Anda di halaman 1dari 32

7 UNSUR KEBUDAYAAN MASYARAKAT SUKU JAWA

MAKALAH ANTROPOLOGI SOSIAL


Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur Mata Kuliah Antropologi Sosial
Dosen Pengampu: Endah Ratna Sonya S.Sos M,Si

Nama Kelompok:
Irgi Yudha Prawira (1218030093)
Ismadila Syahdania (1218030094)
Lucky Syah Putra (1218030103)
Lutfiana Awalunisa (1218030104)
M. Syifa Nurkholik (1218030115)
M. Dwi Syaputra (1218030119)
M. Eko Riyadi (1218030120)
M. Rafha Aprilisyah H (1218030127)
M. Ulil Albab (1218030132)
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021/1443H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah tentang Etnis Jawa ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak
lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1.Sejarah Suku Jawa........................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
1.2.Tujuh Unsur Kebudayaan yang Universal....................................................................4
1.3.Sistem Bangunan..........................................................................................................4
1.4.Transportasi...................................................................................................................6
1.5.Bahasa...........................................................................................................................7
1.6.Sistem Kemasyarakatan..............................................................................................15
1.7.Sistem Perkawinan......................................................................................................16
1.8.Sistem Mata Pencaharian Hidup.................................................................................18
1.9.Sistem pengetahuan....................................................................................................19
1.10.Kesenian....................................................................................................................20
1.11.Sistem Kepercayaan..................................................................................................22
BAB III.....................................................................................................................................26
KESIMPULAN........................................................................................................................26
1.12.Kesimpulan...............................................................................................................26
1.13.Saran.........................................................................................................................26
LAMPIRAN.............................................................................................................................28

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Sejarah Suku Jawa
Suku Jawa sangat terkenal dengan sifatnya yang lemah lembut, menjunjung tinggi
tata krama, dan ramah tamah. Ternyata, sifat ini diturunkan dari sejarah yang amat
panjang. Sejarah suku Jawa tidak terlepas dari keberadaan kerajaan-kerajaan adidaya di
tanah ini. Kerajaan tersebut mewariskan budaya, adat istiadat, dan monumen yang masih
terus dijaga hingga sekarang.
Sifat orang Jawa yang ada sekarang ini adalah warisan budaya. Kemudian, hasil
peradaban Kerajaan Jawa yang menakjubkan yang masih bisa kita lihat sampai sekarang,
di antaranya, adalah Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan masih banyak lainnya.
Untuk merunut sejarah suku jawa yang sangat panjang, ada beberapa rangkuman yang
bisa Anda simak. Berikut adalah beberapa sumber yang menjelaskan teori asal usul suku
terbesar di Indonesia tersebut.
1. Babad Tanah Jawa
Sejarah panjang suku Jawa sebenarnya bisa diteliti melalui Babad Tanah Jawa.
Menurut catatan tersebut, suku Jawa berasal dari sebuah kerajaan bernama Kerajaan
Kling. Pada saat itu, Kerajaan Kling tengah mengalami situasi yang carut-marut
akibat perebutan kekuasaan. Kemudian, salah satu pangerannya tersisih kemudian
pergi meninggalkan kerajaan tersebut bersama para pengikut setianya.
Pangeran Kling dan pengikutnya terus mengembara sampai menemukan pulau
kecil yang tidak berpenghuni. Rombongan tersebut kemudian bekerja sama untuk
membangun permukiman. Lambat laut, mereka pun berhasil mendirikan sebuah
kerajaan. Kerajaan tersebut kemudian diberi nama Javacekwara. Keturunan pangeran
Kling ini disebut-sebut sebagai nenek moyang orang Jawa berdasarkan catatan dalam
Babad Tanah Jawa.
2. Tulisan Kuno India
Untuk asal usul suku Jawa versi ini, kita harus memahami terlebih dahulu
bahwa bentuk permukaan bumi pada masa sekarang berbeda dengan beberapa ratus
yang lalu. Dahulu, beberapa kepulauan yang ada di Indonesia menyatu dengan
daratan Asia serta Australia. Kemudian, ada sebuah musibah besar yang
mengakibatkan permukaan air laut meningkat. Daratan yang besar tersebut pun
terpisah menjadi beberapa pulau, salah satunya adalah Pulau Jawa.

