Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KONSELING MULTIKULTURAL

“Budaya Papua"

oleh :

Nursalni Danotoka (202039003)

Nurhayati Siauta (202039011)

Dini Purwirahayu (202039006)

Jelita Sukma Usia (202039009)

UNIVERSITAS PATTIMURA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
AMBON

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Ta'ala. atas
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan
dengan baik. Tim penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca tentang Multikulturalisme Budaya
Papua .Demikian juga atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang telah
Allah SWT berikan kepada kami sehingga kami dapat menyusun makalah ini
melalui beberapa sumber yaitu melalui jurnal dan melalui media internet.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada kami dalam penyusunan
makalah ini. Kami berharap informasi dan materi yang terdapat dalam makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Tidak ada yang sempurna di dunia ini,
kecuali Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu kami mohon kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan makalah kami selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat, jika ada kesalahan dalam penulisan, atau
ada ketidaksesuaian materi yang kami angkat dalam makalah ini, kami mohon
maaf. Tim penulis menerima kritik dan saran yang seluas-luasnya dari para
pembaca agar dapat membuat makalah yang lebih baik pada kesempatan
berikutnya.

Ambon,18 November 2022


COVER
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. LETAK GEOGRAFIS
C. SISTEM BUDAYA
D.SISTEM SOSIAL
E. KEBUDAYAAN FISIK
F. PAKAIAN ADAT
H. KESENIAN
KONFLIK PENDIDIKAN DI PAPAU

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Papua merupakan provinsi yang terletak dibagian paling timur Indonesia. Papua
dikenal memiliki banyak tempat wisata yang menjadi destinasi liburan wisatawan lokal
maupun mancanegara. Tempat-tempat seperti Raja Ampat, Teluk Cendrawasih dan
Pegunungan Jayawijaya sudah terkenal diseluruh dunia sehingga dalam aspek pariwisata
di Papua wisata alam lah yang menjadi fokus utama pemerintah sebagai unggulan untuk
menarik wisatawan. Papua juga memiliki potensi lain yang dapat dikembangkan guna
mengundang semakin banyaknya wisatawan untuk datang ke Papua yakni “Budaya”.
Papua memiliki banyak keberagaman suku yang masih memegang erat kebudayaan dan
kesenian yang dimilikinya seperti Patung ukiran, Tarian, Musik, dll. Kebudayaan tersebut
menjadi sangat penting karena menjadi identitas suku-suku di Papua dan sangat
berpengaruh terhadap perilaku, kebiasaan dan kepercayaan.

Suku di Papua sendiri yang sangat menonjol dalam hal kebudayaan ialah “Suku
Asmat”. Nama Asmat berasal dari kata-kata Asmat "As Akat", yang menurut orang
Asmat berarti "orang yang tepat". Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa Asmat
berasal dari kata Osamat yang berarti "manusia dari pohon". Suku asmat memiliki banyak
kebudayaan dan kesenian seperti Patung ukiran, atraksi tarian dan musik , kerajinan tas
noken, dll. Suku ini dahulu terkenal dengan praktik kanibalisme namun seiring
perkembangan zaman, hal ini sudah tidak terjadi lagi. Masyarakat Suku Asmat juga
mempunyai ritual atau acara-acara khusus seperti kehamilan, kelahiran, pernikahan dan
kematian. Kehidupan masyarakat suku asmat juga memiliki banyak kegiatan upacara
upacara adat.

Dengan keberagaman seni yang dimiliki suku asmat saat ini belum tersedianya sarana
yang mampu mewadahi itu semua. Para pelaku seni yang masih menekuni
kebudayaannya cenderung terpencar dan berdiri sendiri apabila ingin menampilkan karya
dan atraksi budayanya karena belum mendapat perhatian dari pemerintah.
Berkembangnya zaman serta masuknya budaya asing juga sangat berpengaruh terhadap
menurunnya minat generasi penerus sehingga semakin menenggelamkan kebudayaan
papua itu sendiri. Di tambah lagi keberadaan masyarakat suku asmat pun saat ini sudah
tersebar di daerah pantai maupun pegunungan tidak lagi mendiami kampung asmat saja.
Kondisi ini kemudian menyulitkan bagi masyarakat atau wisatawan yang ingin menikmati
dan mengenal kesenian tersebut.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana letak geografis Papua?
2. Bagaimana sistem budaya di Papua?
3. Bagaimana sistem sosial di Papua?
4. Apa kebudayaan fisik di Papua?
5. Apa pakaian ada di Papua?
6. Apa kesenian yang ada di Papua?

