Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

CARA PANDANG LOKAL DALAM KONTEKS WAWASAN


KEBANGSAAN DAN NASIONALISME INDONESIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Ulfah Mey Lida, M.Pd

Disusun Oleh :

1. M Jauharuddin Latif (2150510036)


2. Shantya Khivivatul Elisa (2150510038)
3. Fani Hafida Rokhmah (2150510044)

Kelompok 8 – B2AKR

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH
TAHUN AKADEMIK 2022

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan segala nikmat, rahmat, hidayat, dan inayah-Nya kepada
kami semua sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Integrasi Nasional” ini dengan baik dan tepat waktu.
Dalam proses penyusunan makalah ini, kami mendapat banyak bantuan,
masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Yang semua itu sangat
bermanfaat bagi kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.Oleh
karena itu, melalui kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang tulus
kepada:
1. Ibu Ulfa Mey Lida M.Pd, selaku dosen mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahun dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.
2. Semua pihak yang telah berpartisipasi dengan membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Kami
berharap semoga gagasan pada makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Kudus, 25 April 2022

Penyusun

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................ii

KATA PENGANTAR.........................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................................2

C. Tujuan......................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Maksud Dari Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralitis............................3

B. Wawasan Lokal Dengan Wawasan Nusantara.........................................................7

C. Wawasan Kebangsaan Berkaitan Dengan SARA Dalam Pluralitas Masyarakat....10

D. Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional.......................................................11

E. Mengembangkan Perilaku Nasionalisme...............................................................23

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan............................................................................................................25

B. Saran......................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA........................................................................26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wawasan kebangsaan lahir ketika bangsa Indonesia berjuang membebaskan diri


dari segala bentuk penjajahan, seperti penjajahan oleh Portugis, Belanda, Inggris, dan
Jepang. Perjuangan bangsa Indonesia yang waktu itu masih bersifat lokal ternyata tidak
membawa hasil, karena belum adanya persatuan dan kesatuan, sedangkan di sisi lain
kaum colonial terus menggunakan politik “devide et impera ”. Kendati demikian, catatan
sejarah perlawanan para pahlawan itu telah membuktikan kepada kita tentang semangat
perjuangan bangsa Indonesia yang tidak pernah padam dalam usaha mengusir penjajah
dari Nusantara.

Dalam perkembangan berikutnya, muncul kesadaran bahwa perjuangan yang


bersifat nasional, yakni perjuangan yang berlandaskan persatuan dan kesatuan dari
seluruh bangsa Indonesia akan mempunyai kekuatan yang nyata. Istilah Wawasan
Kebangsaan terdiri dari dua suku kata yaitu “Wawasan ” dan “Kebangsaan ”. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) dinyatakan bahwa secara etimologis istilah
“wawasan” berarti: (1) hasil mewawas, tinjauan, pandangan dan dapat juga berarti (2)
konsepsi cara pandang. Wawasan Kebangsaan sangat identik dengan Wawasan Nusantara
yaitu cara pandang bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional yang mencakup
perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai kesatuan politik, sosial budaya, ekonomi dan
pertahanan keamanan (Suhady dan Sinaga, 2006).

Kebangsaan berasal dari kata “bangsa” yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2002) berarti kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat,
bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan “kebangsaan ”
mengandung arti (1) ciri-ciri yang menandai golongan bangsa, (2) perihal bangsa;
mengenai (yang bertalian dengan) bangsa, (3) kesadaran diri sebagai warga dari suatu
negara. Dengan demikian wawasan kebangsaan dapat diartikan sebagai konsepsi cara
pandang yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara akan diri dan
lingkungannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

1
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation ”) dengan mewujudkan satu
konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.Nasionalisme dapat menonjolkan
dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer
berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori
tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan
sebahagian atau semua elemen tersebut.

Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas


kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan
semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi
bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya
dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang. Pada
masa sekarang ini satu hal yang perlu dibenahi oleh bangsa Indonesia adalah mentalitas
warga masyarakatnya. Sikap mental yang kuat dan konsisten serta mampu
mengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit yang dibutuhkan bangsa Indonesia
pada saat ini. Saat ini memang bangsa Indonesia sedang mengalami massa-masa
keterpurukanya dalam dunia intetrnasional.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan “Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat
Pluralistis”?
2. Apa yang membedakan wawasan lokal dengan wawasan nusantara?
3. Bagaimana substansi wawasan kebangsaan berkaitan dengan SARA dalam
pluralitas masyarakat Indonesia?
4. Bagaimana Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional?
5. Bagaimana nasionalisme pada bangsa Indonesia berjalan?

C. Tujuan
1. Memahami akan pemahaman kritis SARA dalam pluralitas bangsa
2. Menambah wawasan akan arti daripada hakikat ‘wawasan kebangsaan’
3. Mengetahui substansi wawasan kebangsaan berkaitan dengan pluralitas
masyarakat Indonesia
4. Mengetahui wawasan kebangsaan dan integritas nasional
5. Memahami nasionalisme pada bangsa Indonesia berjalan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Maksud Dari Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralitis

Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Pluralistis Kondisi geografis dan


sosial budaya nusantara lebih banyak mewarnai corak kehidupan bangsa
Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk (pluralistis).
Kemajemukan masyarakat Indonesia itu ditandai oleh beberapa faktor, yang
antara lain oleh perbedaan suku, agama, ras/etnis dan antar golongan serta
kebudayaan lokal yang beraneka ragam. Sebagai konsekuensi masyarakat yang
pluralistis, masyarakat Indonesia secara kultural memiliki kebudayaan yang
bersifat majemuk (kebhinekaan) pula. Dan jika kita kaji secara mendalam,
kemajemukan budaya tidak saja memiliki makna sosial, akan tetapi juga bisa
bermakna politis.

Hal ini disebabkan bukan saja karena setiap etnik mempunyai daerah asal
yang jelas otonomi dan batas-batasnya, melainkan juga memiliki kultur politik
(political culture) yang beragam. Dalam kondisi variasi kultur ini, kultur politik
yang berkembang pada masyarakat lokal bisa sama dan bisa berbeda dengan
kultur politik negara.Pernyataan ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa persoalan
kebudayaan tidak saja penting menjadi agenda masyarakat lokal akan tetapi juga
penting menjadi tanggungjawab pemerintah (negara). Dan ini terkadang bisa
menyebabkan hubungan antara masyarakat lokal dan negara menjadi tidak
seimbang, lantaran terdapatnya benturan nilai-nilai kultural rakyat dan nilai yang
dikembangkan sebagai kultur negara.

Dalam hubungannya dengan masyarakat majemuk, Berghe (dalam


Nasikun, 1993) mengidentifikasi karakteristiknya yang meliputi:

1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki


sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain;
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi dalam lembaga-lembaga yang
bersifat non-komplementer;

3
3. Kurangnya mengembangkan konsensus di antara para anggota terhadap
nilai-nilai yang bersifat mendasar;
4. Secara relatif sering kali mengalami konflik di antara kelompok dengan
kelompok lain;
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coersion) dan saling
ketergantungan; dan
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok
lain. Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang ditandai oleh beragamnya
kebudayaan daerah, pada dasarnya merupakan masyarakat yang rentan
akan konflik.

