu dan bayi yang ada di dalam kandungan. Calon ibu juga harus
mengenakan 7 macam kain dengan berbagai jenis motif atau sering disebut dengan jarik, ini
dilakukan 7 kali pada kain ke tujuh di jawab “pantes.” Pada upacara ini juga calon ibu membuat
rujak di damping oleh calon ayah. Para tamu yang hadir dapat membelinya dengan menggunakan
kereweng sebagai mata uangnya. Upacara ini bermakna supaya anak mendapat banyak rezeki dan
juga bagi kedua orang tuanya kelak.

Jika tradisi Mitoni dilakukan ketika sang bayi masih berada dalam kandungan, berbeda dengan
tradisi Tedak Siten. Dalam tradisi Jawa, setiap bayi yang usianya telah mencapai tujuh atau
delapan bulan disarankan untuk melakukan ritual adat Tedak Siten. Istilahnya sendiri berasal dari
bahasa Jawa, tedhak yang artinya kaki dan Siten (siti) yang berarti tanah. Tujuan dilaksanakannya
prosesi Tedak Siten adalah untuk mempersiapkan anak agar mampu melewati setiap fase
kehidupan. Di mulai dengan tuntunan dari kedua orang tuanya hingga ia mulai berdiri sendiri dan
memiliki kehidupan mandiri. Upacara turun tanah ini memiliki tujuh rangkaian yang saling
berkaitan. Pada tahap pertama, anak akan dituntun untuk berjalan di atas tujuh jadah dengan tujuh
warna, yakni coklat, merah, kuning, hijau, ungu, biru, dan putih. Setiap warna mencerminkan
lambang kehidupan. Pada tahap selanjutnya, anak akan dibiarkan mencakar-cakar tanah dengan
kedua kakinya sebagai harapan agar kelak saat dewasa si anak mampu untuk mengais rezeki.
Kemudian anak dimasukkan dalam kurungan ayam yang telah diberi beraneka benda, seperti uang,
mainan, alat musik, buku, atau makanan. Benda yang nantinya dipilih sang anak menggambarkan
potensi anak tersebut. Tahap selanjutnya, anak dimandikan dengan air yang telah dicampur
kembang setaman. Langkah ini sebagai harapan agar si anak mampu membawa nama baik bagi
keluarganya. Yang terakhir adalah proses pemakaian baju yang bagus dan bersih supaya anak bisa
menjalani kehidupan dengan baik.

Beragamnya tradisi adat Jawa yang hingga saat ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat
merupakan cara agar tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu tetap lestari dan tidak
punah. Hal ini dengan tujuan agar generasi selanjutnya dapat memahami berbagai macam tradisi
adat Jawa dan menjadikannya untuk memperluas wawasan mengenai kebudayaan yang ada di
Indonesia. Tidak hanya tradisi adat Jawa yang saya sebutkan diatas yang memiliki keunikan dan
kekhasannya masing-masing. Pernikahan khas adat Jawa juga memiliki ciri-ciri yang unik dan
menarik. Pernikahan adat jawa memiliki banyak prosesi yang harus dilaksanakan oleh kedua
pengantin dan juga keluarga pengantin. Prosesi pernikahan adat jawa diawali dengan
pemasangan tarub, bleketepe, dan tawuhan. Tarub yaitu atap sementara yang dihiasi janur
melengkung. Bleketepe yaitu anyaman daun kelapa tua yang dipasang oleh orang tua
mempelai wanita. Sedangkan tuwuhan adalah tumbuh-tumbuhan yang dipasang di kiri dan
kanan gerbang yang memiliki makna penuh harapan agar calon pengantin dapat
memperoleh keturunan yang sehat dan beretika. Selanjutnya kedua pengantin melakukan
sungkeman kepada kedua orang tua masing-masing dengan tujuan meminta doa restu dari
kedua orang tua. Setelah sungkeman, lalu dilakukan siraman. Siraman ini memiliki makna
sebagai penyucian diri. Penyiraman ditentukan dalam jumlah ganjil, biasanya tujuh atau
Sembilan orang. Acara selanjutnya yaitu adol dawet. Adol dawet yakni berjualan dawet
yang dilakukan calon pengantin kepada para tamu undangan. Lalu selanjutnya dilakukan
midodareni yakni prosesi malam sebelum melepas masa lajang dengan harapan calon
pengantin wanita akan terlihat cantik di esok hari bak bidadari. Keesokan harinya dilakukan
upacara pernikahan. Prosesi ini berlangsung ketika kedua pengantin mengikat dan
menjalankan sumpah di hadapan penghulu, orang tua, wali dan tamu. Setelah itu
dilanjutkan dengan prosesi panggih yakni kedua pengantin yang telah resmi menikah
bertemu sebagai sepasang suami istri. Setelahnya kedua pengantin akan saling melempar
gantal. Prosesi imi dinamakan balang gantal. Pada proses berikutnya dilakukan wijikan.
Ritual ini dilakukan oleh pengantin wanita yang menyirami kaki mempelai pria sebanyak
tiga kali. Proses ini mencerminkan wujud bakti istri kepada suami. Yang kemudian
dilanjutkan dengan proses sinduran yakni pengantin dibalut kain sindur dengan tujuan
memberikan keberanian bagi kedua pengantin agar menjalani pernikahan mereka dengan
semangat. Dilanjutkan dengan bobot timang yakni ayah pengantin wanita menimbang
anaknya dan menantu dengan cara memangku kedua mempelai. Makna dalam prosesi ini
yaitu diharapkan pengantin mengetahui bahwa tidak ada perbedaan kasih saying diantara
mereka. Setelahnya dilakukan dulangan yakni proses menyuapi antara kedua pengantin
sebanyak tiga kali dengan tujuan sebagai symbol bahwa kedua pengantin akan saling tolong
menolong satu sama lain. Yang terakhir yaitu sungkeman. Sungkeman dilakukan kedua
pengantin kepada kedua orang tua sebagai tanda penghormatan kepada orangtua yang telah
membesarkan mereka hingga menikah. Pernikahan adat Jawa ini juga sering dipakai oleh
keluarga saya. Banyak nilai dan arti dari setiap prosesi yang sangat panjang. Namun, ini
semua dilakukan demi menjaga kelestarian yang sudah diwariskan secara turun menurun
oleh nenek moyang kita.

