Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

HADITS TARBAWI
“ HADITS TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN”
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Tarbawi

DISUSUN OLEH :

 MAWADDATUL HASANAH ( 900.19.243 )


 MITHA PERMATA HATI NASUTION ( 900.19.265 )
 MUHAMMAD APRILIANSYAH ( 900.19.266 )
 M.MAULANA AN NAFI’ ( 900.19.230 )
 NONA SYARIFAH ZAM ZAM ( 900.19.299 )
 NUR ALFIAH ( 900.19.307 )

DOSEN PENGAMPU : Wawan Arbeni,S.Pd.I,M.Pd.I

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


SYEKH H.ABDUL HALIM HASAN AL-ISHLAHIYAH BINJAI
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER III-B
TA.2020-2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang.
Penulis panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayah-NyA kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah
Hadits Tarbawi dengan judul “Hadits tentang Kurikulum Pendidikan”

Makalah ini sudah penulis susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.

Terlepas dari segala hal tersebut,Penulis sadar sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya penulis
dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi untuk pembaca.

Binjai,  Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

1. Definisi Kurikulum Pendidikan...............................................................................2


2. Hadits tentang Pendidikan Tauhid...........................................................................4
3. Hadits tentang Pendidikan Ibadah...........................................................................5
4. Hadits tentang Pendidikan Akhlak...........................................................................7
5. Hadits tentang Pendidikan Adab Makan dan Minum............................................10
6. Hadits tentang Pendidikan Pentingnya Rasa Malu................................................13
7. Hadits tentang Pendidikan Saling Mencintai.........................................................16

BAB III PENUTUP

A. Simpulan..............................................................................................................20
B. Saran....................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim
merekayasa pembentukan insan kamil melalui penciptaan situasi interaksi edukatif yang
kondusif. Sejalan dengan konsep merencanakan masa depan ummat, maka pendidikan islam
harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasi kepada peserta didik agar
menjadi kepribadiannya sesuai dengan idealitas islam. Maka dari itu perlu dirancang suatu
bentuk kurikulum pendidikan islam yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran
islam.
Komponen kurikulum dalam pendidikan memiliki peran dan posisi yang penting,
karena merupakan operasionalisasi tujuan yang dicita-citakan, bahkan tujuan tidak akan
tercapai tanpa keterlibatan kurikulum pendidikan. Kurikulum merupakan salah satu
komponen pokok pendidikan, dan kurikulum sendiri juga merupakan sistem yang
mempunyai komponen-komponen tertentu yang satu sama lain saling melengkapi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Kurikulum Pendidikan?
2. Apa bunyi hadits tentang Pendidikan Tauhid?
3. Apa bunyi hadits tentang Pendidikan Ibadah ?
4. Apa bunyi hadits tentang Pendidikan Akhlak?
5. Apa bunyi hadits tentang Pendidikan Adab Makan dan Minum?
6. Apa bunyi hadits tentang Pendidikan Pentingnya Rasa Malu?
7. Apa bunyi hadits tentang Pendidikan Saling Mencintai?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kurikulum pendidikan.
2. Untuk mengetahui hadits tentang pendidikkan tauhid.
3. Untuk mengetahui hadits tentang pendidikan ibadah.
4. Untuk mengetahui hadits tentang pendidikan akhlak.
5. Untuk mengetahui hadits tentang pendidikan adab makan dan minum.
6. Untuk mengetahui hadits tentang pendidikan pentingnya rasa malu.
7. Untuk mengetahui hadits tentang pendidikan saling mencintai.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Kurikulum Pendidikan

Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir  yang


artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada
mulanya digunakan dalam dunia olahraga. Sementara itu, dalam dunia pendidikan istilah
tersebut merupakan lingkaran pengajaran di mana guru dan murid terlibat di dalamnya. 
Dengan demikian, curriculum diartikan jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Akan
tetapi dalam konteks pendidikan, kurikulum diartikan sebagai kumpulan subjek yang
diajarkan di sekolah atau arah suatu proses belajar. Ada pula yang mengartikannya sebagai
perangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran dalam kegiatan
belajar mengajar.
Sementara itu, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kurikulum di definisikan
sebagai susunan rencana pelajaran. Pada perkembangan selanjutnya, kurikulum menjadi
istilah yang digunakan untuk menunjukkan satuan mata pelajaran yang harus ditempuh guna
mencapai suatu gelar atau memperoleh ijazah.
Dalam kosakata bahasa Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang
berarti jalan terang yang dilalui oleh manusia di berbagai fase kehidupannya. Apabila
pengertian ini dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang
yang dilalui guru dan murid untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Hal ini memberikan implikasi pada pandangan tentang isi dari kurikulum yang memuat
tujuan-tujuan yang hendak dicapai melalui jalan terang tersebut. Dengan demikian,
kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan
pelajaran, dan cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan
nasional, kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, serta satuan antara
pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu, kurikulum disusun oleh satuan pendidikan
untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum
merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya kearah
tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan keterampilan
dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses kependidikan islam bukan suatu proses yang dapat

2
dilakukan secara serampangan, tetapi mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna. Di
sinilah pendidikan islam memberikan pandangan filosofis tentang hakikat pengetahuan,
keterampilan, dan sikap mental yang dapat dijadikan pedoman dalam pembentukan manusia
paripurna (insan kamil).
Kurikulum pendidikan islam adalah bahan-bahan berupa kegiatan, pengetahuan dan
pengalaman yang dengan sistematis di berikan kepada anak didik untuk mencapai tujuan.
Kurikulum juga merupakan kegiatan yang mencakup berbagai rencana kegiatan peserta didik
secara terperinci berupa bentuk-bentuk bahan pendidikan, saran-saran strategi belajar
mengajar, pengaturan-pengaturan program agar dapat diterapkan, dan hal-hal yang mencakup
berbagai kegiatan sampai tercapainya tujuan yang diinginkan.
Kurikulum disusun oleh para pendidikan/ahli kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidik,
pejabat pendidikan, pengusaha serta masyarakat lainnya. Rencana ini disusun dengan maksud
memberi pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan
perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh siswa sendiri, keluarga,
maupun masyarakat. Kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam
berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan
kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Atau dengan kata lain
kurikulum pendidikan Islam adalah semua aktivitasi, pengetahuan dan pengalaman yang
dengan sengaja dan secara sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik dalam
rangka tujuan pendidikan Islam.
Berdasarkan keterangan di atas, maka kurikulum pendidikan Islam itu merupakan satu
komponen pendidikan agama berupa alat untuk mencapai tujuan. Ini bermakna untuk
mencapai tujuan pendidikan agama (pendidikan Islam) diperlukan adanya kurikulum yang
sesuai dengan tujuan pendidikan Islam dan bersesuaian pula dengan tingkat usia, tingkat
perkembangan kejiwaan anak dan kemampuan pelajar.

