Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

KEBUDAYAAN PAPUA
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebudayaan Indonesia, yang diampu
oleh:
Prof. Dr. Hj. Kokom Komalasari, M.Pd
Diana Noor Anggraini, M.Pd

Di susun oleh:
Susan Suri Asti Dida Zahra Vitria 2108686
Rizka Zanatu Wangi 2103778
Siti Mutiara Tsani 2100153
Nuraini Razak 2108141
Anis Baikunia 2110088

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR
Syukur allhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah “Kebudayaan Papua” dengan baik dan tepat waktu.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Hj. Kokom
Komalasari, M.Pd dan ibu Diana Noor Anggraini, M.Pd, selaku dosen pengampu
mata kuliah Kebudayaan Indonesia. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman yang telah membantu dalam mengumpulkan data-data guna
menunjang pembuatan makalah “Kebudayaan Papua”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu kami mengharapkan segala bentuk saran dan kritik yang membangun
dari berbagai pihak. Kami juga berharap makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan dunia pendidikan dan kebudayaan.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB 1 ..................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 1

BAB 2 ..................................................................................................................... 2

TUJUH UNSUR KEBUDAYAAN ........................................................................ 2

A. Sistem Kepercayaan Papua .......................................................................... 2

B. Sistem dan Organisasi Masyarakat Papua.................................................... 3

C. Sistem Pengetahuan Papua ........................................................................... 3

D. Bahasa Papua ............................................................................................... 5

E. Kesenian Papua ............................................................................................ 6

F. Sistem Mata Pencaharian ............................................................................. 8

G. Sistem Teknologi Dan Peralatan ................................................................ 11

BAB 3 ................................................................................................................... 13

ANALISIS MASALAH ........................................................................................ 13

A. Penyebab Bahasa Daerah Papua Punah ..................................................... 13

B. Pelestarian Bahasa Daerah Papua .............................................................. 17

BAB 4 ................................................................................................................... 22

PENUTUP ............................................................................................................. 22

A. Keimpulan .................................................................................................. 22

B. Saran ........................................................................................................... 22

ii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang tentunya banyak sekali
pulau-pulau besar dan kecil. Indonesia juga memiliki provinsi yang sangat banyak
yaitu sebanyak 34 provinsi. Salah satu provinsi yaitu provinsi Papua. Provinsi
papua ini terletak di paling timur negara Indonesia. Papua sudah sering berganti
nama. Orang Belanda menyebut pulau Papua dahulu yaitu Niew-Guinea oleh
seorang pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes(1545) yang menyebut “Neuva
Guinea” (Guinea Baru).
Papua memiliki beragam kebudayaan yang unik, seperti Bahasa, rumah,
peralatan hidup atau teknologi, sistem politik, kesenian, dan lain sebagainya. Papua
juga memiliki ciri khasnya tersendiri, mulai dari tarian, pakaian, adat istiadat, dan
lainnya. Di pulau Papua sendiri memiliki 254 suku yang berbeda-beda. Hal ini juga
yang membuat provinsi Papua unik. Selain itu, Papua juga memiliki kekayaan alam
yang sangat luas dan juga indah untuk dipandang.
Banyaknya warga asing dan juga pengaruh globalisasi membuat Bahasa asli
papua semakin meredup. Banyaknya warga asing yang bekerja di Papua membawa
pengaruh untuk berbahasa inggris dalam setiap percakapan. Oleh karena itu,
makalah ini kami buat untuk mengetahui penyebab dan bagaimana melestarikan
Bahasa asli Papua agar tidak menghilang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa penyebab bahasa daerah di Papua terancam punah?
2. Bagaimana cara melestarikan bahasa daerah Papua?
C. Tujuan Penulisan
1. Bagaimana melestarikan Bahasa daerah Papua
2. Untuk mengetahui penyebab Bahasa daerah Papua mulai punah

1
BAB 2
TUJUH UNSUR KEBUDAYAAN
A. Sistem Kepercayaan Papua
Setiap suku bangsa memiliki suatu kepercayaan tradisional terhadap adanya
kekuatan roh halus, roh leluhur, atau dewa yang berkuasa di atas kekuatan lainnya.
Begitu juga dengan suku bangsa yang terdapat di Papua. Sebelum masuknya
agama-agama besar ke Papua seperti Kristen Protestan, Katolik, dan Islam,
masyarakat Papua percaya terhadap adanya dewa penguasa alam. Contohnya
adalah orang Biak Numfor, dewa tertingginya adalah “Manseren Nanggi”, orang
Moi menyebutnya “Fun Nah”; orang Seget menyebutnya “Naninggi”, orang
Wandamen menyebutnya “Syen Allah”, orang Marind-anim menyebutnya “Dema”,
orang Asmat menyebutnya “Mbiwiripitsy” dan orang Mee menyebutnya
“Ugatame”.
Para dewa tersebut diakui dan dihormati sebagai pencipta yang memiliki
kekuasaan mutlak atas nasib kehidupan manusia, makhluk ghaib, dan alam semesta.
Orang Papua percaya bahwa mereka harus memberikan sesajen atau upacara
tertentu supaya para dewa memberikan karunia kekuatan alam tersebut. Pada masa
sekarang system tradisi ini tidak lagi digunakan oleh masyarakat Papua, mereka
kini telah memeluk agama Kristen atau Islam. Namun demikian terdapat beberapa
kondisi di mana masyarakat Papua mencari jawaban atas permasalahan hidup
melalui kepercayaan tradisi atau yang biasa dikenal dengan istilah Animisme.
Semua kepercayaan di atas tersebut berlandaskan mitologi yang dimiliki oleh
masing-masing suku bangsa di tanah Papua. Mitologi ini juga yang menjadi dasar
dari gerakan kargoisme (curgo culd) di tanah Papua (Rumansara, 2015).
Adapun di suku Maybrat, Imian, dan Sawiat yang berada di daerah Sorong,
Papua terdapat suatu system kepercayaan yang disebut dengan wiyon-wofle. Suatu
kepercayaan yang hampir sama dengan Kristen karena terdapat ketritunggalan
Allah. Tuhan dalam suku ini disebut sebagai Oron yang berarti Allah Bapa,
Komeyan yaitu, Allah Anak, dan Bomlansa, yaitu Roh Kudus. Sedangkan di suku
Biak terdapat kepercayaan mengenai perjalanan roh kembali ke tempat asalnya,
seperti “dunia awan-awan, ombak, dan angin”, yaitu dunia tempat berdiamnya roh-
roh suci setelah melalui yen aibui “dunia kematian”. Sedangkan di suku Waropen

2
terdapat kepercayaan terhadap raja dari langit dan bapa tersembunyi, kepercayaan
ini juga terdapat kemiripan dengan Kristen (Yenusi, 2016).
B. Sistem dan Organisasi Masyarakat Papua
Dalam kepemimpinan dikenal juga kepemimpinan formal dan informal di
setiap desa di Papua. Kepemimpinan informal disebut kepala suku (Ondoafi) dan
kepemimpinan formal disebut kepala desa. Kepemimpinan kepala suku memegang
peranan penting dalam suatu masyarakat, dimana kepala suku dapat menyatakan
perang atau damai dengan suku lain (Enembe et al., 2018). Kepala suku juga bisa
disebut sebagai kepala adat. Selain itu ada juga organisasi-organisasi masyarakat
diantaranya:
1. Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) Papua
2. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua
3. Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Elsham) Papua
4. Yayasan Lingkungan Hidup (YALI) Papua
5. Perkupulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Papua.
6. DPMA MAMBERAMO RAYA
7. PPMA – perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan
Masyarakat Adat Papua.
8. Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum
(LP3BH)
9. Lembaga Masyarakat Adat Amungme (LEMASA)
10. Lembaga Masyarakat Adat Komoro (LEMASKO)
11. Yayasan RUMSRAM
12. LPMA Swamemo
13. Tiki Papua
14. Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa) (Profile WALHI Papua | Walhi
Papua, n.d.)
C. Sistem Pengetahuan Papua
Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suku papua adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan mengenai alam sekitar
Dalam pengetahuan masyarakat Papua sudah maju seperti masyarakat
daerah lain, namun terdapat beberapa wilayah yang menggunakan pengetahuan