Selain itu, ada juga tradisi yang tidak kalah keren dari tradisi-tradisi yang saya jelaskan di
atas. Tradisi ini berasal dari Dieng, Jawa Tengah. Berjarak kurang lebih tiga puluh
kilometer dari rumah saya terdapat tempat wisata yang sudah terkenal hingga ke
mancanegara sebagai negeri diatas awan. Tempatnya yang berada di pegunungan
menjadikan Dieng sebagai tempat yang sangat dingin bahkan sampai menghasilkan salju.
Rata-rata suhu di Dieng pada musim kemarau yaitu nol sampai sepuluh derajat selsius. Tiap
tahun, di Dieng selalu diadakan acara tahunan yang biasa disebut dengan Dieng Culture
Festival. Dieng Culture Festival merupakan acara pesta budaya terbesar yang diadakan setiap
tahun di kawasan wisata Dieng, yang diisi oleh berbagai rangkaian acara adat turun temurun seperti
prosesi ruwatan rambut Gimbal, pentas seni budaya, pagelaran wayang kulit, pemutaran film,
pertunjukan musik jazz bertajuk “Jazz Atas Awan”, pelepasan lampion dan lain-lain. Festival
tahunan ini juga makin mendapat respon positif dari wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Pasalnya salah satu bagian acara festival yakni prosesi ruwatan rambut Gimbal mampu memikat
puluhan ribu wisatawan. Di Dieng, kita bisa bertemu dengan “anak-anak pilihan”, anak-anak
berambut gimbal. Belum ada yang bisa menjelaskannya secara ilmiah, namun masyarakat
setempat meyakini bahwa anak-anak berambut gimbal adalah anak-anak utusan dewa. Hanya di
Dieng rambut gimbal atau gembel bisa tumbuh secara alami pada usia-usia tertentu dan tidak
menurut keturunan. Sebelum tumbuh, anak-anak yang “dikaruniai” rambut gimbal, biasanya akan
menderita panas tinggi dan seringkali mengigau saat tidur. Rambut ini akan kembali seperti sedia
kala, ketika ada permintaan sendiri dari si anak gimbal untuk memotong rambutnya, tidak ada
paksaan dari siapa pun. Masyarakat meyakini bahwa ketika pemotongan rambut bukan karena
permintaan dari si anak, maka meski telah dipotong, rambutnya akan kembali gimbal. Setelah ada
permintaan, beberapa persyaratan lain yang diinginkan oleh si anak juga harus dipenuhi.
Pemotongan rambut gimbal pun tidak sembarangan, ada rangkaian ritual yang mesti dijalankan.
Masyarakat setempat menyebutnya ruwatan. Sebelum prosesi ruwatan, biasanya akan dilakukan
ritual doa di beberapa candi, seperti Candi Dwarawati, Komplek Candi Arjuna, Sendang
Maerokoco, Candi Gatotkaca, Candi Bima, Kawah Sikidang, Telaga Balaikambang, Gua Telaga
Warna, Kali Pepek dan pemakaman sekitar Dieng. Selama ritual doa tersebut, anak-anak Gimbal
dibawa berkeliling desa dengan ditemani para sesepuh, tokoh masyarakat, dan kelompok
paguyuban seni di Dieng. Saya sendiri pernah menyaksikan pemotongan rambut gimbal yang
dimiliki oleh adik teman saya. Cukup aneh rasanya ketika pertma kali saya melihat bentuk dari
rambut gimbal tersebut. Konon, jika ada anak berambut gimbal dan permintaannya tidak terpenuhi,
maka anak tersebut bisa meninggal. Saya sendiri pernah mendengar cerita ini dari teman saya. Ia
bercerita bahwa anak tetangganya yang memiliki rambut gimbal meminta hadiah untuk
ruwatannya berupa buang angin (kentut) yang dimasukkan kedalam botol. Namun karena
permintaan ini mustahil, akhirnya kedua orang tuanya tidak bisa memenuhi permintaannya.
Sebulan kemudian, teman saya yang bercerita ini kepada saya mengatakan bahwa anak tersebut
telah meninggal tanpa diketahui apa sebabnya. Ibu dari anak ini berkata bahwa mungkin ini salah
satu kutukan dari anak berambut gembel yang permintannya tidak terpenuhi. Cukup mustahil
rasanya penyebab orang meninggal dikaitkan dengan ritual. Meskipun demikian, kita sebagai
manusia harus saling menghormati kepercayaan atau adat istiadat yang warga setempat sudah
percayai sejak berabad-abad yang lalu.

