Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

BHINEKA TUNGGAL IKA

Di Susun Oleh :
Nama : Reyhana Shillan Putri Reshma
Kelas : XI-C (IPA 3)
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya saya diberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini
dengan judul “BHINEKA TUNGGAL IKA”. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada
orang-orang yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengn
selesainya makalah ini dapat ermanfaat bagi pembaca.

Sorong, 1 Februari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...........................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................................4
1.3. Tujuan.........................................................................................................................4
1.4. Manfaat.......................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................5
2.1. Sejarah Bhineka Tunggal Ika.....................................................................................5
2.2. Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia..............6
2.3. Penerapan Bhineka Tunggal Ika................................................................................8
2.4. Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia.............12
2.4.1. Perilaku inklusif...............................................................................................14
2.4.2. Mengakomodasi sifat pluralistik......................................................................14
2.4.3. Tidak mencari menangnya sendiri...................................................................14
2.4.4. Musyawarah untuk mencapai mufakat............................................................15
2.4.5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban..............................................15
2.4.6. Toleran dalam perbedaan.................................................................................15
BAB III PENUTUP.........................................................................................................17
3.1. Kesimpulan.................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman. Indonesia terdiri atas
beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, dll. Namun
Indonesia mampu mepersatukan bebragai keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa
Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” , yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah kepercayaan yang ada di bumi
Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok
sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat
kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang
ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar
dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis
yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga
perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa
dan masyarakat di Indonesia yang berbeda.
Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi
kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di
Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesi juga ikut
mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga mencerminkan kebudayaan agama
tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman
budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok
suku bangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke
modern, dan kewilayahan. Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan,
saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan
yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat
tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban

1
dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan
berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut
dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa
konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok
sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan. Didasari pula bahwa dengan jumlah
kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara, dengan berbagai
tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, pakaian adat, rumah adat
kesenian adat bahkan makanan yang dimakan pun beraneka ragam.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki karakteristi yang unik ini
dapat dilihat dari budaya gotong royong, teposliro, budaya menghormati orang tua (cium
tangan), dan lain sebagainya.
Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat dari
penggalan kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit (abad 14)
secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).
Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan
sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi bagian dari
lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan bangsa, artinya Bhinneka
Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai
pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas dari campur tangan para pendiri bangsa
yang mengerti benar bahwa Indonesia yang pluralistik memiliki kebutuhan akan sebuah unsur
pengikat dan jati diri bersama.
Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan geopolitik dan
geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam agama, ide, ideologis, suku
bangsa dan bahasa.
Kebhinekaan Indonesia itu bukan sekedar mitos, tetapi realita yang ada di depan mata kita.
Harus kita sadari bahwa pola pikir dan budaya orang Jawa itu berbeda dengan orang Minang,
Papua, Dayak, Sunda dan lainnya. Elite pemimpin yang berasal dari kota-kota besar dan
metropolitan bisa jadi memandang Indonesia secara global akan tetapi elite pemimpin nasional
dari budaya lokal tertentu memandang Indonesia berdasarkan jiwa, perasaan dan kebiasaan
lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara pandang kita tentang Indonesia berbeda. Jadi tanpa