3
Lokal meskipun terkadang saat ini sudah tidak cukup relevan, contohnya yaitu
Pengetahuan lokal mengenai peringatan dini dahulu dijadikan sebagai panduan
bagi keluarga dan masyarakat dalam melakukan kesiapsiagaan bencana.
Beberapa anggota tokoh masyarakat memberitahukan bahwa tanda-tanda alam
ini tidak diperhatikan lagi dengan baik dan kalender musim yang dulu menjadi
panduan dirasa tidak relevan lagi karena perubahan kondisi dan situasi alam
hal itu berdampak yang dapat dilihat dari kejadian banjir tahunan yang semakin
mengganggu kebun-kebun ubi mereka (Leny, 2014).
2. Pengetahuan mengenai alam flora dan fauna di daerah tempat tinggal
Berdasarkan pengetahuan turun temurun dari para leluhur, orang pintar
atau dari buku-buku tanaman obat yang kemudian dicoba dan cocok.
Pengalaman tersebut membuat masyarakat tahu akan manfaat dari tumbuhan
sehingga masyarakat sering membudidayakan di pekarangan ataupun kebun-
kebun dekat rumah penduduk dimana cara pemeliharaannya tidak
membutuhkan pemeliharaan khusus dan termasuk tumbuhan yang cepat
tumbuh (Simbala, 2014).
3. Pengetahuan mengenai zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam
lingkungannya
Salah satunya adalah Suku Dani yang mendiami Lembah Baliem dikenal
sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil yang telah menggunakan
alat/perkakas sejak dahulu. Suku Dani pada saat ditemukan, diketahui telah
mengenal teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang
binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang
terkenal sangat kuat dan berat (Leny, 2014).
4. Pengetahuan mengenai sifat dan tingkah laku (kebutuhan) antar manusia
Berdasarkan Komitmen Pemerintah Pusat melalui Perundangan mengenai
Otonomi Khusus untuk Papua termasuk (1) menghormati hak-hak asasi
manusia, nilai-nilai keagamaan, demokrasi, nilai-nilai hukum dan budaya yang
ada di dalam masyarakat adat (mengacu pada kebiasaan atau kebudayaan, yang
dipegang oleh setiap kelompok etnis dan terdiri atas pengetahuan, kelakuan-
kelakuan, aturan-aturan, hukum-hukum dan sistem-sistem untuk menjelaskan
dan mengatur perorangan dan kehidupan di dalam hukum “masyarakat adat”);

4
(2) untuk menghormati berbagai macam dan keanekaragaman kehidupan
sosial-budaya di masyarakat Papua; (3) untuk melindungi dan menghormati
etika-etika dan moral moral; (4) untuk melindungi hak-hak fundamental dari
penduduk asli dan hak-hak asasi manusia; (5) untuk memastikan tegaknya
hukum; (6) untuk menjaga demokrasi; (7) untuk menghormati pluralisme; dan
(8) untuk memecahkan masalah-masalah pelanggaran-pelanggaran hak-hak
asasi manusia terhadap penduduk asli Papua (Sugandi, 2008).
D. Bahasa Papua
Dalam Ethnologue: Language of The World (dalam Tondo, 2009)
dikemukakan bahwa di Indonesia terdapat 742 bahasa, 737 bahasa di antaranya
merupakan bahasa yang masih hidup atau masih digunakan oleh penuturnya.
Sementara itu, terdapat dua bahasa yang berperan sebagai bahasa kedua tanpa
penutur bahasa ibu (mother-tongue), sedangkan tiga bahasa lainnya telah punah.
Beberapa di antara bahasa-bahasa yang masih hidup tadi diperkirakan berada di
ambang kepunahan. Ada yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah penuturnya
karena penutur aslinya tinggal beberapa orang saja, tetapi ada pula bahasa-bahasa
yang terdesak oleh pengaruh bahasa-bahasa daerah lain yang lebih dominan. Tak
bisa dilupakan pula akan halnya pengaruh bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional terutama dalam berbagai ranah resmi (formal) seperti pemerintahan dan
pendidikan, yang seringkali menyebabkan frekuensi pemakaian bahasa daerah
semakin berkurang. Selain itu, kondisi masyarakat Indonesia yang multietnik
dengan bahasa dan kebudayaannya masing-masing sudah tentu membuka peluang
terjadinya kontak melalui komunikasi dan interaksi antaretnik yang berbeda bahasa
dan kebudayaan tersebut.
Wilayah Papua Barat secara genealogi bahasa merupakan sebuah massive
melting pot dari kedua tipe bahasa besar yang ada di Tanah Papua, jika di tinjau
dari penyebaran bahasa (language distribution) diseluruh wilayah Papua Barat yang
terdiri dari Adat Budaya Doberai dan Bombera. Di provinsi Papua dan Papua New
Guinea penyebaran bahasa – bahasa Austronesia umumnya terkonsentrasi pada
wilayah pantai utara dari pulau New Guinea, namun di wilayah Papua Barat
penyebarannya hampir merata ke seluruh wilayah. Kelompok yang termasuk tipe
bahasa – bahasa Austronesia menguasai seluruh wilayah dari leher burung sampai

5
ke sebelah utara dan Barat Daya. Kantong – kantong dimana penutur bahasa
Austronesia berada mulai dari wilayah Kabupaten Teluk Wondama, Teluk Bintuni,
Kaimana dan Fakfak, sedangkan di wilayah Manokwari, Sorong dan Raja Ampat
hampir sebagian besar wilayah pantai adalah penutur bahasa – bahasa tipe
Austronesian. Kelompok bahasa – bahasa Papuan umumnya berada pada daerah
gunung dan lembah (dataran rendah) dari kepala burung Seperti pegunungan Indon
(Arfak), Ihandin (Iha), Ndokdar (Tambrauw), Maybrat, dan Moi (Deda & Mofu,
2014).
E. Kesenian Papua
Terdapat pembagian zona ekologis yang dapat dikemukakan sebagai berikut
(Rumansara, 2015):
a) Zona Rawa, Pantai dan Sepanjang Aliran sungai: suku-suku bangsa yang
mendiami zona ekologis ini adalah suku Asmat, suku Jagai, suku Marind-
Anim, suku Kamoro, suku sebyar, suku Simuri, suku Irarutu, suku
Waropendan suku Bauzi.
b) Zona Dataran Tinggi: suku-suku bangsa yang mendiami zona ekologis ini
adalah suku Lani, Ngalum, suku Mee, suku Nduga, suku Amungme, suku
Moni, suku Yali dan suku Hubula.
c) Zona Kaki Gunung dan Lembah-Lembah Kecil:suku-suku bangsa yang
mendiami zona ini adalah suku Sentani, Nimboran, Meybrat, suku
Attamdan orang Muyu,
d) Zona Dataran Rendah dan Pesisir: suku-suku bangsa yang mendiami zona
ini adalah suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Sorong sampai Nabire,
Biak dan Yapen.Kondisi alam tersebut mempengaruhi semua unsur-unsur
budaya kelompok-kelompok etnis/suku bangsa yang mendiami 4 zona ini,
seperti halnya sistem peralatan atau teknologi tradisional, sistem religi,
organisasi sosial sistem pengetahuan, dan kesenian (arsiktertur tradisional,
music, tari, seni ukir dan Lukis)
1. Arsitektur
Bangunan hunian masyarakat tradisional Papua secara garis besar dibedakan
menurut gender, yaitu adanya hunian untuk laki-laki dan hunian untuk perempuan,
serta adanya bangunan untuk binatang ternak (babi, ayam, bebek, ikan dan