3
2. Hadits tentang Pendidikan Tauhid

َ‫ ِإنِّي أُ َعلِّ ُمك‬،‫ (( َيا ُغالَ ُم‬:‫ فَقَا َل‬،‫ يَ ْو ًما‬-‫سلَّ َم‬ ُ ‫صلَّى‬
َ ‫هللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ - ‫ ُك ْنتُ َخ ْلفَ النَّ ِب ِّي‬:‫ قا َل‬-‫هللا َع ْن ُهما‬
ُ ‫ضي‬ ِ ‫ر‬-َ ‫س‬ ٍ ‫ع ْبد هللا بن َعبّا‬
‫ َواعْ لَ ْم أَنَّ األُ َّمةَ لَ ِو‬،‫هلل‬ ْ ‫ستَ َع ْنتَ فَا‬
ِ ‫ست َِعنْ بِا‬ َ ‫سأ َ ِل‬
ْ ‫ َوإِ َذا ا‬،‫هللا‬ ْ ‫سأَ ْلتَ فَا‬ َ ‫ إِ َذا‬،َ‫هللا تَ ِج ْدهُ ت َُجاهَك‬ ْ ،َ‫هللا يَ ْحفَ ْظك‬
َ ‫احفَ ِظ‬ َ ‫احفَ ِظ‬
ْ ‫ت؛‬ٍ ‫َكلِ َما‬
ُ َ‫اجتَ َم ُعوا َعلَى أَنْ ي‬
ُ َ‫ض ُّروكَ بِش َْي ٍء لَ ْم ي‬
َّ‫ض ُّروكَ إِال‬ ْ ‫ َوإِ ِن‬،َ‫اجتَ َم َعتْ َعلَى أَنْ يَ ْنفَ ُعوكَ بِش َْي ٍء لَ ْم يَ ْنفَ ُعوكَ إِالَّ بِش َْي ٍء قَ ْد َكتَبَهُ هللاُ لَك‬ ْ
)) ُ‫الص ُحف‬
ُّ ‫ت‬ ِ َّ‫ت األَ ْقالَ ُم َو َجف‬ ِ ‫ ُرفِ َع‬،َ‫ِبش َْي ٍء قَ ْد َكتَبَهُ هللاُ َعلَ ْيك‬

Artinya : “Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma — menceritakan, suatu hari saya
berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan
kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah,
niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah,
dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah,
seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan
kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka
bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan
membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat
dan lembaran-lembaran telah kering.”

Maka, coba lakukan hal yang sama kepada anak , seperti:

 Saat anak sakit, ajarkan bahwa di saat seperti itu dia sedang butuh kesembuhan.
Ajarkan bahwa kesembuhan itu hanya dari Allah swt. ”Kalau kamu pengen sembuh, ayuk
berdoa sama Allah”.

 Kalau anak menginginkan sesuatu, ajarkan untuk mseminta kepada Allah terlebih
dahulu. Misalnya saat anak ingin punya mainan, ajak dia berdoa,”Ya Allah, aku ingin
punya mainan itu. Beri aku mainan itu ya Allah.”

 Contoh lain saat si anak hendak mengerjakan ujian yang sulit, ingatkan dirinya,”Nak,
kalau nanti saat tes kamu kesulitan mengerjakan soal, minta petunjuk dan pertolongan
dari Allah ya!”

 Dan jangan lupa,saat dia mendapatkan apa yang diinginkannya, yakinkan bahwa Allah
telah mengabulkan permohonannya.

4
3. Hadits tentang Pendidikan Ibadah

‫ ُم ُروا أوالدَكم‬:-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ قال رسول هللا‬:‫ قال‬-‫رضي هللا عنه‬- ‫ عن جده‬،‫ عن أبيه‬،‫عن عمرو بن شعيب‬
‫ضا ِج ِع‬ ْ ‫ وهم أَ ْبنَا ُء َع‬،‫واض ِربُو ُه ْم عليها‬
َ ‫ وفَ ِّرقُوا َب ْينَ ُه ْم في ال َم‬،‫ش ٍر‬ ْ ، َ‫سنِين‬ َ ‫بالصال ِة وهم أَ ْبنَا ُء‬ 
ِ ‫س ْب ِع‬

Dari Amr Bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: "Rasulullah SAW bersabda:
"Perintahkan anak-anakmu melaksanakan sholat sedang mereka berusia tujuh tahun dan
pukullah mereka karena tinggal sholat sedang mereka berusia 10 tahun dan pisahkan antara
mereka di tempat tidurnya."

Hadits ini menjelaskan bagaimana mendidik agama pada anak-anak, pendidikan


agama diberikan kepada anak sejak kecil, sehingga nanti usia dewasa perintah-perintah
agama dapat dilakukan secara mudah dan ringan. 

Di antara perintah agama yang disebutkan dalam hadis ada tiga perintah yaitu perintah
melaksanakan sholat, perintah memberikan hukuman pemerintah memberikan hukuman bagi
pelanggarnya dan perintah mendidik pendidikan seks. 

Perintah di sini maknanya dilakukan secara tegas, sebab pada umumnya perintah


sholat sebenarnya sudah dilakukan orang tua sejak sebelum usia tersebut. 