2
kemauan untuk menerima dan menghargai kebhinekaan maka sulit untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan bangsa. Apa yang dilakukan oleh pendahulu bangsa ini dengan
membangun kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan upaya untuk menjaga loyalitas
dan pengabdian terhadap bangsa.
Selama ini sifat nasionalisme kita kurang operasional atau hanya berhenti pada tataran
konsep dan slogan politik. Nasionalisme bisa berfungsi sebagai pemersatu beragam suku, tetapi
perlu secara operasional sehingga mampu memenuhi kebutuhan objektif setiap warga dalam
suatu negara-bangsa. Tradisi dari suatu bangsa yang gagal memenuhi fungsi pemenuhan
kebutuhan hidup objektif akan kehilangan peran sebagai peneguh nasionalisme. Saat ini
diperlukan tafsir baru nasionalisme sebagai kesadaran kolektif di tengah pola kehidupan baru
yang mengglobal dan terbuka. Batas-batas fisik negara-bangsa yang terus mencair menyebabkan
kesatuan negara kepulauan seperti Indonesia sangat rentan terhadap serapan budaya global yang
tidak seluruhnya sesuai tradisi negeri ini. Disamping itu realisasi otonomi daerah yang kurang
tepat akan memperlemah nilai dan kesadaran kolektif kebangsaan di bawah payung
nasionalisme.
Di samping itu bangsa Indonesia relatif berhasil membentuk identitas nasional. Beberapa
bentukidentitas bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Nasional atau persatuan, bahasa Indonesia.
2. Dasar filsafat Negara yaitu pancasila.
3. Lagu kebangsaan Indonesia Raya.
4. Lambang Negara Garuda Pancasila.
5. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika
6. Bendera Negara Sang Merah Putih.
7. Konstitusi Negara yaitu UUD 1945.
8. Bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia.
9. Konsep Wawasan Nusantara.
10. Kebudayaan daerah yang diterima sebagai kebudayaan nasional.
Dari ke-10 identitas bangsa Indonesia tersebut akan dibahas salah satu yaitu mengenai semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang merupaka semboyan pemersatu bangsa Indonesia.

3
UUD Republik Indonesia menyatakan dengan tegas tentang realitas multikultural Bangsa
Indonesia. Kenyataan tersebut dilukiskan di dalam lambang negara “Bhinneka Tunggal Ika.”
Kebhinnekaan masyarakat dan bangsa Indonesia diakui bahkan dijadikan sebagai dasar

4 iii
perjuangan nasional permulaan abad ke-20. Untuk itu integrasi nasional bangsa Indonesia
pun harus diwujudkan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk karena masyarakat yang
majemuk merupakan salah satu potensi sumber konflik yang menyebabkan disintegrasi bangsa.
Agar identitas bangsa Indonesia di mata dunia terkenal dengan bangsa yang majemuk tetapi satu
dalam keanekaragaman (suku, bahasa, agama, dll, yang berbeda-beda) semboyan Bhinneka
Tunggal Ika harus diwujudkan.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang kami jabarkan diatas, maka dapat diambil beberapa
rumusan masalah guna menunjang isi makalah ini, antara lain :
1. Bagaimana perjalanan Sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai bentuk identitas Bangsa
Indonesia.?
2. Bagaimana penetapan lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar bangsa Indonesia?
3. Bagaimana penerapan Bhineka Tunggal Ika.?
4. Bagaimana Implemntasi Bhineka Tunggal Ika dan cita-cita luhur Bangsa Indonesia?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui perjalanan sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai
bentuk identitas bangsa
2. Untuk mengetahui lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar bangsa Indonesia.
3. Untuk mengetahui penerapan Bhineka Tunggal Ika
4. Untuk mengetahui Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan cita-cita luhur Bangsa
Indonesia

1.4. Manfaat
Dari makalah ini dapat kami peroleh manfaat bagi semua orang dan orang yang
membacanya, bahwasanya dalam hidup berbangsa dan bernegara dapat memaknai dan
melakukan apa yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika dan Bisa menjadikan dalam
kehidupan untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi. Dan
juga dapat Memaknai arti Bhineka Tunggal Ika yang saat ini sudah mulai memudar dan dapat
menjaga persatuan Bangsa Indonesia.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Bhineka Tunggal Ika


Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat panjang, yaitu
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal
untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan
semboyan Bhineka Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.
Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha
mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan sehubungan usaha
bina Negara kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan Negara Indonesia ini telah memberikan
nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika
pun telah menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan
dalam hal kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di kalangan masyarakat Majapahit.
Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka Tungggal Ika
bukan hanya perbedaan agama dan kepercayaan menjadi fokus, tapi pengertiannya lebih luas.
Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan
suku, bangsa, budaya (adat istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang
menuju persatuan dan kesatuan Nusantara.
Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti Satu, dan Ika berarti
Itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda, tapi pada hakekatnya satu. Dengan
kata lain, seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju tujuan yang satu atau sama, yaitu
bangsa dan Negara Indonesia.
Berbicara mengenai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi menjadi bagian dari
Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 pada 17 Oktober 1951
dan di-Undang-kan pada 28 Oktober 1951 sebagai Lambang Negara. Usaha pada masa
Majapahit maupun pada masa pemerintahan Indonesia berlandaskan pada pandangan yang sama,
yaitu pendangan mengenai semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal
dasar untuk menegakkan Negara.