Hal ini disebabkan karena masing-masing kebudayaan daerah secara


ideasional dan fisik, memiliki karakteristik yang berbeda yang sulit untuk
berintegrasi. Masing-masing pendukung kebudayaan daerah (baca: suku-suku
bangsa) saling berupaya agar kebudayaan yang dihasilkan mampu bertahan
sebagaimana kebudayaan-kebudayaan daerah yang lain. Nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh suatu masyarakat terkadang justru berbeda dengan nilai-nilai budaya
yang telah disepakati oleh masyarakat di tempat dan lingkungan geografis lain.

Kendatipun disadari adanya pepatah Jawa; “desa mawa cara” dan “kutha
mawa tata” (desa dan kota yang memiliki cara dan aturan sendiri-sendiri), hal
demikian bisa jadi akan berpengaruh bagi wawasan mereka, ketika pola pikir
lokal ditempatkan dalam kerangka pikir kehidupan berbangsa dan bernegara
(nasional). Dalam kaitan itu, ketika persoalan kebudayaan dipandang penting
sebagai agenda pemerintah dan demikian seringnya persoalan kebudayaan
dimasukkan dalam konteks kehidupan berbangsa, berakibat penanganan masalah
kebudayaan berubah menjadi argumen politik pemerintah. Dalam kasus negara
kita, kebudayaan politik (political culture) sebagian besar ditandai oleh usaha
pemerintah untuk mencapai politik kebudayan (political culture).1

1
Harus Nasution, Pancasila Sebagai Maksud Masyarakat Pluralitas, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
112.
4
Berkaitan dengan dua konsep itu, Emersen (dalam Egnas Kleden, 1987),
menegaskan bahwa kebudayaan politik adalah orientasi budaya kelompok elite
politik yang sangat menentukan orientasi politik mereka sendiri; sedangkan
politik kebudayaan menunjukkan kepada kenyataan dimana perbedaan-perbedaan
kebudayaan diperpolitikkan dan perbedaan politik diungkapkan dalam idiom-
idiom kebudayaan. Bagaimanakah agar urusan budaya tidak mudah terseret dalam
kawasan politik-politikkan dan hanya mengarah padaargumen politik pemerintah?
Untuk menjawab persoalan itu, pemerintah (negara) harus mampu merumuskan
kebijakan nasional tentang budaya, yang tidak menguntungkan negara saja, tetapi
juga menguntungkan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk tadi. Dalam
hal kebudayaan, negara tidak perlu merumuskan kebijakan nasional seperti apa,
melainkan cukup memberikan kelonggaran bagi budaya lokal (daerah) agar
mampu berekspresi dan menghormati aspirasi dan keunggulan masing-masing.

Perlu disadari, bahwa dalam konteks bangsa dan negara Indonesia, aspirasi
budaya lokal merupakan sebuah potensi bangsa yang sangat bermakna bagi
pembangunan nasional, terutama bagi nation and character building Indonesia.
Oleh karena itu, lembaga-lembaga kenegaraan seyogyanya berkonsentrasi penuh
dalam memahami hal ini, dan secara politik berperan sebagai culture broker
(pialang budaya) antara negara dengan entitas budaya masyarakat lokal yang
beragam. Pentingnya posisi ‘penghubung’ dalam menjembatani antara dua kubu
negara dan masyarakat, elite dengan massa, logika nasional dan logika lokal
(daerah) menjadi keharusan yang dilakukan bagi para pengambil keputusan dan
penentu arah pembangunan.

Selain faktor politik, budaya juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan


suatu masyarakat, khususnya bagi pengembangan manusia itu sendiri. Clifford
Geertz (dalam Ali, 1997), mengatakan bahwa budaya merupakan way of life,
suatu petunjuk bagi tindakan dan tingkah laku manusia, yaitu ekspresi nilai-nilai
dan cita-citanya. E. B Tylor, mengartikan budaya sebagai keseluruhan kompleks
yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, kesusilaan, hukum, adat-
istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh
manusia sebagai anggota masyarakat (Keontjaraningrat, 1982).

5
Sementara itu, Kroeber dan Kluckhohn (dalam Mulyana, 1993)
mengidentifikasikan budaya sebagai pola (pattern) yang eksplisit dan implisit
dalam perilaku manusia yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol-simbol
yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-
benda budaya. Sebagai suatu pola, budaya selalu mengacu pada sistem
pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam
mengatur pengalaman dan persepsi mereka, dalam menentukan tindakkan dan
memilih di antara alternatif yang ada. Senada dengan itu, Philips R. Harris (dalam
Mulyana, 1993) mengatakan bahwa budaya adalah gaya hidup kelompok manusia
tertentu.

Oleh karena itu, budaya memberi identitas kepeda sekelompok orang. Dia
memiliki karateristik yang terjabar dalam aspek-aspek budayanya, misalnya
bahasa, pakaian, penampilan, kebiasaan makan, nilai dan norma, kepercayaan dan
sebagainya. Budaya memang sangat erat dengan kehidupan manusia, mulai dari
gagasan pola aktivitas tingkah laku sampai dengan produkbenda-benda budaya.
Demikian halnya dengan kehidupan politik. Tingkah laku manusia dan pilihan-
pilihan politiknya, banyak ditentukan oleh latar belakang budaya; atau bahkan
orientasi politik pun sangat ditentukan oleh budaya.

Bagaimana cara penguasa mengambil keputusan politiknya, tentu tidak


bisa dipisahkan dengan budaya yang melekat di benak mereka. Apakah yang
melekat itu banyak didominasi oleh wawasan lokal atau nasional, atau keduanya
yang bersifat integratif. Itulah sebabnya, budaya memberikan ‘arah’ bagaiman
manusia bertingkah laku dan bagaimana mereka merespon perubahan dalam
masyarakat. Dalam rangka merespon terhadap perubahan atau bertahan sekali
pun, ragam budaya yang dianut manusia banyak mewarnai perilaku mereka.
Katakanlah, ragam budaya Jawa dan budaya luar-Jawa. Budaya Jawa yang
dikenal dengan sebagai budaya tertutup, lebih banyak menggunakan tat cara
berkomunikasi dengan secara tidak langsung dan lebih banyak dicerminkan lewat
simbol-simbol.2

22
Soenaryo, Poespowardoyo, Pluralitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 1989), 76-78.
6
Karena itu, dalam merespon perubahan biasanya lebih menggunakan
kekuatan ‘endoginnya’ sehingga cenderung bertahan dan melakukan proses
adaptasi yang cenderung lambat. Sedangkan budaya luar-Jawa, lebih banyak
mewakili kebudayaan yang cenderung terbuka terhadap perubahan. Cara
komunikasi dan interaksi yang menjadi acuan bagi individu nampak bersifat
langsung, tidak berbelit dan sedikit menggunakan simbol atau perlambang.
Karakteristik budaya tersebut, menunjukkan aspirasi lokal yang tumbuh dan
berkembang pada daerah-daerah di mana bangsa Indonesia berada. Pemahaman
dan pengkajian secara cermat, kritis dan penuh kehati-hatian terhadap aspirasi
budaya itu, akan menentukan proses interaksi sosial bagi masyarakat Indonesia
yang beraneka ragam. Karena itu aspirasi lokal.