Anak-anak sejak usia empat tahun atau lima tahun sudah diajak orang tuanya
melaksanakan sholat bersama-sama. 

Anak-anak melakukannya walaupun dengan cara ikut-ikutan atau menirukan gerakan-


gerakan sholat. 

Anak pada usia ini, kata Abdul, sekadar ikut-ikutan, belum melakukannya secara
baik, baik gerakan-gerakannya maupun bacaannya. Anak-anak kadang mau melakukannya
dan kadang-kadang tidak mau melakukannya.  

Nah setelah usia anak mencapai tujuh tahun perintah orang tua hendaknya secara
tegas tidak seperti pada saat usia dibawah tujuh tahun.

5
Perintah sholat berarti pula perintah mengajarkan cara sholat, karena tidak mungkin anak
hanya diperintahkan sholat sementara dia belum bisa melakukannya. Dalam riwayat Al-
Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda:

َ‫نِين‬MMM‫بْع ِس‬MMM‫اَل ةَ لِ َس‬MMM‫الص‬


َّ ‫ي‬ َّ ‫وا‬MMM‫ َعلِّ ُم‬ "Ajarkan anak-anak sholat sedangkan dia berumur tujuh
َّ ِ‫ب‬MMM‫الص‬
tahun." Hadits ini perintah mengajarkan sholat pada anak-anak tentang syarat-syarat, rukun-
rukun dan beberapa sunnah dalam shalat. Al-Alaqiy dalam syarah al-Jami' al-Shaghir
mengatakan.  

Orang tua hendaknya mengajarkan apa yang dibutuhkan dalam sholat seperti syarat
dan rukunnya. Orangtua hendaknya perintah melaksanakan sholatsetelah diajarkannya. Upah
pengajaran diambil dari harta anak jika punya harta dan jika tidak punya upahnya dibebankan
pada awalnya.

Dalam riwayat lain Rasulullah SAW telah bersabda:

‫حدثنا مؤمل بن هشام يعني اليشكري ثنا إسماعيل عن سوار أبي حمزة قال أبو داود وهو سوار بن داود أبو حمزة‬
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم “مروا أوالدكم‬: ‫المزني الصيرفي عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال‬
‫بالصالة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر سنين وفرقوا بينهم في المضاجع‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muammal ibn Hisyam yaitu al-Yasykariy telah
bercerita Isma’il dari Sawwar Abi Hamzah telah berkata Abu Dawud dan dia Sawwar ibn
Daud Abu Hamzah al-Mazni as-Shirafi dari ‘Umar ibn Syu’aib dari ayahnya dari neneknya
telah berkata: Bersabda rasulullah SAW” Suruhlah anak-anakmu melaksanakan shalat ketika
berumur 7 (tujuh) tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakan shalat, dan
pisahkan tempat tidur mereka (putra dan putri)”. (H.R. Abu Dawud)

Hadis ini menegaskan bahwa, ketika seorang anak menginjak usia 10 tahun maka
instink yang dimilikinya sedang menuju ke arah perkembangan dan ingin membuktikan
eksistensi dirinya. Oleh karena itu, ia harus diperlakukan secara hati-hati dengan menyangkal
semua penyebab kerusakan dan arah penyimpangan. Caranya antara lain dengan memisahkan
tempat tidur mereka (putra dan putri). (Jamaal ‘Abd al-Rahman, 2005: 263)
Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan Mahmud Junus bahwasanya aspek rohani
termasuk dimensi yang harus dijadikan sebagai isi kurikulum dalam pendidikan melalui
perintah shalat pada usia 7 (tujuh) tahun dan juga bersinggungan dengan dasar psikologis
yang ditawarkan al-Syaibani sebagai dasar pokok dalam kurikulum pendidikan Islam

6
4. Hadits tentang Pendidikan Akhlak

‫صلَّى‬ َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ُ ‫يس َح َّدثَنِي أَبِي عَنْ َجدِّي عَنْ أَبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل‬
ُ ‫سئِ َل َر‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ُك َر ْي‬
َ ‫ب ُم َح َّم ُد بْنُ ا ْل َعاَل ِء َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ إِ ْد ِر‬
‫ار فَقَا َل ا ْلفَ ُم‬ َ َّ‫سئِ َل عَنْ أَ ْكثَ ِر َما يُد ِْخ ُل الن‬
َ َّ‫اس الن‬ ِ ُ‫اس ا ْل َجنَّةَ فَقَا َل تَ ْق َوى هَّللا ِ َو ُحسْنُ ا ْل ُخل‬
ُ ‫ق َو‬ َ َّ‫سلَّ َم عَنْ أَ ْكثَ ِر َما يُ ْد ِخ ُل الن‬ َ ‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
ُّ ‫يس ُه َو ابْنُ يَ ِزي َد ْب ِن َع ْب ِد ال َّر ْح َم ِن اأْل َ ْو ِد‬
‫ي‬ ٌ ‫يح َغ ِر‬
َ ‫يب َو َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ إِ ْد ِر‬ ٌ ‫ص ِح‬
َ ‫يث‬ َ ‫َوا ْلفَ ْر ُج قَا َل أَبُو ِعي‬
ٌ ‫سى َه َذا َح ِد‬

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al Ala`, telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Idris, telah menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku dari
Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang
sesuatu yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, maka beliau pun
menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.” Dan beliau juga ditanya tentang
sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, maka beliau menjawab:
“Mulut dan kemaluan.” Abu Isa berkata; Ini adalah hadis shahih gharib. Abdullah bin Idris
adalah Ibnu Yazid bin Abdurrahman Al Audi.(H.R Tirmidzi)

Kata al-Akhlak (akhlak) adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Kata khuluq berarti


budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Abdul Hamid Yunus berpendapat bahwa
akhlak adalah sifat-sifat manusia yang terdidik. Al-Ghazali mengemukakan bahwa akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan
dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Pendidikan akhlak adalah
proses pembinaan budi pekerti anak sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlak
karimah). Proses tersebut tidak terlepas dari pembinaan kehidupan beragama peserta didik
secara total.

