Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PKN LANJUTAN

Dosen Pengampun:Dr. Abdul Azis,S.Pd.,M.Pd.

Kelompok 7 :

Nur Afmi Irbar 105401121921

Safika 105401122021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semua sehingga makalah ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dan shalawat serta salam yang selalu
tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW. dengan limpahan dan rahmat-Nya
penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini.

Pembuatan makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah PKN
Lanjutan. Oleh karena itu, penyusun berusaha konsentrasi demi kelancaran
pembuatan makalah ini. Selain itu, penyusun juga mendapat beberapa kendala pada
saat penyusunan makalah. Tetapi penyusun terus berusaha untuk menghadapi
segala rintangan dan kendala yang ada.

Selain itu, penyusun sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan
dari isi ataupun penyajian. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak agar dapat penyusun jadikan koreksi
dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat
digunakan sebaik mungkin sehingga akan membuahkan hasil yang memuaskan dan
sesuai keinginan.

Wa’alaikumsalam wr.wb

Makassar, 17 Oktober 2023

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR .......................................................................................i

DAFTAR ISI ......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1

A. Latar Belakang ........................................................................................1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................1
C. Tujuan Penulisan .....................................................................................2
D. Manfaat Penulisan ...................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................3

A. Menganalisis Nilai penting Budaya gotong royong ................................3


B. Mengklasifikasikan jenis-jenis budaya lokal, makanan ..........................9
tradisional, dan produk lokal sulawesi selatan .......................................9

BAB III PENUTUP ...........................................................................................21

A. Kesimpulan .............................................................................................21
B. Saran........................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai kekayaan yang beragam berupa suku, agama,
adat, ras dan budaya. Hal ini didukung dengan pendapat dari Hamid
(2016:137) yang menyatakan bahwa Indonesia is very rich with local
wisdom in managing nature. Letak Indonesia berbeda dengan negaranegara
lain. Indonesia mempunyai letak yang terpisah-pisah antara pulau satu
kepulau yang lain. Hal ini mengakibatkan beragam kebudayaan di
Indonesia.
Menurut Pujileksono (2006:14) menyatakan bahwa Budaya berasal
dari bahasa Latin yaitu colere yang berarti bercocok tanam (cultivation).
Arti cultivation adalah pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-
upacara religius. Budaya tersebut berkembang tidak hanya berkaitan dengan
hasil bumi, ternak namun mencakup kebiasaan dari dahulu yang masih di
lestarikan hingga sekarang. Perspektif budaya yang berkembang di
Indonesia lebih menekankan kepada upacara-upacara adat dan religius.
Kearifan lokal atau kebudayaan lokal yang berkembang di Jawa
Tengah. Di Jawa Tengah Terdapat sebuah kebudayaan lokal yaitu Sadranan.
Di Provinsi Jawa Tengah tepatnya di Kabupaten Boyolali, Kecamatan
Cepogo. Di sana terdapat kebudayaan Sadranan yang berbeda
pelaksanaanya dan menjadikan lokasi ini unik untuk diamati.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Menganalisis Nilai penting Budaya gotong royong?
2. Bagaimana Mengklasifikasikan jenis-jenis budaya lokal, makanan
tradisional, dan produk lokal sulawesi selatan?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Menganalisis Nilai penting Budaya
gotong royong
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Mengklasifikasikan jenis-jenis budaya
lokal, makanan

D. Manfaat Penulisan
1. Dapat Mengetahui Bagaimana Menganalisis Nilai penting Budaya
gotong royong
2. Dapat Mengetahui Bagaimana Mengklasifikasikan jenis-jenis budaya
lokal, makanan

2
BAB I

PEMBAHASAN

A. Menganalisis Nilai penting Budaya Gotong Royong


Negara Indonesia hendak didirikan di atas dasar nilai khas
Indonesia. Soekarno tidak mengimpor paham asing dan mengendaki agar
Indonesia didirikanbuat semua warga serta dimiliki oleh semua warga
Indonesia ketika mengusulkanPancasila. Negara gotong-royong dengan
demikian ialah negara yangdipondasikan atas semangat kerjasama dan
saling bantu khas Indonesia. Gotong-royong bagi Soekarno menjadi
saripati, ringkasan, dan jiwa Pancasila itu sendiri(Darmaputera, 1989: 132).
Dalam budaya gotong royong melekat nilai-nilai substansi modal
sosial. Sebagai modal sosial, gotong royong dapat dijadikan rujukan dan
pegangan dalam mencapai kemajuan suatu bangsa. Itu artinya bila
masyarakat masih memegang teguh prinsip gotong royong sebagai modal
sosial maka lebih mudah dalam mencapai kemajuan bersama. Sebaliknya,
bila nilai-nilai gotong royong yang terkandung dalam modal sosial tidak lagi
menjadi pegangan dan rujukan dalam masyarakat dan komunitas bisa jadi
akan mengalami kesulitan karena enerji sosial bisa terbuang sia-sia dan
berpotensi menghalangi mencapai tujuan kemajuan bersama. Bahkan bisa
memicu munculnya kekacauan sosial.
Gotong royong merupakan budaya yang telah tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sebagai warisan
budaya yang telah eksis secara turun-temurun. Gotong royong adalah
bentuk kerja-sama kelompok masyarakat untuk mencapai suatu hasil positif
dari tujuan yang ingin dicapai secara mufakat dan musyawarah bersama.
Gotong-royong muncul atas dorongan keinsyafan, kesadaran dan semangat
untuk mengerjakan serta menanggung akibat dari suatu karya, terutama
yang benar-benar, secara bersamasama, serentak dan beramai-ramai, tanpa
memikirkan dan mengutamakan keuntungan bagi dirinya sendiri, melainkan