B. Wawasan Lokal Dengan Wawasan Nusantara

Wawasan Lokal dan Wawadan Nusantara, pada dasarnya menjadi cara


pandang suatu bangsa yang didalamnya menampakkan bagaimana suatu bangsa
itu melakukan dialogis dengan kondisi geografis dan sosial budayanya. Wawasan
nasional, juga diartikan sebagai cara pandang nasional yang merupakan salah satu
gagasan falsafah hidup bangsa yang berisikan dorongan-dorongan (motives) dan
rangsangan (drives) di dalam merealisasikan dan mencapai aspirasi serta tujuan
nasionalnya. Bangsa Indonesia telah memiliki wawasan nasional ini, yaitu
‘wawasan nusantara’. Wawasan ini, tidak saja berlatar filosofis dan normatif, akan
tetapi juga sekaligus sebagai analisis kajian empirik terhadap segala sesuatu yang
menjadi realitas bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, wawasan nusantara (sebagai wawasan nasional)


hendaknya diposisikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia, yaitu sebagai cara pandang bangsa, aspek kewilayahan dan wawasan
pembangunan nasional. Implementasinya tidak saja sebagai pola pikir yang
didasarkan pada tata budaya dan tata krama nasional, akan tetapi juga dalam tata
hukum nasional yang mencakup ke seluruh aspek kehidupan bangsa
(ipoleksosbudhankam).

7
Namun demikian, dalam tataran lokal (daerah) bangsa Indonesia memiliki
apa yang disebut dengan ‘wawasan lokal. Hal ini disebabkan karena bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang memeluk agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda-beda, berbicara dalam
bahsa daerah yang berbeda-beda, memiliki adat – kebiasaan (budaya daerah) yang
berbeda-beda pula. Wawasan lokal dirasakan sangat perlu bagi kehidupan
masyarakat di daerah, karena dapat digunakan dalam mengembangkan potensi
dan kelebihan setiap daerah. Selain itu, dengan ‘wawasan lokal’ dapat digunakan
sebagai cara pandang setiap daerah untuk mengetahui dan memperbaiki berbagai
kekurangan yang dimilikinya.

Bangsa Indonesia secara politis memang satu bangsa, namun secara sosial
budaya, kita hidup dalam sebuah masyarakat dan geografis yang berbeda-beda. Ini
adalah sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri serta sebuah kenyataan yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya wawasan lokal dan menuju ke
wawasan nasional. Berkaitan dengan dua wawasan tersebut, hubungan wawasan
nasional (wawasan nusantara) dengan wawasan lokal, hendaknya tidak kita
maknai sebagai sesuatu yang kontradiktif. Sebab, antara keduanya selalu memiliki
hubungan yang erat dan tidak terpisahkan. Munculnya keanekaragaman wawasan
lokal jangan sampai sebagai sebab timbulnya perpecahan (disintegrasi) bangsa.

Persoalannya sekarang, bagaimanakah eksistensi ‘wawasan nasional’ itu,


jika dikaitkan dengan keberadaan ‘wawasan lokal’yang melekat dalam kehidupan
bangsa Indonesia yang serba majemuk (pluralistis) ini? Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia, keberadaan wawasan nasional, pada dasarnya
digunakan sebagai ‘jembatan’ penghubung dan pemersatu bagi wawasan lokal
yang terdapat di setiap atau geografis nusantara. Jadi, wawasan lokal pada
dasarnya boleh berbeda dengan wawasan nasional, namun ada jembatan yang
menghubungkan kedua wawasan tersebut.3

3
Soediman, Kartohadiprojo, Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, (Bandung: Gramedia, 1970), 53-55
8
Selanjutnya, wawasan lokal tidak boleh bertentangan dengan wawasan
nasional, dalam arti tidak boleh keluar dati konteks wawasan nasional.
Keperbedaan wawasan lokal dengan wawasan nasional, harus diartikan sebagai
variasi dan kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang diangkat dari
keanekaragaman budaya yang ada. Secara demikian, munculnya wawasan
nasional merupakan resultante (hasil)interaksi dari wawasan lokal yang
beranekaragam.

Agar eksistensi wawasan nasional dan wawasan lokal tersebut dapat


dikembangkan dan dilestarikan, maka kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat dan kebijakan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
(dalam konsep otonomi daerah) harus terjadi saling mebdukung. Kalau tidak,
maka konflik bisa dipastikan akan selalu muncul dalam daerah-daerah di seluruh
nusantara. Kebijakan nasional, hendaknya juga harus mampu menjadi jembatan
yang berfungsi memfasilitasi bagi hubungan antara dua wawasan tadi,
Konsekuensinya, perumusan kebijakan nasional harus selalu memperhatikan
aspirasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal.

Ragam kehidupan yang terjadi dalam sifat kemajemukan bangsa


Indonesia, hendaknya patut ditangkap dan dimaknai secara kritis, bahwa mereka
saling memiliki ‘keunggulan’ diantara yang lain. keunggunlan inilah yang harus
dijadikan sebagai wacana negara (pemerintah) atau juga suku-suku bangsa di
lingkungan wilayah negara itu, agar negara atau suku bangsa tersebut sama-sama
merasa memiliki nilai lebih dalam suasana kehidupan kebersamaan dan
kekeluargaan. Kebijakan negara, tidak bisa hanya ditunjukkan kepada sebagian
wilayah dan masyarakat tertentu saja. Selain itu, kebijakan pemerintah kiranya
juga tidak benar jika diupayakan untuk ‘melebur’ berbagai perbedaan lokal
menjadi wacana nasional yang bersifat ‘unifikatif’. Apabila hal ini dipaksakan oleh
negara (pemerintah), maka sama halnya pemerintah (negara) tidak menghormati
aspirasi yang berkembang pada tingkat masyarakat lokal.4

4
Kaelan, Pancasila Sebagai Wawasan Bangsa Lokal dan Nusantara, (Yogyakarta: Paradigma
Ofset, 2008), 275.
9
C. Wawasan Kebangsaan Berkaitan Dengan SARA Dalam Pluralitas
Masyarakat Indonesia

Pemahaman Kritis SARA dalam Pluralitas Bangsa SARA, yang


merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan, adalah sebuah
fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, SARA adalah gejala inhern (menyerta
dan bersamaan) dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis.
Lebih dari itu, SARA nampak menjadi kekayaan bangsa dan masyarakat
Indonesia, karena dengan itu masyarakat menjadilebih variatif dan dinamis.

Namun demikian, tidak jarang muncul persepsi negatif berkaitan dengan


SARA ini. Berbagai konflik, kerusuhan dan gejolak sosial yang timbul di dalam
masyarakat kita, hampir semua dikaitkan dan bahkan dituduhka kepada persoalan
SARA. Masyarakat cenderung tidak pernah bergeming dari perspektif yang
diyakininya dalam memahami penyebab kerusuhan, kecuali SARA selalu
dijadikan tersangka utamanya dan causa prima dari gejolak sosial masyarakat.
Dampak sosiologis dari kondisi ini, konstruksi sosial tentang SARA dalam
masyarakat lebih didominasi oleh perspektif rezim.