4
Menurut versi tulisan Kuno India, suku Jawa berasal dari Aji Saka dan
pengikutnya yang pertama kali menapakkan kakinya di tanah Jawa. Oleh karena itu,
Aji Saka beserta pengikutnya disebut-sebut sebagai nenek moyangnya orang Jawa.
3. Surat Kuno di Keraton Malang
Pendapat berbeda tentang asal-usul orang Jawa ditemukan berdasarkan surat
kuno Keraton Malang. Menurut surat ini, penduduk jawa awalnya berasal dari
Kerajaan Turki yang datang pada tahun 450 Sebelum Masehi (SM). Pada saat itu,
sang Raja Kerajaan Turki mengirim utusannya untuk mengembara dan melebarkan
kekuasaan mereka. Mereka bermigrasi ke beberapa kawasan yang belum
berpenghuni. Migrasi tersebut dilakukan secara bergelombang untuk periode waktu
yang panjang.
Sampai suatu saat, utusan tersebut sampai di sebuah kawasan yang subur dan
memiliki banyak bahan makanan. Utusan tersebut pun tidak membutuhkan waktu
lama untuk beradaptasi dan membangun permukiman. Kabar pulau yang subur ini pun
tersebar luas. Semakin hari, semakin banyak orang yang bermigrasi ke tanah ini.
Kemudian, pulau asing tersebut akhirnya diberi nama, yakni Tanah Jawi oleh
penduduk Kerajaan Turki. Nama tersebut diambil dari sebuah tanaman yang banyak
tumbuh di kawasan tersebut. Tanaman tersebut adalah tanaman Jawi.
4. Pendapat Sejarawan
Tak percaya seratus persen dengan catatan-catatan yang ditinggalkan oleh para
pendahulu, para sejarawan pun melakukan penelitian. Ahli sejarah pun menemukan
pendapat yang berbeda tentang asal-usul suku Jawa. Sejarawan bernama Von Hein
Geldern berpendapat bahwa pada Zaman Neolitikum, yakni sekitar tahun 2000 SM,
terjadi migrasi penduduk yang berasal dari Tiongkok bagian selatan atau yang disebut
dengan Yunan ke Nusantara.
Migrasi tersebut berlangsung mulai tahun 2000 SM hingga 500 SM. Migrasi
dilakukan secara besar-besaran dan bertahap menggunakan perahu cadik. Menurut
sejarawan tersebut, Orang Yunan lah yang menjadi nenek moyang Indonesia.
Kemudian, Dr. H. Kern, bahasa daerah di Indonesia sebenarnya mirip satu
sama lain. Kemudian, ia pun menyimpulkan bahwa bahasa tersebut berasal dari suatu
rumpun yang sama, yakni rumpun Austronesia. Penelitian Kern tersebut dilakukan
pada tahun 1899. Hasil penelitiannya tentang asal usul suku Jawa semakin
menguatkan pendapat dari Geldern.
5. Pendapat Arkeolog

5
Ahli arkeologi juga mempunyai pendapatnya sendiri seputar asal-usul suku
Jawa. Berdasarkan benda-benda peninggalan nenek moyang yang diteliti, ahli
arkeologi menyebutkan bahwa nenek moyang dari orang Jawa adalah penduduk
pribumi. Penelitian ini diperkuat dengan ditemukannya fosil manusia purba, yakni
Pithecanthropus Erectus serta Homo Erectus. Keduanya adalah manusia purba yang
menghuni Pulau Jawa.
Ahli Arkeologi dan anatomi yang berasal dari Belanda, Eugene Dubois, telah
menemukan fosil manusia purba Homo Erectus. Temuan tersebut bertempat di
kawasan Trinil pada 1891. Fosil manusia purba tersebut kemudian lebih dikenal
sebagai manusia Jawa. Penelitian terkait fosil tersebut terus dikembangkan.
Berdasarkan perbandingan DNA antara fosil manusia purba dengan suku jawa pada
masa kini, ditemukan hasil yang sangat menarik.
Berdasarkan perbandingan tersebut, ternyata DNA manusia purba Homo
Erectus dengan orang Jawa masa kini tak berbeda jauh. Oleh karena itu, para arkeolog
pun akhirnya menyimpulkan bahwa orang jawa berasal dari orang pribumi. Temuan
ini kemudian dipercayai sebagai asal-usul orang Jawa oleh beberapa arkeolog. Sampai
sekarang pun, penelitian terkait masih terus dikembangkan.

6
BAB II
PEMBAHASAN

1.2. Tujuh Unsur Kebudayaan yang Universal


1. Alat dan Perlengkapan Hidup

Sebagai suatu kebudayaan, suku Jawa tentu saja memiliki peralatan dan perlengkapan
hidup yang khas, yang paling menonjol dari suku jawa sendiri adalah dalam segi
bangunan. Masyarakat Jawa memiliki ciri sendiri dalam bangunan mereka khususnya
rumah tinggal. Ada beberapa jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku jawa
beberapa diantaranya adalah .