Seperti dikatakan dalam hadis diatas bahwa sesuatu yang paling banyak memasukkan
seseorang ke dalam surga diantaranya adalah akhlak yang mulia. Hadis di atas terlihat bahwa
Rasulullah Saw. Sangat menginginkan umatnya berakhlak mulia.. Untuk bertaqwa kepada
Allah dab berakhlak mulia, diperlukan perjuangan yang berat karena manusia menemui
banyak rintangan dalam kehidupannya.

7
Allah Swt. Mengutus Rasulullah Saw. untuk menyempurnakan akhlak manusia, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa diantara salah satu tujuan dari
diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda:

 ‫إنما بعثت ألتمم مكارم األخالق‬

Artinya : “Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia.” ( Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Silsilatush
Shahiihah, No (45).

Dalam hadis diatas ada makna pendidikan yaitu perintah untuk berusaha memiliki
akhlak yang baik dengan latihan dibarengi dengan motivasi. Hal itu bisa dilakukan dengan
cara mencontoh akhlak Rasulullah Saw.. Allah Swt berfirman:

ٗ ِ‫ُوا ٱهَّلل َ َو ۡٱليَ ۡو َم ٱأۡل ٓ ِخ َر َو َذ َك َر ٱهَّلل َ َكث‬


٢١ ‫يرا‬ ْ ‫َة لِّ َمن َكانَ يَ ۡرج‬ٞ ‫لَّقَ ۡد َكانَ لَ ُكمۡ فِي َرسُو ِل ٱهَّلل ِ أُ ۡس َوةٌ َح َسن‬

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah”. (Al-Ahzab: 21)

Ketinggian akhlak Rasulullah ini diungkapkan dalam ayat,

ٍ ُ‫َوإِنَّكَ لَ َعلَ ٰى ُخل‬


 ٤ ‫ق َع ِظ ٖيم‬

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Al-Qalam: 4)

Pendidikan akhlak mengutamakan nilai-nilai universal dan fitrah yang dapat diterima
oleh semua pihak. Beberapa akhlak yang dicontohkan Nabi di antaranya adalah
menyenangkan, kelembutan, kasih sayang, tidak kikir, mencintai saudaranya, menahan
amarah, mengendalikan emosi, dan menahan diri.

8
.‫التغضب‬:‫قل‬,‫ال تغضب فر ّددمرارًا‬:‫قل‬,‫ اوصني‬: ‫ان رجال قال للنّبي صلى هللا عليه وسلم‬
ّ ‫عن ابي هريرةرظي هللا عنه‬
)‫(رواه البخاري‬

Maraji’ul hadis Shahih Bukhari: Kitabul Adab, Bab Al-Hadzar Min Al-Ghadhab. Hadis 5765.

Ahammiyatul Hadis (Urgensi Hadis) Al-Jurdani berkata, Hadis ini sangat penting,
karena menjelaskan dua kebaikan sekaligus. Yakni kebaikan di dunia dan di akhirat.
Dikarenakan Imam Nawawi pernah menyebutkan bahwa Abu Muhammad Abdullah Ibnu Abi
Zaid ( seorang ulama besar madzhab Maliki di Maroko) berkata, “Siklus kebaikan terletak
pada empat hadis, yaitu: satu, “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
katakanlah kebaikan atau diam”, dua, “diantara tanda sempurnanya iman seseorang adalah
meninggalkan perkara yang tidak mendatangkan manfaat”, ketiga, “ jangan marah”, keempat,
“tidaklah beriman seseorang di antara kalian, hingga ia mencintai sesama saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.” Kemarahan merupakan kumpulan kejahatan. Sebaliknya
mengendalikan marah adalah kumpulan kebaikan, dengan demikian makna pendidikan hadis
tersebut adalah pelatihan, pembiasaan dan pengendalian diri untuk menggapai akhlak yang
baik.

Akhlak seperti ini perlu diajarkan dan dicontohkan orang tua kepada anaknya dalam
kehidupan sehari-hari. Orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan akhlak karimah
pada anaknya, karena sangat penting dan dapat membahagiakan hidup didunia maupun di
akhirat.

Jika ia mengulang-ulanginya maka berkesanlah pengaruhnya terhadap


perilaku juga menjadi kebiasaan moral dan wataknya. Ada akhlak baik dan akhlak buruk
sehingga disinilah peran pendidikan untuk berusaha mendidik agar manusia bisa memiliki
sikap/perilaku yang baik. Jadi, akhlak adalah gambaran batin yang telah ditetapkan dan
menetap pada seseorang.

9
5. Hadits tentang Pendidikan Adab Makan dan Minum

‫ش ْيطَانَ يَأْ ُك ُل‬ َ ‫ إِ َذا أَ َك َل أَ َح ُد ُك ْم فَ ْليَأْ ُك ْل بِيَ ِمينِ ِه َوإِ َذا‬:‫سلَّ َم قَا َل‬
َّ ‫ش ِر َب فَ ْليَش َْر ْب بِيَ ِمينِ ِه فَإِنَّ ال‬ َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َو َع ْنهُ أَنَّ َر‬
َ ‫س ْو َل هللا‬
‫أخرجه مسلم‬.  ‫ش َمالِ ِه‬
ِ ِ‫ب ب‬
ُ ‫ش َر‬
ْ َ‫ش َمالِ ِه َوي‬
ِ ‫ِب‬

“Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā bahwasanya Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi


wasallam  bersabda, “Jika salah seseorang dari kalian makan, maka makanlah dengan
tangan kanannya dan jika minum maka minumlah dengan tangan kanannya. Sesungguhnya
syaithān makan dengan tangan kirinya dan syaithān minum dengan tangan kirinya
pula.”  (HR. Imām Muslim)

Sebagian ulama berpendapat bahwa makan dan minum dengan tangan kanan
hukumnya adalah sunnah, tidak sampai pada derajat wajib karena hal ini berkaitan dengan
masalah adab dan pengarahan.

Namun pendapat yang benar adalah makan dan minum dengan tangan kanan
hukumnya wajib, bukan sekedar sunnah, karena banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Di
antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut.

