Disusun Oleh :
Kelompok 8 – B2AKR
i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan segala nikmat, rahmat, hidayat, dan inayah-Nya kepada
kami semua sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
Integrasi Nasional ini dengan baik dan tepat waktu.
Dalam proses penyusunan makalah ini, kami mendapat banyak bantuan,
masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Yang semua itu sangat
bermanfaat bagi kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.Oleh
karena itu, melalui kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang tulus
kepada:
1. Ibu Ulfa Mey Lida M.Pd, selaku dosen mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahun dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.
2. Semua pihak yang telah berpartisipasi dengan membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Kami
berharap semoga gagasan pada makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Penyusun
Kelompok 8
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Maksud Dari Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralitis............................3
B. Saran......................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA........................................................................26
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebangsaan berasal dari kata bangsa yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2002) berarti kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat,
bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan kebangsaan
mengandung arti (1) ciri-ciri yang menandai golongan bangsa, (2) perihal bangsa;
mengenai (yang bertalian dengan) bangsa, (3) kesadaran diri sebagai warga dari suatu
negara. Dengan demikian wawasan kebangsaan dapat diartikan sebagai konsepsi cara
pandang yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara akan diri dan
lingkungannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris nation ) dengan mewujudkan satu
konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.Nasionalisme dapat menonjolkan
dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer
berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori
tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan
sebahagian atau semua elemen tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat
Pluralistis?
2. Apa yang membedakan wawasan lokal dengan wawasan nusantara?
3. Bagaimana substansi wawasan kebangsaan berkaitan dengan SARA dalam
pluralitas masyarakat Indonesia?
4. Bagaimana Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional?
5. Bagaimana nasionalisme pada bangsa Indonesia berjalan?
C. Tujuan
1. Memahami akan pemahaman kritis SARA dalam pluralitas bangsa
2. Menambah wawasan akan arti daripada hakikat wawasan kebangsaan
3. Mengetahui substansi wawasan kebangsaan berkaitan dengan pluralitas
masyarakat Indonesia
4. Mengetahui wawasan kebangsaan dan integritas nasional
5. Memahami nasionalisme pada bangsa Indonesia berjalan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Hal ini disebabkan bukan saja karena setiap etnik mempunyai daerah asal
yang jelas otonomi dan batas-batasnya, melainkan juga memiliki kultur politik
(political culture) yang beragam. Dalam kondisi variasi kultur ini, kultur politik
yang berkembang pada masyarakat lokal bisa sama dan bisa berbeda dengan
kultur politik negara.Pernyataan ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa persoalan
kebudayaan tidak saja penting menjadi agenda masyarakat lokal akan tetapi juga
penting menjadi tanggungjawab pemerintah (negara). Dan ini terkadang bisa
menyebabkan hubungan antara masyarakat lokal dan negara menjadi tidak
seimbang, lantaran terdapatnya benturan nilai-nilai kultural rakyat dan nilai yang
dikembangkan sebagai kultur negara.
3
3. Kurangnya mengembangkan konsensus di antara para anggota terhadap
nilai-nilai yang bersifat mendasar;
4. Secara relatif sering kali mengalami konflik di antara kelompok dengan
kelompok lain;
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coersion) dan saling
ketergantungan; dan
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok
lain. Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang ditandai oleh beragamnya
kebudayaan daerah, pada dasarnya merupakan masyarakat yang rentan
akan konflik.
Kendatipun disadari adanya pepatah Jawa; desa mawa cara dan kutha
mawa tata (desa dan kota yang memiliki cara dan aturan sendiri-sendiri), hal
demikian bisa jadi akan berpengaruh bagi wawasan mereka, ketika pola pikir
lokal ditempatkan dalam kerangka pikir kehidupan berbangsa dan bernegara
(nasional). Dalam kaitan itu, ketika persoalan kebudayaan dipandang penting
sebagai agenda pemerintah dan demikian seringnya persoalan kebudayaan
dimasukkan dalam konteks kehidupan berbangsa, berakibat penanganan masalah
kebudayaan berubah menjadi argumen politik pemerintah. Dalam kasus negara
kita, kebudayaan politik (political culture) sebagian besar ditandai oleh usaha
pemerintah untuk mencapai politik kebudayan (political culture).1
1
Harus Nasution, Pancasila Sebagai Maksud Masyarakat Pluralitas, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
112.