5
Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa dipakai sebagai motto lambang
Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Makna dari semboyan itu adalah “Tidak ada
kebenaran yang bermuka dua”. Namun, Lemhanas kemudian mengubah semboyan tersebut
mejadi yang lebih praktis dan ringkas, yaitu “Bertahan karena benar”. Makna “Tidak ada
kebenaran bermuka dua” sebenarnya memiliki pengertian agar hendaknya manusia senantiasa
berpegangan dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalaha ungkapan yang
meamaknai kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit. Tidak hanya Siwa dan Budha,
tapi juga seajumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih duku sebagian besar
anggota masyarakat Majapahit yang memiliki sifat majemuk.
Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari, yakni pada
masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (candi Jago), semboyan tersebut dan Candi
Jago disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, kedua simbol tersebut lebih
dikenal sebagai hasil peradaban masa Kerajaan Majapahit.
Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang
majemuk. Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, muncul
juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa dan Budha serta pemujaan terhadap
roh leluhur. Namun, kepercayaan pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki
peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat.
Pada saat itu, masyarakat majapahiat tebagi menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan
orang-orang Islam yang datang dari barat dan menetap di Majapahit. Kedua, golongan orang-
orang China yang mayoritas beasal dari Canton, Chang-chou, dan Fukien yang kemudian
bermukin di daerah Majapahit.
Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan agama Islam. Ketiga,
golongan penduduk pribumi. Penduduk pribumi ini jika berjalan tidak menggunakan alas kaki,
rambutnya disanggul di atas kepala. Penduduk pribumi sepenuhnya percaya pada roh-roh
leluhur.

2.2. Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular, pujangga
agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke

6
empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang
berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda
itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip
dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya
keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka
berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.
Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika
yang diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan
resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan
Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika
ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda
Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada
perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi
yang terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD 1945 yang
menyebutkan :”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika”. Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang merupakan
kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan
acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu
difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya difahami bagaimana cara untuk
mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.
Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang
terikat dalam suatu kesatuan. Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas yang
mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat
budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta
didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat keanekaragaman tersebut dalam kesatuan
yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa,
tetapi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing komponen bangsa, untuk
selanjutnya diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa untuk dimanfaatkan dalam
menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.
Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan terjadinya
perkembangan tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian deras dan kuatnya,

7
serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah merupakan
syarat bagi berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi
serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat yang pluralistik secara ko-
eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak
memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada pihak lain. Segala peraturan
perundang-undangan khususnya peraturan daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat
yang pluralistik dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan
UUD 1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi
peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi
kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan daerah harus
dari putra daerah, menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata untuk
memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak
mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut
secara konsisten akan terwujud masyarakat yang damai, aman, tertib, teratur, sehingga
kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.

2.3. Penerapan Bhineka Tunggal Ika


Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat multikultural/majemuk
sebagai pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi wacana dan sumbang saran kepada semua
pihak, terutama para pelaksana dan penentu kebijakan diberbagai instansi tekait, agar dapat
dijadikan tambahan acuan dalam menentukan peraturan berkaitan dengan aktualisasi pemahaman
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an oleh masyarakat multikultural sebagai pilar nasionalisme
yang kokoh dan trengginas dalam menghadapi perubahan globalKalimat yang terpampang pada
pita putih yang tercengkeram oleh kaki burung garuda, lambang negara Indonesia yaitu
BHINNEKA TUNGGAL IKA memiliki makna yang menggambarkan keragaman yang dimiliki
bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan satu kesatuan
Indonesia.
Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari asal usul
kalimatnya yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah penggambaran dari dua ajaran atau
keyakinan yang berbeda kala itu, namun pada dasarnya memiliki satu kesamaan tujuan.