 Pertama

Di antara dalil yang paling kuat adalah hadits ini. Dapat dipahami dari hadits ini
bahwa makan dan minum dengan tangan kanan adalah dalam rangka menyelisihi syaithān
yang makan dan minum dengan tangan kiri. Padahal Allāh Subhānahu wa Ta’ālā telah
memerintahkan kita untuk menyelisihi syaithān. Dengan demikian wajib hukumnya
menyelisihi syaithān.

Allāh Subhānahu wa Ta’ālā berfirman,

ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَتَّبِعُوا ُخطُ َوا‬


‫ت ال َّش ْيطَا ِن‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan.” 


(QS. An-Nūr: 21)

10
Karena di antara sifat syaithān adalah makan dan minum dengan tangan kiri dan kita
diperintahkan untuk menyelisihinya, maka dapat disimpulkan bahwa makan dengan tangan
kiri hukumnya adalah haram. Artinya, makan dengan tangan kanan hukumnya wajib.

Hadits ini juga merupakan dalil yang berkaitan dengan beriman kepada yang ghāib,
dalam hal ini adalah syaithān. Meskipun syaithan tidak dapat kita lihat, tetapi kita meyakini
bahwa syaithan juga makan dan minum dan mereka makan dan minum dengan menggunakan
tangan kiri. Hal itu jelas diinformasikan dalam hadits ini.

Di antara dalil yang menguatkan tentang hal ini (bahwa syaithan makan dan minum),
adalah beberapa hadist Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan tentang
dampak dari makan dan minumnya syaithān itu, yaitu buang air.

Dalam hadits disebutkan bahwasanya ada seseorang disebutakn di sisi


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam 
mengomentarinya dengan berkata,

‫ بَا َل ال َّش ْيطَانُ فِي أُ ُذنِ ِه‬:‫ فَقَا َل‬،‫صاَل ِة‬


َّ ‫ َما قَا َم إِلَى ال‬،‫َما زَ ا َل نَائِ ًما َحتَّى أَصْ بَ َح‬

“Bahwasanya orang tersebut ketiduran sampai pagi hari dan tidak bangun untuk shalat
Shubuh. Maka Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa syaithan telah
kencing di telinga orang tersebut (sehingga tertidur pulas dan tidak mendengar adzan
shubuh-pen).” (HR. Imām Al-Bukhāri)

Hadīts ini menunjukkan bahwasanya syaithān buang air kecil yang merupakan
proses/hasil dari makan dan minumnya.

Pada hadits yang lain Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyebutkan bahwa


syaithan buang angin. Disebutkan bahwasanya tatkala seseorang hendak shalat, maka
syaithān akan mengganggunya. Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ٌ‫ض َراط‬
ُ ُ‫ أَ ْدبَ َر ال َّش ْيطَانُ َولَه‬، ‫صالَ ِة‬ َ ‫إِ َذا نُو ِد‬
َّ ‫ي اِل ل‬

11
“Jika dikumandangkan adzan untuk shalat maka syaithan pun lari dan dia memiliki kentut
dan buang angin.” (HR. Bukhāri no. 583, dari shahābat Abū Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa syaithan makan dan minum yang hasilnya kemudian
setan buang air dan buang angin. Sebagai muslim, kita tentu beriman kepada hal ghāib yang
dikabarkan oleh Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam ini.

Kesimpulannya, dalil yang menunjukkan bahwa makan dan minum dengan tangan
kanan hukumnya wajib adalah karena kita diperintahkan oleh Allah untuk menyelisihi
syaithan yang makan dan minum dengan tangan kiri. Perintah itu bermakna wajib.

 Kedua

Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya secara mutlak. Contoh-nya


ketika Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam  memerintahkan,

َ ِ‫يَا غُاَل ُم َس ِّم هَّللا َ َو ُكلْ بِيَ ِمين‬


‫ك‬

“Wahai anak muda, sebutlah nama Allāh dan makanlah dengan tangan kananmu.” (HR.
Bukhari no. 5376 dan Muslim 2022)

 Ketiga

Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam  pernah mendoakan keburukan bagi orang yang


makan dengan tangan kiri. Disebutkan dalam hadits Salamah bin Al Akwa radhiallahu
‘anhu,

َ َ‫ ق‬. ‫تَ ِط ْي ُع‬MM‫ الَ أَ ْس‬: ‫ال‬MM


َ‫ال‬ “ : ‫ال‬MM َ َ‫ق‬ “  َ‫ك‬MMِ‫لْ بِيَ ِم ْين‬MM‫ ُك‬ “ : ‫ال‬MM‫ فق‬. ‫ماله‬MM‫لم بش‬MM‫ة وس‬MM‫لى هللا علي‬MM‫ول هللا ص‬MM‫د رس‬MM‫ل عن‬MM‫أن رجال أك‬
َ َ‫ ق‬. ‫ َما َمنَ َعهُ إِالَّ ْال ِك ْب ُر‬ “  َ‫ا ْستَطَعْت‬
. ‫ فَ َما َرفَ َعهَا إِلَى فِ ْي ِه‬: ‫ال‬

Ada seorang yang makan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  dengan tangan kiri, maka
Beliau mengatakan, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Kata orang tersebut: “Saya tidak
bisa makan dengan tangan kanan.” Maka Rasūlullāh mendoakan keburukan bagi orang ini,
Beliau mengatakan: “Engkau tidak akan mampu, sesungguhnya tidak menghalanginya

12
kecuali karena kesombongan.” Maka orang ini pun tidak mampu mengangkat tangan
kanannya untuk makan setelah itu. (HR. Muslim no. 2021)

Perhatikanlah, karena dia tidak mau makan menggunakan tangan kanan maka
Rasūlullāh mendoakan keburukan, sehingga ia benar-benar tidak mampu makan dengan
tangan kanannya. Jika makan dengan tangan kanan hanyalah sunnah (tidak wajib) maka
Rasūlullāh tentu tidak akan mendo’akan keburukan bagi orang ini.