Karena SARA menurut negara merupakan sumber perpecahan sosial,


maka menjadi suatu pengetahuan atau realitas yang ditabukan. SARA oleh mereka
selalu dipandang sebagai potensi konflik daripada energi politis yang
mewujudkan demokrasi dan kemajemukan sosial. Sekarang, pemahaman realitas
SARA hendaknya harus dirajutkembali. Ideologi dan perspektif terhadap SARA,
perlu penataan ulang dalam dimensi pikir, dari ideologibahwa SARA sebagai
sumber pemicu perpecahan sosial, menjadi SARA sebagai kekuatan untuk
pemberdayaan dan demokrasi masyarakat. Langkah ini, kiranya tidak bisa
dilakukan secara ‘gegabah’, dan karena itu memerlukan pemikiran yang serius dan
penuh kehati-hatian. Sebab realitas SARA memang rentan dengan konflik yang
kadang penuh dengan kerawanan untuk saling bertubrukan.5

5
Budi, Santoso, dkk, Pendidikan dan Wawasan Kebangsaan,, (Jakarta. Gramedia Pustaka Utama,
2005), 88-101.
10
Agar hal itu tidak muncul dalam praktik kehidupan, salah satu caranya
adalah dengan meletakkan peran negara sebagai fasilitator, dinamisator, dan
stabilisator kekuatan-kekuatan yang ada dalam komponen SARA. Negara
jugaharus mampu menjembatani atau mengakomodasi setiap benturan
kepentingan. Syaratnya, negara harus benar-benar embedded (tertanam dan
mengakar) dalam masyarakatnya sehingga setiap kebijakan yang ditelurkan selalu
mewakili masyarakatnya (Nugroho, 1997). Dengan kata lain, peran tersebut hanya
bisa terjadi dalam negara yang sistem politiknya bersifat demokratis.

Dalam negara yang monopolitik maka realitas SARA cenderung


dilenyapkan, tentu saja demi kepentingan sebuah rezim, lewatkekuatan dominasi
atau bahkan salah satu elemennya, misalnya melakukan kooptasi dan depolitisasi
agama. Sebagai contoh, agama tidak boleh digunakan sebagai sarana berpolitik,
akan tetapi kenyataannya oleh penguasa, agama justru digunakan sebagai alat
bermobilisasi rakyat demi kepentingan rezim. Contoh lain, kebudayaan sering
diperpolitikkan oleh penguas sehingga aspirasi pemilik dan pendukungbudaya itu
tidak nampak, dan celakanya ekspresi budaya selalu berada dalamhegemoni
negara demi suksesnya ideologi penguasa.

D. Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional

Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional Secara sederhana, ‘wawasan


kebangsaan’ Indonesia dapat didefisinikan sebagai cara pandang kesatuan
kebangsaan Indonesia. Dan bukanlah benda, akan tetapi lebih erat dengan konsep
kerangka berpikir dan mentalitas. Jika dikaitkan dengan sifat pluralitas
masyarakat Indonesia, maka substansi wawasan kebangsaan adalah ‘integrasi
nasional’, atau setidaknya integrasi nasional ini merupakan unsur atau aspek
terpenting dalam wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan dan integrasi
nasional merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dia ibarat ‘kepingan mata
uang’, yang selalu menyatu dan saling menentukan kadar atau nilainya dalam
pasar. Karena itu, terbentuknya integrasi nasional yang kokoh, akan banyak
ditentukan oleh pengetahuan dan wawasan kebangsaan.

11
Dengan kata lain, semakin kuat wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh
suatu bangsa akan semakin mantap pula integrasi nasionalnya. Secara demikian,
wawasan kebangsaan dan integrasi nasional adalah ‘kata kunci’ untuk membina
dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam kaitan itu,ada
beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk membangun wawasan kebangsaan
Indonesia yang ‘solid’ dan integrasi nasional yang mantap serta kokoh.

Pertama, kemampuan dan kesadaran bangsa dalam mengelola perbedaan-


perbedaan suku, gama,ras dan antara golongan serta keanekaragaman budaya dan
adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di wilayah nusantara.Perbedaan-
perbedaan itu bukanlah sebagai suatu hal yang harus dipertentangkan,akan tetapi
harus diartikan sebagai kekayaan dan potensi bangsa. Kedua, kemampuan
mereaksi penyebaran ideologi asing,dominasi ekonomi asing serta penyebaran
globalisasi dalam berbagai aspeknya. Dunia memang selalu berubah seirama
dengan perubahan masyarakat dunia. Bersamaan dengan itu,ideology dunia juga
merambah dikawasan global yang siap menyebarkan ‘virus’ perubahannya
keseluruh penjuru dunia yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Dalam kaitan ini,
perwujudan wawasan kebangsaan dan integrasi nasional,terkadang sering goyah
akibat tuntutan dunia yang tidak kenal batas itu.

Persoalan yang perlu dicermati, bagaimana suatu bangsa mampu


membangun wawasan nasional dan integrasi nasional dengan mantap dan kokoh,
sebagai modal dalam membangun sebuah ‘pendirian’ketika isu-isu global itu mulai
ditawarkan.Sebagai warga dunia , setiap warga negara dan bangsa hendaknya
mampu berpikir kritis terhadap kemajuaan dunia, agar mereka selalu memiliki
world view (pandangan dunia) secara mantap dan tidak ketinggalan oleh
kemajuan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, perspektif global juga tidak lepas
dengan sebuah paradox,yang kadang bisa membingungkan masyarakat dunia.
Dalam rangka ini, kematangan pendirian sebuah bangsa menjadi penting, karena
dengan itu, suatu bangsa akan mampu melakukan pilihan-pilihan secara rasional
terhadap apa yang sedang muncul sebagai ‘gebyar jaman’ (dunia).

12
Posisi lokal hendaknya juga perlu diperhatikan dalam menentukan
pendirian bangsa Indonesia atas semangat kebangsaannya. Abad ke-21, milenium
baru yang bercirikan liberalisasi dan perdagangan serta mendewa-dewakan
budaya global itu,bisa melanda bangsa-bangsa yang melewah wawasan
kebangsaannya. Itulah sebabnya, mantra abad baru sebagaimana oleh John
Neisbiett (1994) yang berbunyi “Berpikirlah Lokal, bertindaklah Global” (think
locally, act globally), menjadi penting diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia. Mantra itu, sebagai kebalikan dari frasa lama,yaitu
“Berpikirlah Global,Bertindaklah Lokal” (think globally,act locally).