6
sebagainya). Hunian untuk laki-laki terletak di posisi yang strategis untuk
mengawasi dan memantau seluruh kompleks hunian, dan langsung berhadapan
dengan gapura/jalan masuk ke kompleks tersebut. Hal ini dimaksudkan agar kepala
keluarga dapat langsung mengetahui jika ada tamu atau musuh yang datang, sesuai
dengan tugas para lelaki untuk melindungi keluarganya (Fauziah, 2014).
Permukiman masyarakat tradisional Papua secara garis besar memiliki suatu
bangunan rumah adat yang merupakan bangunan komunal yang digunakan sebagai
tempat bermusyawarah dan berunding, sebagai hunian komunal dan menyelesaikan
berbagai masalah bersama di permukiman tersebut. Permukiman masyarakat
tradisional Papua pada umumnya mengelompok menurut garis keturunan dari pihak
ayah (patrilineal), dengan pertimbangan adanya rasa kebersamaan dan juga dari
segi keamanan, mengingat bahwa masih sering terjadinya peperangan dan
perselisihan antar suku di Papua (Fauziah, 2014).
2. Alat musik tradisional
1) Alat musik tifa
Tifa merupakan alat musik dari batang kayu yang telah dilubangi serta
menggunakan kulit rusa kering pada salah satu ujung batang kayu tersebut.
Instrumen dengan bentuk menyerupai gendang ini dimainkan dengan cara dipukul
dan sering kali digunakan untuk mengiringi tarian perang.
2) Alat Musik Pikon
Alat musik tradisional Papua ini umumnya berasal dari suku Dani, yang mana
masyarakat di suku tersebut kerap memainkannya sesaat setelah bekerja. Konon
menurut masyarakat yang sering memainkan Pikon, menganggap jika alat musik
ini justru menghasilkan suara yang sumbang.
3) Alat Musik Butshake
Alat musik Butshake biasa dimainkan sebagai musik pengiring tarian saat
pesta adat. Asalnya sendiri dari Muyu, Kabupaten Marauke. Kesenian tradisional
Papua ini dianggap unik, karena bentuknya yang terbuat dari biji kenari dan bambu.
4) Alat Musik Atowo
Atowo ini biasa digunakan untuk mengiringi upacara adat atau pesta rakyat
dengan suguhan tarian adat untuk menghibur masyarakat.
5) Alat Musik Kecapi Mulut

7
Instrument Kecapi mulut terbuat dari bamboo wuluh dan konon dipercaya
berasal dari suku Dani yang tinggal di Lembah Baliem. Butuh teknik khusus untuk
bisa memainkan alat musik yang ini.
3. Tarian daerah Papua
1) Tari sajojo
Tari Sajojo ini adalah kesenian tradisional Papua yang paling dikenal di
seluruh tanah air. Tarian ini kerap dipertunjukkan saat ingin menyambut tamu besar
atau berbagai acara penting lainnya di wilayah Papua. Tari Sajojo ini punya konsep
yang dinamis, di mana para penari baik pria maupun wanita akan secara bersama-
sama melompat dan menghentakkan kakinya begitu alat musik pengiring, seperti
Tifa telah dimainkan.
2) Tari Fela Mandu
Tari Fela Mandu konon diciptakan oleh para leluhur, yakni orang-orang
Amatali, Putali dan Abar, yang hendak pergi berperang kemudian mendapatkan
kemenangan setelah berhasil melawan orang-orang dari suku Sekori, Sebeya, dan
Sewiron dari wilayah Abar, Sentani Tengah.
3) Tari Musyoh
Tari Musyoh bermakna untuk mengusir arwah yang gentayangan akibat
kecelakaan maut yang dialaminya. Menurut kepercayaan suku adat Papua,
seseorang yang meninggal karena tabrakan atau kecelakaan pasti arwahnya tidak
bisa pergi dengan damai.
4) Tari Suanggi
Terakhir, kesenian tradisional Papua adalah Tari Suanggi. Tarian dari Papua
Barat ini konon bercerita tentang seorang suami yang bersedih karena ditinggal mati
oleh istrinya. Dalam kepercayaan suku Papua, kata “Suanggi” diartikan sebagai roh
jahat.
F. Sistem Mata Pencaharian
Mata Pencaharian atau bisa dibilang pekerjaan yang ada di daerah tersebut.
Masing Masing Daerah Mempunyai ciri khas tersendiri sesuai dengan keadaan
geografi, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan kebutuhan hidup
masyarakatnya. contohnya seperti Jakarta karena pusat kota jadi disana mata
pencaharian berprofesi sebagia karyawan ataupun buruh. Daerah Banten karena

8
dengan lau selatan bekerja sebagai nelayan begitu juga daerah papua yang memiliki
mata pencaharian yang berbeda dengan daerah lainnya (Provinsi Papua | BPK
Perwakilan Provinsi Papua, n.d.).
Provinsi Papua merupakan Provinsi paling Timur di Republik Indonesia dan
merupakan daerah yang relatif belum banyak dirambah oleh aktivitas manusia
dibanding daerah lain di Indonesia. Papua kaya akan sumber daya alam dan hal ini
merupakan bekal utama daerah ini untuk berkembang. Tanahnya yang luas
dipenuhi oleh hutan, laut dan keanekaragaman biotanya dan berjuta-juta tanahnya
yang cocok untuk tanah pertanian.
Papua memiliki ratusan etnik dengan budaya dan adat istiadat dengan variasi
topografinya. Secara garis besar, penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok besar masyarakat (Syafiih, 2016), yaitu:
1. Penduduk daerah pantai dan kepulauan; ciri-ciri umum masyarakatnya
tinggal di rumah panggung serta bermata pencaharian menokok sagu dan
menangkap ikan yang disesuaikan dengan lingkungannya. mereka juga
sering kali berkomukasi dengan orang luar kota juga tidak masalah
2. Penduduk daerah pedalaman; hidup bermasyarakat pada daerah sungai,
rawa, danau dan lembah serta kaki gunung. Pada umumnya bermata
pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan.
mereke senag mengembara dana mendiami tanah kering yanga da air tawar
dan payau.
3. Penduduk daerah dataran tinggi; mata pencaharian masyarakatnya berkebun
dan beternak secara sederhana. dan juga terkadang berburu dan memetik
hail hutan
Kegiatan ekonomi utama masih bersifat ekstraktif yaitu memanfaatkan
langsung sumber daya alam setempat terutama di sektor pertanian. Sebagian besar
mata pencarian penduduk di sektor pertanian sebagai petani tradisional, dan masih
terdapat juga masyarakat peramu (Pemerintah Provinsi Papua, n.d.).
1. Pertanian
1) Komoditi pertanian ( dalam arti luas ) yang menonjol yaitu kentang, kedelai,
kacang hijau, kacang tanah, kubis, wortel, petsai/sawi dan bawang daun