Menurut sebagian ulama, hadits ini menunjukan bahwa orang tersebut adalah orang
munafiq, karena ia sombong menolak perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau
seandainya dia tidak mampu makan dengan tangan kanan karena memang memiliki udzur,
tentu Nabi tidak akan mendoakan keburukan baginya. Para ulama telah menjelaskan bahwa
orang yang tidak mampu makan dengan tangan kanan karena udzur (misalnya karena cacat
atau yang lainnya) maka ia boleh makan dengan tangan kiri, karena itulah yang ia mampui.
(Lihat Ikmaalul Mu’lim bi Fawaaidi Muslim 6/487)

Hadits tentang Pendidikan Pentingnya Rasa Malu .6

ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ – قَا َل‬


َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ِ ‫صا ِري البَ ْد ِري – َر‬ َ ‫س ُع ْو ٍد ُع ْقبَةَ ْب ِن َع ْم ٍرو األَ ْن‬
ْ ‫عَنْ أَبِي َم‬
ُ‫شئْتَ ” َر َواه‬ ِ ‫اصنَ ْع َما‬ ْ َ‫ إِ َذا لَ ْم ت‬:‫اس ِمنْ َكالَ ِم ال ُّنبُ َّو ِة األُ ْولَى‬
ْ ‫ست َْح ِي َف‬ ُ َّ‫ “إِنَّ ِم َّما أَد َْركَ الن‬:‫سلَّ َم‬َ ‫َعلَ ْي ِه َو‬
.‫البُ َخا ِري‬

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Sesungguhnya di antara perkataan
kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah
sesukamu!’” [HR. Bukhari, no. 3484, 6120]

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari riwayat Manshur bin Al-Mu’tamar dari
Rib’iy bin Hirasy dari Abu Mas’ud dari Hudzaifah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka ada perbedaan dalam sanad hadits ini. Namun, sebagian besar ahli hadits mengatakan
bahwa ini adalah perkataan Abu Mas’ud. Yang mengatakan demikian adalah Al-Bukhari,
Abu Zur’ah, Ar-Raziy, Ad-Daruquthniy, dan lain-lain. Yang menunjukkan kebenaran hal ini
adalah bahwa telah diriwayatkan dengan jalan lain, dari Abu Mas’ud pada riwayat Masruq.

13
Dikeluarkan pula oleh Ath-Thabraniy dari hadits Abu Ath-Thufail dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:496.

 Faedah Hadits

Pertama: Sifat malu adalah warisan para nabi terdahulu.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan mengenai perkataan dalam hadits


tersebut “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi
terdahulu.”

“Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa (atsar) dari ajaran Nabi
terdahulu. Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut pada
setiap zaman. Maka hal ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa menyampaikan
perkataan ini sehingga tersebarlah di antara orang-orang hingga perkataan ini juga akhirnya
sampai pada umat Islam.” (Jami’ Al-‘ulum wa Al-Hikam, 1:497)

Yang dimaksudkan dengan (‫ )النُّبُ َّو ِة األُوْ لَى‬adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai dari)
awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain. Lihat Syarh Al-Arba’in An-
Nawawiyyah  karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 112.

Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al-Qur’an, As-
Sunnah (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang-orang
terdahulu. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm.
207.

Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa
perkataan ini memiliki faedah yang besar sehingga sangat penting sekali untuk diperhatikan.

Kedua: Ada pelajaran penting yang patut dipahami. Syariat sebelum Islam atau syariat yang
dibawa oleh nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi
tiga:

1. Ajaran yang dibenarkan oleh syariat Islam, maka ajaran ini shahih dan diterima.
2. Ajaran yang dibatalkan oleh syariat Islam, maka ajaran ini bathil dan tertolak.

14
3. Ajaran yang tidak diketahui dibenarkan atau disalahkan oleh syariat Islam, maka
sikap kita adalah tawaqquf (berdiam diri, tidak berkomentar apa-apa). Namun, apabila
perkataan semacam ini ingin disampaikan kepada manusia dalam rangka sebagai
nasihat dan semacamnya maka hal ini tidaklah mengapa, dengan syarat tidak
dianggap bahwa perkataan itu multak benar. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-
Nawawiyyah  karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 231-232)

Ketiga: Rasa malu merupakan bentuk keimanan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa


sallam bersabda,

‫ش ْعبَةٌ ِمنَ ا ِإلي َما ِن‬


ُ ‫ا ْل َحيَا ُء‬

”Malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Muslim, no. 161)

Rasa malu ini juga dipuji oleh Allah.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ْ َ‫س َل أَ َح ُد ُك ْم فَ ْلي‬
‫ستَتِ ْر‬ َ َ‫س ْت َر فَإ ِ َذا ا ْغت‬
َّ ‫ستِّي ٌر يُ ِح ُّب ا ْل َحيَا َء َوال‬
ِ ‫إِنَّ هَّللا َ َع َّز َو َج َّل َحيِ ٌّى‬

”Sesungguhnya Allah itu Mahamalu dan Maha Menutupi, Allah cinta kepada sifat malu dan
tertutup, maka jika salah seorang di antara kalian itu mandi maka hendaklah menutupi diri.”
(HR. Abu Daud, no. 4014, dikatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani).

Keempat: Malu ada dua macam yang berkaitan dengan hak Allah dan berkaitan dengan hak
sesama.

Pertama, malu yang berkaitan dengan hak Allah. Seseorang harus memiliki rasa malu
ini, dia harus mengetahui bahwa Allah mengetahui dan melihat setiap perbuatan yang dia
lakukan, baik larangan yang diterjangnya maupun perintah yang dilakukannya.

Kedua, malu yang berkaitan dengan hak manusia. Seseorang juga harus memiliki rasa
malu ini, agar ketika berinteraksi dengan sesama, ia tidak berperilaku yang tidak pantas
(menyelisihi al-muru’ah) dan berakhlak jelek.