4
Berkaitan dengan dua konsep itu, Emersen (dalam Egnas Kleden, 1987),
menegaskan bahwa kebudayaan politik adalah orientasi budaya kelompok elite
politik yang sangat menentukan orientasi politik mereka sendiri; sedangkan
politik kebudayaan menunjukkan kepada kenyataan dimana perbedaan-perbedaan
kebudayaan diperpolitikkan dan perbedaan politik diungkapkan dalam idiom-
idiom kebudayaan. Bagaimanakah agar urusan budaya tidak mudah terseret dalam
kawasan politik-politikkan dan hanya mengarah padaargumen politik pemerintah?
Untuk menjawab persoalan itu, pemerintah (negara) harus mampu merumuskan
kebijakan nasional tentang budaya, yang tidak menguntungkan negara saja, tetapi
juga menguntungkan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk tadi. Dalam
hal kebudayaan, negara tidak perlu merumuskan kebijakan nasional seperti apa,
melainkan cukup memberikan kelonggaran bagi budaya lokal (daerah) agar
mampu berekspresi dan menghormati aspirasi dan keunggulan masing-masing.
Perlu disadari, bahwa dalam konteks bangsa dan negara Indonesia, aspirasi
budaya lokal merupakan sebuah potensi bangsa yang sangat bermakna bagi
pembangunan nasional, terutama bagi nation and character building Indonesia.
Oleh karena itu, lembaga-lembaga kenegaraan seyogyanya berkonsentrasi penuh
dalam memahami hal ini, dan secara politik berperan sebagai culture broker
(pialang budaya) antara negara dengan entitas budaya masyarakat lokal yang
beragam. Pentingnya posisi penghubung dalam menjembatani antara dua kubu
negara dan masyarakat, elite dengan massa, logika nasional dan logika lokal
(daerah) menjadi keharusan yang dilakukan bagi para pengambil keputusan dan
penentu arah pembangunan.
5
Sementara itu, Kroeber dan Kluckhohn (dalam Mulyana, 1993)
mengidentifikasikan budaya sebagai pola (pattern) yang eksplisit dan implisit
dalam perilaku manusia yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol-simbol
yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-
benda budaya. Sebagai suatu pola, budaya selalu mengacu pada sistem
pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam
mengatur pengalaman dan persepsi mereka, dalam menentukan tindakkan dan
memilih di antara alternatif yang ada. Senada dengan itu, Philips R. Harris (dalam
Mulyana, 1993) mengatakan bahwa budaya adalah gaya hidup kelompok manusia
tertentu.
Oleh karena itu, budaya memberi identitas kepeda sekelompok orang. Dia
memiliki karateristik yang terjabar dalam aspek-aspek budayanya, misalnya
bahasa, pakaian, penampilan, kebiasaan makan, nilai dan norma, kepercayaan dan
sebagainya. Budaya memang sangat erat dengan kehidupan manusia, mulai dari
gagasan pola aktivitas tingkah laku sampai dengan produkbenda-benda budaya.
Demikian halnya dengan kehidupan politik. Tingkah laku manusia dan pilihan-
pilihan politiknya, banyak ditentukan oleh latar belakang budaya; atau bahkan
orientasi politik pun sangat ditentukan oleh budaya.
22
Soenaryo, Poespowardoyo, Pluralitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 1989), 76-78.
6
Karena itu, dalam merespon perubahan biasanya lebih menggunakan
kekuatan endoginnya sehingga cenderung bertahan dan melakukan proses
adaptasi yang cenderung lambat. Sedangkan budaya luar-Jawa, lebih banyak
mewakili kebudayaan yang cenderung terbuka terhadap perubahan. Cara
komunikasi dan interaksi yang menjadi acuan bagi individu nampak bersifat
langsung, tidak berbelit dan sedikit menggunakan simbol atau perlambang.