3
selalu untuk kebahagian bersama, seperti terkandung dalam istilah
‘Gotong.’ Didalam membagi hasil karyanya, masing-masing anggota
mendapat dan menerima bagian-bagiannya sendiri-sendiri sesuai dengan
tempat dan sifat sumbangan karyanya masingmasing, seperti tersimpul
dalam istilah ‘Royong’.
Gotong-royong bukan istilah yang asing bagi masyarakat Indonesia.
Koentjaraningrat (1974:61) mengatakan bahwa sebenarnya kata “gotong-
royong”tidak ditemukan dalam kesusasteraan Jawa Kuno, prasasti masa
lalu, dan sejarah kebudayaan suku bangsa lainnya di Indonesia. Lebih lanjut
Koentjaraningrat(1974:56) menjelaskan bahwa meskipun istilah gotong-
royong adalah istilah yangrelatif baru, namun sebenarnya hakikat dari
konsep gotong-royong telah berakarcukup lama dalam kehidupan
masyarakat di pedesaan Indonesia, terutama dipedesaan Jawa. Sejak ratusan
tahun lalu masyarakat pedesaan di Jawa mengenalberbagai istilah yang
mengacu kepada prinsip gotong-royong ini
Kata “gotong royong” terutama mulai dikenal pada masa
pendudukanJepang, yaitu ketika Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
KemerdekaanIndonesia (BPUPKI) pertama kali mengunakan istilah
tersebut (Koentjaraningrat,1974:61). Gotong-royong menjadi istilah yang
populer ketika Soekarnomemperkenalkannya sebagai nilai khas Indonesia
yang harus menjadi jiwa danmendasari kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, bahkan pada masa Soekarnoada kabinet pemerintahan yang
diberi nama Kabinet Gotong Royong.
Nilai gotong-royong memerlukan jembatan untuk tampil lewat
pendidikan nilai.Pendidikan gotong-royong bisa ditampilkan dalam bentuk
pengetahuan kognitif, tetapi yang jauhlebih penting dari itu adalah
bagaimana gotong-royong sungguh menjadi etos dan praktekbersama dari
sebuah bangsa. Nilai gotong-royong merupakan kenyataan objektif dari
sejarahbangsa Indonesia yang ditemukan Soekarno, maka pendidikan
gotong-royong dengan demikianharus membuka ruang bagi siapa saja untuk
mengembangkan kemampuannya dalam rangkamenemukan nilai itu.

4
Pendidikan nilai gotong-royong menjadi semakin efektif bila diuji
denganpengalaman konkret segenap manusia Indonesia yang hidup
berdampingan dengan anekaperbedaan, akrab dengan bencana yang kerap
secara spontan memunculkan semangat untukbahu-membahu, dan biasa
diuji dengan peristiwa politik (baik itu Pilpres, Pilkada, bahkanPilkades)
yang kadang-kadang menjadi biang pertentangan masyarakat.Model
penelitian yang akan digunakan dalam menggali tema ini ialah
penelitiankualitatif bidang filsafat. Penelitian ini menggunakan metode
analisis hermeneutika.
Nilai gotong-royong akan dikaji dalam perspektif teori nilai Max
Scheler, sehingga ditemukan maknanya bagiIndonesia dewasa ini. Peneliti
menjadi instumen utama dalam penemuan makna seperti ini.Konsep
gotong-royonglah yang memungkinkan semua unsur yang berbhinneka di
tanahair Indonesia diakui keberadaannya. Konsep gotong-royong pulalah
yang membuat pluralismemekar dengan subur. Gotong-royong memiliki
dimensi kemanusiaan yang justru bisa menjadipengikat kebersamaan.
Bangsa ini harus meminati nilai gotong-royong lewat pendidikankegotong-
royongan, dan mewujudkan diri sebagai bangsa yang utama dalam
menghadapitantangan yang hendak merongrong ketahanan nasional.Kata
kunci : gotong-royong, pendidikan, nilai.
Gotong-royong bukan istilah yang asing bagi masyarakat
Indonesia.Koentjaraningrat (1974:61) mengatakan bahwa sebenarnya kata
“gotong-royong”tidak ditemukan dalam kesusasteraan Jawa Kuno, prasasti
masa lalu, dan sejarahkebudayaan suku bangsa lainnya di Indonesia. Lebih
lanjut Koentjaraningrat(1974:56) menjelaskan bahwa meskipun istilah
gotong-royong adalah istilah yangrelatif baru, namun sebenarnya hakikat
dari konsep gotong-royong telah berakarcukup lama dalam kehidupan
masyarakat di pedesaan Indonesia, terutama dipedesaan Jawa. Sejak ratusan
tahun lalu masyarakat pedesaan di Jawa mengenalberbagai istilah yang
mengacu kepada prinsip gotong-royong ini.Kata “gotong royong” terutama
mulai dikenal pada masa pendudukanJepang, yaitu ketika Badan Penyelidik