Sebab menurutnya, pola ‘berpikir lokal,bertindak global’, hanya bisa


dilakukan bangsa yang kuat semangat kebangsaannya.Sebagai ilustrasi, misalnya
Jepang, dengan budaya yang paling homogen itu, telah bekerja luar biasa baiknya
dalam berpikir secara lokal dan bertindak secara global selama bertahun-tahun.
Ketiga, membangun sistem politik dan pemerintahan yang sesuai dengan ideologi
nasional (pancasila) dan konstitusi UUD 1945. Keempat,penyelenggaraan
‘proyeksi budaya’ dengan cara melakukan pemahaman dan sosialisasi terhadap
simbol-simbol identitas nasional misalnya : Bahasa Indonesia, Lagu Indonesia
Raya, Bendera Merah Putih dan Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Persoalan sekarang , integrasi nasional yang seperti
apa yang hendak kita kembangkan di Indonesia, yang masyarakatnya bersifat
majemuk (pluralistis) itu? Beranalog dengan konsep wawasan kebangsaan tadi,
maka integrasi nasional hendaknya juga diartikan bukan sebagai benda akan tetapi
harus diartikan sebagai “semangat” untuk melakukan penyatuan terhadap unsur-
unsur dan potensi masyarakat Indonesia yang beranekaragam. Secara demikian,
integrasi nasional di Indonesia, bukanlah sebuah ‘peleburan’ yang sifatnya
‘unifikatif’,akan tetapi lebih tepat disebut integrasi nasional yang bersifat
‘difersifikasi’ (pembedaan).6

6
Ayu, dkk, Pancasila Sebagai Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional, (Riau: Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, 2014), 47-50.
13
Dengan cara ini perbedaan tetap diakui, karena dengan ini masyarakat
akan bebas berekspresi selaras dengan aspirasi dan way of life yang diangkat
dengan nilai-nilai moral yang bersumber dari budaya daerah setempat (local).
Disamping itu, integrasi nasional yang defersifikatif lebih nampak
demokratis,ketimbang integrasi nasional yang unifikatif yang justru mengarah
pada perkosaan HAM dan memungkiri realitas perbedaan.Integrasi nasional yang
defersifikatif,lebih sesuai dengan semboyan yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang
artinya berbeda-beda itu pada hakekatnya adalah satu. Karena perbedaan
masyarakat merupakan realitas sosial, maka keberadaannya tidak bisa
dilenyapkan.

Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apa pun, termasuk
menuju ‘unifikasi’ masyarakat,cenderung akan menimbulkan keresahan,gejolak
sosial,kerusuhan massa dan pasti berakhir dengan disintegrasi
bangsa.Kemajemukan masyarakat (plures) tidak dapat dilenyapkan demi jargon
persatuan dan kesatuan,sebab persatuan itu harus dicapai lewat keberadaan
pluralitas (Berger dan Neuhauss, 1977). E. Nasionalisme dalam Perspektif
Indonesia Nasionalisme dan Negara bangsa (nation state) sebagai wadah
organisasi sosial yang membungkusnya yang merupakan dua kekuatan terbesar di
dunia. Keduannya mampu mendominasi wacana politik dunia selama abad 20
secara bertahap tetapi pasti, sekarang mulai berhadapan dengan sejumlah
tantangan yang menempatkan keduannya dalam posisi yang cukup sulit.

Kajian atas nasionalisme dan bangsa, dan juga negara bangsa,hingga kini
masih tetap menjadi perdebatan oleh para ahli. Bagi sejumlah ahli, bangsa dan
kesadaran berbangsa diyakini merupakan representasi atau perwakilan dari negara
masa lalu yang terkait dalam upaya-upaya realisasi diri. Bangsa dalam makna ini
adalah suatu entitas primordial yang merupakan bawaan yang melekat dalam
nature dan sejarah manusia. Secara objektif suatu bangsa dapat diidentifikasi
lewat perbedaan-perbedaannya dengan bangsa lain dalam hal cara pandang,
keterikatan dengan tanah air, dan perjuangan-perjuangan untuk mendapatkan
otonomi politik.

14
Namun demikian, rumusan yang pasti mengenai nasionalisme dan negara
bangsa sangat sulit untuk digagaskan. Tetapi jika diperhatikan arena persemaian
awal, konsepsi tentang nasionalisme dan negara bangsa dan diikuti logika dibalik
kehadiran nasionalisme dan negara bangsa yang tumbuh di negara-negara bekas
jajahan, kita akan menemukan bahwa keduannya pada dasarnya adalah fakta
perjanjian antara warga negara yang berdaulat dengan negara (Lay, 1997).
Nasionalisme dan negara bangsa secara radikal telah merombak struktur kesetiaan
politik rakyat dari kesetiaan kepada dinasti menjadi prinsip kedaulatan rakyat.Ia
juga telah merombak secara radikal struktur kesetiaan pada tuan penjajah untuk
digantikan dengan gagasan tentang kewarganegaraan.

Karena itu, nasionalisme telah mentransformasikan masyarakat dan


individu dari posisi sebagai subyek pasif dalam politik menjadi warga negara aktif
yang mampu mengatur diri sendiri. Secara demikian, nasionalisme dan negara
bangsa bukan saja memperhatikan kesejajaran antara massa rakyat dengan
penguasa, tapi sekaligus didalamnya melekat impian-impian (harapan dan
inspirasi) massa rakyat yang harus diwujudkan. Subtansi nasionalisme dan negara
bangsa mencakup antara lain mengenai demokrasi, keadilan social kesejahteraan
dan HAM.

Oleh karena itu, mustahil berbicara nasionalisme dan negara bangsa tanpa
mengkaitkan dengan isu-isu di atas. Jika gagasan nasionalisme dan negara bangsa
diatas dicermati, logikanya sangat sedikit orang tidak sepakat dengan keduanya.
Di dalam konsep nasionalisme dan negara bangsa melekat semua nilai-nilai
kemanusiaan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap peradapan manusia. Tetapi
seperti terungkap pada tingkat praktis dalam masyarakat politik Indonesia,
nasionalisme bisa dengan muda melahirkan penolakan atau sinisme dikalangan
masyarakat. Nasionalisme secara politik agar ‘menjauhi’ atau ‘menerima’ sesuatu
yang bertentangan dengan hati nurani dan aspirasinya. Dalam konteks ‘menjauhi’
atau ‘menerima’ tersebut, nasionalisme Indonesia, sering mengalami hambatan di
hadapan massa rakyat dan pemerintahannya sendiri.

15
Dalam kaitan ini Cornelis Lay (1997) sempat mengidentifikasi, yang
antara lain disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,berkaitan dengan
pemahamannya yang mendalam sebagai suatu ideologi. Ia bahkan dipahami
sebatas sebagai salah satu aliran politik yang pernah malang-melintang dirimba
raya politik (masa lalu) Indonesia. ‘Dike-rangkengnya’ nasionalisme Indonesia
dalam salah satu kekuatan politik dimasa lalu (baca:PNI jaman ORLA), telah
mewarnai dan memerosotkan posisi nasionalisme sampai pada fase sebatas
sebagai aliran politik. Padahal nasionalisme bukan semata-mata berfungsi sebagai
ideologi. Sekalipun ia merupakan gejala yang mudah ditemui disembarang
belahan dunia, dan sekalipun ia menduduki dasar moral dan emosi seperti halnya
dengan ideologi, ia tidak memiliki prinsip-prinsip universilitas seperti sosialisme
atau kapitalisme misalnya yang memungkinkannya untuk diklaim semata-mata
sebagai ideologi.

Dalam sejarah politik masa lalu Indonesia, kita mengetahui bahwa


berbagai aliran politik, termasuk nasionalisme, yang tumbuh pada waktu itu
terlibat dalam ‘perang’ dan ‘konflik’ tanpa henti. Karena itu, ketika nasionalisme
dimengerti sebatas sebagai salah satu dari aliran politik di Indonesia, maka ia
dengan mudah akan diperlakukan sebagai lawan oleh aliran politik lainnya.
Kedua,berkaitan dengan praksis nasionalisme yang mengikuti logika nasionalisme
internal. Jenis nasionalisme ini, memberikan penekanan pada superioritas dan
keabsahan negara atas warganya dan mengabaikan substansi dari nasionalisme
sebagai suatu ‘fakta perjanjian’ antara warga negara dengan negara.

Padahal, sebagai ‘fakta perjanjian’, nasionalisme harus menekankan bukan


saja bahwa warga negara bangsa memiliki hak untuk merdeka lewat negara, tapi
yang bersangkutan juga memiliki hak yang sebanding untuk mengekspresikan
diri, mendapatkan kemerdekaan dan kemungkinan untuk berkembang. Bung
karno, telah sejak dini menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia, hanya sebatas
sebagai ‘jembatan emas’.

16
Karena itu, didalam Negara Indonesia yang merdeka, terletak kewajiban
bagi negara dan kita semua untuk memerdekakan setiap individu. Dengan
demikian, bukan semata-mata kemerdekaan bangsa yang menjadi pusat perhatian
nasionalisme, akan tetapi sekaligus kemerdekaan individu yang menjadi warga
dari bangsa yang bersangkutan. Ketiga, bertalian dengan kenyataan bahwa
nasionalisme kadang digunakan sebagai sarana untuk mengabsahkan atau
membela sesuatu yang bertentangan dengan logika.

Kita sering berhadapan dengan kenyataan bahwa atas nama nasionalisme


kita diharuskan untuk membenarkan langkah-langkah yang bahkan merugikan
bangsa secara keseluruhan. Banyak contoh kasus disekitar kita, dimana
nasionalisme secara gegabah telah digunakan untuk melegalisasi hal-hal yang
sebenarnya tidak punya kaitan dengan kepentingan Negara dan bangsa. Misalnya
kasus penggungsuran demi pembangunan nasional, jika menolak penggungsuran
berarti anti pembangunan dan tidak nasionalisasi. Berdasarkan hambatan-
hambatan diatas, maka persoalan pokok nasionalisme di Indonesia pada dewasa
ini, bagaimana rakyat bisa diberdayakan.

Hal ini sesuai dengan cita-cita reformasi total terutama dalam rangka
pemberdaya civil society (masyarakat sipil). Gagasan pemberdayaan masyarakat
sipil, hendaknya digunakan sebagai wacana dalam mengisi cita-cita reformasi dan
sekaligus dalam membangun nasionalisme Indonesia. Sebenarnya kalau kita
cermati, gagasan pemberdayaan masyarakat sipil itu sudah ada dalam UUD 1945.
Sebuah contoh, ambil saja pasal 31 UUD 1945, yang menegaskan bahwa : “setiap
warga negara berhak mendapat pengajaran, dan pemerintah menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang”. Penyelenggaraan
pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, menunjukkan negara (pemerintah)
memiliki komitmen tinggi terhadap pemberdayaan warga negara (rakyatnya).
Selain itu masih banyak lagi tuntutan pasal-pasal konstitusi yang memuat hak-hak
asasi manusia yang harus direalisasi oleh negara dan ditujukan kepada rakyat
(warga negara).

17
Tercantumnya hak-hak individu (warga negara) dalam sebuah konstitusi
(UUD 1945). Belum tentu menjamin apakah kebijakan pemerintah mampu
memperdayakan potensi bangsa yang melekat pada masyarakat atau rakyat. Hal
ini menurut adanya kemauan dan kesadaran negara (pemerintah), bahwa
keberadaannya dalam organisasi ini adalah semata-mata untuk mengemban ‘misi
suci’, yaitu menciptakan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, kinerja pemerintah
dalam membuat kebijakan,akan sangat berpengaruh bagi dampak kebijakan itu,
apakah mampu memperdayakan rakyat atau masyarakat sipil, atau bahkan terjadi
sebaliknya, justru mengarah pada dominasi negara (pemerintah) terhadap
masyarakat sipil.

Pemberdayaan masyarakat sipil,pada dasarnya juga merupakan proyek


kebudayaan (cultural) yang harus diciptakan oleh bangsa dalam menyongsong
format Indonesia baru dan nasionalisme Indonesia. Salah satu cirinya, adalah
terdapatnya ruang publik, dimana semua orang harus mampu tumbuh dan
mengaktualisasikan diri serta mandiri dan sukarela untuk mengambil bagian
dalam pemerintahan. Perilaku setiap warga negara dan pemerintahannya, terikat
oleh dan harus tunduk pada hukum yang dihasilkan oleh sebuah perjanjian
masyarakat (kontrak social). Untuk menciptakan masyarakat yang berkeabsaan
(termasuk negara juga pemerintah yang beradab), adalah merupakan rangkaian
perjuangan untuk selalu menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan menempatkan
komponen masyarakat dan negara dalam suatu kederajatan.

Jika hal ini disadari oleh seluruh komponen bangsa (baca:pemerintah dan
rakyatnya), maka cita-cita reformasi akan segera terwujud, begitu juga
nasionalisme Bangsa Indonesia akan semakin menjadi kokoh. F. Membina Rasa
Nasionalisme dalam Ekspresi Kenegaraan Kesatuan Republik Indonesia Bentuk
Negara Indonesia adalah “negara kesatuan”, artinya, di seluruh Negara Indonesia
hanya ada satu negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam Negara
kesatuan tidak dibenarkan adanya daerah yang berbentuk Negara.

18
Negara kesatuan Indonesia didirikan dari perasaan bersatu seluruh
masyarakat dan daerah-daerah yang berada di seluruh wilayah Negara Indonesia
(nusantara). NKRI memiliki struktur pemerintah pusan dan pemerintahan daerah.
Masing-masing pemerintah daerah diberi hak otonomi, yaitu hak untuk mengatur
rumah tangganya sendiri. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain,
boleh’saling berbeda’, namun tidak boleh bertentangan dengan cita-cita nasional
atau cita-cita Bangsa Indonesia (tujuan negaranya).

Tegasnya, munculnya konsep otonomi daerah jangan diartikan sebagai


strategi daerah untuk memisahkan diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Strategi pembinaan persatuan bangsa Indonesia dalam konteks
NKRI, dapat dilaksanakan dengan beberapa program, antara lain sebagai berikut.

1. Mempersatukan Potensi Perbedaan Bangsa Indonesia Bangsa Indonesia


memang memiliki kekayaan yang beranekaragam, namun jika keragaman
itu tidak dibina dengan baik, bisa melahirkan konflik antar suku, ras/etnis
dan antara golongan (SARA) yang terjadi di Indonesia, bisa berdampak
merugikan dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Agar bangsa Indonesia terhindar dari perpecahan, maka seluruh potensi


bangsa harus diperdayakan; dengan kegiatan antara lain adalah :
a. Menyelenggarakan dialog nasional secara terus-menerus yang dihadiri
oleh tokoh-tokoh daerah, masyarakat dan agama serta budaya;
b. Memanajemen konflik sosial,secara damai, demokratis manusiawi, adil
dan religius;
c. Meyelenggarakan pekan budaya nasional, dengan menampilkan
kebudayaan daerah yang ada diseluruh nusantara;
d. Menggalakkan amal bakti dan peduli sosial kemanusiaan bagi daerah-
daerah dan keluarga yang terkena musibah atau rawa kemiskinan;
e. Melaksanakan pembangunan nasional tidak secara terpusat, dengan
member kebebasan kepada masing-masing daerah untuk
menyelenggarakan otonomi dan bersaing secara sehat, demokrasi serta
berkeadilan social.

19
2. Menghormati Bendera Kebangsaan Sang Merah Putih, mengajarkan
kepada bangsa Indonesia agar keberanian yang kita kembangkan selama
ini selalu berlandaskan pada kesucian. Ingat, “Merah” berarti ‘berani’ dan
“putih” artinya ‘suci’.Bendera Merah putih, adalah bendera pusaka.
Sebagai bendera pusaka, “Merah Putih” tidak sekedar warna,akan tetapi
harus diartikan sebagai lambang identitas persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. Sebagai pusaka, Merah Putih harus disimpan, ditempatkan dan
digunakan sebagaimana mestinya.
3. Menghormati dan Menghayati Isi dan Makna Lagu Kebangsaan Sungguh
besar jasa W.R.Soepratman (Pahlawan Nasional) dalam
mempersembahkan syair dan lagu gubahannya kepada Ibu Pertiwi,
Indonesia tercinta. Sebuah lagu INDONESIA RAYA kemudian
dikukuhkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Marilah kita melakukan
refleksi dan penghayatan kembali serta membangun komitmen nilai-nilai
dalam lagu kebangsaan kita. LAGU INDONESIA RAYA Indonesia tanah
airku, Tanah tumpah darahku, Disanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan tanah airku, Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu Reff: Hiduplah tanahku, hiduplah negriku, Bangsaku,
rakyatku semuannya, Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, Untukmu
Indonesia Raya. Indonesia Raya merdeka-merdeka, Tanahku negriku yang
kucinta, Indonesia Raya merdeka-merdeka, Hiduplah Indonesia Raya
(2X).

Dari syair lagu tersebut, bangsa Indonesia dapat mengambil


pelajaran,antara lain :
a. Bait pertama, mengajarkan bahwa kita semua memiliki tanah air
Indonesia. Di tanah air Indonesia kita dilahirkan dan dibesarkan. Oleh
karena itu kita harus mampu menjadi pemimpin dan pencinta Ibu
Pertiwi (tanah air Indonesia);

20
b. Bait kedua, mengajarkan pengakuan kita semua terhadap bangsa dan
tanah air satu , yaitu Indonesia. Bangsa Indonesia bersumpah untuk
mempertahankan dan kesatuan bangsa dan tanah air:
c. Bait ketiga, mengajarkan tentang kewajiban kita semua untuk
membangun negara, bangsa (rakyat) dan tanah air Indonesia.
Kesemuanya itu, untuk kesejahteraan kita bersama lahir dan batin.
d. Bait keempat, mengajarkan bahwa kemerdekaan itu mahal hargannya.
Oleh karena itu kita harus selalu mencintai terhadap tanah air kita
(Indonesia). Dengan kemerdekaannlah, kehidupan bangsa Indonesia
bisa jaya (tertib), aman, adil makmur dan sejahtera. Disamping itu,
padabait keempat juga mengajarkan adanya semangat kecintaan
terhadap tanah air Indonesia yang telah merdeka. Karena itulah harus
dipertahankan agar tetap hidup, hiduplah Indonesia raya! Menyanyikan
lagu kebangsaan tidak sama dengan lagu hiburan. Lagu kebangsaan
bersifat resmi, begitu juga dalam membawakannya.

Hal-hal yang peru diperhatikan dalam membawakan lagu kebangsaan,


antara lain adalah:
1. Dilakukan dalam sikap sempurna (berdiri dengan posisi siap)
2. Suasana resmi, sidang rapat/resmi;
3. Disertai dengan penghayatan dan makna kata-kata demi kata dalam
syair lagunya;
4. Dilagukan dengan penuh semangat (berjiwa patriotik);lagunya
5. Hitungan, ketukan dan nada yang tepat. Catatan : Lagu Indonesia Raya
adalah “Lagu Kebangsaan”. Dan karena itu harus didengungkan di
seluruh wilayah, daerah-daerah yang termasuk sebagai bagian negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanpa kecukecuali.

21
4. Menghormati makna Lambang Negara Republik Indonesia GARUDA
PANCASILA, itulah Lambang Negara Indonesia. Pada saat proklamasi
kemerdekaan kita belum mempunyai lambang negara. Baru pada tahun
1950, panitia tim perumus lambang negara berhasil merumuskan lambang
negara kita. Lambang negara itu berbentuk gambar burung Garuda.
Mengapa tidak burung perkutut, cucak rawa atau burung emperit? Dalam
lakon (ceritera) pewayangan burung Garuda (jatayu) dikenal cinta akan
kebenaran dan anti terhadap kejahatan (keangkaramurkaan). Lambang
negara Garuda Pancasila yang disyahkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober 1951 itu,seperti yang kita
kenal dan miliki sampai sekarang.

Sebagai lambang negara, Garuda Pancasila memiliki struktur yang


langsung menggambarkan simbol-simbol ke-Indonesia-annya, yaitu:
1. Jumlah sayap 17, ekor 8, dan bulu leher 45, melambangkan proklamasi
kemerdekaan Indonesia tanggal 17-8-1945;
2. Menoleh ke kanan, melambangkan kebaikan (tujuan baik) sebagai cita-
cita sekaligus kondisi hendak diciptakan oleh negara Indonesia. Dalam
konsep budaya Indonesia, kanan berarti baik;
3. Kaki mencengkeram seloka “Bhinneka Tunggal Ika”, melambangkan
betapa teguhnya negara kita dalam menggalang persatuan bangsa, yang
hidup menggambarkan kesatuan dalam perbedaan (yang berbeda-beda
itu pada dasarnya adalah satu);
4. Perisai Pancasila yang dikalungkan pada leher lambang negara,
melambangkan bahwa hidup dan matinya Garuda Pancasila (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) tergantung pada Pancasila sebagai dasar
negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.7

7
Notonagoro, Pancasila Sebagai Dasar-Dasar Bangsa, (Jakarta: Cetakan Ke-4, Pantjuran Tudjuh,
1974), 27-43.
22
E. Mengembangkan Perilaku Nasionalisme

Dalam Konteks Indonesia Sebagai bangsa yang majemuk bangsa indonesia


harus mampu bergaul dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa, yaitu
“memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber
BHINNEKA TUNGGAL IKA”. Wujud perilaku yang mencerminkan persatuan
dan kesatuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Membina Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan Walaupun masyarakat
kita berbeda-beda dalam keanekaragaman, jangan sampai terjadi pertentangan
sehingga menimbulkan perpecahan bangsa Indonesia. Oleh karena itu marilah
kita bina kehidupan yang serasi ,selaras dan seimbang diantara kita. “Serasi”,
walaupun kita berbeda, tapi kita tetap cocok. Ibarat pakaian, kita selalu serasi
dan tidak kontras. “selaras”, berarti kita berada dalam satu “laras”
(alur,nada,aturan), maksudnya, bangsa Indonesia yang beraneka ragam itu,
memiliki kesamaan dalam tujuan hidup bersama. Sedangkan ‘seimbang”,
artinya berkaitan dengan bobot atau beratnya. Kendatipun kita berbeda dalam
keahlian/profesi dan kehidupan,misalnya Si Kaya dan Si Miskin, dilihat dari
bobot manusiawinya sama.
2. Saling Mengasihi, Saling Membina dan Saling Memberi Hidup saling
mengasihi mengasih, membina, dan memberi antar sesama menjadi panggilan
kita bersama dan diwajibkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Terhadap siapa saja,
tanpa membedakan kedudukannya, kita harus saling asih (sayang), asuh
(membina) dan asah (berhubungan).
3. Tidak menonjolkan perbedaan, melaikan mencari kesamaan Di antar kita
memang tidak satu pun yang memiliki kesamaan. Sekali pun orang kembar,
pasti terdapat perbedaannya. Demikian juga dengan suku-suku bangsa
Indonesia. Walaupun kita serba berbeda, jangan sampai kita menonjolkan
perbedaan kita. Misalnya, baju kita lebih baik dari pada baju teman-teman.
Dalam hal ini, kita harus pandai menempatka persamaan-persamaan, agaar kita
tidak menjadi “sombong dan suka pamer”. Antara suku bangsa yang satu
dengan yang lain, sama-sama memiliki kebudayaan. Walaupun kebudayaannya
berbeda, kita harus tetap memandang sama.

23
4. Meningkatkan Kecintaan Terhadap Lingkungan Hidup Manusia merupakan
bagian dari seluruh ciptaan tuhan, oleh karena itu manusia tidak dapat hidup
sendiri, manusia hanya dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya bila
berhubungan dengan lingkungan hidupnya yakni masyarakat sekitarnya, juga
alam. Tindakan menjaga lingkungan hidup berarti telah bekerja sama pula
dengan pemerintah dalam progam pelerstarian lingkungan hidup, misalnya
menanam sejuta bunga.
5. Berkerjasama Sesama Warga, Lingkungan dan Pemerintahan Disamping
sebagai mahkluk sosial, manusia harus menjaga hubungan baik dengan
lingkungan hidupnya baik dengan tetangga, masyarakat, maupun alam
sekitarnya. Sering kita mendengar perkelahian pelajar, dibeberapa kota bahkan
ada yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perbuatan tersebut akan mencederai
rasa persatuan dan kesatuan, untuk itu kita harus menghindari pertentangan
bahkan perkelahian antar siswa atau antar pelajar. Adapun kalau terjadi
perselisihan alangkah lebih baik jika diselesaikan dengan musyawarah.
6. Menggalang Persatuan dan kesatuan melalui berbagai kegiaatan Beberapa cara
yang ditempuh untuk menggalang persatuan dan kesatuan dapat dilakukan
dengan berbagai kegiatan antara lain :
a. Menggalakkan olah raga mellalui POIN, PORSENI, pertandingan
persahabatan lainnya;
b. Kesenian melalui pekan budaya, lomba tari daerah,kongres bahasa; dialog
nasional;
c. Keramukaan melalui Jambore nasional, jambore daerah, lomba-lomba
lainnya;
d. Dialog oorganisasi, pembauran antar suku antar etnis dan menyiarkan
melalui radio, TV dan media elektronika mengenai keaneka ragaman suku
bangsa untuk mengingatkan rasa kebangsaan kita, misalnya acara : anak
seribu pulau, aneka ria nusantara, bhinneka tunggal ika.8

8
Asep, Sulaiman, Nasionalisme Dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Bandung:
Fadillah Press, 2014), 78.
24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masyarakat indonesia yang besifat pluralistis ditandai oleh berbagai


faktor, yang antara lain oleh perbedaan suku bangsa, agama, ras/etnis dan antar
golongan. Sebagai konsekuensi masyarakat yang pluralistis, masyarakat Indonesia
secara kultural memiliki kebudayaan lokal yang beranekaragam. Kondisi
demikian, boleh jadi melahirkan berbagai wawasan lokal yang berkembang di
berbagai daerah nusantara, yang digunakan dalam membangun wawasan nasional,
sebagaimanapun dikenal dengan wawasan nusantara. Persoalan yang berkaitan
dengan SARA (suku,agama,ras dan antar golongan),hendaknya dipandang secara
positif, yaitu sebagai energi demokrasi atau kemajemukan masyarakat Indonesia
dan bukan dikatakan sebagai sumber konflik. Manajemen konflik yang mungkin
timbul dari perbedaan SARA, harus dipahami secara kritis agar tidak
menimbulkan disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, bangunan wawasan
kebangsaan yang dipetakan dari keanekaragaman wawasan lokal dan SARA di
Indonesia, akan menentukan bagi keberhasilan upaya intergrasi nasional dan
sekaligus juga pemaknaan bagi paham kebangsaan (nasionalisme) Indonesia.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat. Pemakalah menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam Makalah ini. Maka , pemakalah meminta maaf yang
sebesar-besarnya dan minta saran koreksi terhadap pembaca guna melengkapi
kekurangan dalam makalah ini. Semoga dengan hadirnya makalah ini, dapat
menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang Cara Pandang Lokal
Dalam Konteks Wawasan Kebangsaan Dan Nasionalisme Indonesia.

25
DAFTAR PUSTAKA

Harus Nasution, Pancasila Sebagai Maksud Masyarakat Pluralitas. Bulan


Bintang, Jakarta, 1973.

Poespowardoyo, Soenaryo. 1989. Pluralitas Pancasila. Jakarta: Gramedia

Kartohadiprojo, Soediman. 1970. Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, Bandung;


Gramedia.

Kaelan. 2008. Pancasila Sebagai Wawasan Bangsa Lokal dan Nusantara.


Yogyakarta Paradigma: Ofset.

Santoso, Budi, dkk, 2005. Pendidikan dan Wawasan Kebangsaan, Jakarta.


Gramedia Pustaka Utama.

Ayu, dkk. 2014. Pancasila Sebagai Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional
Riau: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.

Notonagoro. 1974. Pancasila Sebagai Dasar-Dasar Bangsa. Jakarta: Cetakan Ke-


4, Pantjuran Tudjuh.

Sulaiman, Asep, 2014, Nasionalisme Dalam Pendidikan Pancasila dan


Kewarganegaraan, Bandung; Fadillah Press.

26

Anda mungkin juga menyukai