C. Tujuan

Agar bisa mengerti dan memahami Tentang kebudayaan Papua kota Jayapura,
bagaimana tentang tradisi adat, upacara adat, rumah adat, pakaian adat, makanan khas
dan bahasa daerahnya dan juga kebiasaan orang-orang Papua.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Letak Geografis

Papua terletak pada kedudukan 0 19‟ - 10 45” LS dan 130 45‟ – 41 BT, menempati
setengah bagian barat dari Papua New Guinea yang merupakan pulau terbesar kedua
setelah Greensland. Papua merupakan daerah propinsi terbesar di Indonesia.dengan
luas daratan 21,9 % dari jumlah keseluruhan tanah seluruh Indonesia, yaitu sepanjang
421.981 km2, membujur dari barat ke timur (Sorong – Jayapura), sepanjang 1200 km
dari utara keselatan (Jayapura-Merauke) sepanjang 736 km. Selain dari pada tanah
yang luas, Papua memiliki banyak pulau sepanjang pesisirnya. Di pesisiran utara
terdapat pulau Biak, Numfor, Yapen dan Mapia. Pada bagian barat ialah pulau
Salawati, Batanta, Gag, Waigeo, dan Yefman. Pada pesisiran selatan terdapat Pulau
Kalepon, Komoran, Adi, Dolak, dan Panjang, sedangkan di bagian timur berbatasan
dengan Papua New Guinea.
Topografi Papua dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Daerah Kepala Burung; Terdiri dari beberapa deretan pegunungan tinggi yang
merupakan lanjutan dari Pegunungan Jayawijaya ke arah barat laut.
2. Daerah Pegunungan Jayawijaya hingga pantai utara, merupakan suatu kompleks
pegunungan yang puncaknya mencapai 5.000 meter dan diliputi salju abadi.
3. Daerah tanah rendah di sebelah selatan Pegunungan Jayawijaya
Propinsi Papua Timur terbagi dalam 27 kabupaten, yaitu kabupaten:
1. Asmat 6. Jayawijaya
2. Biak Numfor 7. Keerom Waropem
3. Boven Digoel 8. Lanny Jaya Raya
4. Dogiyai 9. Memberano Tengah
5. Jayapura 10. Mappi
11. Merauke 20. Supiori
12. Mimika 21. Tolikara
13. Nabie 22. Waropen
14. Nduga Tengah 23. Yakuhimo
15. Paniai 24. Yalimo
16. Pagunungan Bintang 25. Yapen
17. Puncak 26. Memberamo
18. Puncak Jaya 27. Jayapura

Propinsi Papua Barat terbagi dalam 9 kabupaten yaitu:


1. Fak – fak 6. Sorong Selatan
2. Kaimana 7. Teluk Bintuni
3. Manokwari 8. Teluk Wondama
4. Raja Ampat 9. Sorong
5. Sorong

Penduduk Papua:
1. Penduduk pesisir pantai
2. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah
3. Penduduk pegunungan yang mendiami lembah
4. Penduduk pegunungan

Sejarah Papua sebagai berikut:


1. Undang - Undang No.15 th 1956, Pembentukan Propinsi Irian Barat
2. Tahun 1961 Pemerintah RI menyatakan TRIKORA
3. Masalah Irian Barat diselesaikan di PBB yang membentuk UNTEA
4. Tanggal 14 Juli - 2 Agustus 1969 diadakan PEPERA
5. Peraturan Pemerintah no 5 th 1973, Irian Barat menjadi Irian Jaya
6. Undang-undang No 21 Tahun 2001, Irian Jaya diganti Papua
7. Tahun 2004 Papua dimekarkan menjadi:
a. Papua (bagian timur) dengan ibu kota Jayapura
b. Papua (bagian barat) dengan ibu kota Manokwari

B. Sistem Budaya
Hak waris adalah bilateral di mana seorang wanita mewarisi hak untuk memukul
sagu baik dari ayahnya maupun dari ibunya. Serupa dengan itu seorang dapat
membuka kebun di tanah yang ada dibawah hak fam ibu ulayat dan juga seorang
wanita yang sudah kawin tidak harus tinggal di keluarga suaminya.

