Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KELOMPOK PANCASILA

"BHINEKA TUNGGAL IKA"

Oleh :

Aizah Az Zahra

Asnaerniaty

Sri Hartini Musa

Hasniatin
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Bhineka Tunggal
Ika”,tepat pada waktu yang telah ditentukan.Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Dasar-dasar pendidikan

Atas terselesaikannya makalah ini maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam penulisan
makalah ini,
2.  Dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila
3. Serta, semua pihak yang turut membantu terselesaikannya makalah ini.

Karena keterbatasan pengetahuan penulis maka penulisan makalah ini jauh dari
sempurna,oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak untuk perbaikan makalah ini. Besar harapan penulis agar makalah ini
memperoleh nilai yang memuaskan, bahakan sempurna, Amiiin…!!

Unaaha,27 desember 2020

i
Daftar isi

Kata Pengantar.......................................................................................................................................i
Daftar isi................................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................4
1.3 Tujuan....................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................5
2.1 Sejarah Bhineka Tunggal Ika.................................................................................................5
2.2 Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia...........................7
2.3 Penerapan Bhineka Tunggal Ika............................................................................................8
2.4 Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia........................12
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................18
3.2 Saran..........................................................................................................................18
Daftar Pustaka .........................................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN 
1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman. Indonesia terdiri
atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan,
dll. Namun Indonesia mampu mepersatukan bebragai keragaman itu sesuai dengan
semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” , yang berarti berbeda-beda tetapi
tetap satu jua.
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah kepercayaan yang ada di bumi
Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan
kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan
daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan
kelompok suku bangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta
orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga
mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari
pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini
juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan
masyarakat di Indonesia yang berbeda.
Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses
asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis
kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-
agama besar di Indonesi juga ikut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia
sehingga mencerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia
adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat
heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku
bangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional
hingga ke modern, dan kewilayahan. Dengan keanekaragaman kebudayaannya
Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara
lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara
berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya

1
kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan
berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita
temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan
kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang
hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan
terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa
konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok
sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan. Didasari pula bahwa dengan
jumlah kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara,
dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya,
pakaian adat, rumah adat kesenian adat bahkan makanan yang dimakan pun beraneka
ragam.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki karakteristi yang
unik ini dapat dilihat dari budaya gotong royong, teposliro, budaya menghormati orang
tua (cium tangan), dan lain sebagainya.
Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat
dari penggalan kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan
Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu (berbeda-
beda tetapi tetap satu jua). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa
Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi
bagian dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan
bangsa, artinya Bhinneka Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas dari
campur tangan para pendiri bangsa yang mengerti benar bahwa Indonesia yang
pluralistik memiliki kebutuhan akan sebuah unsur pengikat dan jati diri bersama.
Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan
geopolitik dan geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam
agama, ide, ideologis, suku bangsa dan bahasa.
Kebhinekaan Indonesia itu bukan sekedar mitos, tetapi realita yang ada di depan
mata kita. Harus kita sadari bahwa pola pikir dan budaya orang Jawa itu berbeda
dengan orang Minang, Papua, Dayak, Sunda dan lainnya. Elite pemimpin yang berasal
dari kota-kota besar dan metropolitan bisa jadi memandang Indonesia secara global
akan tetapi elite pemimpin nasional dari budaya lokal tertentu memandang Indonesia