5
Usaha-usaha Persiapan KemerdekaanIndonesia (BPUPKI) pertama kali
mengunakan istilah tersebut (Koentjaraningrat,1974:61).
Gotong-royong menjadi istilah yang populer ketika
Soekarnomemperkenalkannya sebagai nilai khas Indonesia yang harus
menjadi jiwa danmendasari kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
bahkan pada masa Soekarnoada kabinet pemerintahan yang diberi nama
Kabinet Gotong Royong.Koentjaraningrat (1974:60) mendefinisikan
gotong-royong sebagaipengerahan tenaga manusia tanpa bayaran untuk
suatu proyek atau pekerjaan yang bermanfaat bagi umum atau yang berguna
bagi pembangunan. Kehidupan gotong-royong banyak ditemukan pada
masyarakat yang berakar pada tradisi pertanianpedesaan atau agraris.
Tradisi pertanian mengharuskan masyarakat petani untuksaling bekerja
sama sejak mulai menyemai bibit, menanam, merawat,
hinggamemanennya. Gotong royong menjadi cara hidup dalam masyarakat
agraris yangberbentuk paguyuban, atau dalam istilah Tonnies disebut
dengan gemeinschaft (Soekanto, 1982: 116).
Bintarto (1980:11) mengatakan bahwa gotong royong merupakan
perilakusosial yang konkrit. Prinsip tersebut dalam istilah Scott disebut
sebagai prinsipmoral timbal balik antarindividu yang tidak dilandasi oleh
uang dan materi,melainkan pada harapan untuk memperoleh pertolongan
balik di saat kelakmereka memerlukannya (Scott, 1988:255). Prinsip ini
menurut Scott dilandasisebuah gagasan yang sederhana, yakni semua orang
harus membantu mereka yangpernah membantunya (Scott, 1988:255).
Lebih lanjut Scott (1988:255)mengemukakan bahwa prinsip moral
resiprositas dalam masyarakat pedesaanJawa inilah yang disebut dengan
gotong royong. Geertz (1983:154) dalam TheJavanese Family mengatakan
bahwa nilai gotong-royong dalam masyarakat Jawadipengaruhi oleh dua
nilai besar yang menjadi jiwa dalam kehidupankesehariannya, yaitu nilai
“urmat” (hormat) dan “rukun”. Nilai “urmat” dan“rukun” inilah yang
akhirnya membentuk manusia Jawa sebagai pribadi yangmengutamakan
harmoni, keselarasan sosial, serta menghindari konflik.

6
Kata “gotong-royong” bernuansa budaya Jawa, akan tetapi praktek
hidupmasyarakat yang diresapi oleh semangat kerjasama ini terdapat pula
di berbagaitempat di Indonesia. Masyarakat Aceh mengenal nilai gotong
royong yangterwujud dalam tradisi “khanduri,” yaitu ritual yang dilakukan
secara kolektifuntuk memohon berkah, keselamatan, serta mengucap
syukur kepada Tuhan(Prasetyo, 2009:83). Masyarakat Bali melakukan
aktivitas gotong-royong dalamberbagai upacara keagamaan dan subak
(Bintarto, 1980:15). Subak merupakanlembaga tradisional yang memiliki
fungsi untuk mempersatukan para petanidalam upaya mengurus pengairan
sawah dan memanfaatkannya secara bersama-sama. Bintarto (1980:16) juga
mengatakan bahwa tradisi gotong royong terdapatpula pada masyarakat
Dayak di Kalimantan ketika mereka membuka ladang.Gotong royong juga
dapat ditemukan dalam tradisi masyarakat Bugis di SulawesiSelatan dalam
sebuah pranata sosial yang disebut sebagai minawang (Ahimsa,2007:2).
Aneka praktik kebersamaan (dengan berbagai nama yang berbeda)
diberbagai lapisan tersebut memberi ciri khas tertentu pada masyakat
Indonesia.Masyarakat Indonesia ternyata dijiwai oleh nilai kegotong-
royongan.
Pendalaman akan nilai gotong-royong, sebagaimana dikatakan
Sudjitoberikut ini, amat diperlukan bagi pemekaran semangat nasionalisme
di tengahpluralitas Indonesia: “Gotong-royong mengandaikan leburnya
benteng ego personal kedalam ego kolektif untuk saling menopang demi
kemajuan bangsa Para founding fathers meletakkannya sebagai prinsipnilai
bangsa yang tidak lagi bisa ditawar Karena itu sudahsaatnya kita kembali
menyemai nilai gotong-royong untukmenjawab ancaman yang dapat
meruntuhkan pondasi berbangsakita (Sudjito, 2014:4).”
Alur pikir Scheler dalam hal ini mengatakan bahwa penemuan
nilaigotong-royong bukan hasil reaksi psikis atau psikofisik Soekarno, dan
bukan pulahasil perasaan subjektif Soekarno. Nilai kegotong-royongan ada
bahkan tanpaSoekarno berpidato tentangnya, dan melekat pada manusia
Indonesia. Schelermenolak imanensi hakikat pada subjek. Hakikat itu