15
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah  memberi contoh, dalam majelis ilmu, jika
seseorang berada di shaf pertama, lalu dia menjulurkan kakinya, maka dia dinilai tidak
memiliki rasa malu karena dia tidak menjaga al-muru’ah (kewibawaan). Jika dia duduk di
antara teman-temannya, kemudian dia menjulurkan kaki, maka ini tidaklah meniadakan al-
muru’ah. Namun, lebih baik lagi jika dia meminta izin pada temannya, “Bolehkah saya
menjulurkan kaki?”. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 233-234).

Kelima: Malu juga ada yang merupakan bawaan, dan ada malu yang mesti diusahakan.

Sebagian manusia telah diberi kelebihan oleh Allah Ta’ala rasa malu. Ketika dia
masih kecil saja sudah memiliki sifat demikian. Dia malu berbicara kecuali jika ada urusan
mendesak atau tidak mau melakukan sesuatu kecuali jika terpaksa, karena dia adalah pemalu.

Sedangkan malu jenis kedua adalah malu karena hasil dilatih. Orang seperti ini biasa
cekatan dalam berbicara, berbuat. Kemudian ia berteman dengan orang-orang yang memiliki
sifat malu dan dia tertular sifat ini dari mereka. Rasa malu yang pertama di atas lebih utama
dari yang kedua ini. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234)

7. Hadits tentang Pendidikan Saling Mencintai

‫ ا ْل ُمت ََحابُّونَ فِي َجالَلِي لَ ُه ْم َمنَابِ ُر‬:‫ قَا َل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل‬:‫سلَّ َم يَقُو ُل‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫سو َل هللا‬ ُ ‫س ِمعْتُ َر‬ َ :‫عَنْ ُم َعا ِذ ْب ِن َجبَ ٍل قَا َل‬
ُّ ‫ ِمنْ نُو ٍر يَ ْغبِطُ ُه ُم النَّبِيُّونَ َوال‬.
‫ش َهدَا ُء‬

Muadz bin Jabal berkata, “Aku mendengar Rosululloh bersabda bahwa Alloh subhanahu
wata’ala berfirman, ‘Orang-orang yang saling mencinta di bawah keagungan-Ku untuk
mereka mimbar-mimbar (tempat yang tinggi) dari cahaya yang membuat para Nabi dan orang
yang mati syahid.”
(HR. Tirmidzi)

Hadits ini termasuk ke dalam hadits qudsi, karena Rasulullah shallallohu’alaihi


wasallam menyandarkan sabdanya pada Allah subhanahu wata’ala. Dalam hadits ini, terdapat
penjelasan tentang keutamaan saling mencinta karena Alloh subhanahu wata’ala. Mencintai
adalah amalan hati yang bisa mendatangkan kebaikan, mencinta bisa mempertebal keimanan
dan mendatangkan pahala yang besar ketika cintanya karena Alloh subhanahu wata’ala.

16
Dua orang muslim yang saling mencinta karena Allah subhanahu wata’ala, mereka
akan menjalankan semua aktifitasnya berdasarkan ibadah pada Alloh subhanahu wata’ala.
Saling mengunjungi karena Allah, saling memberi karena Allah, saling bertemu karena Allah,
saling mengajar karena Allah dan lain sebagainya. Mereka menjadikan Allah subhanahu
wata’ala sebagai alasan aktifitas keseharian sehingga amalan yang mereka rencanakan dan
mereka lakukan selalu menjadi landasan ibadah pada Allah subhanahu wata’ala.

Di akhirat mereka akan duduk di atas mimbar-mimbar dari cahaya yang telah
Allah subhanahu wata’ala sediakan untuk mereka. Dalam hadits lain
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

‫ش‬ ٍ ‫س َّي ِمنْ يَاقُو‬


ِ ‫ت َح ْو َل ا ْل َع ْر‬ ِ ‫ا ْل ُمت ََحابُّونَ فِي هَّللا ِ َعلَى َك َرا‬

“Orang-orang yang saling mencinta karena Alloh, mereka berada pada kursi-kursi Yaqut
(permata) di sekitar ‘Arsy.”
(HR. ath-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir)

Karena begitu tinggi dan indahnya cahaya yang Allah subhanahu wata’ala berikan


kepada mereka yang saling mencinta karena Allah, maka para Nabi dan Syuhada pun
mengharapkan cayaha itu. Para Nabi dan Syuhada adalah orang-orang mulia dan
mendapatkan kemuliaan yang besar di sisi Allah subhanahu wata’ala, akan tetapi ketika
melihat kemuliaan orang yang saling mencinta karena Allah subhanahu wata’ala, timbul
sifat ghibtoh pada mereka yaitu sifat mengharapkan mendapat kemuliaan sebagaimana orang
lain yang mendapatkannya tanpa keinginan sedikitpun hilangnya kemuliaan itu dari orang
tersebut.

Hadits ini menunjukkan betapa besarnya pahala dan balasan yang Allah subhanahu
wata’ala berikan pada mereka yang saling mencinta karena Allah subhanahu wata’ala.
Rasa ghibtoh yang menghampiri setiap hati para Nabi dan Syuhada kepada orang-orang yang
saling mencintai, sama sekali tidak menunjukan mereka lebih baik dari Nabi dan Syuhada,
hal ini sebagaimana seseorang yang memiliki rumah sangat mewah, indah dan luas, merasa
senang dan mengharapkan rumah kawannya yang terlihat minimalis dan tersusun rapi,
walaupun pada hakekatnya kualitas dan harganya serta kemewahannya berada jauh dari
rumah yang dia miliki. Sifat ini tidak tercela selama tidak diiringi sifat hasad, yaitu sifat yang
menjadikan pelakunya menginginkan kenikmatan orang lain disertai hilangnya kenikmatan
orang itu darinya.