C. Sistem Sosial
Tiap kelompok suku mengenal sistem strata dalam masyarakat. Penduduk
diklasifikasikan berdasarkan faktor tertentu seperti keturunan dan kekayaan. Strata ini
diwarisi secara turun temurun dengan nama dan struktur yang berbeda tiap suku, dan
strata dapat mempengaruhi kepemimpinan dalam masyarakat atau kepemimpinan
seseorang.
Orang Papua mempunyai kebiasaan menginang (makan sirih pinang), memiliki
nilai kekeluargaan, nilai persaudaraan yang sangat kuat dengan rasa sosialitas yang
tinggi, tidak hanya dilakukan kaum wanita tetapi kaum pria juga, termasuk remaja.
Orang disebut sebagai “anak adat “ kalau ia menawarkan sirih dan pinang kepada
orang lain. Mereka menjadikan sirih dan pinang sebagai sarana komunikasi.

D. Kebudayaan Fisik
1. Bahasa
Yang dimaksud dengan dialek papua adalah logat atau cara berbicara, lafal dan
intonasi dalam berkomunikasi secara tidak resmi. Disini yg kita akan bahas adalah
sebatas dialek/logat/bahasa secara umum, karena kalau dibahas secara khusus (dalam
arti per-daerah) bisa sangat banyak. Karena kita tahu
sendiri bahwa di Papua saja terdapat ratusan bahkan ribuan suku dengan bahasa, adat
dan tradisi yang berbeda-beda.
Cara Berbicara Menggunakan Dialek Papua
Cara atau gaya berbicara (Dialek) orang Papua, lafal serta intonasinya sangat khas.
Kebanyakan dialek
Papua itu disingkat-singkat seperti Saya = Sa, Kamu = Ko, Pergi = Pi, dll.
Untuk menggunakan dialek Papua yang harus diingat adalah:
[*]Kata ganti kepunyaan selalu terpisah dengan Subjek dan selalu Subjek yg
diucapkan terlebih dahulu
sebelum kata ganti kepunyaan.
Contoh: "Ini rumahku = Ini sa pu rumah.", "Istrimu cantik sekali = ko pu maitua
cantik skali."
[*]Untuk kata kerja (Predikat) tidak banyak perbedaan . . Biasanya ada kalimat yg
pengucapannya
"Subjek" dulu, lalu "predikat".
Contoh: "Kata siapa saya kesana? = Siapa yg bilang sa kesana?".
Tapi pada umumnya kata kerja (predikat) masih sama seperti bahasa Indonesia baku
(EYD).
[*]Kata "sudah" biasanya digunakan untuk kata ganti "lah" pada akhir kalimat dan
tidak sambung dengankata kerjanya.
Contoh: "Makanlah sedikit biar tidak sakit perut = makan sudah sedikit biar tra sakit
perut." "Tidurlah,
jangan terlalu banyak begadang = Tidur sudah, jang terlalu banyak tahan mata."
[*]Kata / Imbuhan "e" / "eh" biasa digunakan untuk kata ganti "Yah" di akhir kalimat.
Contoh:"Aku koq makin gendut yah. . ? = Sa macam tambah gode eh. .", "Kalo udah
mau berangkat,
kabarin aku yah. . = Kalo su mo jalan, kas tau sa ee . ."
[*]Kata "Mo" selain berarti "Mau", biasa juga digunakan pada akhir atau pertengahan
kalimat sebagai
penegas kalimat.
Contoh:"Ah, aku tadi lihat koq kamu sama dia jalan. = Ah, sa tadi ada lihat mo ko
sma dia jalan", "Kalian
berdualah yang kesana. . = Kam dua sudah mo yang kesana. .", "Ah kata siapa? tadi
aku ga kesana koq =
Ah siapa yg bilang? tadi sa tra kesana moo.
[*]Kata "To" / "Toh" juga biasa digunakan sebagai penegas kalimat. Dan biasa
digunakan di akhir atau tengah kalimat tanya.
Contoh: "Aku bilang juga apa? Makanya jangan bandel! = Sa su bilang toh??
Makanya jang kapala
batu!", "Ya kamulah. . Masa saya yg kesana? = Yo koi too. . Masa sa yg kesana?",
"Tadi kalian berdua kan yg masak? = Tadi kam dua to yg masak?"
[*]Kata "Kah" selain sebagai kata tanya, juga sering digunakan untuk pelengkap suatu
kalimat.
Contoh: "Eh, kalo kamu gajian, aku jg ditraktir dong. = Eh, kalo ko gajian, traktir sa
jg kaah."
"Sayang, jangan marah2 dong nanti cepat tua loh. = Sayang, ko jang marah2 kaahh. .
nanti ko cepat tua."
[*]Kata "Baru" dalam dialek Papua juga punya fungsi sebagai pelengkap atau penegas
kalimat.
Contoh: "Kamu kan udah makan. = Ko su makan baru", "Kamu anak cowok, kenapa
pake rok? = Ko anak laki2 baru, kenapa pake rok?"