2
berdasarkan jiwa, perasaan dan kebiasaan lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara
pandang kita tentang Indonesia berbeda. Jadi tanpa kemauan untuk menerima dan
menghargai kebhinekaan maka sulit untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Apa yang dilakukan oleh pendahulu bangsa ini dengan membangun kesadaran
kebangsaan atau nasionalisme merupakan upaya untuk menjaga loyalitas dan
pengabdian terhadap bangsa.
Selama ini sifat nasionalisme kita kurang operasional atau hanya berhenti pada
tataran konsep dan slogan politik. Nasionalisme bisa berfungsi sebagai pemersatu
beragam suku, tetapi perlu secara operasional sehingga mampu memenuhi kebutuhan
objektif setiap warga dalam suatu negara-bangsa. Tradisi dari suatu bangsa yang gagal
memenuhi fungsi pemenuhan kebutuhan hidup objektif akan kehilangan peran sebagai
peneguh nasionalisme. Saat ini diperlukan tafsir baru nasionalisme sebagai kesadaran
kolektif di tengah pola kehidupan baru yang mengglobal dan terbuka. Batas-batas fisik
negara-bangsa yang terus mencair menyebabkan kesatuan negara kepulauan seperti
Indonesia sangat rentan terhadap serapan budaya global yang tidak seluruhnya sesuai
tradisi negeri ini. Disamping itu realisasi otonomi daerah yang kurang tepat akan
memperlemah nilai dan kesadaran kolektif kebangsaan di bawah payung nasionalisme.
Di samping itu bangsa Indonesia relatif berhasil membentuk identitas nasional.
Beberapa bentukidentitas bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Bahasa Nasional atau persatuan, bahasa Indonesia.


2. Dasar filsafat Negara yaitu pancasila.
3. Lagu kebangsaan Indonesia Raya.
4. Lambang Negara Garuda Pancasila.
5. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika
6.  Bendera Negara Sang Merah Putih.
7. Konstitusi Negara yaitu UUD 1945.
8. Bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia.
9.  Konsep Wawasan Nusantara.
10. Kebudayaan daerah yang diterima sebagai kebudayaan nasional.

Dari ke-10 identitas bangsa Indonesia tersebut akan dibahas salah satu yaitu
mengenai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupaka semboyan pemersatu
bangsa Indonesia.

3
UUD Republik Indonesia menyatakan dengan tegas tentang realitas multikultural
Bangsa Indonesia. Kenyataan tersebut dilukiskan di dalam lambang negara “Bhinneka
Tunggal Ika.” Kebhinnekaan masyarakat dan bangsa Indonesia diakui bahkan dijadikan
sebagai dasar perjuangan nasional permulaan abad ke-20. Untuk itu integrasi nasional
bangsa Indonesia pun harus diwujudkan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk
karena masyarakat yang majemuk merupakan salah satu potensi sumber konflik yang
menyebabkan disintegrasi bangsa. Agar identitas bangsa Indonesia di mata dunia
terkenal dengan bangsa yang majemuk tetapi satu dalam keanekaragaman (suku,
bahasa, agama, dll, yang berbeda-beda) semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus
diwujudkan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang kami jabarkan diatas, maka dapat diambil
beberapa rumusan masalah guna menunjang isi makalah ini, antara lain :
Bagaimana perjalanan Sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai bentuk identitas
Bangsa Indonesia. Kapan pertama ditetapkannya, penerapan Bhineka Tunggal Ika, dan
Pengimplementasiaan Lambang Bhineka Tunggal Ika pada saat ini?

1.3 Tujuan

Tujuan yang dapat diperoleh dari Lambang Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda
tetap satu jua, yang dimana kita sebagai penerus bangsa agar tetap bersatu di era
Globalisasi ini.
1.4 Manfaat
Dari makalah ini dapat kami peroleh manfaat bagi semua orang dan orang yang
membacanya, bahwasanya dalam hidup berbangsa dan bernegara dapat memaknai dan
melakukan apa yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika dan Bisa menjadikan
dalam kehidupan untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada
kepentingan pribadi.  Dan juga dapat Memaknai arti Bhineka Tunggal Ika yang saat ini
sudah mulai memudar dan dapat menjaga persatuan Bangsa Indonesia.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Bhineka Tunggal Ika

Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat


panjang, yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Semboyan Bhineka
Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan
Wisnuwardhana. Perumusan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu
Tantular dalam kitab Sutasoma.
Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha
mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan sehubungan
usaha bina Negara kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan Negara Indonesia ini telah
memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa
kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah menumbuhkan semangat persatuan dan
kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada
perbedaan dalam hal kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di kalangan
masyarakat Majapahit. Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, konsep Bhineka Tungggal Ika bukan hanya perbedaan agama dan
kepercayaan menjadi fokus, tapi pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika sebagai
semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan suku, bangsa, budaya
(adat istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang menuju
persatuan dan kesatuan Nusantara.
Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti Satu, dan Ika
berarti Itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda, tapi pada
hakekatnya satu. Dengan kata lain, seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju
tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan Negara Indonesia.
Berbicara mengenai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi
menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun
1951 pada 17 Oktober 1951 dan di-Undang-kan pada 28 Oktober 1951 sebagai
Lambang Negara. Usaha pada masa Majapahit maupun pada masa pemerintahan
5
Indonesia berlandaskan pada pandangan yang sama, yaitu pendangan mengenai
semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar untuk
menegakkan Negara.
Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa dipakai sebagai motto
lambang Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Makna dari semboyan itu adalah
“Tidak ada kebenaran yang bermuka dua”. Namun, Lemhanas kemudian mengubah
semboyan tersebut mejadi yang lebih praktis dan ringkas, yaitu “Bertahan karena
benar”. Makna “Tidak ada kebenaran bermuka dua” sebenarnya memiliki pengertian
agar hendaknya manusia senantiasa berpegangan dan berlandaskan pada kebenaran
yang satu.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalaha ungkapan
yang meamaknai kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit. Tidak hanya
Siwa dan Budha, tapi juga seajumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih
duku sebagian besar anggota masyarakat Majapahit yang memiliki sifat majemuk.
Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari,
yakni pada masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (candi Jago),
semboyan tersebut dan Candi Jago disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit.
Oleh karena itu, kedua simbol tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban masa
Kerajaan Majapahit.
Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat
yang majemuk. Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri
sendiri, muncul juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa dan Budha
serta pemujaan terhadap roh leluhur. Namun, kepercayaan pribumi tetap bertahan.
Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan
mayoritas masyarakat.
Pada saat itu, masyarakat majapahiat tebagi menjadi beberapa golongan. Pertama,
golongan orang-orang Islam yang datang dari barat dan menetap di Majapahit. Kedua,
golongan orang-orang China yang mayoritas beasal dari Canton, Chang-chou, dan
Fukien yang kemudian bermukin di daerah Majapahit.
Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan agama
Islam. Ketiga, golongan penduduk pribumi. Penduduk pribumi ini jika berjalan tidak
menggunakan alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Penduduk pribumi
sepenuhnya percaya pada roh-roh leluhur.

6
2.2 Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular,
pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja
Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam
karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana
dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang
mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam
pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman
agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda
agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.
Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia
sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah
No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus
1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang
Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian
dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua,
Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat dalam
Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD 1945 yang
menyebutkan :”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika merupakan
semboyan yang merupakan kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh
karena itu untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan
bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk
selanjutnya difahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan
benar pula.
Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam
kehidupan yang terikat dalam suatu kesatuan. Prinsip pluralistik dan multikulturalistik
adalah asas yang mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama,
keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut
dihormati dan dihargai serta  didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat
keanekaragaman tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan
dikembangkan dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan

7
kekuatan yang dimiliki oleh  masing-masing komponen bangsa, untuk selanjutnya
diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa untuk dimanfaatkan dalam
menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.
Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan
terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian
deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya bangsa. Sifat
terbuka yang terarah merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern.
Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan
terbentuknya masyarakat yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat
menghormati, tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak memaksakan kehendak
yang menjadi keyakinannya kepada pihak lain. Segala peraturan perundang-undangan
khususnya peraturan daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik
dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD
1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi
peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi
kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan
daerah harus dari putra daerah, menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang
semata-mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya
perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat
yang damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.