Karakteristik budaya tersebut, menunjukkan aspirasi lokal yang tumbuh dan
berkembang pada daerah-daerah di mana bangsa Indonesia berada. Pemahaman
dan pengkajian secara cermat, kritis dan penuh kehati-hatian terhadap aspirasi
budaya itu, akan menentukan proses interaksi sosial bagi masyarakat Indonesia
yang beraneka ragam. Karena itu aspirasi lokal.
7
Namun demikian, dalam tataran lokal (daerah) bangsa Indonesia memiliki
apa yang disebut dengan wawasan lokal. Hal ini disebabkan karena bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang memeluk agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda-beda, berbicara dalam
bahsa daerah yang berbeda-beda, memiliki adat kebiasaan (budaya daerah) yang
berbeda-beda pula. Wawasan lokal dirasakan sangat perlu bagi kehidupan
masyarakat di daerah, karena dapat digunakan dalam mengembangkan potensi
dan kelebihan setiap daerah. Selain itu, dengan wawasan lokal dapat digunakan
sebagai cara pandang setiap daerah untuk mengetahui dan memperbaiki berbagai
kekurangan yang dimilikinya.
Bangsa Indonesia secara politis memang satu bangsa, namun secara sosial
budaya, kita hidup dalam sebuah masyarakat dan geografis yang berbeda-beda. Ini
adalah sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri serta sebuah kenyataan yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya wawasan lokal dan menuju ke
wawasan nasional. Berkaitan dengan dua wawasan tersebut, hubungan wawasan
nasional (wawasan nusantara) dengan wawasan lokal, hendaknya tidak kita
maknai sebagai sesuatu yang kontradiktif. Sebab, antara keduanya selalu memiliki
hubungan yang erat dan tidak terpisahkan. Munculnya keanekaragaman wawasan
lokal jangan sampai sebagai sebab timbulnya perpecahan (disintegrasi) bangsa.
3
Soediman, Kartohadiprojo, Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, (Bandung: Gramedia, 1970), 53-55
8
Selanjutnya, wawasan lokal tidak boleh bertentangan dengan wawasan
nasional, dalam arti tidak boleh keluar dati konteks wawasan nasional.
Keperbedaan wawasan lokal dengan wawasan nasional, harus diartikan sebagai
variasi dan kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang diangkat dari
keanekaragaman budaya yang ada. Secara demikian, munculnya wawasan
nasional merupakan resultante (hasil)interaksi dari wawasan lokal yang
beranekaragam.
4
Kaelan, Pancasila Sebagai Wawasan Bangsa Lokal dan Nusantara, (Yogyakarta: Paradigma
Ofset, 2008), 275.
9
C. Wawasan Kebangsaan Berkaitan Dengan SARA Dalam Pluralitas
Masyarakat Indonesia
5
Budi, Santoso, dkk, Pendidikan dan Wawasan Kebangsaan,, (Jakarta. Gramedia Pustaka Utama,
2005), 88-101.
10
Agar hal itu tidak muncul dalam praktik kehidupan, salah satu caranya
adalah dengan meletakkan peran negara sebagai fasilitator, dinamisator, dan
stabilisator kekuatan-kekuatan yang ada dalam komponen SARA. Negara
jugaharus mampu menjembatani atau mengakomodasi setiap benturan
kepentingan. Syaratnya, negara harus benar-benar embedded (tertanam dan
mengakar) dalam masyarakatnya sehingga setiap kebijakan yang ditelurkan selalu
mewakili masyarakatnya (Nugroho, 1997). Dengan kata lain, peran tersebut hanya
bisa terjadi dalam negara yang sistem politiknya bersifat demokratis.
11
Dengan kata lain, semakin kuat wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh
suatu bangsa akan semakin mantap pula integrasi nasionalnya. Secara demikian,
wawasan kebangsaan dan integrasi nasional adalah kata kunci untuk membina
dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam kaitan itu,ada
beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk membangun wawasan kebangsaan
Indonesia yang solid dan integrasi nasional yang mantap serta kokoh.