2. Sistem Organisasi Sosial


a. Sistem Kekererabatan
Satu rumah biasanya dihuni oleh satu keluarga batih yang jumlahnya rata-rata 4
orang, kadang-kadang juga merupakan keluarga luas. Seorang kepala keluarga batih
tercatat dalam buku gereja yang juga sebagai buku register desa dengan nama-nama
Kristen. Orang-orang Bgu mendapat nama keluarga dari ayahnya. Kalau ayahnya
bernama Huber Bagre, maka anaknya juga mendapat nama Bagre, misalnya Wempi
Bagre. Dengan demikian maka masyarakat di situ seolah-olah berbentuk klen-klen
patrilineal yang kecil yang disebut fam. Istilah fam dibawa masuk ke Irian oleh guru-
guru agama Kristen dari Ambon. Sebelum guru-guru agama Katolik masuk, sistem
kekerabatan di Irian Jaya disebut auwet yang juga bersistem patrilineal.
Kelompok-kelompok kekerabatan itu punya nama-nama khusus seperti Sedot,
Bagre, atau Dansidan. Adat perkawinan adalah virilokal yang mewajibkan si istri
untuk tinggal di rumah keluarga suami. Tiap-tiap auwet memiliki rumah suci yang
disebut nar, tempat menyimpan benda-benda suci, diantaranya yang terpenting adalah
seruling-seruling suci.
Bila seseorang akan berumah tangga, harus mengumpulkan sejumlah mas kawin
(krae) yang terdiri dari rangkaian kerang dengan hiasan kerang besar bundar yang
disebut sebkos (bulan), sebuah kalung dari rangkaian gigi-gigi anjing (kdarf), perabot
dapur, ikat pinggang dari manik (biten), tali kulit kayu (weimoki), makanan dalam
kaleng dan ditambah dengan sejumlah uang. Karena banyaknya ragam mas kawin itu,
kadang-kadang saudara-saudaranya ikut membantu pula. Keluarga batih pada
umumnya bersifat monogami, tetapi juga ada yang melakukan poligini sebagai akibat
dari perkawinan levirat atau karena si isteri tidak mendatangkan keturunan.
b. Bentuk Desa dan Pola Perkampungan
Suatu desa di Daerah Pantai Utara terdiri dari beberapa deret rumah-rumah di atas
tiang yang tersusun rapi di kedua tepi dari suatu jalan tengah. Bangunan-bangunan
pusat dari desa adalah Gereja, yang biasanya merangkap menjadi tempat pertemuan
umum. Kemudian biasanya ada sekolah desa dan rumah pos, ialah rumah yang bisa
dipakai sebagai tempat bermalam bagi patroli-patroli polisi dan pegawai-pegawai
pemerintah yang sedang turne, dan juga sebagai tempat bermalam bagi orang-orang
dari desa-desa lain yang sedang berjalan lalu. Rumah pos di desa-desa dibangun atas
instruksi pemerintah sejak lama.
Rumah di desa-desa daerah Pantai Utara merupakan suatu bangunan persegi
panjang, di atas tiang-tiang, dengan tinggi seluruhnya kira-kira 4.50 meter, biasanya
berukuran empat meter lebar, lima meter panjang, dan tiga meter tinggi, dengan di
dalamnya satu, dua ruang atau lebih; suatu ruangan untuk tempat duduk keluarga
merangkap dapur, dan satu-dua ruang lain untuk ruang tidur. Walaupun demikian,
cukup banyak juga rumah-rumah yang hanya terdiri dari suatu ruangan tempat semua
penghuninya tinggal bersama. Rangka rumah dibuat dari balok- balok satu pada yang
lain dengan tali rotan; dinding-dinding terdiri dari tangkai-tangkai kering lurus
panjang dari daun sagu yang disusun sejajar rapi, dan diikat satu pada yang lain
dengan tali rotan juga. Dinding semacam itu biasanya disebut dengan nama Ambon-
nya, dinding gaba-gaba. Lantai terdiri dari strip-strip panjang dari kulit pohon bakau,
yang walaupun tersusun serapi mungkin, toh masih sering pula bercelah-celah, cukup
lebar untuk menjebloskan kaki. Di dapur lantai berlubang satu meter persegi, untuk
tempat perapian, yang merupakan suatu panggung kecil khusus hampir berukuran satu
meter persegi juga, sehingga hampir sebesar lubang dalam lantai dapur, tetapi kira-
kira 20 sentimeter lebih rendah dari lantai dan ditutup denagn pasir. Api dinyalakan di
atas pasir dari panggung kecil tadi dan segala wadah-wadah dengan masakan
digantungkan dari atap dengan kawat. Atap rumah terdiri juga dari suatu rangka
balok-balok dan dahan-dahan kayu bakau yang lebih kecil yang ditutup dengan
jerami, atau lipatan-lipatan daun kelapa yang disusun berlaps-lapis tebal dan diikat
denagn tali rotan pada kerangka atap. Kadang-kadang rumah diberi jendela, tetapi
sering juga tidak, sedangkan untuk masuk rumah dari pintu ada tangga, yang bisa
diletakkan sebagai tanda bahwa para penghuni tidak ada di rumah. Penempatan rumah
baru menurut adat istiadat orang desa Pantai Utara pada umumnya membutuhkan
suatu pesta yang agak besar, bernama nuanyadedka, dengan adanya unsur penukaran
pemberian antara kaum kerabat istri si penghuni, yang menolongnya dalam proses
pembangunan rumah, denagn kaum kerabatnya sendiri, yang justru menjadi tamu
pada upacara itu.
c. Rumah adat

