Anda di halaman 1dari 18

KEARIFAN LOKAL SUKU JAWA DAN PELESTARIAN

LINGKUNGAN

Dosen Pengampu: Dra. Sumiharni, S.T., M.T.

Disusun Oleh:

Indah Dwi Anggraini

2015012019

PROGRAM STUDI S-1 ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, berkah rahmat dan
hidayahnya saya masih diberikan kesehatan sehingga makalah dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat waktu sebagai tugas mata kuliah
Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal.

Dalam pembuatan makalah penulis menyadari masih belum sempurna dan


masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari apa yang diharapkan.
Untuk itu, saya berharap kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini
untuk masa yang akan datang, menginat bahwasanya tidak akan ada hasil yang
lebih baik jika tidak ada saran yang membangun untuk dijadikan pembelajaran
dan evaluasi kedepannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi setiap insan
yang membacanya.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang
tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
pembuatan makalah ini, khususnya kepada semua pihak yang terlibat langsung
dalam pembuatan makalah ini.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Lampung, 14 Desember 2020

Penulis
Daftar Isi

Halaman Judul.......................................................................................................i

Kata Pengantar......................................................................................................ii

Daftar Isi...............................................................................................................iii

Abstrak..............................................................................................................iv

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................1

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah suku Jawa...................................................................................2

2.2 Kearifan lokal suku Jawa…………….....................................................4

2.3 Kearifan lokal suku Jawa yang menjunjung pelestarian lingkungan…....11

KESIMPULAN..................................................................................................13

Daftar pustaka……………………………….……………………………........…14
ABSTRAK
Kearifan lokal adalah suatu kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu
daerah. Setiap daerah dan suku memiliki kearifan lokalnya masing-masing, tidak
terkecuali suku Jawa. Suku Jawa merupakan suku terbesar yang ada di Indonesia.
Suku Jawa merupakan suku yang sudah ada sejak lama, sehingga banyak juga
terdapat kearifan lokal. Dari banyak kearifan lokal tersebut terdapat kearifan lokal
yang menjunjung tinggi pelestarian lingkungan sebagai salah satu bentuk tradisi
dari nenek moyang yang harus dilestarikan.

Kata kunci: kearifan lokal, suku Jawa, pelestarian lingkungan.


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kearifan lokal adalah suatu kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu
daerah. Kearifan lokal adalah perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan
berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya
masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti yang luas. Kearifan
lokal adalah produk budaya masa lalu yang patut dijadikan pegangan hidup secara
terus-menerus. Meskipun bernilai lokal, tetapi nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal.

Setiap suku bangsa memiliki kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai


sosial budaya yang harus dilestarikan. Mulai dari pendidikan, kesehatan, serta
nasehat-nasehat leluhur untuk selalu berbuat baik kepada sesama manusia, bahkan
alam tempat tinggalnya. Keberlangsungan kearifan lokal bisa tercermin di dalam
nilai-nilai yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat disimpulkan


perumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana asal-usul sejarah suku Jawa?


2. Apa saja kearifan lokal yang terdapat di suku Jawa?
3. Kearifan lokal apa sajakah yang menjunjung pelestarian lingkungan?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui asal-usul sejarah suku Jawa.


2. Mengetahui contoh macam-macam kearifan lokal suku Jawa.
3. Mengetahui kearifan lokal suku Jawa yang menjunjung pelestarian
lingkungan.