9
2) Komoditi tanaman pangan meliputi kentang, jagung, keladi, ubi kayu, ubi
jalar dan padi ladang
3) Komoditi tanaman kacang-kacangan meliputi kacang merah, kacang tanah
dan kedelai
4) Komoditi sayur-sayuran meliputi bayam,cabe,buncis, wortel , daun bawang,
bawang merah, bawang putih, ketimjun, kubis, terong, sawi, tomat, kacang
panjang, kangkung dan labu siam
5) Komoditi buah-buahan meliputi jeruk manis, nenas, pisang, nangka, jambu
biji, alpokat dan pepaya
2. Perkebunan
Jenis komoditi perkebunan yang dapat dikembangkan adalah kopi/biokopi,
apel, jeruk, nanas dan pisang.
3. Peternakan
Jenis Komoditi peternakan yang menonjol adalah babi,kelinci dan ayam
buras.
4. Perikanan
Jenis perikanan darat yang menonjol adalah ikan mas, ikan nila (terutama ikan
nila merah).
5. Kehutanan
1) Hutannya antara lain, hutan tropis dengan beberapa jenis kayu yang seperti
arancria,librocedus, gerville, metrocideres, tristanis, dan daridium.
2) Beberapa jenis tumbuhan khas papua yang menonjol adalah papua cendrum
SP dan pordocarpus papuarnus.
3) Jenis tumbuhan lainnya medang, agathis, nyato, lau, merbau, kazae, adule,
nase, sinore, ampou, aimamflau, kenari, nausindor, melur, bintangur dan
binung.
Penduduk papua juga ada kerajianan tangan yang bisa dijadikan oleh oleh
yaitu tas noken Kerajinan ini di buat dari kulit kayu yang di anyam, dan warna yang
diguanakan berasal dari pewarna alami akar tumbuhan dan buah-buahan. Noken ini
biasa di gunakan dan di bawah dengan menyangkutkan noken di atas
kepala.biasanya dijual kepada turis local atapun manca negara.

10
G. Sistem Teknologi Dan Peralatan
Sistem peralatan dan perlengkapan hidup dimaksudkan untuk menunjukan
segala benda dan alat-alat yang digunakan oleh manusia dalam memenuhi
keperluan hidupnya sehari-hari. Termasuk kedalamnya antara lain, alat-alat
bercocok tanam, alat-alat berburu, alat-alat menangkap ikan, peralatan angkutan,
peralatan kesenian, pakaian, alat-alat rumah tangga, dan rumah tempat tinggal.
Banyak senjata yang digunakan oleh masyarakat papua dalam bertahan hidup,
seperti halnya pisau belati yang merupakan senjata tradisional Papua. Selain itu
mereka juga sering menggunakan Tombak serta panah untuk berburu.
Provinsi papua sebenernya memiliki suku bangsa memepunyai ciri khas
dalam peralatan atau perlngkapan hidupnya yaitu seperti (Contoh Teknologi Dan
Peralatan Hidup Masyarakat Di Papua | Kumparan.Com, 2018):
1. Suku Bangsa Biak Numfor
1) Bermata pencaharian berladang dan juga melaut, menggunakan alat-alat
pertanian berupa parang, kapak, dan tugal atau tongkat kayu untuk
mencocok tanah.
2) Alat-alat untuk menangkap ikan digunakan tangguk yang disebut pam atau
riken, pukat yang disebut pam papos, tombak ikan yang disebut manorra
terbuat dari bamboo yang diberi dua atau tiga peruncing dari besi.
3) alat-alat untuk berburu banyak digunakan tombak, selain digunakan pula
untuk membunuh musuh.
4) Alat-alat rumah tangga, misalnya sendok kayu yang disebut adwar atau
asius, piring untuk makan sagu atau aibar.
5) Pakaian orang Biar terbuat dari kulit kayu berupa cawat yang disebut sarare.
Alat kesenian adalah songer berupa kecapi kecil yang dibunyikan dengan
gigi, dan korobow yang berupa gerincing yang terbuat dari rangkaian kulit
kerang.
6) Untuk transportasi atau perhubungan digunakan perahu bercadik satu,
sedangkan perahu perang diberi bercadik dua buah.
2. Suku Bangsa waropen
1) Alat untuk menebang pohon sagu digunakan kapak batu, sedangkan untuk
memukul sagu agar menjadi tepung sagu digunakan pemukul dari kayu

11
yang disebut magha, dan alat berburu adalah lembing, tombak, dan panah.
Alat untuk menangkap ikan digunakan jala, kail, dan kadang-kadang
menggunakan racun.
2) Alat-alat rumah tangga sebagian besar terbuat dari kayu, dan sebagian lagi
dari anyam-anyaman. Tetapi sekarang sudah banyak digunakan panci,
piring, mangkuk, dan alat keramik lainnya. Perahu suku bangsa Waropen
berupa biduk yang disebut gha, bentuknya seperti lesung bercandik, biasa
digunakan untuk pelayaran jauh buat laki-laki.
3) Alat-alat bunyi-bunyian terdiri dari genderang berbentuk gelas minum yang
disebut siwa, seruling yang berlubang dua, gong yang disebut mauno, dan
terompet dari kerang yang disebut buro. Rumah suku bangsa Waropen
berbentuk persegi panjang yang terdiri dari bagian tengah yang disebut
wundo dengan kamar-kamar berderet di kiri kananya, kamar disebut arado.
Di depan dan di belakang rumah biasanya ada pula serambi-serambi beratap

12
BAB 3
ANALISIS MASALAH
A. Penyebab Bahasa Daerah Papua Punah
Keberadaan bahasa daerah di Indonesia kian hari makin tersisihkan. Bahkan
beberapa bahasa daerah terancam punah karena sepi penutur. Data dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun mencatat, setidaknya ada 11 bahasa
daerah yang punah. Semuanya berasal dari Indonesia bagian timur, yakni Papua,
Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Kepunahan suatu bahasa memang tak
terjadi secara langsung, melainkan melalui proses yang panjang. Sebelum akhirnya
dinyatakan punah, sebuah bahasa akan melalui tahapan mulai dari berpotensi
terancam punah, terancam punah, sangat terancam punah, sekarat, dan punah.
Menurut Cece Sobarna, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Padjajaran, ada beberapa faktor memicu suatu bahasa daerah di Indonesia dapat
terancam punah yaitu ada anggapan menggunakan bahasa daerah merupakan
simbol keterbelakangan dan juga kemiskinan, Sementara di kalangan muda,
seringkali lahir persepsi tidak gaul saat seseorang menggunakan bahasa daerahnya.
Faktor lain yang dapat menyebabkan bahasa daerah di Indonesia terancam
punah adalah anggapan bahwa dwibahasa dapat menghalangi proses pendidikan
anak. Penyebab bahasa daerah punah yang lain adalah persaingan bahasa daerah
dengan bahasa nasional dan bahasa asing karena saat ini kita berada di era
globalisasi.
Setiap komponen masyarakat dapat berperan untuk mencegah kepunahan
bahasa daerah, salah satunya melalui institusi pendidikan. Karena Pendidikan
punya peran penting mencegah punahnya bahasa daerah. Pendidikan juga mampu
meningkatkan minat generasi muda untuk menggunakannya (Novena, 2021).
Ada tiga sebab utama kepunahan, yaitu (a) karena para orang tua tidak lagi
mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak serta tidak lagi menggunakannya di
rumah, (b) pilihan sebagian masyarakat tutur untuk tidak menggunakannya dalam
ranah komunikasi sehari-hari, dan (c) tekanan sebuah bahasa mayoritas dalam
masyarakat tutur multilingual (Ibrahim, 2011).
Bahasa yang terancam punah itu adalah bahasa Wano, dituturkan oleh
masyarakat Kampung Lumo, Distrik Lumo, Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi

13
Papua. Bahasa itu juga dituturkan di Kampung Gilibe, Kampung Kilulumo, dan
Kampung Iratoi.
Willem mengatakan punahnya suatu bahasa disebabkan oleh beberapa faktor.
Hal itu dipengaruhi oleh kebijakan berbahasa hingga bencana alam. Pertama,
karena tidak lagi digunakan dalam komunikasi, baik melalui sikap berbahasa,
pilihan berbahasa, atau punahnya penutur jati. Kedua, karena kebijakan berbahasa
(language policy). Ini bisa melalui pemusnahan bahasa, dominasi bahasa lain,
maupun pembatasan ranah pemakaian. Ketiga, karena bencana alam, seperti
tsunami, gempa, tanah longsor, wabah penyakit, atau wabah kelaparan. Bahasa
mempunyai peran penting sebagai sarana komunikasi antarmanusia. Masyarakat
yang sadar akan pentingnya bahasa dinilai akan lebih mudah bergaul dan
menghormati orang lain (Rizqo, 2018).
Diketahui bahwa terdapat cukup banyak bahasa-bahasa yang terancam punah
di Tanah Papua yaitu sekitar 208 bahasa. Ini mengimplisitkan perlunya kerja keras
dari berbagai pihak baik pemerintah (pusat dan daerah), para ilmuwan (dari
universitas dan lembaga-lembaga penelitian), maupun masyarakat penutur bahasa
itu sendiri agar bahasanya terhindar dari kepunahan. Tampaknya bahwa dengan
dimekarkannya provinsi Papua menjadi dua provinsi, pemerintah pusat dalam hal
ini Pusat Bahasa perlu segera membuka Lembaga Bahasa di provinsi Papua Barat
sebagai perpanjangan tangannya dan tidak hanya di Jayapura saja. Dengan
demikian, penelitian terhadap bahasa-bahasa yang terancam punah di Papua,
khususnya di Papua Barat, dapat dilakukan secara lebih memadai dan tuntas
sehingga pelaksanaan dokumentasi, kajian-kajian, maupun revitalisasi yang
berkaitan dengan bahasa dan kebudayaan masyarakat etnik di sana tidak terlambat.
Sementara itu, dapat pula kemukakan di sini bahasa yang telah punah (extinct
language) di Tanah Papua, yakni terdapat satu bahasa yang dapat dikategorikan
sebagai bahasa yang telah punah karena penuturnya tinggal satu orang dan dengan
demikian tidak mempunyai teman untuk berkomunikasi dalam bahasa itu, salah
satu hal yang dapat menjembatani komunikasi antaretnik yaitu adanya bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan sebagaimana yang terus diupayakan oleh agen
pemerintah dalam bidang ini yaitu Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional,
terutama untuk mencintai dan menggunakan bahasa ini secara baik dan benar.

14
Namun demikian, tentu upaya memajukan bahasa Indonesia harus berjalan seiring
dengan upaya pelestarian bahasa daerah. Bahkan, dalam kongres tersebut Wapres
menganjurkan untuk mengajarkan bahasa daerah sejak tingkat Taman Kanak-
Kanak (TK). Faktor-faktor Penyebab Kepunahan Kepunahan bahasa-bahasa daerah
merupakan fenomena yang harus disikapi secara arif. Berbagai upaya antisipatif
dan serius perlu dilakukan. Untuk itu, barangkali perlu dilakukan identifikasi
terlebih dahulu untuk mengetahui akar penyebab kepunahan itu sehingga dapat
dilakukan cara yang tepat dalam penanganannya. Sebenarnya, ada banyak faktor
yang dapat menyebabkan kepunahan bahasa.
Beberapa faktor penyebabnya yang teridentifikasi sejauh ini.
• Faktor pertama, yaitu pengaruh bahasa mayoritas di mana bahasa daerah
tersebut digunakan.
• Faktor kedua adalah kondisi masyarakat penuturnya yang bilingual atau
bahkan multilingual.
• Ketiga, faktor globalisasi.
• Keempat, yaitu faktor migrasi (migration).
• Faktor kelima ialah perkawinan antaretnik (intermarriage).
• Faktor keenam adalah bencana alam dan musibah, juga dapat turut menjadi
penyebab kepunahan sebuah bahasa.
• Ketujuh, yaitu kurangnya penghargaan terhadap bahasa etnik sendiri.
• Kedelapan, kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam
berbagai ranah khususnya dalam ranah rumah tangga.
• Kesembilan, yaitu faktor ekonomi. Faktor ini secara tidak langsung turut
pula menempatkan beberapa bahasa daerah dalam posisi di ambang
kepunahan.
• Faktor terakhir (kesepuluh) yang dapat diidentifikasi di sini ialah faktor
bahasa Indonesia (Tondo, 2009).
Summer Insitute of Linguistics secara singkat mengidentifikasi bahwa ada
sekitar 12 faktor yang menyebabkan punahnya sebuah bahasa: (1) Jumlah penutur
yang sedikti, (2) usia penutur, (3) penggunaan bahasa olehanak-anak. (4)
penggunaan bahasa lain secara reguler dalam masyarakat yamg beragam suku, (5)
perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya, (6) urbanisasi generasi

15
muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan, (9)
intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11) kebersastraan, dan (12)
kedinamisan para penutur dalam membaca dan menulis sastra (Ibrahim, 2011).
Dari sekian ratus bahasa daerah itu, diperkirakan 145 bahasa—yang
penuturnya kurang dari satu juta orang—terus mengalami penurunan status.
Sebagai contoh, diperkirakan 30 dari 58 bahasa daerah Papua Barat punah selama
20 tahun terakhir. Selain itu, 10—15 bahasa daerah di Papua Barat juga dipastikan
mati karena tidak pernah digunakan lagi oleh penuturnya, seperti bahasa Meyah,
Mpur, Dunser, dan Karondori. Contoh lain bahasa yang punah di wilayah Indonesia
bagian timur adalah bahasa Tandia—bahasa asli suku Mbakawar (Tandia), Distrik
Rasiei, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat (Deda, 2012). Saat ini tidak ada
lagi penutur bahasa Tandia dan tidak lagi dikenal oleh masyarakat sukunya. Bahasa
tersebut diperkirakan sudah punah sejak 1970-an. Faktor pemekaran wilayah
hingga perkawinan antarsuku diduga menjadi penyebab kepunahan bahasa daerah
tersebut. Sebelumnya bahasa daerah ini diduga mati. Maksudnya, ada penuturnya,
tetapi tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari. Pada awal 2011 masyarakat
suku Mbakawar yang tersebar di empat kampung di Distrik Rasiei tidak lagi
menguasai dan menggunakan bahasa itu. Sehari-hari mereka memakai bahasa
Wandamen, bahasa suku Wamesa yang juga mendiami daerah Teluk Wondama.
Selain itu, pewarisan bahasa Tandia terhalang mitos yang berkembang di kalangan
suku mereka sendiri. Ada keyakinan bahwa jika anak suku Mbakawar
menggunakan bahasa Tandia saat orang tuanya masih hidup, dia akan celaka.
Bahasa ini dianggap tabu digunakan dalam percakapan antara orang tua dan
anaknya. Contoh lainnya di Maluku, menurut catatan Kantor Bahasa Provinsi
Maluku (2016), empat bahasa di Pulau Buru (bahasa Moksela, Palumata , Kayeli,
dan Hukumina) dan satu di Pulau Seram (bahasa Loun) dipastikan punah. Delapan
bahasa yang terancam punah ialah bahasa Banggoi, Piru, Hulung, dan Amahai di
Pulau Seram; bahasa Serua di Kepulauan Maluku Tenggara; serta bahasa Fogi,
Teun, dan Lisela di Pulau Buru.
Kepunahan bahasa terkait dengan kematian bahasa: kondisi yang
menggambarkan sebuah bahasa tidak lagi dituturkan. Salah satu keadaan yang
memperlihatkan gejala-gejala kepunahan bahasa adalah penurunan secara drastis