Rumah Adat Honai Rumah adat Papua adalah rumah Honai, rumah Honai tidak
dapat ditemukan di seluruh Papua, hanya dapat temui di lembah dan pegunungan
bagian tengah Papua. Rumah adat Honai adalah rumah bagi suku Dani yang tinggal di
bagian lembah Baliem atau Wamena, suku Lani di Pegunungan Toli, dan suku-suku
asli Papua lainnya.

1. Makna rumah Honani

Maknanya adalah sebagai simbol kesatuan dan persatuan untuk mempertahankan dan
mewariskan budaya suku, nilai, harga diri yang sehati dan satu tujuan dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan Lantai rumah Honai hanya berupa rumput atau jerami.
Bahan rumput dan jerami dipilih karena menggambarkan makna kesederhanaan. Di
dalam rumah Honai tidak disediakan tempat duduk. Suku Dani mempersilakan
tamunya untuk duduk di bawah dengan alas jerami Hal itu dilakukan untuk
membentuk kebersamaan antar sesama suku Dani.
Rumah Honai bentuknya sangat sederhana karena suku Dani termasuk suku nomaden
sehingga kesederhanaan rumah memudahkan perpindahan mereka ke tempat lain.
Fungsi rumah Honai, selain sebagai tempat tinggal, adalah tempat penyimpanan alat-
alat perang dan berburu serta tempat mendidik anak laki-laki agar menjadi orang yang
kuat saat dewasa dan berguna bagi sukunya. Rumah Honai juga berfungsi sebagai
tempat menyusun strategi perang jika terjadi peperangan dan tempat menyimpan
barang berharga yang sudah ditekuni sejak dulu.

2. Bahan-bahan pembangunan rumah adat Honani

Menurut Fangnania Trifena Rumthe dalam buku “Rumah Bundar”, Honai berbentuk
bundar atau lingkaran seperti sarang burung. Tidak ada honai yang tidak bundar. Pada
awalnya honai dibuat sama sekali tidak menggunakan paku, baik untuk sambungan
atau pun memperkuat papan.
Bahan-bahan untuk membuat rumah Honai meliputi:
 Papan cincang, disebut papan cincang karena kedua ujung papan itu dibuat
runcing seperti tombak. Ujung papan yang runcing akan ditanam ke dalam
tanah. Papan cincang dimanfaatkan sebagai dinding honai.
 Balok kayu untuk tiang tengah atau tiang utama. Tiang utama berfungsi
menyangga atap honai.
 Kayu buah untuk rangka penutup atap honai. Lokop/Pinde bentuknya seperti
bambu kecil panjang berfungsi sebagai alas tempat tidur.
 Rumput alang-alang sebagai atap honai.
 Tali rotan, berasal dari akar-akar pohon, atau tanaman sulur-suluran yang
berfungsi seperti tali.