17
Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda dalam hadits qudsi, Allah subhanahu
wata’ala berfirman:

‫ َوا ْل ُمت ََحابُّونَ فِي هللاِ َعلَى َمنَابِ َر‬،‫ َو َحقَّتْ َم َحبَّتِي لِ ْل ُمتَ َزا ِو ِرينَ فِ َّي‬،‫ َو َحقَّتْ َم َحبَّتِي لِ ْل ُمتَبَا ِذلِينَ فِ َّي‬،‫َحقَّتْ َم َحبَّتِي لِ ْل ُمت ََحابِّينَ فِ َّي‬
ِ ‫ِمنْ نُو ٍر فِي ِظ ِّل ا ْل َع ْر‬
ُ‫ش يَ ْو َم اَل ِظ َّل إِاَّل ِظ ُّله‬

“Kecintaan-Ku berhak didapat oleh orang yang saling mencinta karena-Ku, saling memberi
karena-Ku, dan saling mengunjungi karena-Ku. Orang-orang yang saling mencinta karena
Alloh, akan berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya, di bawah naungan ‘Arsyi ketika tidak
ada naungan keculi naungan-Nya.”
(HR. Ahmad)

Sungguh Maha luas rahmat Allah subhanahu wata’ala, ketika kecintaan-Nya


diberikan kepada setiap orang yang saling mencinta karena-Nya. Ketika Allah subhanahu
wata’ala sudah mencintai hamba-Nya, ini berarti hamba itu telah selamat dari murka-Nya.
Hamba itu tidak akan pernah diazab oleh Allah yang Maha Rohman, sebab Allah subhanahu
wata’ala tidak akan mengadzab hamba yang dicinta-Nya. Kecintaan Allah subhanahu
wata’ala tidak diperoleh hanya karena pengakuan seorang hamba, oleh karena itu Yahudi dan
Nasrani yang mengklaim dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala justru akan diazab oleh-Nya
karena kekufuran keduanya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

ُ ‫ق يَ ْغفِ ُر لِ َمنْ يَشَا ُء َويُ َع ِّذ‬


ْ‫ب َمن‬ َ َ‫صا َرى نَ ْحنُ أَ ْبنَا ُء هَّللا ِ َوأَ ِحبَّا ُؤهُ قُ ْل فَلِ َم يُ َع ِّذبُ ُك ْم بِ ُذنُوبِ ُك ْم بَ ْل أَ ْنتُ ْم ب‬
َ َ‫ش ٌر ِم َّمنْ َخل‬ َ َّ‫ت ا ْليَ ُهو ُد َوالن‬ ِ َ‫َوقَال‬
‫صي ُر‬ ِ ‫ض َو َما بَ ْينَ ُه َما َوإِلَ ْي ِه ا ْل َم‬ ِ ‫ت َواأْل َ ْر‬ َّ ‫يَشَا ُء َوهَّلِل ِ ُم ْل ُك ال‬
ِ ‫س َما َوا‬

“Orang-orang Yahudi dan Nasroni mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa
kalian?” (Kalian bukanlah anak-anak Allh dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kalian adalah
manusia(biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan Allah mengampuni siapa saja
yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya…”
(QS. al-Maidah [05]: 18)

  Pembahasan hadits ini, memberikan pelajaran yang begitu berharga kepada kita. Di
antaranya:

18
1. Saling mencintai karena Allah subhanahu wata’ala adalah satu ibadah besar di
sisi Allah subhanahu wata’aladan akan mendatangkan keutamaan-keutamaan
besar.
2. Tempat tinggi di akhirat nanti akan Allah berikan kepada mereka yang di
dunianya saling mencinta karena-Nya.
3. Orang yang mencinta karena Allah termasuk golongan orang akan mendapat
naungan dari Allah subhanahu wata’ala pada hari tidak ada naungan kecuali
naungan dari-Nya, naungan ini sangat dibutuhkan oleh setiap hamba pada
waktu itu, karena matahari yang sangat panas didekatkan oleh
Allah subhanahu wata’aladi atas kepala hamba-hamba-Nya sehingga sebagian
orang akan tenggelam dengan keringatnya sendiri.

Keutamaan terbesar bagi orang yang mencinta karena Allah akan mendapatkan kecintaan dari
Allah subhanahu wata’ala, sehingga ia akan mendapatkan surga-Nya dan terhindar dari
neraka-Nya.

19
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
Pendidikan merupakan usaha untuk memanusiakan manusia atau dengan kata lain
usaha yang dilakukan oleh orang dewasa untuk memberikan bimbingan kepada anak didik
dalam rangka membuat ia menjadi dewasa dan salah satu faktor yang sangat menentukan
dalam arah dan tujuan pendidikan adalah kurikulum.
Kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan
pendidikan, dalam kurikulum memiliki bagian-bagian penting sebagai penunjang yang dapat
mendukung operasinya dengan baik. Bagian-bagian ini disebut komponen. Dan komponen-
komponen tersebut saling berkaitan, berintraksi satu sama lain dalam mencapai tujuan.
Kurikulum pendidikan Islam pada umumnya merupakan pencerminan Islami  yang
dihasilkan berdasarkan pedoman hidup ummaIslam, yaitu Al Quran dan As Sunnah yang
ditransformasikan pada peserta didik dalam seluruh aktivitas dan kegiatan pendidikan dalam
prakteknya. Kurikulum Pendidikan Islam bertujuan menanamkan kepercayaan dalam
pemikiran genarasi muda, penguatan tauhid, peningkatan kualitas akhlak serta untuk
memperoleh pengetahuan secara berkelanjutan.
B. SARAN
Demikianlah tugas penyusunan karya tulis ini kami persembahkan. Harapan kami
dengan adanya tulisan ini bisa menjadikan kita untuk lebih menyadari bahwa pendidik adalah
tugas yang mulia. Serta dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa difahami oleh para
pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca, khususnya dari dosen
yang telah membimbing kami. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini,
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

https://firanda.com/3789-kitabul-jami-hadits-15-adab-makan-makan-minum-dengan-tangan-
kanan.html

https://almanhaj.or.id/4005-adab-adab-makan-dan-minum.html

https://rumaysho.com/19633-hadits-arbain-20-keutamaan-memiliki-sifat-malu.html

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196209061986011-
AHMAD_MULYADIPRANA/POWER_POINT/PT_KAI_KURJAR_(R.Ibrahim)_
%5BCompatibility_Mode%5D.pdf

https://fathimah1.wordpress.com/2012/12/31/hadis-hadis-tentang-kurikulum-pendidikan/

Anda mungkin juga menyukai