16
jumlah penutur aktif. Pengabaian penggunaan bahasa daerah oleh penutur usia
muda juga merupakan gejala sebuah bahasa akan mengalami kepunahan. Asumsi
umum memperlihatkan bahwa dewasa ini generasi muda tidak cakap lagi
menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing. Kebanyakan hanya
menguasai secara pasif. Mereka mengerti dengan bahasa daerah mereka, tetapi
tidak fasih berbicara dengan bahasa tersebut. Jika keadaan seperti ini terus
berlanjut, bukan tidak mungkin beberapa tahun mendatang akan semakin banyak
bahasa daerah yang pada akhirnya punah terkikis zaman.
Sehubungan dengan itu pula, fakta kepunahan bahasa di Papua Barat dan di
Maluku tersebut sekadar contoh. Banyak bahasa yang terancam punah dan
fenomena ini semacam “gunung es” yang cukup mengkhawatirkan. Jika tidak
segera dilakukan langkah-langkah pelindungan, akan sangat sulit untuk
mempertahankan eksistensi bahasa itu. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika
bangsa Indonesia sudah saatnya segera melakukan berbagai upaya pelindungan
bahasa. Kita berharap bahwa upaya tersebut akan memberikan sumbangan
signifikan dalam upaya melestarikan dan mengelola bahasa sebagai kekayaan dan
kekuatan untuk memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
(Ismadi, 2020).
B. Pelestarian Bahasa Daerah Papua
Upaya-upaya mempertahankan dan melestarian bahasa daerah maka perlu
adanya usaha-usaha pelestarian dan perlindungan bahasa tersebut. Upaya-upaya
dan usaha untuk mempertahankan atau melestarikan bahasa daerah telah dilakukan
oleh pemerintah dan berbagai pihak. Di sisi lain para peneliti bahasapun
memberikan andil dalam usaha mempertahankan dan melestarikan bahasa daerah.
Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
mengeluarkan undang-undang tentang kebahasaan. Kerja sama antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah dalam upaya pelindungan bahasa tersebut sesuai
dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam UU tersebut, pasal 41
menyebutkan Pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi
bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan

17
zaman. Kemudian dalam pasal 42 disebutkan, Pemerintah daerah wajib
mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap
memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai
dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya
Indonesia (Kemendikbud, 2020). Dalam undang-undang tersebut di tegaskan
bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai kewajiban pada bahasa
daerahnya dalam beberapa hal sebagai berikut:
a. Menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sesuai dengan kedudukan dan fungsi
bahasa.
b. Memberikan dukungan untuk pengembangan bahasa Indonesia dan bahasa
daerah.
c. Memilihara bahasa daerah yang hampir punah sebagai budaya nasional dan
sumber pengembangan bahasa Indonesia.
d. Memajukan pengajaran bahasa daerah dalam upaya melestarikan nilai budaya
budaya bangsa.
Dari poin undang-undang kebahasaan tersebut diatas, tampak jelas bahwa
usaha pemeliharaan bahasa daerah terletak pada pengguna bahasa itu sendiri. Akan
tetapi pemerintah juga berupaya untuk memajukan bahasa daerah. Salah satu upaya
untuk mempertahankan bahasa daerah adalah dengan menganjurkan perguruan
tinggi untuk membuka jurusan bahasa daerah. Dengan adanya jurusan bahasa
daerah di perguruan. Para mahasiswa dapat mendokumentasikan bahasa daerah
tersebut dengan segala kekayaan yang terkandung dalam bahasa tersebut. Dengan
cara menulis buku berbahasa daerah, membuat kamus bahasa daerah, pantun, kata-
kata adat. Dan lain sebagainya. Membuka jurusan bahasa daerah di perguruan tinggi
yang dapat dilakukan untuk mempertahankan bahasa daerah. Diantaranya
menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran muatan lokal pada tingkat
sekolah dasar, mengadakan penelitian dan seminar dari waktu ke waktu dan
membuka program studi bahasa daerah. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan bahasa daerah adalah dengan mengoptimalkan peran media.
Salah satu media yang dapat digunakan dan telah digunakan adalah Radio Republik
Indonesia (RRI). RRI telah lama menyiarkan siaran berbahasa Papua, jawa dan lain-
lainnya. Selain RRI, Televisi pemerintah juga telah melaksanakan acara berbahasa

18
daerah seperti halnya, TVRI, Jambi TV dan Jak TV yang menyiarkan siaran
berbahasa Papua. Hal ini telah membiasakan pendengar yang berbahasa Jambi
menikmati siaran tersebut yang pada giliranya mereka terbiasa memakai
bahasa daerah sendiri. Selain upaya pemerintah dan swasta tersebut beberapa
peneliti dibidang bahasa mengemukakan teori-teori atau cara untuk
mempertahankan bahasa daerah.
Selain hal tersebut, upaya pelestarian yang dianggap sangat bisa
mempertahankan bahasa daerah dapat dilakukan oleh sipemakai bahasa itu sendiri.
Si penutur bahasa bahasa daerah tersebut dapat melestarikan bahasa daerahnya
dengan sesama pemakai bahasa tersebut dengan baik dan benar dalam arti tidak
mencampur adukan dengan bahasa lain.
Jayapura, Balai Bahasa Papua melakukan Rapat Koordinasi sebagai tindak
lanjut hasil seminar Perencanaan Bahasa Daerah di Papua pada bulan Oktober 2018
di Hotel Grand Abe Kota Jayapura. Rapat rapat koordinasi yang dilaksanakan
Kamis, 25 April 2019 di ruang pertemuan Kantor Balai Bahasa Papua ini dipimpin
oleh staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang hubungan pusat dan
daerah Dr.James Modouw,M.MT. Setelah membuka rapat beliau mempersilahkan
Kepala Balai Bahasa Papua Suharyanto,S.Pd memberi pengantar kepada peserta
rapat. Suharyanto dalam pengantarnya menyampaikan beberapa hal, rapat
koordinasi ini merupakan tindak lanjut dari hasil seminar perencanaan bahasa
daerah di Papua sebagai upaya pelindungan dan pelestarian bahasa daerah di Papua
dan permasalahan yang berkaitan dengan situasi ril masalah kebahasaan dan
beberapa temuan bahasa daerah di Papua yang hampir punah dan upaya yang telah
dilakukan oleh Balai Bahasa Papua yang wilayah kerjanya mencakup Provinsi
Papua dan Papua Barat ini yang merupakan rangkaian hasil rekomendasi seminar
perencanaan bahasa di tanah Papua dengan mendorong penyusunan naskah
akademik Raperda Pelindungan Bahasa dan Sastra Daerah di Papua (Marcap,
2019). Gubernur Papua Lukas Enembe, SIP, MH mengatakan, pemerintah akan
terus melestarikan bahasa dan sastra daerah guna menjaga dan memperkuat
identitas masyarakat Papua, hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, maka pendidikan dan kebudayaan
hadir sebagai jaminan atas kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah yang