Keluarga yang mau membuat honai akan mengundang kerabat dan saudara-
saudaranya. Selama proses pembangunan, mereka akan makan bersama-sama. Tradisi
makan bersama ini disebut “bakar batu”.

d. Kepemimpinan
 Ondowafi, tokoh adat ini tugasnya mengawasi pembukaan tanah ulayat
oleh pengembang menyaksikan transaksi tanah atau hutan–hutan sagu
dan sebagainya.
 Korano, tokoh adat ini dianggap sebagai orang yang bertugas
meneruskan perintah dan instruksi dari pemerintah, tokoh adat ini
harus bisa membaca dan berpengalaman berhubungan dengan orang
luar.

e. Perkawinan

Perkawinan Sistem perkawinan adalah monogami walaupun poligami tidak


dilarang. Keanekaragaman budaya bangsa Indonesia ditunjukan dari adanya berbagai
suku bangsa, bahasa daerah dan pola perilaku yang berbeda-beda antara satu daerah
dengan daerah yang lain. Perbedaan ini menunjukan juga bahwa hokum sebagai salah
satu unsur kebudayaan, terutama hukum adat, yang mengatur kehidupan tiap
masyarakat antara satu daerah dengan daerah lain juga berbeda. Di satu sisi
masyarakat menganggap penting untuk tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang
dimiliki termasuk didalamnya hukum local (adat), namun tidak jarang disisi lain nilai-
nilai budaya tersebut bertentangan dengan peraturan hukum nasional yang diciptakan
dan digunakan sejak Indonesia merdeka. Proses perkawinan adat merupakan salah
satu aspek budaya yang penting didalam masyarakat yang sudah jelas berbeda tata
cara antara suku, derah yang satu dengan yang lainnya. Khususnya masyarakat biasa
proses perkawinan adat bersifat sakral dan magis. Dengan demikian maka proses
perkawinan adat biak diatur secara hati-hati, sistematis dan penuh kesungguhan yang
bertanggung jawab, sebab akibat sanksi hukum adatnya cukup berat bila tidak
terproses sebagaimana mestinya.

f. Sistem Pengetahuan

 Pemanfaatan sumber daya alam; Ramuan dari kayu akuai untuk


menghilangkan rasa sakit dan lemah
 badan. Jenis kayu sebagai bahan rumah, seperti kayu arwob dan tsout atau
nibung untuk membuat
 lantai rumah dan rakit.
 Perang suku: bermakna kesuburan dan kesejahteraan, jika tidak ada perang,
maka ternak babi hasil
 pertanian tidak dapat berkembang.
 Bakar Batu: makanan di masak dari panas batu yang dibakar.
 Minuman keras: sejenis saguer yang mereka sebut minuman bobo.
 Babi: Untuk korban, dimakan, pembayar sanksi adat
 Mumi kepala suku atau pimpinan perang.

g. Sistem Ekonomi

Pada daerah-daerah Papua yang bervariasi topografinya terdapat ratusan


kelompok etnik dengan budaya dan adat istiadat yang saling berbeda. Dengan
mengacu pada perbedaan topografi dan adat istiadatnya maka sacara garis besar
penduduk Papua dapat di bedakan menjadi 3 kelompok besar yaitu:
 Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum, rumah
diatas tiang (rumah panggung); mata pencharian menokok sagu dan
menangkap ikan.
 Penduduk daerah pedalaman yang hidup pada daerah sungai, rawa, Danau
dan lembah serta kaki gunung. Pada umumnya bermata pencaharian
menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan.
 Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun
beternak secara sederhana.
h. Sistem Religi

Dalam hal Kerohanian, sebagian besar penduduk asli Papua telah mempunyai
kepercayaan dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun demikian ada
sebagian dari penduduk terutama yang berada di daerah pedalaman masih
menganut faham animisme. Untuk pertama kalinya pada tanggal 5 Februari 1855
agama Kristen masuk di Pulau yang dibawa oleh 2 (dua) orang penginjil yaitu
Ottow dan Geizler dari Belanda dan Jerman. Sejak itu agama Kristen mulai
berkembang ke seluruh.
Dengan demikian mayoritas penduduk di Papua memeluk agama Kristen
Penduduk di bagian utara, barat dan timur kebanyakan agama Kristen Protestan,
sedangkan penduduk bagian selatan dan sebagian pedalaman Enarotali memeluk
agama Kristen Katolik. Selain agama Kristen, sebagian penduduk asli terutama
daerah Fak Fak dan kepulauan Raja Ampat Sorong menganut agama Islam
Sekarang ini sesuai perkembangan dan perubahan daerah yang juga membawa
perubahan kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Di Papua terdapat agama Kristen,
agama Islam dan Hindu Bali serta Budha yang merupakan penganut minoritas.
Agama Islam dan Hindu kebanyakan hanya terdapat di kota sedangkan daerah-
daerah pedalaman pada umumnya beragama Kristen.