8
Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya memahami benar arti
dan makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat itu merupakan bentuk pernyataan
beliau dari suatu keadaan yang sedang dialami, namun kenyataannya dapat diterapkan dan
diterima hingga saat sekarang ini. Dan memang seperti itulah seorang yang populis, berani
menyampaikan sesuatu yang belum pernah diperdengarkan sebelumnya dan menyampaikan
dengan bahasa yang populer, yaitu bahasa yang bisa diterima saat itu, saat ini dan suatu saat yang
akan datang.
Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa yang dapat
dipahami atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau pembacanya sesuai tingkat
pemahamannya masing-masing.
Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika dalam perwujudan
sehari-hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari seringkali ditemui, namun untuk
memahaminya terkadang masih terasa sulit, apalagi mengakuinya. Ada ungkapan yang
menyatakan “perbedaan adalah rahmat” dan inipun terkadang menjadi bahan perdebatan.
Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang dan malam itu
berbeda tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan beda tapi saling mengisi dalam
kehidupan, salah dan benar, baik dan buruk yang Tuhan ciptakan tentu tidak dapat disangkal,
lalu mengapa Tuhan ciptakan itu semua? Apabila perbedaan itu seharusnya tidak perlu ada,
apakah kemudian kita berpikir bagaimana sebaiknya Tuhan? Mengakui perbedaan terkadang
terasa sulit seperti halnya mengakui kebenaran orang lain daripada melihat sisi salahnya. Tangan
dan kaki, telinga dan mata, yang kanan dan kiri memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi
saling menyempurnakan bentuk manusia itu secara utuh. Ketika dalam satu keluarga yang terdiri
dari ayah, ibu dan anak-anaknya masing-masing memiliki perbedaan pendapat apakah itu tidak
boleh? dan apabila si anak memiliki keinginan yang bertentangan dengan orang tuanya apakah
kemudian menjadikan terputusnya hubungan darah? Kemudian apabila alam semesta yang
beraneka ragam ini tercipta karena adanya hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, apakah akan
menjadikan putusnya hubungan, apabila ciptaan tidak mengakui penciptanya? Perbedaan adalah
kenyataan yang tidak bisa terelakan lagi, mulai dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara
atau dunia.
Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras tidak saling
mendahului tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena keselarasan itu maka dalam

9
pertemuan malam dengan siang terlahir fajar yang indah, begitu pula siang yang digantikan
malam tercipta senja yang penuh misteri, hal itu terwujud karena adanya keselarasan alam yang
berbeda tetapi bersatu menciptakan hari.Lalu bagaimana dengan perbedaan diantara kita, apakah
bisa berjalan selaras agar tercipta kedamaian?
Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang sangat besar dengan
menjadikan kalimat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” ini sebagai simbolis Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan memahami arti dan makna yang terkandung didalamnya serta
dengan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri sendiri, berharap bangsa ini
berjalan dengan selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang besar.
Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi yang berjiwa persatuan
dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-Bhinneka Tunggal Ika-an
(persatuan dalam perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan nasional guna mencapai tujuan
nasional. Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu
jamak, plural, dan daerah yang beragam, terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-istiadat
dan kebiasaan, agama, kepercayaan kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Oleh karena itu nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus diwujudkan dan diaktualisasikan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasinya dalam kehidupan
nasional adalah, memahami kemajemukan sosial dan budaya atau multikulturalisme sebagai
dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Pemahaman
terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dimaksud adalah menerapkan atau
melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kehidupan sehari-hari, baik secara
individu, kelompok masyarakat, dan bahkan secara nasional, mencakup kehidupan politik,
ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat yang
jumlahnya besar (sekitar 230 juta jiwa) dan beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang
kondusif untuk pembangunan masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.
Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang
menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok, dalam
berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan berkebangsaan Faktor
utama mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah pemahaman nilai-nilai ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan bahkan pemimpin atau penguasa
mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat dilihat dari kecenderungan terjadinya