12
Posisi lokal hendaknya juga perlu diperhatikan dalam menentukan
pendirian bangsa Indonesia atas semangat kebangsaannya. Abad ke-21, milenium
baru yang bercirikan liberalisasi dan perdagangan serta mendewa-dewakan
budaya global itu,bisa melanda bangsa-bangsa yang melewah wawasan
kebangsaannya. Itulah sebabnya, mantra abad baru sebagaimana oleh John
Neisbiett (1994) yang berbunyi Berpikirlah Lokal, bertindaklah Global (think
locally, act globally), menjadi penting diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia. Mantra itu, sebagai kebalikan dari frasa lama,yaitu
Berpikirlah Global,Bertindaklah Lokal (think globally,act locally).
6
Ayu, dkk, Pancasila Sebagai Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional, (Riau: Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, 2014), 47-50.
13
Dengan cara ini perbedaan tetap diakui, karena dengan ini masyarakat
akan bebas berekspresi selaras dengan aspirasi dan way of life yang diangkat
dengan nilai-nilai moral yang bersumber dari budaya daerah setempat (local).
Disamping itu, integrasi nasional yang defersifikatif lebih nampak
demokratis,ketimbang integrasi nasional yang unifikatif yang justru mengarah
pada perkosaan HAM dan memungkiri realitas perbedaan.Integrasi nasional yang
defersifikatif,lebih sesuai dengan semboyan yaitu Bhineka Tunggal Ika yang
artinya berbeda-beda itu pada hakekatnya adalah satu. Karena perbedaan
masyarakat merupakan realitas sosial, maka keberadaannya tidak bisa
dilenyapkan.
Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apa pun, termasuk
menuju unifikasi masyarakat,cenderung akan menimbulkan keresahan,gejolak
sosial,kerusuhan massa dan pasti berakhir dengan disintegrasi
bangsa.Kemajemukan masyarakat (plures) tidak dapat dilenyapkan demi jargon
persatuan dan kesatuan,sebab persatuan itu harus dicapai lewat keberadaan
pluralitas (Berger dan Neuhauss, 1977). E. Nasionalisme dalam Perspektif
Indonesia Nasionalisme dan Negara bangsa (nation state) sebagai wadah
organisasi sosial yang membungkusnya yang merupakan dua kekuatan terbesar di
dunia. Keduannya mampu mendominasi wacana politik dunia selama abad 20
secara bertahap tetapi pasti, sekarang mulai berhadapan dengan sejumlah
tantangan yang menempatkan keduannya dalam posisi yang cukup sulit.
Kajian atas nasionalisme dan bangsa, dan juga negara bangsa,hingga kini
masih tetap menjadi perdebatan oleh para ahli. Bagi sejumlah ahli, bangsa dan
kesadaran berbangsa diyakini merupakan representasi atau perwakilan dari negara
masa lalu yang terkait dalam upaya-upaya realisasi diri. Bangsa dalam makna ini
adalah suatu entitas primordial yang merupakan bawaan yang melekat dalam
nature dan sejarah manusia. Secara objektif suatu bangsa dapat diidentifikasi
lewat perbedaan-perbedaannya dengan bangsa lain dalam hal cara pandang,
keterikatan dengan tanah air, dan perjuangan-perjuangan untuk mendapatkan
otonomi politik.
14
Namun demikian, rumusan yang pasti mengenai nasionalisme dan negara
bangsa sangat sulit untuk digagaskan. Tetapi jika diperhatikan arena persemaian
awal, konsepsi tentang nasionalisme dan negara bangsa dan diikuti logika dibalik
kehadiran nasionalisme dan negara bangsa yang tumbuh di negara-negara bekas
jajahan, kita akan menemukan bahwa keduannya pada dasarnya adalah fakta
perjanjian antara warga negara yang berdaulat dengan negara (Lay, 1997).
Nasionalisme dan negara bangsa secara radikal telah merombak struktur kesetiaan
politik rakyat dari kesetiaan kepada dinasti menjadi prinsip kedaulatan rakyat.Ia
juga telah merombak secara radikal struktur kesetiaan pada tuan penjajah untuk
digantikan dengan gagasan tentang kewarganegaraan.