E. PAKAIAN ADAT

1. Koteka

Sebagian besar masyarakat Indonesia pasti mengetahui bahwa pakaian adat Papua


adalah koteka. Namun, koteka sebenarnya merupakan pakaian penduduk laki-laki Papua
yang berfungsi untuk menutupi kemaluan laki-laki yang bentuknya cukup nyentik.
Fungsi pakaian adat ini digunakan untuk menutupi bagian kemaluan pria, sementara
bagian tubuh lainnya dibiarkan terlihat seakan nyaris telanjang. Koteka terbuat dari
kulit labu air yang dibuang bagian biji dan daging buahnya. Labu air yang dipilih
biasanya sudah tua sehingga teksturnya lebih keras dan awet setelah dikeringkan.
Setelah kering, koteka yang berbentuk seperti selongsong ini dikaitkan ke pinggang
mengarah ke atas.

Uniknya, penggunaan pakaian adat ini ternyata juga memiliki makna tertentu.
Semakin tinggi kedudukan pria secara adat, maka ukuran koteka yang dikenalan juga
semakin besar. Ukuran koteka bermacam-macam. Ukuran yang pendek biasanya dipakai
untuk bekerja, sedangkan yang panjang dan diberi hiasan umumnya digunakan untuk
upacara adat.

2. Rok rumbai

Bentuk rumbai-rumbai digunakan sebagai rok oleh kaum wanita dipesisir pantai dan
pedalaman pegunungan tengah. Kelompok etnis yang menggunakan rumbai-rumbai
adalah Sentani, Tobati, Enjros, Nafri, Biak Numfor, atau Yapen. Rok rumabi-rumbai
yang terbuat dari rajutan daun sagu sebagai bawahan dan penutup kepala berupa
hiasan dari rambut ijuk, bulu burung kaswari, dan anyaman daun sagu. Meski pada
umumnya rok digunakan oleh wanita, namun beberapa pria di Papua juga
mengenakan rok berumbai-rumbai ini pada saat diadakan acara adat. Meski tidak
begitu banyak, Grameds tidak perlu terkejut sewaktu melihat saat berkunjung ke
Papua. Cara penggunaan rok rumbai untuk wanita dan pria berbeda. Jika seorang pria
mengenakan rok rumbai, maka dia tidak mengenakan baju kurung seperti wanita. Jika
seorang pria mengenakan koteka, biasanya wanita mengenakan rok rumbai tanpa baju
kurung. Bagian tubuh atas mereka disamarkan oleh tato bermotif flora dan fauna yang
tintanya terbuat dari bahan alami.

F. KESENIAN
 Tari Musyoh
Tari Musyoh adalah tari tradisional Papua yang merupakan tarian sakral suku asmat
yang bertujuan untuk menenangkan arwah yang meninggal karena kecelakaan.
Masyarakat suku asmat mempercayai bahwa apabila ada yang meninggal karena
kecelakaan, maka arwahnya tidak tenang, sehingga dilakukanlah tarian sakral ini
(Tari Musyoh) untuk menenangkan arwah orang yang kecelakaan tersebut.

 Tari Tobe

Tari Tobe di kenal juga dengan Tari Perang, Tari Tobe sering dimainkan saat ada
upacara adat. Tarian ini dilakukan oleh 16 orang penari laki-laki dan 2 orang penari
perempuan. Dengan gerakan yang melompat atau meloncat diiringi irama tifa dan
lantunan lagu-lagu yang menghentak, membuat tarian ini terlihat sangat
bersemangat. Tarian ini memang dimaksudkan untuk mengobarkan semangat para
prajurit untuk pergi ke medan perang.