1.3. Sistem Bangunan


1.Rumah Limasan

Disebut dengan rumah Limasan karena memiliki bentuk atap limas. Kelebihan
dari bangunan Limasan ada pada sifatnya yang dapat meredam gempa. Rumah
limasan,adalah rumah yang paling umum ditemui di daerah Jawa

2.Rumah Joglo

7
Pengertian Joglo sendiri berasal dari kata Tajug Loro (Juglo) yang artinya dua
gunung. Dalam filosofi Jawa, gunung adalah tempat yang tinggi dan sakral. Jika
melihat bangunan rumah Joglo, maka akan ditemukan dua gunung yang dapat dilihat
dari bentuk atap rumah Joglo. Fakta uniknya ada budaya pada masyarakat Jawa
bahwa rumah joglo tidak pantas didirikan dan ditinggali oleh rakyat jelata. Itu karena
material dan proses pembuatanya sangat mahal dan juga rumah ini digunakan sebagai
simbol rumah tinggal para bangsawan.

3.Rumah Adat Tajug

Berbeda dengan konsep rumah lainnya, rumah adat Tajug ini dibuat bukan
untuk dihuni melainkan untuk melaksanakan ibadah. Maka itu, rumah adat ini tidak
boleh dibangun sembarangan. Salah satu contoh rumah adat Tajug yang sangat
populer di Indonesia ialah Masjid Agung Demak.Rumah adat Tajug juga terdapat
beberapa macam, yaitu Lambang Sari, Mangkurat, Semar Tinandhu, dan Semar
Sinongsong. Atap rumah adat ini memiliki bentuk yang hampir mirip dengan atap
rumah adat Joglo. Ujung atap rumah adat ini berbentuk segitiga yang melambangkan
keabadian dan keesaan Tuhan. Selain dari bangunannya ada juga sistem teknologi
suku jawa di bidang transportasi diantaranya

8
1.4. Transportasi
1. Kapal Jung

Djong adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan
secara umum oleh pelaut Jawa dan Melayu. Perkataan itu dulunya dan sekarang dieja
sebagai "jong" dalam bahasa asalnya, ejaan "djong" sebenarnya adalah romanisasi
kolonial Belanda.Kapal Jung Jawa adalah teknologi kapal raksasa buatan orang –
orang jawa.Berdasarkan relief kapal di Candi Borobudur membuktikan bahwa sejak
dulu nenek moyang kita telah menguasai teknik pembuatan kapal.

2. Andong/delman/dokar

Andong merupakan salah satu alat transportasi tradisional di Solo dan


Yogyakarta dan daerah-daerah di sekitarnya, seperti Klaten, Karanganyar, Boyolali,
Sragen, dan Sukoharjo. Keberadaan Andong sebagai salah satu warisan budaya Jawa
memberikan ciri khas kebudayaan tersendiri yang hingga kini masih terus
dilestarikan, khususnya di Solo. keberadaan Andong di Solo difungsikan sebagai alat
transportasi pengangkut barang-barang dagangan ibu-ibu dari pedesaan menuju pasar-

9
pasar tujuan. Selain berfungsi sebagai media pengangkut barang dagangan pasar,
Andong juga tidak jarang berfungsi sesuai dengan aslinya sebagai alat transportasi
umum bagi masyarakat di Solo dan sekitarnya.

Nah selain teknologi transportasinya suku jawa mempunyai alat atau senjata
logam yang sangat terkenal sebagai benda mistis yaitu

A.Logam

1. Keris
Keris merupakan senjata tikam golongan belati berasal dari pulau Jawa yang
memiliki ragam fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan
tengah. Keris adalah kecanggihan teknologi penempaan logam Teknologi logam sudah
lama berkembang sejak awal masehi di nusantara.

1.5. Bahasa
Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia untuk mengutarakan maksud,
keinginan dan perasaan seseorang. Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang memiliki
sistem tingkat tutur yang penggunaannya disesuaikan dengan mitra tutur (Saddhono,
2013). Bahasa Jawa yang digunakan masyarakat saat bertututr tercermin dalam bentuk
kata kerja, kata benda dan kata sifat yang berbeda. Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa
yang memiliki tingkat tutur yaitu ngoko, krama dan krama inggil (Saddhono, 2004).
Penggunaan kata partikel dan kalimat tidak langsung juga ditentukan dalam bertutur.
Penggunaan Bahasa Jawa dalam budaya jawa saat bertutur dipengaruhi oleh keakraban,
usia dan kesopanan. Selain itu, status sosial seperti jabatan, keadaan ekonomi, faktor

10
pendidikan dan darah kebangsawanan juga diperhatikan. Dialog masyarakat juga
mencerminkan tingkat tutur bahasa jawa yang sesuai dengan unggah-ungguh basa jawa
(Saddhono, 2018).