7
disajikan dan diberikan dariluar subjek, merupakan realitas otonom, yang
tidak diasalkan dari aktivitassubjek. Hakikat nilai dengan demikian tidak
bergantung pada subjek. Nilaigotong-royong dengan demikian dihayati
secara objektif oleh bangsa ini, adasecara apriori, bukan buatan subjektif
Soekarno, bahkan bukan pula aktivitassubjektif Soekarno.
Scheler mengatakan bahwa nilai-nilai bukanlah ciptaan manusia,
dan tugasmanusia hanyalah menemukan nilai tersebut. Argumentasi Scheler
ini membawakepada pemahaman bahwa Pancasila tidak diciptakan oleh
Soekarno dan parapendiri negara. Soekarno, dalam bahasa Scheler, hanya
menemukan nilai-nilaiPancasila dan gotong-royong yang telah dihayati
sekian lama di bumi Indonesia.Soekarno hanya menggali dan
mensistematisasinya. Soekarno dengan demikianbukanlah pencipta nilai
gotong-royong ketika mengumandangkan NegaraIndonesia sebagai negara
gotong-royong.
Scheler berpendapat bahwa nilai adalah suatu kualitas yang
tidaktergantung kepada pembawanya. Kualitas suatu nilai tidak akan
berubah jikapembawanya berubah, dan juga tidak rusak ketika pembawanya
dihancurkan.Nilai gotong-royong, sebagai suatu kualitas, juga tidak
tergantung kepadapembawanya, yakni segenap manusia Indonesia. Jika
sekarang dan suatu saatnanti yang ada di bumi Indonesia ini adalah
manusia-manusia yang makinindividual, hal itu tidak membuat nilai
gotong-royong berubah kualitasnya.Gotong-royong tetaplah bernilai
bahkan jika suatu saat nanti tidak ada lagimanusia di bumi Indonesia.
Nilai gotong-royong dengan demikian sama tingginya baik pada
zamandulu maupun sekarang dan tidak bergantung kepada siapa manusia
yangmenghayatinya. Dunia memang terus berubah dan sejarah dunia terus
bergulir,tetapi bagi Scheler suatu nilai tidak berubah seturut perubahan
zaman. Tendensi dewasa ini memudarkan nilai gotong-royong (terutama di
kota-kota besar), akantetapi dalam kacamata Scheler yang terjadi
sebenarnya nilai kegotong-royongantetap agung, karena keagungannya
tidak digantungkan kepada situasi, tempat,orang, dan zaman tertentu.

8
Gotong-royong ternyata menjadi ethos bersama segenap manusia
Indonesia. Bangsa ini sudah sejak lama menjunjung tinggi nilai gotong-
royong dan menjadikannya pedoman tingkah laku bersama. Scheler
berpendapat bahwasejarah perkembangan ethos merupakan pusat sejarah
dari suatu bangsa, maka Indonesia perlu selalu mengembangkan dan
memperdalam ethos gotong-royongdalam sejarahnya. Gotong-royong
sebagai sebuah nilai memang bersifat tetap danobjektif adanya, tetapi
praktik gotong-royong yang diejawantahkan dalam ethos bersama ternyata
harus selalu diperjuangkan. Ethos yang buruk dari bangsa ini memang tidak
akan menghapus nilai-nilai Pancasila dan gotong-royong, akantetapi tentu
membuat nilai-nilai luhur tersebut tidak teraktualisasi. Pertumbuhan ethos
yang baik menjadi mungkin bila ada tokoh panutan yang selalu
mewujudkan kegotong-royongan secara meyakinkan dalam
keterbatasannya sebagai manusia.

B. Jenis-jenis Budaya Lokal, MakananTradisional, dan Produk Lokal


Sulawesi Selatan
1. Budaya Lokal
Kearifan lokal sering di peristilahkan dalam bahasa inggris sebagai
Local Wisdom(Kebijakan Setempat) ataupun genius wisdom
(kecerdasan setempat) yang berarti usahamanusia yang menggunakan
akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek,atau
peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Berbicara kearifan lokal, maka akan terkait dengan sikap,
pengetahuan dan kebiasaanyang diperlakukan dalam suatu daerah
tertentu, yang dapat berupa tulisan, perkataan, maupundalam bentuk
perbuatan. Hasil studi kualitatif dari artikel ini menemukan beberapa
kearifan lokaldi Sulawesi selatan yang harus tetap perlu bereksistensi
di dunia pendidikan sebagai salah satusarana dalam pengembangan
ilmu pengetahuan maupun sebagai penunjang dalam tata

9
karmaberperilaku sebagai salah satu pedoman akal budi peserta didik
dalam kehidupan sehari-hari.
a) Pappasaeng (Petuah)
Petuah atau yang dalam bahasa bugis disebut sebagai
pappaseng adalah naskah yangberisi wasiat yang sarat akan sebagai
pencerminan cara hidup dan warisan kebudayaan sertacorak pikir
manusia pada waktu itu. Pappaseng ini pada umumnya dilontarkan
oleh seroangbangsawan, ataupun raja yang berkuasa pada saat itu.
Ada pula yang berasal dari orang-orangcerdik, guru, maupun orang
tua kepada anak-anaknya yang berisi tentang norma-
normakesusilaan.
Dalam dunia pendidikan, pappaseng ini dapat dijadikan
sebagai salah satu pedomandalam penanaman nilai-nilai moral dan
karakter dalam diri peserta didik. Pasalnya, terdapatberbagai nilai
yang terkandung dalam pappaseng tersebut yang dapat berupa nilai
religious, nilaikejujuran, nilai tanggung jawab, nilai disiplin, nilai
kerja keras, nilai mandiri, nilai peduli sosial,dan nilai peduli
lingkungan.
Keberadaan pappaseng dalam dunia pendidikan yang
ditanamkan kepada peserta didikakan menghasilkan manusia yang
memiliki keteguhan hati, pandangan serta perilaku yangsenantiasa
terjaga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pappaseng sebagai
pedoman hidupmasih dipertahankan karena pengaruh positif yang
terkandung menjadi perekat individu yangdijadikan pandangan
hidup.
Semisal pappaseng yang berbunyi Têllui riala sappo: tauq-e
ridêwata; siriq-ê ri watakkaletaq; siriq-ê ri padatta tau yang berarti
tiga diambil pagar: takutkepada Dewata (Allah), Malu pada diri
sendiri, Malu kepada sesama manusia. Hal tersebutberarti bahwa
ada 3 hal yang ketika dipegang erat sebagai pengangan atau