19
semakin kuat bahwa Bahasa dan sastra daerah kini telah menjadi bagian penting
dari era Otonomi Khusus Papua. Ini konsekuensi logis dari pengakuan hak-hak
daerah, termasuk pengakuan bahasa daerah. Menurut Gubernur, wilayah Papua
memiliki jumlah bahasa, sastra, dan suku bangsa terbesar di Indonesia. Di Papua
terdapat 248 suku dan tujuh wilayah adat, yaitu Mamta, Saireri, Domberai,
Bomberai, Ha Anim, Laapago, dan Meepago. Masing-masing suku dan suku
tersebut, kata Gubernur, memiliki budayanya masing-masing, termasuk bahasa dan
sastranya. Menurut data Badan Pembangunan dan Pengembangan, jumlah bahasa
daerah di Indonesia sekitar 668 bahasa, di Papua ada sebanyak 395 bahasa. Selain
itu, bahasa yang memiliki dialek hanya 16 bahasa, di antaranya 10 di Provinsi Papua
dan 6 di Papua Barat. Yang tingkat mobilisasi masyarakat juga mempengaruhi
kelangsungan bahasa daerah. Oleh karena itu, agar bahasa daerah terus
berkembang, perlu adanya upaya dan langkah strategis dalam pengembangan
bahasa daerah di Papua agar tidak punah. Gubernur mengatakan, pengembangan
bahasa daerah perlu dilakukan melalui pendidikan formal, baik di lingkungan
keluarga maupun di masyarakat bukan hanya itu tetapi Pemerintah juga mendorong
masyarakat Papua di daerah adatnya masing-masing untuk menjaga dan
mengembangkan bahasa daerahnya masing-masing (Gubernur Enembe Desak
Pelestarian Bahasa Daerah, 2016). Salah satu model yang diterapkan dalam upaya
memelihara dan melestarikan bahasa daerah di Papua yaitu menerapkan
pembelajaran bahasa daerah di sekolah formal dalam bentuk muatan lokal (Andi,
2012).
Mbete (2009) mengemukakan beberapa cara ynag dapat dilakukan untuk
mempertahankan sebuah bahasa terutama bahasa daerah. Beberapa cara yang dapat
dilakukan adalah dengan cara melaksanakan lomba bercerita dalam bahasa daerah.
Selain hal tersebut bisa juga dengan mengajak para penulis di daerah tersebut
menulis cerita cerita rakyat di daerah tersebut dengan menggunakan bahasa daerah.
juga mengemukakn tentang ide penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar dalam pendidikan. Ia juga menambahkan bahawa dalam acara- acara
keagamaan, upacara dan dalam khotbah bisa menggunakan bahasa daerah sehingga
bahasa daerah dapat lestari (Alfian, 2019).

20
Kajian vitalitas bahasa bermanfaat untuk pemetaan vitalitas bahasa-bahasa
daerah dan dapat dijadikan sebagai sumber pendalaman ilmu linguistik, khususnya
untuk studi perencanaan dan kebijakan bahasa terhadap bahasa-bahasa daerah.
Pemetaan vitalitas bahasa ini sangat penting untuk menentukan upaya-upaya
pengembangan dan pelindungan bahasa. Selain itu, pemetaan ini dapat digunakan
sebagai bahan untuk menjelajahi berbagai kemungkinan fungsi bahasa (ranah
penggunaan), akuisisi (transmisi lintas generasi), kebijakan pemerintah mengenai
penetapan status dan korpus bahasa, serta bahan untuk melakukan langkah
pelindungan terhadap bahasa pada suatu kelompok masyarakat—apakah melalui
konservasi atau revitalisasi bahasa.
Vitalitas bahasa dapat diketahui dari dua hal yang dihubungkan, yaitu
hubungan semua subindeks indikator dengan kararakteristik responden (jenis
kelamin, pekerjaan, asal suku, dsb.) sebagai penutur bahasa asli. Subindeks
indikator meliputi (1) penutur, (2) kontak bahasa, (3) bilingualisme, (4) posisi
dominan masyarakat penutur, (5) ranah penggunaan bahasa, (6) sikap bahasa, (7)
regulasi, (8) pembelajaran, (9) dokumentasi, dan (10) tantangan media baru.
Berikut ini tabel kriteria vitalitas bahasa berdasarkan interpretasi kualitatif dan
angka indeks (Ismadi, 2020).

21
BAB 4
PENUTUP
A. Keimpulan
Bahasa marupakan salah satu dari unsur kebudayaan yang perlu untuk
dilestarikan. Papua merupakan provinsi yang memiliki banyak Bahasa daerah.
namun sayangnya banyak Bahasa daerah papua yang terancam punah yaitu sekitar
208 bahasa daerah. Adapun factor-faktor yang mempengaruhi punahnya Bahasa
daerah adalah karena para orang tua banyak yang tidak mengajarkan dan bertutur
Bahasa daerah kepada anaknya, masyarakat tidak menggunakan Bahasa daerah
dalam kehidupan sehari-hari, tekanan dari adanya Bahasa mayoritas.
Untuk terus melestarikan Bahasa daerah terutama Bahasa Papua maka
diperlukan kerja sama dari pemerintah dan masyarakat. Upaya yang dilakukan
pemerintah untuk pelestarian Bahasa adalah dengan adanya mata pelajaran Bahasa
daerah di setiap sekolah dan membentuk Balai Bahasa Papua. Pelestarian Bahasa
daerah juga bisa dilakukan dengan cara mengoptimalkan penggunaan media,
contohnya dengan menampilkan tayangan di televisi atau radio dengan
menggunakan Bahasa daerah.
B. Saran
1. Untuk menghidupkan kembali dan menguatkan kembali bahasa-bahasa
yang terancam punah, tergerus, dan stabil tetapi terancam, diperlukan
tindakan-tindakan penyelamatan seperti: (1) penyusunan tata bahasa
pedagogik dalam cetakan dan cakram rekaman, (2) kamus, (3) surat kabar,
(4) kelas bahasa bagi anak dan remaja di kampung sendiri, (5) sekolah
bahasa untuk anak berbasis masyarakat, (6) gerakan penggunaan bahasa ibu
di rumah, dan (7) bertutur bahasa ibu dalam acara adat. Tentu saja teknik-
teknik perawatan ini memerlukan tahap-tahap pelaksanaannya, mulai dari
survei mengenai kelayakan program, penyusunan silabus, uji coba, dan
pelaksanaan yang sesungguhnya.
2. Untuk menghindari ancaman kepunahan bahasa daerah, berbagai usaha
perlu di lakukan terutama bagi pemakai bahasa daerah hendaknya memakai
bahasa daerah yang telah diwariskan nenek moyang tanpa harus mencampur
adukan dengan kata-kata dari bahasa lain, sehingga bahasa setiap daerah

22
bisa lestari. Pelestarian Bahasa daerah merupakan tanggung jawab semua,
baik individu maupun masyarakatnya ataupun pemerintah. Pengenalan
kepada anak-anak sejak dini melalui kurikulum amatlah penting.
Sebaliknya pengenalannya dalam keluarga dan lingkungan masyarakat
daerah setempat memiliki peran besar agar bahasa daerah tetap lestari
(Alfian, 2019).
3. Upaya-upaya dan usaha untuk mempertahankan atau melestarikan bahasa
daerah harus dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak.
4. Dengan diterapkan dalam upaya memelihara dan melestarikan bahasa
daerah di Papua yaitu menerapkan pembelajaran bahasa daerah di sekolah
formal dalam bentuk muatan lokal (Andi, 2012).