Dalam pengamalannya secara umum sehari-hari, tingkat tutur dalam Bahasa Jawa,
dapat diambil kategori; (1) Bahasa Jawa Ngoko, mencerminkan makna tidak berjarak atau
berjarak antara penutur dengan mitra tutur, (2) Bahasa Jawa Krama,mencerminkan makna
penghormatan antara penutur dengan mitra tutur. Bentuk Krama sebagai wujud bentuk
kebahasaan yang mencerminkan rasa hormat masih digunakan sebagai alat komunikasi
dalam masyarakat tutur Jawa, baik secara lisan maupun tulisan (Pujiyatno, 2007).
Ditambahkan oleh Sundari, Bahasa Jawa merupakan warisan nenek monyang yang sangat
adiluhung karena di dalamnya terdapat unggah-ungguh bahasa yang berfungsi sebagai
pembentukan perilaku kehidupan manusia (Sudaryanto, 1987:3). Masyarakat Jawa juga
mengenal idiom ajining dhiri ono ing lathi, yang melambangkan bahwa orang yang
pandai bertutur dan menggunakan unggah ungguh dalam bertutur maka dia akan lebih
dihargai oleh lawan tuturnya (Rokhman, 2003). Pembicara/orang yang mengajak bicara
akan menggunakan tingkat tutur tertentu dengan mempertimbangkan unggah-ungguh,
sehingga terjadilah kesantunan berbahasa.

Asal Usul Bahasa jawa

Ketika kita membicarakan tanah jawa berarti kita membicarakan tentang


Indonesia, karena kedua hal ini tidak akan dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya.Indonesia merupakan negara yang kaya, baik sumber daya alam maupun
kebudayaannya.Kebudayaan yang begitu beragam tentu harus dilindungi serta
dilestarikan, termasuk didalamnya bahasa daerah.

Lalu dari mana asal-usul bahasa jawa?Jawa di jaman dahulu merupakan sebuah
wilayah yang memiliki peradaban yang tinggi, buktinya banyak kerajaan yang berpusat
di Pulau Jawa.Baik itu kerajaan hindu maupun kerajaan Islam.Mungkin kalian pernah
dengar, tentang kemasyhuran Majapahit, sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa yang
memiliki kekuasaan sampai Malaysia bahkan Filifina.Di era selanjutnya ketika para
penjajah memasuki wilayah Indonesia, yang dijadikan tempat atau pusat pemerintahan
Hindia-Belanda lagi-lagi Pulau Jawa.Jawa juga dijadikan sebagai pusat pergerakan
kemerdekaan, serta pusat pemerintahan pasca jaman penjajahan.

11
Kilas Singkat Sejarah Bahasa Jawa

Pada tahun1991 pernah ada suatu kongres bahasa jawa,kongres ini di prakarsai
oleh tiga Provinsi, yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.Tujuannya tiada lain
untuk melestarikan, serta menelusuri asal-usul bahasa jawa.Kegiatannya pun rutin
dilaksanakan setiap lima tahun sekali, yang terakhir dilaksanakan di
Surabaya.Berdasarkan data dari UNESCO, bahasa jawa merupakan bahasa ibu
Internasional ke sebelas di dunia. Disebutkan bahasa jawa sendiri merupakan bahasa
purba.Bahasa jawa jaman dulu juga dikenal dengan nama bahasa nusantara purba,
dimana bahasa ini dikenal satu rumpun dengan bahasa melayu purba.

Sampai saat ini memang tidak ada yang tahu pasti tentang asal-usul bahasa jawa,
karena dari jaman kerajaan pun telah digunakan.Sehingga ketika kita lebih dalam
menelusuri bahasa jawa, kita akan menemukan bahasa yang disebut dengan bahasa jawa
purba.Dalam beberapa penelitian disebutkan, bahwa bahasa jawa merupakan induk dari
bahasa di wiliyah Austronesia.