10
penjaga dalambertingkah laku maka akan terjaga kehidupannya di
dunia
b) Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan cerita yang berasal dari masyarakat
dan berkembang dalammasyarakat secara turun menurun dan
disampaikan secara lisan. cerita rakyat di setap daerahmemiliki
keunikan masing-masing yang mengandung nilai budaya maupun
sejarah kehidupandari daerah cerita tersebut berasal. Cerita rakyat
bukan hanya bisa digunakan sebagai bahanhiburan semata tapi juga
sebagai sarana pendidikan karena mengandung pesan-pesan
moralmaupun tuntunan-tuntunan dan pesan-pesan kehidupan.
Beberapa cerita rakyat yang dapat dijumpai di Sulawesi
Selatan adalah putri tandampalik,daeng sinoraja, nenek pakande,
ambo upe dan burung beo, cerita la upe dan raja ikan, I
laurangmanusia udang, kisah sawerigading, Lamaddukelleng,
pung darek-darek na pung kura-kura.Cerita-cerita rakyat tersebut
mengandung berbagai macam pesan serta petuah-petuah
untukkehidupan dengan cerita yang melukiskan cerita protagonist
dan antagonis yang dapat di tariksebagai cerminan dalam
bertingkah laku dalam kehidupan.
c) Siri’ na Pacce’ (Malu dan Solidaritas)
Siri‟ yang secara harfiah berarti malu, sedangkan secara
makna merupakan suatu sistemnilai sosial, budaya dan kepribadian
yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan
martabatmanusia sebagai individu dan anggota masyarakat.
sedangkan pace secara harfiah diartikansebagai perasaan pedih,
pedis atau menyayat hati. Secara maknawi dapat diartikan sebagai
perasaan menyayat hati, pilu bagaikan tersayat sembilu apabila
sesama warga masyarakat ataukeluarga atau sahabat ditimpa
kemalangan (musibah) [15] sehingga dapatlah ia menjadi
sebuahalat dalam mewujudkan sifat solidaritas, rasa kemanusiaan,

11
memberi motivasi walaupun dalamkeadaan yang berbahaya
sekalipun.
Falsafah siri‟ na pacce‟ inilah yang harus terus ditanamkan
dalam diri peserta didik,sebagai sebuah pemaknaan yang
mendalam dari falsafah bugis Makassar yang mampumenciptakan
orang-orang yang memiliki rasa malu yang kuat serta rasa
solidaritas dan belaskasih yang dijunjung tinggi.
Nilai-nilai luhur dalam siri na pace merupakan gambaran
kecil dari nilai-nilai budayayang berakar pada system, tekad, dan
prinsip yang esensial. pada hakekatnya, falsafahtersebut
merupakan bentuk dari kekayaan pola pikir yang dapat membentuk
kekokohan martabatdan harkat dari bangsa ini, sehingga sudah
sepatutnya jika pendidikan menjadi patron dalampenanaman nilai-
nilai ini.
Peserta didik dengan mental dan pola pikir yang sejalan
dengan siri na pacce akanmenjadi generasi-generasi yang mampu
bersaingdengan sportif dan juga berkompetisi tanpakehilangan rasa
simpati dan empati. Sehingga lahirlah generasi-generasi emas yang
dapatmenjadi tonggak pembaharuan serta pelanjut estafet
kepemimpinan bangsa di masa depan.
d) Budaya Tabe’ (Permisi)
Budaya tabe atau permisi merupakan salah satu bentuk
ucapan yang di lontarkan kepadaseseorang sebagai bentuk
penghjormatan pada orang tersebut. Secara umum tabe‟ ini
dalamkonteks bugis dimaknai sebagai tanda permisi untuk
melintas dihadapan orang lain dengan caramenundukkan kepala
seraya mengucapkan “tabe puang/karaeng/andi/daeng”. Dapat pula
sebagaibentuk penghormatan ketika hendak menghadap kepada
seseorang yang lebih tua ataupun orangyang memiliki gelar
kebangsawanan. Serta juga digunakan ketika mengambil atau
meletakkan sesuatu di hadapan orang lain.

12
Dalam pendidikan di Sulawesi selatan, budaya tabe ini harus
menjadi halhal mendasaryang diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari peserta didik, sehingga nilai-nilai kesopanan dankesantunan
melekat pada diri anak yang akan dibawa seterusnya, penanaman
nilai tabe‟ ini dapatdilakukan dengan cara pembiasaan serta
percontohan. Seorang guru harus menjadi patron dalamhal ini,
dengan membiasakan diri mengucapkan kata tabe‟ maka peserta
didik secara perlahanpula akan terbiasa dan dapat memaknainya
dengan baik
2. Makanan Tradisional
Sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia ini menunjukkan bahwa
berbagaiupaya yang dilakukan berbagai bangsa untuk mempertahankan
dan meningkatkan kesehatannya pada awalnya berbasis pada
sumberdaya alam yang ada disekitamya.Demikian halnya dengan
nenek moyang kita. Mereka telah mempunyai pengalamanpanjang dan
turun temurun dalam menyeleksi berbagai sumberdaya
hayatidisekitamya, yang mereka anggap dan yakini bermanfaat bukan
hanya sebagaimakanan dalam peningkatan kesehatan dan terapi
penyakit, tetapi juga menjadimakanan pokok sehari-hari. Makanan
pokok yang dahulu dikonsumsi seharai-harikini menjadi makanan
tradisional yang memberi citarasa dan kekhasan suatu daerah.
Menumt Made Astawan (2 : 2010) bahwa Pangan tradisional adalah
makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat
tertentu, dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut
dan bahan atau materialnya berdasarkan kepada sesuatu yang dekat
dengan lingkungannya, yang terdiri dari flora dan fauna,misalnya
material makanan tradisional yang berasal dari tanaman dan tumbuh-
tumbuhan antara lain adalah; padi, sagu, kelapa, cempedak, paku-
pakuan, dan rebung
Sedangkan makanan tradisional yang berasal dari hewan adalah;
kerbau, sapi,kambing, ayam, itik dan ikan (ikan air tawar dan ikan laut