Oleh karena itu, mustahil berbicara nasionalisme dan negara bangsa tanpa
mengkaitkan dengan isu-isu di atas. Jika gagasan nasionalisme dan negara bangsa
diatas dicermati, logikanya sangat sedikit orang tidak sepakat dengan keduanya.
Di dalam konsep nasionalisme dan negara bangsa melekat semua nilai-nilai
kemanusiaan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap peradapan manusia. Tetapi
seperti terungkap pada tingkat praktis dalam masyarakat politik Indonesia,
nasionalisme bisa dengan muda melahirkan penolakan atau sinisme dikalangan
masyarakat. Nasionalisme secara politik agar menjauhi atau menerima sesuatu
yang bertentangan dengan hati nurani dan aspirasinya. Dalam konteks menjauhi
atau menerima tersebut, nasionalisme Indonesia, sering mengalami hambatan di
hadapan massa rakyat dan pemerintahannya sendiri.
15
Dalam kaitan ini Cornelis Lay (1997) sempat mengidentifikasi, yang
antara lain disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,berkaitan dengan
pemahamannya yang mendalam sebagai suatu ideologi. Ia bahkan dipahami
sebatas sebagai salah satu aliran politik yang pernah malang-melintang dirimba
raya politik (masa lalu) Indonesia. Dike-rangkengnya nasionalisme Indonesia
dalam salah satu kekuatan politik dimasa lalu (baca:PNI jaman ORLA), telah
mewarnai dan memerosotkan posisi nasionalisme sampai pada fase sebatas
sebagai aliran politik. Padahal nasionalisme bukan semata-mata berfungsi sebagai
ideologi. Sekalipun ia merupakan gejala yang mudah ditemui disembarang
belahan dunia, dan sekalipun ia menduduki dasar moral dan emosi seperti halnya
dengan ideologi, ia tidak memiliki prinsip-prinsip universilitas seperti sosialisme
atau kapitalisme misalnya yang memungkinkannya untuk diklaim semata-mata
sebagai ideologi.
16
Karena itu, didalam Negara Indonesia yang merdeka, terletak kewajiban
bagi negara dan kita semua untuk memerdekakan setiap individu. Dengan
demikian, bukan semata-mata kemerdekaan bangsa yang menjadi pusat perhatian
nasionalisme, akan tetapi sekaligus kemerdekaan individu yang menjadi warga
dari bangsa yang bersangkutan. Ketiga, bertalian dengan kenyataan bahwa
nasionalisme kadang digunakan sebagai sarana untuk mengabsahkan atau
membela sesuatu yang bertentangan dengan logika.
Hal ini sesuai dengan cita-cita reformasi total terutama dalam rangka
pemberdaya civil society (masyarakat sipil). Gagasan pemberdayaan masyarakat
sipil, hendaknya digunakan sebagai wacana dalam mengisi cita-cita reformasi dan
sekaligus dalam membangun nasionalisme Indonesia. Sebenarnya kalau kita
cermati, gagasan pemberdayaan masyarakat sipil itu sudah ada dalam UUD 1945.
Sebuah contoh, ambil saja pasal 31 UUD 1945, yang menegaskan bahwa : setiap
warga negara berhak mendapat pengajaran, dan pemerintah menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang. Penyelenggaraan
pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, menunjukkan negara (pemerintah)
memiliki komitmen tinggi terhadap pemberdayaan warga negara (rakyatnya).
Selain itu masih banyak lagi tuntutan pasal-pasal konstitusi yang memuat hak-hak
asasi manusia yang harus direalisasi oleh negara dan ditujukan kepada rakyat
(warga negara).