10
konflik antar individu, kelompok masyarakat yang berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan
berbeda kepentingan, serta rendahnya moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan
anggota dewan yang terjerat hukum akibat korupsi.
Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat dengan
integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, nilai-nilai budaya bangsa sebagai keutuhan,
kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus tetap dipelihara sebagai pilar nasionalisme. Jika hal
ini tidak wujud, apakah persatuan dan kesatuan bangsa itu akan lenyap tanpa bekas, atau akan
tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai-nilai global yang menantang kesatuan
negara bangsa (union state) Indonesia? Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai
ke Bhinnekatunggal Ikaan Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam kajian ini agar
terwujud dan terpelihara secara langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme
Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam pribadi
masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas sosial mutual differentiation
model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan pada diri setiap Individu dalam bangsa
ini. Mutual differentiation model adalah suatu model dimana seseorang atau kelompok tertentu
yang mempertahankan identitas asal (kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan kesemua
kelompok tersebut juga memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan
mereka semua.
Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian seseorang
tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama yang lebih tinggi
nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan asalnya sebagai orang Minang, namun
memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan
demikian identitas kesukuan atau daerah lebih rendah nilai dan
keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika itu
sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.
Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha mempersatukan
seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika kita Seterika”, “Jepang kita
Panggang”, dan “Inggris kita Linggis” dimana pada kesempatan tersebut beliau menebar
propaganda bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki musuh bersama yaitu Malaysia,
Jepang, Amerika dan Inggris.

11
Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan tumbuhnya
perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan setanah air. Perasaan,
semangat dan tujuan seperti itulah yang akan membuat masyarakat heterogen menjadi bersatu,
membentuk suatu identitas sosial nasional yang lebih kuat daripada kepentingan kelompok,
golongan dan pribadi.
Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah kuatnya
mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu model identitas
sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama antar semua golongan
tanpa pernah menyinggung perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan
bersama atas persatuan bangsa.
Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama lain,
melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap minoritas,
baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama.
Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa ini adalah
menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita, imperialis, orientalis,
penyusupan paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti
pengkhianatan, fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan memperkeruh keadaan,
menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadi aksi-aksi dengan hasil keadaan yang
menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-cita luhur.

2.4. Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia
Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang terkandung
dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan
konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau
komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama
dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk
membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan
beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui
dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang

12
sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup
berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui
eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan.
Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme,
bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur
asli dengan unsur yang datang dari luar.
2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling
benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan
sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan
tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan
persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas
dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan
minoritas.
3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku semu.
Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling hormat
menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka
keanekaragaman ini dapat dipersatukan.
4. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang
terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu,
dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap
toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.
5. Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai:
1. inklusif, tidak bersifat eksklusif,
2. terbuka,
3. ko-eksistensi damai dan kebersamaan,
4. kesetaraan,
5. tidak merasa yang paling benar,
6. toleransi,
7. musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda.

13
Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka
langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini
diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

14
2.4.1. Perilaku inklusif
Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat
merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih
luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak
memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki
peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
2.4.2. Mengakomodasi sifat pluralistik
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh
masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan
bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah
demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna
pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara
tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat
menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan
martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi
menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi
lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan
sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola
kehidupan bersama yang disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat
yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan
bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun,
bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak
membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya.
Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan
masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.
2.4.3. Tidak mencari menangnya sendiri
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya
sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur
dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat
merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan

15
ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan
divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari
berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk
mencapai mufakat.
2.4.4. Musyawarah untuk mencapai mufakat
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan
“musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus
dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan
yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses
musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul
diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah.
Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.
2.4.5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-
jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus
dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila
pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi,
sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia
adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih
pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-
kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin
terwujud.
2.4.6. Toleran dalam perbedaan
Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa, dan
adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama dengan
agama lain, sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan. Pandangan
semacam ini akan menumbuhkan rasa saling menghormati, menyuburkan semangat
kerukunan, serta menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.
Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan
ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu

16
mengimplementasikan secara tepat dan benar, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu
selamanya.
Bhineka Tunggal Ika pada era Glablisasi saat ini, Indonesia pada saat ini banyak mengalami
kemunduran persatuan dan kesatuan. Penyebabnya adalah adanya ketimpangan sosial,
kesenjangan ekonomi, belum stabilnya kondisi politik pemerintahan di Indonesia menjadikan
rakyat tumbuh menjadi rakyat yang apatis terhadap pemerintah. Dampak buruk globalisasi yang
membawa kebudayaan-kebudayaan baru menjadikan komposisi kebudayaan masyarakat
Indonesia menjadi lebih kompleks atau rumit. Karena banyaknya kebudayaan baru yang datang
dan diterima begitu saja, menyebabkan terjadinya penyimpangan kebudayaan di masyarakat.
Belum lagi masalah klasik yang sepele namun berdampak serius seperti perbedaan suku, agama,
ras dan antar golongan yang semakin memecah belah kesatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Melihat kondisi seperti ini tentu kita semua tidak boleh pesimis dan patah semangat, Semboyan
negara Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, selamanya akan
tetap relevan untuk mengiringi kehidupan bernegara di negeri yang multikultural ini, karena
komposisi kehidupan rakyat Indonesia akan terus beragam sampai kapanpun. Ketimpangan
sosial, kesenjangan ekonomi, perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan di antara kita
janganlah dijadikan pembeda. Perkembangan jaman yang cepat dan masuknya budaya baru
biarkanlah berlalu, karena pada dasarnya kita semua satu, satu bangsa, Bangsa Indonesia. Satu
tanah air, Tanah air Indonesia. Satu bahasa, bahasa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-
beda namun tetap satu jua. Jaya Indonesia.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pemaaman nilai-nilai Bhinneka-Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia dapat wujud
secara integral dengan kerjasama seluruh komponen bangsa, baik oleh pemerintah selaku
penyelenggara negara maupun setiap insan pribadi warga. Peningkatan sosialisasi aktualisasi
pemahaman nilai- keseharian seluruh kompenen warga dalam rangka memperkuat integrasi
nasional, karena Indonesia dengan keberagaman budaya, suku/etnik, bahasa, agama, kondisi
geografis, dan strata sosial yang berbeda. Indonesia dengan gambaran masyarakat majemuk yang
terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk
di dalamnya pemerintah yang menjalankan proses pembangunan masyarakat harus bersinergis
untuk bersama-sama dengan rakyat tanpa membedakan keberagaman budaya, bahasa, agama,
suku/etnik, dan bahkan strata sosial, mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan komitmen
bersama, berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang
termaktub dalam Pancasila. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia yang terintegrasi secara
nasional adalah sangat penting sebagai kekayaan dan merupakan potensi yang dapat
dikembangkan sehingga dapat dimanfaatkan dalam sistem komunikasi sebagai acuan utama bagi
menunjukkan jati diri bangsa Indonesia sebagai nasionalisme
Peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan sosial budaya sebagai pencitraan dari
budaya bangsa Indonesia yang semakin dewasa merupakan upaya membangun citra diri
didasarkan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka-an yang dimiliki, dapat menjadi
investasi yang diandalkan pada pelaksanaan pembangunan nasional sebagai salah satu pilar
demokrasi. Untuk itu diharapkan tindakan nyata oleh pemerintah agar memaknai pentingnya
kondisi kemajemukan yang terintegrasi secara nasional melalui wawasan kebangsaan di era
globalisasi saat ini untuk menjaga kedaulatan NKRI. Untuk merealisasikan harapan ini,
masyarakat dan segenap komponen bangsa harus lebih dewasa dalam mengaktualisasikan
pemahaman nila-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam mewujudkan integrasi nasional di
negara yang dikenal dengan kemajemukannya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 demi
pencapaian tujuan nasional.
nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dilakukan melalui tindakan nyata dalam kehidupan

18
DAFTAR PUSTAKA

http://.ui.ac.id/system files.users/turita,indah/publication/2009btisebagai
pembentuk ukbdj.pdf
http:research.amicom.ac.id/indeks.php/ST/article/viewfile/6829/4686
http://download.portalgaruda .org./article.php?article106635&val=22274&title
http://tikanayya.blogspot.com/2014/01 makalah-bhineka-tunggal-ika.html
http://www.pusat-definisi com/2012/11/bhineka-tunggal-ika-adalah html

19

Anda mungkin juga menyukai