PEMBAHASAN
A. Sejarah Suku Jawa
Suku Jawa merupakan suku terbesar yang berada di Indonesia. Suku ini
terkenal akan tatakrama, lemah lembut, dan sopan. Masyarakatnya tidak hanya
berada di Jawa saja, melainkan tersebar ke seluruh pelosok Indonesia. Hal ini
karena penduduk Pulau Jawa ikut program transmigrasi saat pemerintahan Orde
Baru. Kebesaran suku Jawa tak bisa dilepaskan dari sejarahnya yang panjang.
Hasil kebudayaan berupa peradaban suku Jawa menjadi salah satu yang paling
maju. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerajaan-kerajaan adidaya yang berdiri di
tanah Jawa beserta beragam warisannya yang masih dapat dilihat hingga saat ini.
Misalnya kerajaan Mataram dan Majapahit, serta candi-candi seperti Borobudur
atau Prambanan, menjadi bukti besarnya kekuatan yang pernah berjaya di suku
Jawa. Selain itu sebagian besar suku Jawa juga masih mempercayai mitos-mitos
leluhurnya. Beberapa sumber sejarah Suku Jawa, antara lain:
1. Menurut Arkeolog
Teori mengenai asal-usul suku Jawa pertama kali dikemukakan
oleh para arkeolog. Mereka meyakini bahwa nenek moyang suku Jawa
adalah penduduk pribumi yang tinggal jutaan tahun yang lalu di pulau ini.
Berdasarkan berbagai penelitian, arkeolog menemukan beberapa fosil
manusia purba yang dipercaya sebagai asal-usul suku Jawa seperti
Pithecanthropus Erectus dan Homo Erectus. Fosil tersebut dilakukan tes
DNA dengan suku Jawa pada masa kini, hasil DNA tersebut menyatakan
tidak ada perbedaan yang jauh satu antara lain. Hal ini akhirnya dipercayai
oleh ahli arkeolog sebagai asal-usul keberadaan suku Jawa.
2. Menurut Sejarawan
Berbeda dengan kesimpulan dari arkeolog. Sejarawan meyakini
bahwa asal-usul suku Jawa berasal dari orang-orang yunan, di negara
China. Sejarawan asal Belanda, Prof Dr.H.Kern mengungkapkan
penelitiannya pada tahun 1899. Dia menyebutkan bahwa bahasa daerah di
Indonesia mirip satu sama lain. Kemudian ia menarik kesimpulan jika
bahasa tersebut berasal dari akar rumpun yang sama yaitu rumpun
Austronesia. Hal itu yang menyakini sejarawan sebagai asal-usul
terbentuknya Suku Jawa.
3. Babad Tanah Jawa
Diceritakan bahwa masyarakat Jawa berasal dari Kerajaan Keling
atau Kalingga yang berada di daerah India Selatan. Salah satu Pangeran
Kerajaan Keling yang tersisih akibat perebutan kekuasaan pergi
meninggalkan kerajaan dan diikuti dengan para pengikutnya. Pangeran
Keling pergi sangat jauh dari kerajaan. Akhirnya Pangeran Keling
menemukan sebuah pulau kecil yang belum berpenghuni dan melakukan
gotong royong untuk membangun pemukiman bersama pengikutnya, yang
kemudian pulau ini diberi nama Javacekwara. Hal tersebut menjadikan
keturunan pangeran dan para pengikutnya dianggap sebagai nenek moyang
suku Jawa.
4. Surat Kuno Keraton Malang
Surat kuno ini bercerita mengenai asal-usul penduduk Jawa yang
berasal dari kerajaan Turki pada tahun 450 SM. Raja Turki mengirim
rakyatnya untuk mengembara dan membangun daerah kekuasaan mereka
yang belum berpenghuni. Akhirnya mereka menemukan tanah yang subur
dan memiliki aneka bahan pangan. Semakin lama semakin banyak migrasi
yang datang ke pulau ini dan akhirnya pulau tersebut diberi nama tanah
jawi karena terdapat banyak tanaman jawi.
5. Tulisan Kuno India
Asal-usul suku Jawa kali ini menyebutkan bahwa pada zaman
dahulu beberapa pulau di kepulauan Nusantara menyatu dengan daratan
Asia dan Australia. Hingga terjadi musibah yang menyebabkan
meningkatnya permukaan air laut yang merendam beberapa daratan dan
memisahkan pulau-pulau tersebut dari daratan dan memunculkan pulau-
pulau baru seperti Pulau Jawa. Menurut tulisan kuno India ini, Aji Saka
menjadi orang pertama yang menemukan dan menginjakkan kakinya di
tanah Jawa pertama kali, sehingga Aji Saka beserta para pengawal juga
pengikutnya dianggap sebagai nenek moyang suku Jawa.

B. Kearifan Lokal Suku Jawa


Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang
ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi
merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan
dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan local merupakan
tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan
lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal
tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang
berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan
hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang
berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk
perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan
berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial
budaya yang ada di masyarakat.
Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal
adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan
serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini
dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi
sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan
lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta
dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji
oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan
local tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan
tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti
religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik
dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban
manusia yang lebih jauh.
Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-norma
kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka
norma-norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun
menurun dan berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu
dilestarikan yaitu kearifan lokal. Pengertian pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan mengacu pada UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup yang berbunyi Pengelolaan lingkungan
hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan
hidup. Sedangkan sumberdaya alammerupakan sumberdaya yang
mencakup sumberdaya alam hayati maupun non hayati dan sumberdaya
buatan.
Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas
berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan
geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan
demikian memerlukan pengelolaan dan pengembangan lingkungan hidup
yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup sehingga dapat meningkatkan keselarasan, keserasian dan
keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan
subsistem itu sendiri.
Pentingnya kearifan lokal sebagaimana dipahami, dalam
beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat memperoleh dan
mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide,
norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi
mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan
setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan
kehidupan di lingkungan pemukimannya. Keanekaragaman pola-pola
adaptasi terhadap lingkungan hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia
yang diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam
memanfaatkan sumberdaya alam. Kesadaran masyarakat untuk
melestarikan lingkungan dapat ditumbuhkan secara efektif melalui
pendekatan kebudayaan. Jika kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka
hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pengelolaan
lingkungan. Dalam pendekatan kebudayaan ini, penguatan modal sosial,
seperti pranata sosialbudaya, kearifan lokal, dan norma-norma yang terkait
dengan pelestarian lingkungan hidup penting menjadi basis yang utama.
Seperti kita ketahui adanya krisis ekonomi dewasa ini, masyarakat
yang hidup dengan menggantungkan alam dan mampu menjaga
keseimbangan dengan lingkungannya dengan kearifan lokal yang dimiliki
dan dilakukan tidak begitu merasakan adanya krisis ekonomi, atau pun
tidak merasa terpukul seperti halnya masyarakat yang hidupnya sangat
dipengaruhi oleh kehidupan modern. Maka dari itu kearifan lokal penting
untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan
dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya.
Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari pengaruh
berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap
lingkungannya.
Dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungannya masyarakat
melakukan norma-norma, nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah berlaku
turun temurun yang merupakan kearifan lokal setempat. Beberapa contoh
kearifan lokal yang ada pada masyarakat jawa adalah sebagai berikut :
1. Pranoto Mongso
Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh
para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan
dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Berkaitan
dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan
arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda
alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan
seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti
misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto
mongso maka alam dapat menjaga keseimbangannya.
      Urut-urutan pranoto mongso adalah sebagai berikut:
1) Kasa berumur 41 hari (22 Juni – 1 Agustus). Para petani
membakar dami yang tertinggal di sawah dan di masa ini
dimulai menanam polowijo.
2) Karo berumur 23 hari (2 – 24 Agustus). Polowijo mulai
tumbuh, pohon randu dan mangga mulai bersemi, tanah mulai
retak/berlubang, suasana kering dan panas.
3) Katiga/katelu berumur 24 hari (25 Agustus-17 September).
Sumur-sumur mulai kering dan anin yang berdebu. Tanah
tidak dapat ditanami (jika tanpa irigasi) karena tidak ada air
dan panas. Palawija mulai panen.
4) Kapat berumur 25 hari (18 September -12 Oktober) Musim
kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami
padi gogo, pohon kapuk mulai berbuah
5) Kalima berumur 27 hari (13 Oktober – 8 Nopember). Mulai
ada hujan, petani mulai membetulkan sawah dan membuat
pengairan di pinggir sawah, mulai menyebar padi gogo, pohon
asam berdaun muda.
6) Kanem berumur 43 hari (9 Nopember – 21 Desember). Musim
orang membajak sawah, petani mulai pekerjaannya di sawah,
petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan,
banyak buah-buahan.
7) Kapitu berumur 43 hari (22 Desember – 2 Februari ). Para
petani mulai menanam padi, banyak hujan, banyak sungai yang
banjir, angin kencang.
8) Kawolu berumur 26 hari, tiap 4 tahun sekali berumur 27 hari
(3 Februari-28 Februari Padi mulai hijau, uret mulai banyak.
9) Kasanga berumur 25 hari (1 - 25 Maret). Padi mulai
berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai
muncul, kucing mulai kawin, tonggeret mulai bersuara.
10) Kasepuluh berumur 24 hari (26 Maret-18 April). Padi mulai
menguning, mulai panen, banyak hewan bunting.
11) Desta berumur 23 hari (19 April-11Mei). Petani mulai panen
raya.
12) Sadha berumur 41 hari (12 Mei – 21 Juni) . Petani mulai
menjemur padi dan memasukkannya ke lumbung.
Dengan adanya pemanasan global sekarang ini yang juga
mempengaruhi pergeseran musim hujan, tentunya akan
mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian pranoto
mongso ini tetap menjadi arahan petani dalam mempersiapkan diri
untuk mulai bercocok tanam. Berkaitan dengan tantangan maka
pemanasan global juga menjadi tantangan petani dalam
melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal di
Jawa.

2. Nyabuk Gunung
Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan
membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini
banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro. Cara ini
merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam
karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak
dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras
yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya
longsor.
3. Mitos sebagai kearifan lokal dan pelestarian lingkungan
Mitos menjadi bagian dari sistem kepercayaan masyarakat.
Sistem kepercayaan yang dimiliki suatu masyarakat tentu akan
berpengaruh pula pada pola pikir dan tingkah laku yang nantinya
berujung pada  cara-cara pengelolaan lingkungan.
4. Cingcowong ( Sunda / Jawa Barat )
Merupakan upacara untuk meminta hujan, tradisi
Cingcowong ini dilakukan turun temurun oleh masyarakat
Luragung guna untuk melestarikan budaya serta menunjukan
bagaimana suatu permintaan kepada yang Maha Kuasa apabila
tanpa adanya patuh terhadap perintahNya.
5. Suran / Suro
Bulan suro dikenal sebagai bulan yang sakral oleh sebagian
besar orang Jawa. Beberapa orang masih memiliki kepercayaan
jika pada bulan ini tidak boleh mengadakan acara/hajatan. Jika
melanggar konon akan mengalami gangguan/hal-hal yang tidak
diinginkan dalam acara yang digelar. Ditambah lagi dengan adanya
beberapa kegiatan budaya dari keraton-keraton yang masih eksis
semisal Kirab Pusaka yang diadakan oleh Kadipaten
Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta. Khusus untuk
kegiatan dari Keraton Kasunanan yang paling familiar adalah
adanya prosesi kirab pusaka yang diawali dengan adanya
rombongan kebo bule keturunan “Kyai Slamet” sebagai pembuka
jalan. Dan biasanya justru rombongan kebo bule ini yang menjadi
pusat perhatian karena sebagian masyarakat akan memperebutkan
kotoran kerbau/kebo (telethong : bahasa jawa) yang diyakini akan
membawa berkah. (*tepuk jidat..geleng-geleng..ngelus
dada..hehehe). Hal inilah yang dianggap oleh beberapa orang,
kegiatan suran penuh dengan klenik dan bertentangan dengan
paham keyakinan/agama yang ada saat ini. Sangat disayangkan jika
kegiatan budaya yang ditinggalkan oleh pepundhen yang
sebetulnya mempunyai makna yang dalam dan adiluhung serta
perlu dilestarikan tercoreng oleh hal-hal yang bersifat irasional.
Penanggalan Jawa /tahun jawa pada awalnya diciptakan
oleh Sultan Agung. Bulan Suro berasal dari kata Asyura (bahasa
arab). Penanggalan jawa disinkronkan sesuai dengan penaggalan
Islam (hijiryah) oleh Sultan Agung, 1 Suro
6. Bancakan /slametan
Bancakan atau dikenal dengan slametan biasanya
diwujudkan dalam bentuk nasi tumpeng yang berbentuk
kerucut,biasanya nasi gurih (nasi uduk) dengan aneka lauk, atau
dikenal juga dengan istilah kembul bujana. Bancakan/slametan
biasanya dilakukan setelah terwujudnya suatu keinginan yang
diinginkan, yang bermaksud untuk mensyukuri atas karunia yang
telah diterima. Bancakan / slametan dipandang sebagai suatu hal
yang klenik, dikarenakan dianggap sebagai sajen/sesaji kepada
danyang atau terhadap suatu kekuatan lainnya selain Allah.
Padahal dalam bancakan sendiri sebetulnya terdapat beberapa
makna sebagai berikut:
1) Mensyukuri atas nikmat/karunia dari Allah, atas
terwujudnya suatu hajat/keinginan sehingga diwujudkan
dalam bentuk shodaqoh (sedekah), dengan mengeluarkan
sebagian rejekinya untuk berbagi terhadap sesama.
2) Nasi uduk, berasal dari kata wudhu yang berarti suci/bersih.
Dikarenakan berasal dari nasi gurih, dilambangkan sebagai
makanan yang harum. Diharapkan orang yang selalu makan
makanan yang harum dan bersih, darah dagingnya akan
memancarkan bau harum dengan sendirinya.
3) Tumpeng buceng, bentuk kerucut, tumpeng dalam istilah
Jawa dikenal dengan buceng. Mbujung = buceng =
mengejar untuk mencapai tingkatan yang paling tinggi di
dalam hidup yaitu tingkat kehidupan keIllahian, dengan
berbekal segala potensi hidup (potensi alami) yang
dilambangkan dengan uborampe makan yang berupa
tumbuh-tumbuhan dikenal dengan gudangan.
7. Sadranan Gunung Genthong
Sadranan Gunung merupakan kearifan lokal yang diadopsi
didaerah Jawa Tengah sebagai bentuk mengucap syukur atau
berterimakasih terhadap leluhur dan alam. Kearifan lokal ini
diselenggaraan satu tahun sekali pada Selasa Kliwon menurut
penanggalan Jawa setelah panen pertama pertengahan marengan
palawija. Pelaksanaan kearifan lokal ini dimulai dengan melibatkan
warga untuk memasak sesaji yang akan dihidangkan seperti
ketupat, uwi, gembili, embong, garut, gethuk, cemplon, ayam
panggang, ikan kali panggang dan lainnya.
8. Wayang Kulit
Wayang kulit merupakan salah satu kesenian tradisi yang
tumbuh dan berkembang pada masyarakat Jawa. Wayang kulit
bukan semata merupakan sebuah pertunjukkan melainkan sebuah
media yang diyakini untuk menuju roh spiritual pada
dewa.Wayang kulit biasanya dimainkan dengan iringan musik
yang berasal dari gamelan, menggunakan syair-syair berbahasa
Jawa. Beberapa hal yang umumnya dihaturkan sebelum
pertunjukan wayang kulit dimulai adalah sesajian berupa ayam
kampung, kopi, nasi tumpeng serta hasil bumi lainnya sebagai
bentuk budaya yang bernilai adiluhung.
C. Kearifan Lokal Suku Jawa yang Menjunjung Pelestarian Lingkungan
Dewasa ini, dunia telah di hadapkan dengan sebuah permasalahan
global yang hampir terjadi di setiap negara yakni masalah dan isu
mengenai lingkungan hidup. Kerusakan ekosistem dan keseimbangan lam
yang di akibatkan oleh ulah dan perbuatan manusia telah mengakibatkan
terjadinya banyak bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor,
kebakaran hutan dan sebagainya. Semua itu di akibatkan oleh perbuatan
manusia itu sendiri seperti misalnya melakukan penebangan pohon secara
liar (illegal loging) dan melakukan industrialisasasi secara besar - besaran
tanpa memperhatikan keseimbangan alam.
Ketika kita semakin sadar bahwa  keseimbangan alam dan
lingkungan mendapatkan ancaman serius, ternyata adanya beberapa
kearifan lokal dari suku - suku bangsa yang ada di Indonesia  justru lebih
berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Bahkan dalam kasus - kasus  tertentu kearifan lokal justru lebih
berperan dalam menjaga ekosistem dari pada hukum yang ditetapkan oleh
pemerintah sendiri dalam mengatur pola kehidupan masyarakat. Adanya
mitos, ritual, dan pitutur luhur yang erat kaitannya dengan keseimbangan
alam mampu mengatur kehidupan masyarakat sedemikian rupa dalam
hubungannya dengan lingkungan sekitarnya. Mitos adalah salah satu 
bagian dari sistem kepercayaan masyarakat. Sistem kepercayaan yang
dimiliki suatu masyarakat atau suku tertentu, tentu saja akan berpengaruh
pula pada pola pikir dan tingkah laku masyarakat yang nantinya di
refleksikan pada cara-cara pengelolaan lingkungan.
Bentuk penghormatan kepada gunung - gunung dan hutan yang
diyakini oleh masyarakat sebagai tempat yang “berpenghuni” dalam arti
terdapat kekuatan gaib di dalamnya atau masyarakat biasa menyebutnya
sebagai tempat angker, ternyata menciptakan cara berperilaku yang tidak
jauh dengan prinsip konservasi alam dan lingkungan. Dalam prinsip
konservasi yang dibutuhkan adalah rasa saling menghormati dan menjaga
keseimbangan alam. Masyarakat cenderung akan berpikir ulang jika
melakukan kegiatan di tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat
angker tersebut. Mereka akan menjaga dan menghormati tempat-tempat
tersebut sehingga kondisi alamnya  tetap terjaga dan terawat dengan baik.
Contoh dari kearifan lokal yang turut melakukan sumbangsih
terhadap pelestarian lingkungan di Nusantara di antaranya adalah pranoto
mongso dan nyabuk gunung. Masyarakat Suku Jawa juga mengenal
sesajen. Sesajen adalah seperangkat persembahan yang digunakan untuk
menghormati penunggu tempat-tempat tertentu, seperti pohon besar,
muara sungai, Sendang atau mata air dan sebagainya. Pohon yang
diberikan sesajen tentu akan membuat seseorang berfikir seribu kali untuk
menebang pohon tersebut.