Konflik pendidikan
Kondisi pendidikan anak sekolah di daerah pedalaman cukup memprihatinkan, karena
tingkat partisipasi warga pedalaman untuk sekolah masih sangat rendah. Apalagi daerah
pedalaman Papua merupakan daerah konflik atau rawan , maka dari itu banyak dari anggota
TNI dan Polri yang dikirimkan ke pedalaman untuk menjaga wilayah pedalama Papua agar
aman dan masyarakat menjadi tenang. Banyak anak pedalaman Papua yang masih belum
dapat merasakan bangku pendidikan karena keterbatasan ekonomi dan kurangnya pemahaman
tentang pentingnya pendidikan , banyak dari anak papua yang tidak sekolah karena mereka
dan orang tuanya tidak memahami tentang sekolah jadi mereka lebih memilih untuk
membantu orang tua mereka bekerja.
Penyebab utamanya adalah mereka tinggal di daerah konflik seperti Intan Jaya. Anak-
anak pedalaman Intan Jaya banyak yang ikut orang tuanya bekerja kemudia mereka
meninggalkan sekolah. Sementara penyebab dari segi kultural adalah siswa siswi pedalaman
Papua tersebut tak biasa duduk berjam jam di atas bangku sekolah mendengarkan ceramah
guru yang mengajarkan materi pelajaran.

Solusinya
Menurut kelompok kami model yang sesuai dengan konflik/masalah di atas sesuai dengan
model integrative (integrative model), mengapa demikian sesuai masalah di atas tingkat
partisipasi dalam jenjang pendidikan warga pedalaman papua masih sangat rendah apalagi
daerah rawan konflik. Banyak anak pedalaman Papua yang masih belum dapat merasakan
bangku pendidikan karena keterbatasan dan kurangnya pemahaman tentang pentingnya
pendidikan, banyak dari anak papua yang tidak sekolah karena mereka dan orang tuanya tidak
memahami tentang sekolah jadi mereka lebih memilih untuk membantu orang tua mereka
bekerja di kebun.
Banyak penyebab yang dapat mempengaruhi dari masalah tersebut, terutama dari segi
kultural dimana siswa siswi Papua tersebut tidak bisa duduk terlalu lama di atas bangku
sekolah mendengarkan ceramah guru atau pada saat guru sedang mengajar. Keterkaitanya
masalah tersebut dengan metode integrative adalah pengaru budaya mayoritas (influence of
the majority culture) dimana mayoritas orang tua dari anak-anak di pedalaman papua masih
kurang memahami atau mengerti pentingnya pendidikan pada anak mereka dan selanjutnya
pengaruh budaya tradisional (influence of tradisional culture) dimana masalah ini sudah
menjadi hal yang biasa atau lumrah di daerah terebut dan turun temurun dengan ketidak
pedulian terhadap pendidikan membuat mereka pun merasa tidak nyaman di bangku sekolah
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Dari isi makalah diatas dapat di simpulkan bahwa kebudayaan papua tersebut sangat
menarik.Tradisi Niki Paleg dianggap bertujuan agar ruh tetap berada di dalam honai atau
rumah adat suku Dani hingga luka pada jari yang dipotong sembuh. Dalam pelaksanaan
tradisi ini bagian yang akan dipotong adalah dua ruas jari Makna lain dibalik ritual ini dapat
diartikan sebagai usaha untuk menghindari bencana dan musibah agar tidak terulang lagi.
Pemotongan dapat dilakukan dengan menggunakan benda-benda tajam seperti pisau, parang
dan kapak. Usaha lainnya dapat dengan mengikat jari menggunakan sebuah tali hingga jari
menjadi mati rasa kemudian dipotong.
Masyarakat suku Dani enggan untuk menjalani hidup seperti sebagaimana harusnya selama
masa berduka.Menurut mereka, kehilangan yang mereka rasakan tak selayaknya terjadi
dalam kehidupan.

SARAN
DAFTAR PUSTAKA

http://www.rumah-adat.com/2014/08/rumah-adat-papua-barat.html

http://aldrovanda.blogspot.co.id/2011/07/mengenal-masyarakat-papua-irian-jaya.html?m=1

http://tugasgundareldwin.blogspot.co.id/2015/01/sosial-budaya-papua.html

http://www.ragamseni.com/6-tarian-tradisional-papua-yang-sangat-populer/

https://ibnudin.net/rumah-adat-papua-honai/

https://www.kabarpendidikan.id/2022/04/pendidikan-di-papua.html

http://alyfdownload.blogspot.co.id/2013/09/kamus-dialek-papua-istilah-sehari-hari.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai