Anda di halaman 1dari 26

IDENTITAS BANGSA DAN SEMBOYAN BHINEKA

TUNGGAL IKA

Dosen Pengampu : Hasbullah., M,Pd

DISUSUN OLEH :

Rizka Munira 202226084

Farida 202226083

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

LHOKSEUMAWE

TAHUN AJARAN 2022-2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapakan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penyusun sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca.

Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Lhokseumawe, 16 Oktober 2022

Penyusun

i
KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................2

1.1 Latar Belakang ....................................................................................2

1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................5

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................6

1.4 Mamfaat Penelotian ............................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................7

2.1 Sejarah Bhineka Tunggal Ika ..............................................................7

2.2 Semboyan Bhineka Tunggal Ika ........................................................9

2.3 Penerapan Bhineka Tunggal Ika .......................................................11

2.4 Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa ....16

2.4.1 Perilaku Inklusif .................................................................18

2.4.2 Mengkomodasi Sifat Pluralistik .........................................18

2.4.3 Tidak Mencari Menang Sendiri ..........................................19

2.4.4 Musyawarah Untuk Mencapai Mufakat .............................19

2.4.5 Dilandasi RasaKasih Sayang dan Rela Berkorban .............19

2.4.6 Toleran dalam Berkorban ...................................................20

BAB III METODE PENELITIAN ...........................................................22

3.1 Kesimpulan .......................................................................................22

3.2 Saran .................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman.


Indonesia terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa,
agama dan kepercayaan, dll. Namun Indonesia mampu mepersatukan bebragai
keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”
, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah kepercayaan yang ada


di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak
dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat
majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga
terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan
pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada didaerah
tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar
dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan
kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir,
dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat
peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang
berbeda.

Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses


asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis
kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya
agama-agama besar di Indonesi juga ikut mendukung perkembangan kebudayaan
Indonesia sehingga mencerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan
bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya
atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya
kelompok suku bangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks
peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan. Dengan
keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai
keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya.

Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup


secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel.
Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel
dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam
konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat
berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan
kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan
antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka
Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya
bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata
namun kepada konteks kebudayaan. Didasari pula bahwa dengan jumlah
kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara,
dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman
agamanya, pakaian adat, rumah adat kesenian adat bahkan makanan yang
dimakan pun beraneka ragam.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki


karakteristi yang unik ini dapat dilihat dari budaya gotong royong, teposliro,
budaya menghormati orang tua (cium tangan), dan lain sebagainya.

Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang
diangkat dari penggalan kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman
Kerajaan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi
satu (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari
jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas
keanekaragaman.

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan


menjadi bagian dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai

2
semboyan bangsa, artinya Bhinneka Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan
jati diri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai pembentuk karakter dan jati diri
bangsa ini tak lepas dari campur tangan para pendiri bangsa yang mengerti benar
bahwa Indonesia yang pluralistik memiliki kebutuhan akan sebuah unsur pengikat
dan jati diri bersama.

Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan


geopolitik dan geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam
agama, ide, ideologis, suku bangsa dan bahasa.

Kebhinekaan Indonesia itu bukan sekedar mitos, tetapi realita yang ada di
depan mata kita. Harus kita sadari bahwa pola pikir dan budaya orang Jawa itu
berbeda dengan orang Minang, Papua, Dayak, Sunda dan lainnya. Elite pemimpin
yang berasal dari kota-kota besar dan metropolitan bisa jadi memandang
Indonesia secara global akan tetapi elite pemimpin nasional dari budaya lokal
tertentu memandang Indonesia berdasarkan jiwa, perasaan dan kebiasaan
lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara pandang kita tentang Indonesia
berbeda. Jadi tanpa kemauan untuk menerima dan menghargai kebhinekaan maka
sulit untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Apa yang dilakukan oleh
pendahulu bangsa ini dengan membangun kesadaran kebangsaan atau
nasionalisme merupakan upaya untuk menjaga loyalitas dan pengabdian terhadap
bangsa.

Selama ini sifat nasionalisme kita kurang operasional atau hanya berhenti
pada tataran konsep dan slogan politik. Nasionalisme bisa berfungsi sebagai
pemersatu beragam suku, tetapi perlu secara operasional sehingga mampu
memenuhi kebutuhan objektif setiap warga dalam suatu negara-bangsa. Tradisi
dari suatu bangsa yang gagal memenuhi fungsi pemenuhan kebutuhan hidup
objektif akan kehilangan peran sebagai peneguh nasionalisme. Saat ini diperlukan
tafsir baru nasionalisme sebagai kesadaran kolektif di tengah pola kehidupan baru
yang mengglobal dan terbuka. Batas-batas fisik negara-bangsa yang terus mencair
menyebabkan kesatuan negara kepulauan seperti Indonesia sangat rentan terhadap
serapan budaya global yang tidak seluruhnya sesuai tradisi negeri ini. Disamping

3
itu realisasi otonomi daerah yang kurang tepat akan memperlemah nilai dan
kesadaran kolektif kebangsaan di bawah payung nasionalisme.
Di samping itu bangsa Indonesia relatif berhasil membentuk identitas
nasional. Beberapa bentukidentitas bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Nasional atau persatuan, bahasa Indonesia.
2. Dasar filsafat Negara yaitu pancasila.
3. Lagu kebangsaan Indonesia Raya.
4. Lambang Negara Garuda Pancasila.
5. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika
6. Bendera Negara Sang Merah Putih.
7. Konstitusi Negara yaitu UUD 1945.
8. Bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia.
9. Konsep Wawasan Nusantara.
10. Kebudayaan daerah yang diterima sebagai kebudayaan nasional.

Dari ke-10 identitas bangsa Indonesia tersebut akan dibahas salah satu
yaitu mengenai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupaka semboyan
pemersatu bangsa Indonesia.

UUD Republik Indonesia menyatakan dengan tegas tentang realitas


multikultural Bangsa Indonesia. Kenyataan tersebut dilukiskan di dalam lambang
negara “Bhinneka Tunggal Ika.” Kebhinnekaan masyarakat dan bangsa Indonesia
diakui bahkan dijadikan sebagai dasar perjuangan nasional permulaan abad ke-20.
Untuk itu integrasi nasional bangsa Indonesia pun harus diwujudkan di tengah
masyarakat Indonesia yang majemuk karena masyarakat yang majemuk
merupakan salah satu potensi sumber konflik yang menyebabkan disintegrasi
bangsa. Agar identitas bangsa Indonesia di mata dunia terkenal dengan bangsa
yang majemuk tetapi satu dalam keanekaragaman (suku, bahasa, agama, dll, yang
berbeda-beda) semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus diwujudkan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang kami jabarkan diatas, maka dapat diambil
beberapa rumusan masalah guna menunjang isi makalah ini, antara lain :

4
1. Bagaimana perjalanan Sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai
bentuk identitas Bangsa Indonesia.?
2. Bagaimana penetapan lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar
bangsa Indonesia?
3. Bagaimana penerapan Bhineka Tunggal Ika.?
4. Bagaimana Implemntasi Bhineka Tunggal Ika dan cita-cita luhur
Bangsa Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

2. Untuk mengetahui perjalanan sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai


bentuk identitas bangsa
3. Untuk mengetahui lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar bangsa
Indonesia.
4. Untuk mengetahui penerapan Bhineka Tunggal Ika
5. Untuk mengetahui Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan cita-cita luhur
Bangsa Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari makalah ini dapat kami peroleh manfaat bagi semua orang dan orang
yang membacanya, bahwasanya dalam hidup berbangsa dan bernegara dapat
memaknai dan melakukan apa yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika dan
Bisa menjadikan dalam kehidupan untuk lebih mengutamakan kepentingan
bersama dari pada kepentingan pribadi. Dan juga dapat Memaknai arti Bhineka
Tunggal Ika yang saat ini sudah mulai memudar dan dapat menjaga persatuan
Bangsa Indonesia.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Bhineka Tunggal Ika

Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia


sangat panjang, yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya pada masa
Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan semboyan Bhineka
Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.

Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif


dalam usaha mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu
dilakukan sehubungan usaha bina Negara kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan
Negara Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem
pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah
menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan


pada perbedaan dalam hal kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di
kalangan masyarakat Majapahit. Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, konsep Bhineka Tungggal Ika bukan hanya perbedaan agama
dan kepercayaan menjadi fokus, tapi pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal
Ika sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan
suku, bangsa, budaya (adat istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan
kepercayaan yang menuju persatuan dan kesatuan Nusantara.

Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti
Satu, dan Ika berarti Itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda,
tapi pada hakekatnya satu. Dengan kata lain, seluruh perbedaan yang ada di
Indonesia menuju tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan Negara Indonesia.

6
Berbicara mengenai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia,
lambang Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan
secara resmi menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 1951 pada 17 Oktober 1951 dan di-Undang-kan pada 28
Oktober 1951 sebagai Lambang Negara. Usaha pada masa Majapahit maupun
pada masa pemerintahan Indonesia berlandaskan pada pandangan yang sama,
yaitu pendangan mengenai semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan
sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara.

Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa dipakai sebagai


motto lambang Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Makna dari semboyan
itu adalah “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua”. Namun, Lemhanas
kemudian mengubah semboyan tersebut mejadi yang lebih praktis dan ringkas,
yaitu “Bertahan karena benar”. Makna “Tidak ada kebenaran bermuka dua”
sebenarnya memiliki pengertian agar hendaknya manusia senantiasa berpegangan
dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalaha


ungkapan yang meamaknai kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit.
Tidak hanya Siwa dan Budha, tapi juga seajumlah aliran (sekte) yang sejak awal
telah dikenal lebih duku sebagian besar anggota masyarakat Majapahit yang
memiliki sifat majemuk.

Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari


Singasari, yakni pada masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (candi
Jago), semboyan tersebut dan Candi Jago disempurnakan pada masa Kerajaan
Majapahit. Oleh karena itu, kedua simbol tersebut lebih dikenal sebagai hasil
peradaban masa Kerajaan Majapahit.

Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan


masyarakat yang majemuk. Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan
yang berdiri sendiri, muncul juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara
Siwa dan Budha serta pemujaan terhadap roh leluhur. Namun, kepercayaan

7
pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki peranan tertinggi
dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat.

Pada saat itu, masyarakat majapahiat tebagi menjadi beberapa golongan.


Pertama, golongan orang-orang Islam yang datang dari barat dan menetap di
Majapahit. Kedua, golongan orang-orang China yang mayoritas beasal dari
Canton, Chang-chou, dan Fukien yang kemudian bermukin di daerah Majapahit.

Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan
agama Islam. Ketiga, golongan penduduk pribumi. Penduduk pribumi ini jika
berjalan tidak menggunakan alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala.
Penduduk pribumi sepenuhnya percaya pada roh-roh leluhur.

2.2 Semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu


Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan
Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat
dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan
hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada
pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam
kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi
adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu
itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.

Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh
pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan
Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut
menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan
sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik Indonesia,
“Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata
“bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika
dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat dalam Lambang Negara, dan

8
tercantum dalam pasal 36a UUD 1945 yang menyebutkan :”Lambang Negara
ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan
demikian, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang merupakan
kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat
dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna
Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya
difahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar
pula.

Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik


dalam kehidupan yang terikat dalam suatu kesatuan. Prinsip pluralistik dan
multikulturalistik adalah asas yang mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat
dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan ras.
Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta didudukkan dalam suatu
prinsip yang dapat mengikat keanekaragaman tersebut dalam kesatuan yang
kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan dan didorong menjadi faktor
pemecah bangsa, tetapi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing
komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang
luar biasa untuk dimanfaatkan dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan
bangsa.

Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak


memungkinkan terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi arus
globalisasi yang demikian deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi
keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah merupakan syarat bagi
berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan berdiri sama
tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat yang
pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya
yang paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya
kepada pihak lain. Segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan
daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan
multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD
1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang

9
memberi peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk
mengakomodasi kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh
persyaratan untuk jabatan daerah harus dari putra daerah, menggambarkan
sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata untuk memenuhi aspirasi
kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak
mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menerapkan
nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang damai, aman,
tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.

2.3 Penerapan Bhineka Tunggal Ika

Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat


multikultural/majemuk sebagai pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi
wacana dan sumbang saran kepada semua pihak, terutama para pelaksana dan
penentu kebijakan diberbagai instansi tekait, agar dapat dijadikan tambahan acuan
dalam menentukan peraturan berkaitan dengan aktualisasi pemahaman nilai-nilai
ke-Bhinneka Tunggal Ika-an oleh masyarakat multikultural sebagai pilar
nasionalisme yang kokoh dan trengginas dalam menghadapi perubahan
globalKalimat yang terpampang pada pita putih yang tercengkeram oleh kaki
burung garuda, lambang negara Indonesia yaitu BHINNEKA TUNGGAL IKA
memiliki makna yang menggambarkan keragaman yang dimiliki bangsa
Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan satu
kesatuan Indonesia.

Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari
asal usul kalimatnya yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah
penggambaran dari dua ajaran atau keyakinan yang berbeda kala itu, namun pada
dasarnya memiliki satu kesamaan tujuan.

Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya


memahami benar arti dan makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat
itu merupakan bentuk pernyataan beliau dari suatu keadaan yang sedang dialami,
namun kenyataannya dapat diterapkan dan diterima hingga saat sekarang ini. Dan
memang seperti itulah seorang yang populis, berani menyampaikan sesuatu yang

10
belum pernah diperdengarkan sebelumnya dan menyampaikan dengan bahasa
yang populer, yaitu bahasa yang bisa diterima saat itu, saat ini dan suatu saat yang
akan datang.

Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan


bahasa yang dapat dipahami atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau
pembacanya sesuai tingkat pemahamannya masing-masing.

Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika
dalam perwujudan sehari-hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari
seringkali ditemui, namun untuk memahaminya terkadang masih terasa sulit,
apalagi mengakuinya. Ada ungkapan yang menyatakan “perbedaan adalah
rahmat” dan inipun terkadang menjadi bahan perdebatan.

Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang
dan malam itu berbeda tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan
beda tapi saling mengisi dalam kehidupan, salah dan benar, baik dan buruk yang
Tuhan ciptakan tentu tidak dapat disangkal, lalu mengapa Tuhan ciptakan itu
semua? Apabila perbedaan itu seharusnya tidak perlu ada, apakah kemudian kita
berpikir bagaimana sebaiknya Tuhan? Mengakui perbedaan terkadang terasa sulit
seperti halnya mengakui kebenaran orang lain daripada melihat sisi salahnya.
Tangan dan kaki, telinga dan mata, yang kanan dan kiri memiliki bentuk dan
fungsi yang berbeda tetapi saling menyempurnakan bentuk manusia itu secara
utuh. Ketika dalam satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya
masing-masing memiliki perbedaan pendapat apakah itu tidak boleh? dan apabila
si anak memiliki keinginan yang bertentangan dengan orang tuanya apakah
kemudian menjadikan terputusnya hubungan darah? Kemudian apabila alam
semesta yang beraneka ragam ini tercipta karena adanya hubungan Tuhan dengan
ciptaan-Nya, apakah akan menjadikan putusnya hubungan, apabila ciptaan tidak
mengakui penciptanya? Perbedaan adalah kenyataan yang tidak bisa terelakan
lagi, mulai dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara atau dunia.

Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras
tidak saling mendahului tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena

11
keselarasan itu maka dalam pertemuan malam dengan siang terlahir fajar yang
indah, begitu pula siang yang digantikan malam tercipta senja yang penuh misteri,
hal itu terwujud karena adanya keselarasan alam yang berbeda tetapi bersatu
menciptakan hari.Lalu bagaimana dengan perbedaan diantara kita, apakah bisa
berjalan selaras agar tercipta kedamaian?

Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang


sangat besar dengan menjadikan kalimat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” ini
sebagai simbolis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami arti
dan makna yang terkandung didalamnya serta dengan mewujudkan dalam
kehidupan sehari-hari mulai dari diri sendiri, berharap bangsa ini berjalan dengan
selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang besar.

Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi yang


berjiwa persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta
menghormati ke-Bhinneka Tunggal Ika-an (persatuan dalam perbedaan) untuk
setiap aspek kehidupan nasional guna mencapai tujuan nasional. Artinya, sudah
menjadi hal yang tidak dapat dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu jamak,
plural, dan daerah yang beragam, terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-
istiadat dan kebiasaan, agama, kepercayaan kekayaan yang terbentang dari
Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an
harus diwujudkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Implementasinya dalam kehidupan nasional adalah,
memahami kemajemukan sosial dan budaya atau multikulturalisme sebagai dasar
untuk membangun kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.
Pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dimaksud adalah
menerapkan atau melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara individu, kelompok masyarakat, dan bahkan
secara nasional, mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta
pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat yang jumlahnya besar (sekitar
230 juta jiwa) dan beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang kondusif
untuk pembangunan masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.

12
Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian
peristiwa yang menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu
atau kelompok, dalam berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan,
dan kehidupan berkebangsaan Faktor utama mendorong terjadinya proses
perubahan tersebut adalah pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an,
baik oleh rakyat, dan bahkan pemimpin atau penguasa mengindikasikan gejala
memudar. Kondisi ini dapat dilihat dari kecenderungan terjadinya konflik antar
individu, kelompok masyarakat yang berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan
berbeda kepentingan, serta rendahnya moral penguasa seperti banyaknya kepala
daerah dan anggota dewan yang terjerat hukum akibat korupsi.

Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang


syarat dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, nilai-nilai
budaya bangsa sebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus
tetap dipelihara sebagai pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah
persatuan dan kesatuan bangsa itu akan lenyap tanpa bekas, atau akan tetap kokoh
dan mampu bertahan dalam terpaan nilai-nilai global yang menantang kesatuan
negara bangsa (union state) Indonesia? Bagamanakah mengaktualisasikan
pemahaman nilai-nilai ke Bhinnekatunggal Ikaan Hal inilah yang menjadi
permasalahan dalam kajian ini agar terwujud dan terpelihara secara langgeng
integrasi sebagai pilar nasionalisme

Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih


membumi dalam pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu
dengan identitas sosial mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner
(2003) yang diterapkan pada diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual
differentiation model adalah suatu model dimana seseorang atau kelompok
tertentu yang mempertahankan identitas asal (kesukuan atau daerah) namun secara
bersamaan kesemua kelompok tersebut juga memiliki suatu tujuan bersama yang
pada akhirnya mempersatukan mereka semua.

Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis,


dengan artian seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki
suatu identitas bersama yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak

13
melupakan asalnya sebagai orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan
bersama yang lebih diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian
identitas kesukuan atau daerah lebih rendah nilai dan Keutamaannya daripada
identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, dimana
persatuan adalah harga mati.

Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha


mempersatukan seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika
kita Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan “Inggris kita Linggis” dimana pada
kesempatan tersebut beliau menebar propaganda bahwa setiap warga negara
Indonesia memiliki musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang, Amerika dan Inggris.

Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat


dikarenakan tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat
sebangsa dan setanah air. Perasaan, semangat dan tujuan seperti itulah yang akan
membuat masyarakat heterogen menjadi bersatu, membentuk suatu identitas
sosial nasional yang lebih kuat daripada kepentingan kelompok, golongan dan
pribadi.

Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri


ditambah kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa
merupakan suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini.
Sehingga terjalin kerjasama antar semua golongan tanpa pernah menyinggung
perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas
persatuan bangsa.

Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai


satu sama lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok
mayoritas terhadap minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan
untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama.

Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari


bangsa ini adalah menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang
menggurita, imperialis, orientalis, penyusupan paham-paham menyimpang dari

14
pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti pengkhianatan, fundamentalis
dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan memperkeruh keadaan, menyulut konflik
dan kesenjangan sehingga terjadi aksi-aksi dengan hasil keadaan yang
menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-cita luhur.

2.4 Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa


Indonesia

Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam


kehidupan berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara
mendalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-
prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

1. Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi


pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang
terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara
tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan
ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk
agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam
kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni
prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan,
dan common denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan,
untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui
eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir
Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme,
yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan
unsur yang datang dari luar.
2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini
bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak
dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak
mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan
eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan

15
tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan,
kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika
bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan
bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan minoritas.
3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan
perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya
mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai dan
rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat
dipersatukan.
4. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna
perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-
besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal
ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian,
inklusif, akomodatif, dan rukun.
5. Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika
mendukung nilai:

1. inklusif, tidak bersifat eksklusif,

2. terbuka,

3. ko-eksistensi damai dan kebersamaan,

4. kesetaraan,

5. tidak merasa yang paling benar,

6. toleransi,

7. musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain


yang berbeda.

Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka


Tunggal Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip
Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

16
2.4.1 Perilaku inklusif

Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka


Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau
kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari
kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting
kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan
menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang
tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.

2.4.2. Mengakomodasi sifat pluralistik

Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama


yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di
daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati
ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari
pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara
mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan
mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat
menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran,
harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak
lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama,
merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan
hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum
terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang
disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak
melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama
pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun,
bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan.
Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut,
dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung
kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah
tergerus arus reformasi.

17
2.4.3. Tidak mencari menangnya sendiri

Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan


bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya
yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika.
Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus
berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk
dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi,
tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari
berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah
untuk mencapai mufakat.

2.4.4. Musyawarah untuk mencapai mufakat

Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman


diterapkan pendekatan “musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan
pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama,
tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai
kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses
musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan
yang timbul diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang
tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.

2.4.5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.

Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling
curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai
harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka
Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka
Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing
pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia
adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh
tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa

18
pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih
pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.

2.4.6. Toleran dalam perbedaan.

Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan


tradisi, bahasa, dan adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai,
antara satu agama dengan agama lain, sebagai aset bangsa yang harus
dihargai dan dilestarikan. Pandangan semacam ini akan menumbuhkan
rasa saling menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta
menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.

Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika,


meyakini akan ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan secara tepat dan
benar, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.

Bhineka Tunggal Ika pada era Glablisasi saat ini, Indonesia pada
saat ini banyak mengalami kemunduran persatuan dan kesatuan.
Penyebabnya adalah adanya ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi,
belum stabilnya kondisi politik pemerintahan di Indonesia menjadikan
rakyat tumbuh menjadi rakyat yang apatis terhadap pemerintah.
Dampak buruk globalisasi yang membawa kebudayaan-kebudayaan baru
menjadikan komposisi kebudayaan masyarakat Indonesia menjadi lebih
kompleks atau rumit. Karena banyaknya kebudayaan baru yang datang dan
diterima begitu saja, menyebabkan terjadinya penyimpangan kebudayaan
di masyarakat. Belum lagi masalah klasik yang sepele namun berdampak
serius seperti perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan yang
semakin memecah belah kesatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Melihat
kondisi seperti ini tentu kita semua tidak boleh pesimis dan patah
semangat, Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-
beda tetapi tetap satu jua, selamanya akan tetap relevan untuk mengiringi
kehidupan bernegara di negeri yang multikultural ini, karena komposisi
kehidupan rakyat Indonesia akan terus beragam sampai kapanpun.

19
Ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, perbedaan suku, agama, ras
dan antar golongan di antara kita janganlah dijadikan pembeda.
Perkembangan jaman yang cepat dan masuknya budaya baru biarkanlah
berlalu, karena pada dasarnya kita semua satu, satu bangsa, Bangsa
Indonesia. Satu tanah air, Tanah air Indonesia. Satu bahasa, bahasa
Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua. Jaya
Indonesia !

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Pemaaman nilai-nilai Bhinneka-Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia


dapat wujud secara integral dengan kerjasama seluruh komponen bangsa, baik
oleh pemerintah selaku penyelenggara negara maupun setiap insan pribadi warga.
Peningkatan sosialisasi aktualisasi pemahaman nilai- keseharian seluruh
kompenen warga dalam rangka memperkuat integrasi nasional, karena Indonesia
dengan keberagaman budaya, suku/etnik, bahasa, agama, kondisi geografis, dan
strata sosial yang berbeda. Indonesia dengan gambaran masyarakat majemuk yang
terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah kekuasaan sebuah sistem
nasional, termasuk di dalamnya pemerintah yang menjalankan proses
pembangunan masyarakat harus bersinergis untuk bersama-sama dengan rakyat
tanpa membedakan keberagaman budaya, bahasa, agama, suku/etnik, dan bahkan
strata sosial, mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan komitmen bersama,
berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang
termaktub dalam Pancasila. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia yang
terintegrasi secara nasional adalah sangat penting sebagai kekayaan dan
merupakan potensi yang dapat dikembangkan sehingga dapat dimanfaatkan dalam
sistem komunikasi sebagai acuan utama bagi menunjukkan jati diri bangsa
Indonesia sebagai nasionalisme

Peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan sosial budaya sebagai


pencitraan dari budaya bangsa Indonesia yang semakin dewasa merupakan upaya
membangun citra diri didasarkan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka-
an yang dimiliki, dapat menjadi investasi yang diandalkan pada pelaksanaan
pembangunan nasional sebagai salah satu pilar demokrasi. Untuk itu diharapkan
tindakan nyata oleh pemerintah agar memaknai pentingnya kondisi kemajemukan
yang terintegrasi secara nasional melalui wawasan kebangsaan di era globalisasi
saat ini untuk menjaga kedaulatan NKRI. Untuk merealisasikan harapan ini,
masyarakat dan segenap komponen bangsa harus lebih dewasa dalam

21
mengaktualisasikan pemahaman nila-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam
mewujudkan integrasi nasional di negara yang dikenal dengan kemajemukannya
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 demi pencapaian tujuan nasional.nilai ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an harus dilakukan melalui tindakan nyata dalam
kehidupan.

3.2 Saran

Di dalam makalah ini, mungkin banyak sekali terdapat kesilapan ataupun


kesalahan, baik dari segi penulisan ataupun pengertian. Jadi oleh sebab itu, kami
selaku penulis memohon maaf dan meminta saran dan kritikan yang sifatnya
membangun, agar dapat menjadi perbaikan bagi saya untuk makalah-makalah
selanjutnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

http://.ui.ac.id/system files.users/turita,indah/publication/2009btisebagai

pembentuk ukbdj.pdf

http:research.amicom.ac.id/indeks.php/ST/article/viewfile/6829/4686

http://download.portalgaruda .org./article.php?article106635&val=22274&title

http://tikanayya.blogspot.com/2014/01 makalah-bhineka-tunggal-ika.html

http://www.pusat-definisi com/2012/11/bhineka-tunggal-ika-adalah html

23

Anda mungkin juga menyukai