Dampak Perubahan Globalisasi pada Adat Jawa Tengah


Rakyat intinya mempunyai sifat yang bergerak maju. Perubahan akan selalu terjadi selama
ada faktor-faktor yg mempengaruhinya. Dikarenakan warga memiliki sifat bergerak maju,
maka adanya perubahan tidak bisa dihindarkan. Penggunaan tradisi norma bagi rakyat Jawa
pada setiap program merupakan sebuah keharusan. Tradisi yg terdapat serta telah bertahan
dari semenjak dulu mengakibatkan masyarakat Jawa masih tetap menggunakannya. Tradisi
budaya yg terdapat diklaim sebagai ciri-ciri mereka sebagai masyarakat Jawa yg kaya akan
tradisi kebudayaan.

Seiring perkembangan zaman, adanya kemajuan pada bidang pengetahuan dan teknologi
mengakibatkan masyarakat berubah. Hal ini berakibat pola pikir masyarakat pun menjadi
berubah serta terus berkembang menyesuaikan kebutuhan. rakyat tidak lagi terikat pada
tradisi budaya istiadat yang terdapat sebab pola pikir mereka yg semakin maju. Seiring
perkembangan zaman, munculah budaya-budaya baru yang membawa pengaruh di
kehidupan masyarakat. Budaya-budaya baru ini lahir seiring dengan pesatnya kemajuan
dibidang ilmu pengetahuan serta teknologi. Hal ini menyampaikan dampak yg relatif
signifikan terhadap kehidupan rakyat Jawa. berkembangnya ilmu pengetahuan
mengakibatkan pikiran warga Jawa lebih terbuka lagi. Budaya baru yang akan terjadi
berasal akibat perkembangan ilmu pengetahuan membuat pola pikir masyarakat sebagai
berubah. Mereka tak lagi terpacu pada tradisi istiadat yang telah lama terdapat pada
kehidupan mereka. Pola pikir yg lebih maju serta terkini menghasilkan mereka lebih
rasional pada berpikir.

Pada perkembangannya globalisasi dapat menimbulkan aneka macam dilema pada bidang
sosial serta kebudayaan misalnya hilangnya budaya orisinil suatu wilayah atau suatu
negara, hilangnya sifat kekeluargaan serta gotong royong , hilangnya nilai-nilai budaya,
kehilangan agama diri, dan banyak pemuda-pemuda jaman sekarang yg terpengaruh
dengan akibat globalisasi tersebut. keliru satu keberhasilan penyebaran kebudayaan barat
adalah masuknya budaya barat dan di terima menggunakan baik oleh kalangan masyarakat,
hal ini lah yg membuat rakyat bisa dengan mudahnya terpengaruh dengan kebudayaan barat
sebagai akibatnya warga lupa akan kebudayaan mereka sendiri.
Seni tradisi dari kebiasaan hidup dan kebudayaan masyarakat indonesia telah terlupakan
menggunakan perkembangan zaman. Padahal bila kita perhatikan seni tradisi ialah bagian
berasal jiwa masyarakatnya. Karya seni yg telah poly di tinggalkan yaitu tarian tradisional,
seni lukis tradisional, wayang kulit serta beberapa seni tradisi lain sudah sporadis yang di
minati.