KESIMPULAN

Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat


maupun kondisi geografis dalam arti yang luas. Kearifan lokal adalah produk
budaya masa lalu yang patut dijadikan pegangan hidup secara terus-menerus.
Meskipun bernilai lokal, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dianggap
sangat universal. Setiap suku bangsa memiliki kearifan lokal yang mengandung
nilai-nilai sosial budaya yang harus dilestarikan.

Dewasa ini, dunia telah di hadapkan dengan sebuah permasalahan global yang
hampir terjadi di setiap negara yakni masalah dan isu mengenai lingkungan hidup.
Kerusakan ekosistem dan keseimbangan lam yang di akibatkan oleh ulah dan
perbuatan manusia.

Ketika kita semakin sadar bahwa  keseimbangan alam dan lingkungan


mendapatkan ancaman serius, ternyata adanya beberapa kearifan lokal dari suku -
suku bangsa yang ada di Indonesia  justru lebih berperan dalam menjaga
kelestarian lingkungan. Contoh dari kearifan lokal yang turut melakukan
sumbangsih terhadap pelestarian lingkungan di Nusantara di antaranya adalah
pranoto mongso dan nyabuk gunung, dan sesajen.

DAFTAR PUSTAKA

Apriando, Tommy. 2015. “Brubuh, Kearifan Masyarakat Jawa Menjaga Hutan”


https://www.mongabay.co.id/2015/02/12/brubuh-kearifan-masyarakat-
jawa-menjaga-hutan/. (diakses pada 1 Desember 2020)
Pujakesuma. 2020. “Contoh Kearifan Lokal Suku Jawa dan Lingkungan Hidup”.
https://www.anekabudaya.xyz/2020/01/contoh-kearifan-lokal-suku-
jawa-dan.html. (diakses pada 1 Desember 2020)

Putro, Prajitno. 2019. “Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Jawa Sebagai


Bagian dari Pelestarian Lingkungan”
https://sosiologismagapas.blogspot.com/2019/01/kearifan-lokal-di-
lingkungan-masyarakat.html. (diakses pada 1 Desember 2020)

Suharyati, Tri. 2020. “Mengenal Suku Jawa, Sejarah, dan Kebudayaannya”


https://travel.detik.com/travel-news/d-4921040/mengenal-suku-jawa-
sejarah-dan-kebudayaannya. (diakses pada 1 Desember 2020)

Dosensosiologi.com. 2020. “Contoh Kearifann Lokal di Indonesia dan Dunia”


https://dosensosiologi.com/contoh-kearifan-lokal/. (diakses pada 15
Desember 2020)

Anda mungkin juga menyukai