13
laut untuk di pesisir).Selain itu pula, Bambang Hariyadi (1 : 2007) juga
mengemukakan bahwa Pangantradisional meliputi berbagai jenis bahan
pangan sepert;i bahmi asal tanaman (kacang-kacangan, sayuran hijau,
umbi-umbian, buah-buahan), asal hewani (kerang, ikan,unggas), dan
bah^i rempah-rempah (jahe, kunyit, ketumbar, salam, sereh,
beluntas,sirih, pinang, dll).
Berbagai kelompok masyarakat (kelompok etnik) yang tersebar di
seluruhkepulauan nusantara yang memiliki beraneka-ragam makanan
tradisional, terutamayang bahan dasamya non-beras sebahagian besar
diolab dengan menggunakancampuran rempah-rempah yang umumnya
mengandung komponen bioaktif yangbersifat antioksida (zat pencegah
radikal bebas yang menimbuikan kemsakan padasel-sel tubuh), dan
dapat berinteraksi dengan reaksi-reaksi fisiologis, sehinggamempunyai
kapasitas antimikroba, anti pertumbuhan sel kanker, dan sebagainya.
Indonesia yang memiliki pesona dan eksotisme alam yang luar
biasa, yangjuga mempunyai produk dan nilai tradisi budaya yang tiada
tertandingi sepertimakanan tradisional yang telah diuraiakan
mempakan warisan nenek moyang yangterus terjaga dan terpelihara
dengan baik sehingga memungkinkan banyaknyawisatawan
mancanegara yang tertarik datang ke Indonesia untuk melihat
langsungdan menikmati produk dengan nilai tradisi budaya yang ada.
Pengalaman dan pengetahuan yang unik dengan makanan tradisional
mempakan salah satu unsur-unsur yang membentuk nilai tradisi budaya
yang khas setiap suku bangsa di tanah air karena selain hanya
dikonsumsi oleh masyarakat lokal itu sendiri bahan bakunya juga cuma
berada pada daerah t»sebut.
Sejarah kehidupan atau nilai kebudayaan yang mengakar kedalam
dunia kepariwisataan dengan premise (dasar pikiran) bahwa seorang
wisatawan datang ke suatu tempat wisata adalah untuk menikmati
pesona keindahan dan eksotisme alam, akan mulai luntur karena
perilaku wisatawan sekarang ini yang sudah mulai jenuh akan ekspose

14
(tampilan) keindahan alam sehingga mulai memungkinkan akan
berpaling mencari bentuk kenikmatan lainnyayakni produk dan nilai
tradisi budaya. Jadi dengan demikian kebudayaan makanan tradisional
di masa mendatang akan memegang peranan penting dalam
memajukanpariwisata. Dengan kata lain makanan tradisional akan
menjadi daya tank wisatayang utama untuk menjaring lebih banyak
wisatawan mancanegara datang ke indonesia.
Jenis-jenis Makanan Tradisional sebagai berikut :
a. Coto Makassar
Makanan khas daerah Sulawesi Selatan pertama yang sangat
terkenal adalah Coto Makassar. Mengutip dari kanal Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) Sulawesi Selatan, mengatakan
bahwa makanan ini merupakan makanan tradisional Makassar,
Sulawesi Selatan.
Makanan ini terbuat dari jeroan atau isi perut sapi yang direbus
dalam waktu yang lama. Untuk pembuatannya sendiri terbilang
cukup unik, di mana bahan-bahan tersebut direbus dalam air yang
dipakai untuk mencuci beras bersama dengan kacang tanah yang
dihaluskan.
Rebusan jeroan bercampur daging sapi ini kemudian diiris-iris lalu
dibumbui dengan bumbu yang diracik secara khusus. Coto kerap
kali dihidangkan dalam mangkuk dan dimakan dengan ketupat dan
burasa.
b. Sop Konro
Tak kalah terkenal dari Coto Makassar. Sop Konro juga
merupakan salah satu makanan khas daerah Sulawesi Selatan yang
sudah cukup populer. Sop Konro merupakan masakan sop iga sapi
yang berasal dari tradisi Bugis dan Makassar.
Sop ini biasanya dibuat dengan bahan iga sapi atau daging sapi.
Masakan berkuah coklat kehitaman ini biasa dimakan dengan
ketupat yang sudah dipotong-potong. Warna kuah yang gelap ini