2.3 Penerapan Bhineka Tunggal Ika

Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat


multikultural/majemuk sebagai pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi wacana dan
sumbang saran kepada semua pihak, terutama para pelaksana dan penentu kebijakan
diberbagai instansi tekait, agar dapat dijadikan tambahan acuan dalam menentukan
peraturan berkaitan dengan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-
an oleh masyarakat multikultural sebagai pilar nasionalisme yang kokoh dan trengginas
dalam menghadapi perubahan globalKalimat yang terpampang pada pita putih yang
tercengkeram oleh kaki burung garuda, lambang negara Indonesia yaitu BHINNEKA
TUNGGAL IKA memiliki makna yang menggambarkan keragaman yang dimiliki

8
bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan satu
kesatuan Indonesia.
Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari asal usul
kalimatnya yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah penggambaran dari dua
ajaran atau keyakinan yang berbeda kala itu, namun pada dasarnya memiliki satu
kesamaan tujuan.
Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya memahami
benar arti dan makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat itu merupakan
bentuk pernyataan beliau dari suatu keadaan yang sedang dialami, namun kenyataannya
dapat diterapkan dan diterima hingga saat sekarang ini. Dan memang seperti itulah
seorang yang populis, berani menyampaikan sesuatu yang belum pernah diperdengarkan
sebelumnya dan menyampaikan dengan bahasa yang populer, yaitu bahasa yang bisa
diterima saat itu, saat ini dan suatu saat yang akan datang.
Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa
yang dapat dipahami atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau pembacanya
sesuai tingkat pemahamannya masing-masing.
Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika dalam
perwujudan sehari-hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari seringkali
ditemui, namun untuk memahaminya terkadang masih terasa sulit, apalagi mengakuinya.
Ada ungkapan yang menyatakan “perbedaan adalah rahmat” dan inipun terkadang
menjadi bahan perdebatan.
Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang dan
malam itu berbeda tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan beda tapi
saling mengisi dalam kehidupan, salah dan benar, baik dan buruk yang Tuhan ciptakan
tentu tidak dapat disangkal, lalu mengapa Tuhan ciptakan itu semua? Apabila perbedaan
itu seharusnya tidak perlu ada, apakah kemudian kita berpikir bagaimana sebaiknya
Tuhan? Mengakui perbedaan terkadang terasa sulit seperti halnya mengakui kebenaran
orang lain daripada melihat sisi salahnya. Tangan dan kaki, telinga dan mata, yang kanan
dan kiri memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi saling menyempurnakan bentuk
manusia itu secara utuh. Ketika dalam satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anaknya masing-masing memiliki perbedaan pendapat apakah itu tidak boleh? dan
apabila si anak memiliki keinginan yang bertentangan dengan orang tuanya apakah
kemudian menjadikan terputusnya hubungan darah? Kemudian apabila alam semesta
yang beraneka ragam ini tercipta karena adanya hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya,

9
apakah akan menjadikan putusnya hubungan, apabila ciptaan tidak mengakui
penciptanya? Perbedaan adalah kenyataan yang tidak bisa terelakan lagi, mulai dalam
diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara atau dunia.
Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras tidak saling
mendahului tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena keselarasan itu maka
dalam pertemuan malam dengan siang terlahir fajar yang indah, begitu pula siang yang
digantikan malam tercipta senja yang penuh misteri, hal itu terwujud karena adanya
keselarasan alam yang berbeda tetapi bersatu menciptakan hari.Lalu bagaimana dengan
perbedaan diantara kita, apakah bisa berjalan selaras agar tercipta kedamaian?
Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang sangat besar
dengan menjadikan kalimat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” ini sebagai simbolis Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami arti dan makna yang terkandung
didalamnya serta dengan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri
sendiri, berharap bangsa ini berjalan dengan selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang
besar.
Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila  sebagai landasan ideologi yang berjiwa
persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an (persatuan dalam perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan
nasional guna mencapai tujuan nasional. Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat
dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu jamak, plural, dan daerah yang beragam,
terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan, agama,
kepercayaan  kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus diwujudkan dan diaktualisasikan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasinya dalam kehidupan
nasional adalah, memahami kemajemukan sosial dan budaya atau multikulturalisme
sebagai dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.
Pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dimaksud adalah
menerapkan atau melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara individu, kelompok masyarakat, dan bahkan secara
nasional, mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan
nasional di seluruh lapisan masyarakat yang jumlahnya besar (sekitar 230 juta jiwa) dan
beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang kondusif untuk pembangunan
masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.

10
Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang
menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok, dalam
berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan berkebangsaan 
Faktor utama mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah  pemahaman nilai-
nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan bahkan pemimpin atau penguasa
mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat dilihat dari kecenderungan
terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang berbeda agama, ras,
suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta rendahnya moral penguasa seperti
banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat hukum akibat korupsi.
Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat
dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural,  nilai-nilai budaya bangsa
sebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus tetap dipelihara sebagai
pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah persatuan dan kesatuan bangsa itu
akan lenyap tanpa bekas, atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan
nilai-nilai global yang menantang kesatuan negara bangsa (union state) Indonesia?
Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke Bhinnekatunggal Ikaan 
Hal  inilah yang menjadi permasalahan  dalam kajian ini agar terwujud dan terpelihara
secara langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme
Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam
pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas
sosial mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan pada
diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model adalah suatu model
dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas asal (kesukuan
atau daerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga memiliki suatu
tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.
Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian
seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama
yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan asalnya sebagai
orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih diutamakan yaitu
sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau daerah lebih rendah
nilai dan
keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka
Tunggal Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.

11
Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha
mempersatukan seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika kita
Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan “Inggris kita Linggis” dimana pada kesempatan
tersebut beliau menebar propaganda bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki
musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang, Amerika dan Inggris.
Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan
tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan setanah
air. Perasaan, semangat dan tujuan seperti itulah yang akan membuat masyarakat
heterogen menjadi bersatu, membentuk suatu identitas sosial nasional yang lebih kuat
daripada kepentingan kelompok, golongan dan pribadi.
Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah
kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu
model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama
antar semua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena memiliki suatu
tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.
Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama
lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap
minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-
cita luhur bersama.
Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa
ini adalah menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita, imperialis,
orientalis, penyusupan paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam
negeri sendiri seperti pengkhianatan, fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang
bertujuan memperkeruh keadaan, menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadi
aksi-aksi dengan hasil keadaan yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-cita
luhur.

2.4 Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia

Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-
prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah
sebagai berikut :

12
1. Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan
konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau
komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam
agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan
untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam
kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip
yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini
yang kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan
dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya
daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto disebut
sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk
mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.
2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling
benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan
sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan
tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan
persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas
dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan
minoritas.
3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku
semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling
hormat menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian
maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.
4. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan
yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik
temu,  dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh
sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.
5. Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai:
1. inklusif, tidak bersifat eksklusif,
2. terbuka,
3. ko-eksistensi damai dan kebersamaan,
4.  kesetaraan,

13
5. tidak merasa yang paling benar,
6. toleransi,
7. musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda.

Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal
Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika
ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.5 Perilaku inklusif. 


Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa
dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa
besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan
menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat
diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
2.6 Mengakomodasi sifat pluralistik. 
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk
oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan
bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah
demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik
dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan
mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati,
mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara
tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok
dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia.
Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi
reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela gandong,
suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi
semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama
berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual
keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan
sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola
kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.
2.7 Tidak mencari menangnya sendiri. 

14
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya
sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur
dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat
merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini
tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi,
tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai
keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
2.8 Musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan
“musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan
kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih
sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah
untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi
dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa
disebut sebagai win win solution.
2.9 Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang
jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus
dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila
pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi,
sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah
untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan
golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya
mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
2.10 Toleran dalam perbedaan.
Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa,
dan adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama dengan
agama lain, sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan. Pandangan
semacam ini akan menumbuhkan rasa saling menghormati, menyuburkan semangat
kerukunan, serta menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.
Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan
ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu

15
mengimplementasikan secara tepat dan benar, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan
bersatu selamanya.
Bhineka Tunggal Ika pada era Glablisasi saat ini, Indonesia pada saat ini banyak
mengalami kemunduran persatuan dan kesatuan. Penyebabnya adalah adanya
ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, belum stabilnya kondisi politik pemerintahan
di Indonesia menjadikan rakyat tumbuh menjadi rakyat yang apatis terhadap pemerintah.
Dampak  buruk globalisasi yang membawa kebudayaan-kebudayaan baru menjadikan
komposisi kebudayaan masyarakat Indonesia menjadi lebih kompleks atau rumit. Karena
banyaknya kebudayaan baru yang datang dan diterima begitu saja, menyebabkan
terjadinya penyimpangan kebudayaan di masyarakat. Belum lagi masalah klasik yang
sepele namun berdampak serius seperti perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan
yang semakin memecah belah kesatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Melihat kondisi
seperti ini tentu kita semua tidak boleh pesimis dan patah semangat, Semboyan negara
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, selamanya akan
tetap relevan untuk mengiringi kehidupan bernegara di negeri yang multikultural ini,
karena komposisi kehidupan rakyat Indonesia akan terus beragam sampai kapanpun.
Ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, perbedaan suku, agama, ras dan antar
golongan di antara kita janganlah dijadikan pembeda. Perkembangan jaman yang cepat
dan masuknya budaya baru biarkanlah berlalu, karena pada dasarnya kita semua satu,
satu bangsa, Bangsa Indonesia. Satu tanah air, Tanah air Indonesia. Satu bahasa, bahasa
Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua. Jaya Indonesia !

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pemahaman nilai-nilai Bhinneka-Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia dapat
wujud secara integral dengan kerjasama seluruh komponen bangsa, baik oleh pemerintah
selaku penyelenggara negara maupun setiap insan pribadi warga. Peningkatan sosialisasi
aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dilakukan melalui
tindakan nyata dalam kehidupan keseharian seluruh kompenen warga dalam rangka
memperkuat integrasi nasional, karena Indonesia dengan keberagaman budaya,
suku/etnik, bahasa, agama, kondisi geografis, dan strata sosial yang berbeda. Indonesia
dengan gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di
bawah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya pemerintah yang
menjalankan proses pembangunan masyarakat harus bersinergis untuk bersama-sama
dengan rakyat tanpa membedakan keberagaman budaya, bahasa, agama, suku/etnik, dan
bahkan strata sosial, mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan komitmen bersama,
berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang
termaktub dalam Pancasila.  Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia yang terintegrasi
secara nasional adalah sangat penting sebagai kekayaan dan merupakan potensi yang
dapat dikembangkan sehingga dapat dimanfaatkan dalam sistem komunikasi sebagai
acuan utama bagi menunjukkan  jati diri bangsa Indonesia sebagai nasionalisme
Peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan sosial budaya sebagai pencitraan
dari budaya bangsa Indonesia yang semakin dewasa merupakan upaya membangun citra
diri didasarkan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka-an yang dimiliki, dapat
menjadi investasi yang diandalkan pada pelaksanaan pembangunan nasional sebagai salah
satu pilar demokrasi. Untuk itu diharapkan tindakan nyata oleh pemerintah agar
memaknai  pentingnya kondisi kemajemukan yang terintegrasi secara nasional melalui

17
wawasan kebangsaan di era globalisasi saat ini untuk menjaga kedaulatan NKRI. Untuk
merealisasikan harapan ini.

3.1 Saran
Masyarakat dan segenap komponen bangsa harus lebih dewasa dalam
mengaktualisasikan pemahaman nila-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam
mewujudkan integrasi nasional di negara yang dikenal dengan kemajemukannya
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 demi pencapaian tujuan nasional.

18
DAFTAR PUSTAKA
H.A.R. Tilaar. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlmn 181.
H.A.R. Tilaar. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlmn xvii.
Dr Udin S.Winataputra,M.A. 2009. Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal IKa dalam
Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa
Indonesia.

19

Anda mungkin juga menyukai