Arus globalisasi waktu ini telah mengakibatkan imbas terhadap perkembangan budaya
Indonesia. Globalisasi mempunyai akibat yg besar terhadap tradisi serta budaya. kontak
budaya melalui media masa menyadarkan dan menyampaikan infor masi perihal eksistensi
nilai-nilai budaya lain yg di miliki dan dikenal selama ini. terdapat beberapa cara agar
globalisasi tak merubah tradisi-tradisi kebudayaan yg kita miliki yaitu masyarakat perlu
berperan aktif dalam pelestarian budaya daerah masing-masing serta budaya bangsa pada
umumnya. buat para usaha media massa perlu mengadakan seleksi terhadap berbagai gosip,
hiburan, serta berita yg di berikan supaya tidak menyebabkan pergeseran tradisi dan
budaya. warga wajib berhati-hati dalam meniru atau menerima kebudayaan baru, sebagai
akibatnya pengaruh globalisasi pada negara kita tidak terlalu terpengaruh.

Kesenian ialah kekayaan yang tak ternilai harganya dan tidak di miliki sang bangsa -bangsa
asing. oleh sebab itu menjadi generasi belia yang ialah pewaris budaya bangsa hendaknya
memelihara seni budaya kita demi masa depan anak cucu. Khususnya bagi para remaja
Indonesia marilah kita jaga bersama-sama kebudayaan nenek moyang kita jangan sampai
di rebut balik dengan negara lain buktikan pada global bahwa negara kita kaya akan
budaya.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Indonesia memiliki beraneka ragam kebudayaan yang multikultural. Setiap individu pasti
mempunyai karakter dan berasal dari suatu suku bangsa dan etnis seperti halnya klasifikasi
mahkluk hidup manusia memiliki beragam kelas, ordo, familia, genus maupun spesies. Setiap etnis
atau suku tentu memiliki perbedaan dan ciri khasnya masing-masing. Perbedaan tersebut tercipta
dari perbedaan geografis yang ada di Indonesia, sumber daya yang dimiliki serta kepercayaan yang
dianut oleh warga masyarakat setempat. Apabila diperhatikan, nilai-nilai tradisional yang sudah
ada dari zaman dahulu masih sangat bisa dan pantas untuk menjadi landasan untuk perilaku dan
sifat pada saat ini. Peranan-peranan masyarakat di dalam Suku Jawa juga menjadi faktor dari
keutuhan nilai-nilai budaya tradisional.

Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku bangsa ini menempati sebagian besar
wilayah pulau Jawa. Budaya yang dimiliki suku Jawa sudah banyak menarik perhatian para
peneliti sejak zaman dahulu. Banyak sisa-sisa peradaban suku Jawa yang dapat diamati dan
dipelajari sampai sekarang. Beraneka ragam adat istiadat suku Jawa yang diwariskan nenek
moyang secara turun-menurun hingga saat ini masih dilestarikan keberadaannya oleh masyarakat
setempat. Berbagai macam tradisi, bahasa, makanan khas hingga pernikahan adat Jawa masih
banyak dijumpai di masyarakat. Bahkan, tradisi di Dieng dijadikan sebagai sarana wisata yang
dapat membuka mata pencaharian untuk masyarakat setempat.

Namun, tidak bisa dipungkiri seiring berkembangnya zaman, kebudayaan pun turut berkembang.
Kemajuan di bidang pengetahuan dan teknologi menyebabkan masyarakat berubah. Hal ini
menjadikan pola pikir masyarakat pun menjadi berubah dan terus berkembang menyesuaikan
kebutuhan. Seiring perkembangan zaman, munculah budaya-budaya baru yang membawa
pengaruh pada kehidupan masyarakat. Budaya-budaya baru ini lahir seiring dengan pesatnya
kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap kehidupan masyarakat Jawa.
Meskipun demikian, kita sebagai generasi muda wajib melestarikan budaya yang ada dengan cara
berperan aktif dalam pelestarian budaya daerah masing-masing dan budaya bangsa pada
umumnya. Kita juga bisa mendorong para media untuk mengadakan seleksi terhadap berbagai
berita, hiburan, dan informasi yang di berikan agar tidak menimbulkan pergeseran tradisi dan
budaya. Selain itu, kita sebagai masyarakat harus berhati-hati dalam meniru atau menerima
kebudayaan baru, sehingga pengaruh globalisasi di negara kita tidak terlalu terpengaruh.

Lampiran

Tedak Siten Baju Adat Pernikahan Minangkabau

Rambut Gembel anak Dieng

Anda mungkin juga menyukai