23
DAFTAR PUSTAKA
Contoh Teknologi dan Peralatan Hidup Masyarakat di Papua | kumparan.com.
(2018, August 19). https://kumparan.com/hijab-lifestyle/contoh-teknologi-
dan-peralatan-hidup-masyarakat-di-papua-1534682563881522878
Enembe, Y., Deeng, D., & T Mawara, J. E. (2018). KEPEMIMPINAN KEPALA
SUKU PADA SUKU LANI DI DESA YOWO DISTRIK KEMBU
KABUPATEN TOLIKARA. In Holistik.
Pemerintah Provinsi Papua. (n.d.). Retrieved March 14, 2022, from
https://www.papua.go.id/view-detail-page-149/index.html
Profile WALHI Papua | Walhi Papua. (n.d.). Retrieved March 14, 2022, from
https://walhipapua.org/sample-page/profile-walhi-papua/
Provinsi Papua | BPK Perwakilan Provinsi Papua. (n.d.). Retrieved March 14,
2022, from https://papua.bpk.go.id/provinsi-papua/
Rumansara, E. (2015). Memahami Kebudayaan Lokal Papua: Suatu Pendekatan
Pembangunan yang Manusiawi di Tanah Papua. Jurnal Ekologi Birokrasi,
1(1), 47–58.
Syafiih, A. (2016, November 2). PAPUA DAN KEBUDAYAAN NYA | Ahmad
Syafi’ih. https://ahmadsyafiih.wordpress.com/2016/11/02/papua-dan-
kebudayaan-nya/
Yenusi, B. S. R. (2016). Wacana Sistem Kepercayaan Masyarakat Waropen Dalam
Narasi Munaba (Analisis Antropologi Sastra). Lingustika, 23(44), 1–7.
Ayunindya Annistri. 2020. Daftar Kesenian Tradisional Papua yang Bikin Takjub
Wisatawan. https://www.cekaja.com/info/daftar-kesenian-tradisional-
papua#:~:text=Tari%20Sajojo.%20Bisa%20dibilang%20Tari%20Sajojo%2
0ini%20adalah,atau%20berbagai%20acara%20penting%20lainnya%20di%2
0wilayah%20Papua. Tanggal akses 13 maret 2022.
Deda, A. J., & Mofu, S. S. (2014). Masyarakat hukum adat dan hak ulayat di
provinsi Papua Barat sebagai orang asli Papua ditinjau dari sisi adat dan
budaya: Sebuah kajian etnografi kekinian. Jurnal administrasi publik, 11(2).
Fauziah, N. (2014). Karakteristik Arsitektur Tradisional Papua.

24
Leny, V. (2014). Memahami Sistem Pengetahuan Budaya Masyarakat Pegunungan
Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan. Antropologi
Indonesia.
Rumansara, E. H. (2015). Memahami Kebudayaan Lokal Papua: Suatu Pendekatan
Pembangunan yang Manusiawi di Tanah Papua. Jurnal Ekologi
Birokrasi, 1(1), 47-58.
Simbala, H. E. (2016). Identifikasi dan pemanfaatan tumbuhan obat suku dani di
Kabupaten Jayawijaya Papua. Jurnal MIPA, 5(2), 103-107.
Sugandi, Y. (2008). Analisis konflik dan rekomendasi kebijakan mengenai Papua.
Friedrich-Ebert-Stiftung.
Tondo, H. (2009). Kepunahan bahasa-bahasa daerah: faktor penyebab dan
implikasi etnolinguistis. Jurnal masyarakat dan budaya, 11(2), 277-296.
Alfian. (2019). Bahasa Daerah: Kepunahan dan upaya pelestariannya.
Andi. (2012). Muatan Lokal, Upaya Melestarikan Bahasa Daerah di Papua.
Diambil kembali dari https://jubi.co.id/muatan-lokal-upaya-melestarikan-
bahasa-daerah-di-papua/amp/#
Gubernur Enembe Desak Pelestarian Bahasa Daerah. (2016). Diambil kembali
dari https://www.papua.go.id/view-detail-berita-6027/gubernur-enembe-
ajak-lestarikan-jaga-bahasa-daerah.html
Ibrahim, G. A. (2011). Bahasa Terancam Punah: Fakta, Srbab-musabab, Gejala dan
Strategi Perawatannya . 35-52.
Ibrohim, G. A. (2011). Bahasa terancam punah: fakta, sebab-musabab, gejala, dan
strategi perawatannya. 35 – 52.
Ismadi, H. D. (2020). KEBIJAKAN PELINDUNGAN BAHASA DAERAH DALAM
PERUBAHAN KEBUDAYAAN INDONESIA. Diambil kembali dari
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/02/cegah-bertambah-
punahnya-bahasa-daerah-kemendikbud-lakukan-pelindungan-bahasa
Kemendikbud. (2020). Cegah Bertambah Punahnya Bahasa Daerah, Kemendikbud
Lakukan Pelindungan Bahasa . Diambil kembali dari
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/02/cegah-bertambah-
punahnya-bahasa-daerah-kemendikbud-lakukan-pelindungan-bahasa
Marcap, A. (2019). RAPAT KOORDINASI PELINDUNGAN DAN PELESTARIAN
BAHASA DAERAH PAPUA . Diambil kembali dari
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbpapua/rapat-koordinasi-
pelindungan-dan-pelestarian-bahasa-daerah-papua/

25
Novena, M. (2021). Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah. Diambil
kembali dari Kompas.com:
https://www.kompas.com/sains/read/2021/07/24/183300423/bahasa-
daerah-di-indonesia-terancam-punah-ini-faktor-
pemicunya?page=all&jxconn=1*1ck6b08*other_jxampid*X3RwT0ZFajdi
WTFUVFNETXhKak1kUjg4UDktWDk5a0pVMWpCUHFyelR2cENCM
FJPOFZ0Nk82UGFrdElqX0loMQ..#page2
Rizqo, K. A. (2018). Bahasa di Puncak Jaya Papua Ini Terancam Punah. Diambil
kembali dari detikNews: https://news.detik.com/berita/d-4190426/bahasa-
di-puncak-jaya-papua-ini-terancam-punah#top
Tondo, F. H. (2009). KEPUNAHAN BAHASA-BAHASA DAERAH: FAKTOR
PENYEBAB DAN IMPLIKASI ETNOLINGUISTIS.

26

Anda mungkin juga menyukai