15
berasal dari kluwek. Bumbu yang digunakan pada Sop Konro ini
cukup kuat, ini karena digunakannya ketumbar dalam campurannya.
Kini Sop Konro sudah ada variasinya. Di mana ada variasi kering
yang disebut dengan Konro Bakar. Nantinya daging iga sapi yang
sudah dibakar dengan bumbu khas konro kemudian akan disajikan
dengan kuah Sop Konro.
c. Kapurung
Makanan khas daerah Sulawesi Selatan selanjutnya yang sudah
terkenal adalah Kapurung. Kapurung merupakan salah satu makanan
khas tradisional di Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat daerah
Luwu. Di daerah Lawu sendiri nama Kapurung sering disebut dengan
Pugalu.
Makanan ini terbuat dari sari atau tepung sagu. Ya, Kapurung ini
mirip dengan Papeda yang ada di daerah Maluku. Kapurung dimasak
dengan campuran ikan atau daging ayam dan aneka sayuran.
Meskipun termasuk ke dalam makanan tradisonal, kini Kapurung
sudah mulai populer. Selain ditemukan di warung-warung khusus di
Makassar, kini Kapurung juga telah masuk ke beberapa restoran,
bersanding dengan makanan modern.
d. Nasi palekko
Nasu Palekko ini merupakan salah satu kuliner khas Bugis yang
terbuat dari daging bebek yang dipotong-potong kecil seperti
dicincang.
Pada proses pembuatannya, daging bebek yang sudah disembelih
atau dipotong dan dikuliti serta dicincang lalu dicuci bersih.
Kemudian diberi cuka atau jeruk nipis untuk menghilangkan bau
amisnya.
Penggunaan bumbu rempah-rempah menjadi campuran utama
dalam pembuatannya. Maka enggak heran kalau cita rasa Nasu
Palekko ini sangat gurih dan mirip seperti rendang.

16
e. Mie Titi
Mie Titi merupakan makanan sejenis mie kering yang disajikan
dengan kuah kental dan irisan ayam, udang, jamur, hati, dan cumi.
Tampilan makanan ini mirip dengan ifumie, hanya saja mienya sangat
tipis.
Awal mulanya, nama Mie Titi ini adalah nama jenis makanan,
namun ternyata kata titi berasal dari nama panggilan pemiliknya.
Sajian mie kering di Makassar ini sudah populer sejak tahun 70-an.
Diawali oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Ang Kho Tjao,
yang kemudian menurunkan pengetahuan memasak mie kering
kepada tiga orang anakanya. Nah, setelah Ang Kho Tjao meninggal
dunia, usaha kedai mie kering ini dilanjutkan oleh ketiga anaknya
yang masing-masing membuka kedai sendiri.
f. Buras atau Burasa
Buras atau burasa merupakan makanan khas Sulawesi Selatan.
Buras ini mirip dengan lontong, di mana buras terbuat dari beras.
Namun bentuknya berbeda dengan lontong pada umumnya. Buras
lebih halus dengan balutan daun pisang muda, yang disajikan dengan
taburan bumbu kelapa kering, gula, garam, dan cabai.
Buras sangat mudah ditemui. Pasalnya buras banyak dijual di
pasaran. Namun, umumnya makanan ini disajikan pada saat tertentu
seperti acara syukuran, pernikaha, dan hari raya seperti lebaran.
g. Pisan Epe
Makanan khas Sulawesi Selatan lainnya adalah Pisang Epe. Di mana
makanan ini merupakan sajian pisang mentah yang dibakar, kemudian
dibuat pipih, dan dicampur dengan air gula merah.
Makanan ini paling nikmat disantap saat masih hangat. Kalau kamu
ingin mencicipi makanan khas Sulawesi Selatan ini, kamu bisa
menemuinya di sekitar Pantai Losari Makassar.

17
h. Jalangkote
Jalangkote merupakan kue yang bentuknya mirip dengan pastel.
Namun bedanya adalah kalau bahan kulit pastel umumnya tebal dan
empuk, sedangkan kulit Jalangkote ini tipis.
Kulit yang digunakan pada Jalangkote ini menggunakan bahan dasar
terigu, telur, santan, mentega, garam, dan bahan-bahan tambahan
lainnya yang dibuat tipis. Tidak hanya kulit, isinya juga berbeda dari
pastel. Kalau pastel isinya bisa macam-macam seperti cokelat, sus,
kacang, ikan, dan lainnya. Sedangkan Jalangkote tidak.
Sejak dulu hingga kini, isi Jalangkote hanya terdiri dari wortel dan
kentang yang dipotong-potong bentuk dadu dalam ukuran kecil,
tauge, dan soun. Sayur-sayuran ini ditumis dengan bumbu merica,
bawang putih, bawang merah, dan bumbu lainnya.
3. Produk Lokal
Kerajinan tangan selalu memiliki pesona tersendiri bagi wisatawan.
Di Sulawesi Selatan terdapat beragam kerajinan tangan khas yang
menarik dan bisa dijadikan sebagai buah tangan atau kenang-kenangan
a. Songkok Bone
Jika menyaksikan upacara adat atau seremoni yang diadakan
di Sulawesi Selatan, mungkin akan melihat sebuah topi atau
songkok yang dipakai para pejabat atau pemangku adat di sana. Saat
memakai songkok ini biasanya dipadukan dengan jas tutup. Inilah
yang disebut sebagai Songkok Bone, songkok atau topi yang berasal
dari Kabupaten Bone. Penyebutan lainnya biasa menggunakan
Songkok Recca. Kadangkala songkok ini juga menggunakan hiasan
emas. Untuk songkok Bone yang berhias benang emas disebut
Songkok Pamiring tetapi bila menggunakan emas sungguhan,
disebut Songkok Pamiring Ulaweng (Songkok Berpinggir Emas).
b. Miniatur Tongkonan
Tongkonan adalah rumah adat Toraja dengan bentuk atap
menyerupai perahu yang terdiri atas susunan bambu. Miniatur