17
Tercantumnya hak-hak individu (warga negara) dalam sebuah konstitusi
(UUD 1945). Belum tentu menjamin apakah kebijakan pemerintah mampu
memperdayakan potensi bangsa yang melekat pada masyarakat atau rakyat. Hal
ini menurut adanya kemauan dan kesadaran negara (pemerintah), bahwa
keberadaannya dalam organisasi ini adalah semata-mata untuk mengemban misi
suci, yaitu menciptakan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, kinerja pemerintah
dalam membuat kebijakan,akan sangat berpengaruh bagi dampak kebijakan itu,
apakah mampu memperdayakan rakyat atau masyarakat sipil, atau bahkan terjadi
sebaliknya, justru mengarah pada dominasi negara (pemerintah) terhadap
masyarakat sipil.
Jika hal ini disadari oleh seluruh komponen bangsa (baca:pemerintah dan
rakyatnya), maka cita-cita reformasi akan segera terwujud, begitu juga
nasionalisme Bangsa Indonesia akan semakin menjadi kokoh. F. Membina Rasa
Nasionalisme dalam Ekspresi Kenegaraan Kesatuan Republik Indonesia Bentuk
Negara Indonesia adalah negara kesatuan, artinya, di seluruh Negara Indonesia
hanya ada satu negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Negara
kesatuan tidak dibenarkan adanya daerah yang berbentuk Negara.
18
Negara kesatuan Indonesia didirikan dari perasaan bersatu seluruh
masyarakat dan daerah-daerah yang berada di seluruh wilayah Negara Indonesia
(nusantara). NKRI memiliki struktur pemerintah pusan dan pemerintahan daerah.
Masing-masing pemerintah daerah diberi hak otonomi, yaitu hak untuk mengatur
rumah tangganya sendiri. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain,
bolehsaling berbeda, namun tidak boleh bertentangan dengan cita-cita nasional
atau cita-cita Bangsa Indonesia (tujuan negaranya).
19
2. Menghormati Bendera Kebangsaan Sang Merah Putih, mengajarkan
kepada bangsa Indonesia agar keberanian yang kita kembangkan selama
ini selalu berlandaskan pada kesucian. Ingat, Merah berarti berani dan
putih artinya suci.Bendera Merah putih, adalah bendera pusaka.
Sebagai bendera pusaka, Merah Putih tidak sekedar warna,akan tetapi
harus diartikan sebagai lambang identitas persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. Sebagai pusaka, Merah Putih harus disimpan, ditempatkan dan
digunakan sebagaimana mestinya.
3. Menghormati dan Menghayati Isi dan Makna Lagu Kebangsaan Sungguh
besar jasa W.R.Soepratman (Pahlawan Nasional) dalam
mempersembahkan syair dan lagu gubahannya kepada Ibu Pertiwi,
Indonesia tercinta. Sebuah lagu INDONESIA RAYA kemudian
dikukuhkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Marilah kita melakukan
refleksi dan penghayatan kembali serta membangun komitmen nilai-nilai
dalam lagu kebangsaan kita. LAGU INDONESIA RAYA Indonesia tanah
airku, Tanah tumpah darahku, Disanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan tanah airku, Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu Reff: Hiduplah tanahku, hiduplah negriku, Bangsaku,
rakyatku semuannya, Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, Untukmu
Indonesia Raya. Indonesia Raya merdeka-merdeka, Tanahku negriku yang
kucinta, Indonesia Raya merdeka-merdeka, Hiduplah Indonesia Raya
(2X).
20
b. Bait kedua, mengajarkan pengakuan kita semua terhadap bangsa dan
tanah air satu , yaitu Indonesia. Bangsa Indonesia bersumpah untuk
mempertahankan dan kesatuan bangsa dan tanah air:
c. Bait ketiga, mengajarkan tentang kewajiban kita semua untuk
membangun negara, bangsa (rakyat) dan tanah air Indonesia.
Kesemuanya itu, untuk kesejahteraan kita bersama lahir dan batin.
d. Bait keempat, mengajarkan bahwa kemerdekaan itu mahal hargannya.