18
Tongkonan ini merupakan salah satu kerajinan tangan khas Sulsel
yang diukir dan dibentuk berdasarkan desain asli. Miniatur
Tongkonan merupakan cinderamata yang cukup digemari
wisatawan baik lokal maupun internasional.
c. Miniatur Tau-Tau
Jika berkunjung ke pekuburan di Tana Toraja atau Toraja
Utara, akan menemukan patung di area pekuburan tersebut. Inilah
yang disebut Tau-tau yang berarti orang-orangan atau patung.
Memang, dalam adat istiadat dan Budaya Toraja setiap orang kaya
atau bangsawan yang meninggal akan dibuatkan Tau-Tau dan
biasanya diletakkan di sekitar tempat jenazahnya dimakamkan.
Dalam pembuatan Tau-Tau tidak boleh dikerjakan oleh sembarang
orang melainkan oleh para pengrajin khusus.
Jaman sekarang, para pengrajin tidak hanya membuat Tau-
Tau untuk orang yang meninggal tetapi juga menjadikannya sebagai
cinderamata. Souvenir Tau-Tau tidak mengandung nilai sakral
karena proses pembuatannya tanpa adanya ritual khusus dan Anda
bisa menemukan miniatur tau-tau dijual di toko atau sekitar obyek
wisata di Toraja.
d. Miniatur Perahu Phinisi
Perahu Pinisi adalah sebuah kapal kayu tradisional buatan
tangan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan, gaungnya sudah
mendunia karena sudah berlayar dan menjelajah samudera di
seluruh dunia. Kapal Pinisi ini sudah sejak-berabad-abad yang lalu,
bahkan menurut catatan sejarah, cikal bakal Kapal Pinisi sudah ada
sebelum tahun 500-an. Salah satu lokasi pembuatan perahu Pinisi
yang populer saat ini adalah Tana Beru di Bulukumba.
Belakangan, miniatur perahu Pinisi semakin banyak dicari
wisatawan untuk dijadikan sebagai souvenir kerajinan tangan khas
Sulsel. Ada dua jenis kayu yang digunakan untuk membuat miniatur

19
perahu Pinisi yaitu kayu hitam dan kayu putih. Miniatur Pinisi yang
menggunakan kayu hitam harganya lebih mahal.

e. Kain Tenun
Sulawesi Selatan juga memiliki kain tradisional dengan
perpaduan warna dan corak yang khas, yang populer adalah kain
tenun Toraja dan kain sutera Sengkang. Untuk mengenali kain tenun
Toraja bisa melihat motif, warna dan teksturnya. Semakin rumit
motifnya tentu waktu pengerjaan akan semakin lama dan harganya
akan semakin mahal. Sedangkan untuk kain sutera Sengkang,
umumnya mengkilap dan tidak mudah kusut. Motifnya pun beragam
dan jenis kainnya bervariasi mulai kain semi sutra yaitu campuran
katun dan sutra hingga yang 100 persen sutra.
Di mana bisa membeli 5 kerajinan tangan khas Sulsel yang
disebutkan di atas? Apakah harus mengunjungi masing-masing
daerah asalnya? Tidak juga, kalau sedang berlibur di Makassar,
langsung saja ke Jalan Somba Opu yang merupakan pusat oleh-oleh
khas Makassar dan sekitarnya. Akan ditemukan deretan toko oleh-
oleh yang menjual kerajinan tangan khas Sulsel.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Negara Indonesia hendak didirikan di atas dasar nilai khas
Indonesia. Soekarno tidak mengimpor paham asing dan mengendaki agar
Indonesia didirikanbuat semua warga serta dimiliki oleh semua warga
Indonesia ketika mengusulkanPancasila. Negara gotong-royong dengan
demikian ialah negara yangdipondasikan atas semangat kerjasama dan
saling bantu khas Indonesia. Gotong-royong bagi Soekarno menjadi
saripati, ringkasan, dan jiwa Pancasila itu sendiri(Darmaputera, 1989: 132).
Budaya Lokal Kearifan lokal sering di peristilahkan dalam bahasa
inggris sebagai Local Wisdom(Kebijakan Setempat) ataupun genius
wisdom (kecerdasan setempat) yang berarti usahamanusia yang
menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu,
objek,atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Makanan Tradisional Sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia ini
menunjukkan bahwa berbagaiupaya yang dilakukan berbagai bangsa untuk
mempertahankan dan meningkatkankesehatannya pada awalnya berbasis
pada sumberdaya alam yang ada disekitamya
Produk Lokal Kerajinan tangan selalu memiliki pesona tersendiri
bagi wisatawan. Di Sulawesi Selatan terdapat beragam kerajinan tangan
khas yang menarik dan bisa dijadikan sebagai buah tangan atau kenang-
kenangan
B. Saran
Kami menyadari jika makalah ini banyak sekali memiliki
kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Tentunya, kami akan terus
memperbaiki makalah tersebut dengan mengacu kepada sumber yang bisa
dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh sebab itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik serta saran mengenai pembahasaan makalah
ini.

21
DAFTAR PUSTAKA

Dewantara, A. (2019). Pendidikan Nilai Gotong-Royong Sebagai Strategi


Ketahanan Nasional. INA-Rxiv. April, 27.

Effendi, T. N. (2013). Budaya Gotong-Royong Masyarakat dalam


Perubahan Sosial Saat Ini. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 2(1).

Tati, A. D. R. (2019). Lontarak; Sumber Belajar Sejarah Lokal Sulawesi


Selatan. Jurnal Pendidikan Sejarah, 8(1), 50-66.

22

Anda mungkin juga menyukai