Oleh karena itu kita harus selalu mencintai terhadap tanah air kita
(Indonesia). Dengan kemerdekaannlah, kehidupan bangsa Indonesia
bisa jaya (tertib), aman, adil makmur dan sejahtera. Disamping itu,
padabait keempat juga mengajarkan adanya semangat kecintaan
terhadap tanah air Indonesia yang telah merdeka. Karena itulah harus
dipertahankan agar tetap hidup, hiduplah Indonesia raya! Menyanyikan
lagu kebangsaan tidak sama dengan lagu hiburan. Lagu kebangsaan
bersifat resmi, begitu juga dalam membawakannya.
21
4. Menghormati makna Lambang Negara Republik Indonesia GARUDA
PANCASILA, itulah Lambang Negara Indonesia. Pada saat proklamasi
kemerdekaan kita belum mempunyai lambang negara. Baru pada tahun
1950, panitia tim perumus lambang negara berhasil merumuskan lambang
negara kita. Lambang negara itu berbentuk gambar burung Garuda.
Mengapa tidak burung perkutut, cucak rawa atau burung emperit? Dalam
lakon (ceritera) pewayangan burung Garuda (jatayu) dikenal cinta akan
kebenaran dan anti terhadap kejahatan (keangkaramurkaan). Lambang
negara Garuda Pancasila yang disyahkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober 1951 itu,seperti yang kita
kenal dan miliki sampai sekarang.
7
Notonagoro, Pancasila Sebagai Dasar-Dasar Bangsa, (Jakarta: Cetakan Ke-4, Pantjuran Tudjuh,
1974), 27-43.
22
E. Mengembangkan Perilaku Nasionalisme
23
4. Meningkatkan Kecintaan Terhadap Lingkungan Hidup Manusia merupakan
bagian dari seluruh ciptaan tuhan, oleh karena itu manusia tidak dapat hidup
sendiri, manusia hanya dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya bila
berhubungan dengan lingkungan hidupnya yakni masyarakat sekitarnya, juga
alam. Tindakan menjaga lingkungan hidup berarti telah bekerja sama pula
dengan pemerintah dalam progam pelerstarian lingkungan hidup, misalnya
menanam sejuta bunga.
5. Berkerjasama Sesama Warga, Lingkungan dan Pemerintahan Disamping
sebagai mahkluk sosial, manusia harus menjaga hubungan baik dengan
lingkungan hidupnya baik dengan tetangga, masyarakat, maupun alam
sekitarnya. Sering kita mendengar perkelahian pelajar, dibeberapa kota bahkan
ada yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perbuatan tersebut akan mencederai
rasa persatuan dan kesatuan, untuk itu kita harus menghindari pertentangan
bahkan perkelahian antar siswa atau antar pelajar. Adapun kalau terjadi
perselisihan alangkah lebih baik jika diselesaikan dengan musyawarah.
6. Menggalang Persatuan dan kesatuan melalui berbagai kegiaatan Beberapa cara
yang ditempuh untuk menggalang persatuan dan kesatuan dapat dilakukan
dengan berbagai kegiatan antara lain :
a. Menggalakkan olah raga mellalui POIN, PORSENI, pertandingan
persahabatan lainnya;
b. Kesenian melalui pekan budaya, lomba tari daerah,kongres bahasa; dialog
nasional;
c. Keramukaan melalui Jambore nasional, jambore daerah, lomba-lomba
lainnya;
d. Dialog oorganisasi, pembauran antar suku antar etnis dan menyiarkan
melalui radio, TV dan media elektronika mengenai keaneka ragaman suku
bangsa untuk mengingatkan rasa kebangsaan kita, misalnya acara : anak
seribu pulau, aneka ria nusantara, bhinneka tunggal ika.8
8
Asep, Sulaiman, Nasionalisme Dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Bandung:
Fadillah Press, 2014), 78.
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat. Pemakalah menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam Makalah ini. Maka , pemakalah meminta maaf yang
sebesar-besarnya dan minta saran koreksi terhadap pembaca guna melengkapi
kekurangan dalam makalah ini. Semoga dengan hadirnya makalah ini, dapat
menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang Cara Pandang Lokal
Dalam Konteks Wawasan Kebangsaan Dan Nasionalisme Indonesia.
25
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, dkk. 2014. Pancasila Sebagai Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional
Riau: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.
26