Sedang berdasarkan keberadaanya, bahasa jawa telah ada sejak abad IX, bahkan
dianggap peninggalan pada waktu itu.Maka jika kita hitung-hitung, bahasa jawa ini
merupakan bahasa yang telah ada sejak lama.Adapun para peneliti yang melakukan
penelitian mengenai bahasa jawa, hanya meneliti terkait kesusastraannya saja, tanpa
menyinggung mengenai sejarah atau asal-usul bahasa jawa itu sendiri.

Ragam Bahasa Jawa

Masuk ke dalam pembahasan bahasa jawa, ternyata memiliki ragam, bukan


hanya satu saja. Pernahkah kalian mendengar bahasa jawa ngapak? Kita akan
menemukan dialek ngapak di daerah barat Jawa Tegah, seperti Tegal, Banyumas,
pekalongan dan Brebes. Dan yang menarik, terdapat beberapa wilayah diluar suku
jawa yang menggunakan dialek dengan bahasa jawa, sebagai contoh Cirebon,
Indramayu dan Banten.

Katanya berdasarkan sumber sejarah, bahasa banyumasan ini erat kaitannya


dengan bahasa kuna atau kawi. Mungkin untuk kalian yang pertama kali mendengar
12
bahasa banyumasan akan sedikit aneh atau bahkan lucu, sebab memiliki ciri yang
khas. Sedangkan untuk daerah Yogyakarta menggunakan bahasa jawa yang sama
dengan daerah di Surakarta, Semarang serta yang lainnya. Selain bahasa jawa yang
digunakan di daerah jawa bagian tengah, adapula bahasa jawa di bagian timur.

Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini
disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah
Banyumasan. Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak adalah
kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah,
Indonesia.

Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta


daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa
Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan
bahasa Jawa Kuna (Kawi).Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck,
mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah
sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan,
Cirebonan dan Banten Utara).

Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta,


Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.Kelompok bahasa Jawa
bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering
disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).Secara geografis, wilayah Banten utara
dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan
tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar
sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.

Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek


Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran ‘a’ tetap
diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi jika di Solo orang makan ‘sego’ (nasi), di wilayah
Banyumasan orang makan ‘sega’.Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati
dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam
dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf ‘k’ yang jelas, itulah sebabnya
bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.

13
Dialek Cirebonan berkaitan erat dengan kultur Jawa-Pantura, yaitu Cirebon,
Indrmayu sampai dengan Serang; oleh karenanya bahasa yang mereka gunakan pun
memiliki ciri khas dengan icon jawa-pantura.Kosa-kata bahasa jawa-pantura boleh
jadi “ada yang sama” dengan bahasa banyumasan; hal itu boleh jadi disebabkan oleh
fungsi bahasa komunikasi (jawa, kawi, sanskerta) yang bersifat universal.Akan tetapi
sesungguhnya dialek jawa-pantura tetap mempunyai ciri khas yang tidak dapat
disamakan dengan dialek banyumasan. Dengan demikian, kita juga sulit mengatakan
bahwa wong Cirebon, Indramayu, Serang disebut ngapak-ngapak. Tidak pula untuk
dialek Tegal.

Ngapak, tetap lebih pas dialamatkan kepada (khusus) dialek banyumasan.


Namun demikian dalam menyikapi siapa yang berbahasa Ngapak, kita tidak bisa
membandingkan-lurus dengan area administratif-geografis.Misalnya, tidak seluruh
kawasan Kab. Cilacap disebut Ngapak. Cilacap Barat, seperti di beberapa desa di
Kecamatan Karang Pucung, Cimanggu, Wanareja, dan Majenang, malah sudah agak
“bengkok” ke dialek “kulonan” atau — pinjam istilah dalam seni karawitan, disebut
dialek “jaipongan.”

Di antara permasalahan yang sering mencuat, adalah bahwa bahasa jawa


berasal dari bahasa jawa-kuna, kawi; sebagaimana bahasa tutur orang-orang kuna.
Kita bisa berpedoman pada aksen Ha Na Ca Ra Ka,,,
bukan Ho No Co Ro Ko…

Bahasa Ngapak juga terncam punah karena (mungkin) akan ditinggalkan oleh
warganya. Generasi sekarang (maaf, para kawula muda) nyaris kesulitan cara menulis
bahasa jawa dengan aksara latin.

Apalagi dengan huruf jawa Ha Na Ca Ra Ka… Disamping itu, pihak


Pemerintah (Jawa Tengah) belum memberikan dukungan terhadap kelestarian bahasa
Ngapak. Sebagai misal bahasa pengantar di sekolah-sekolah di kawasan Ngapak
(mungkin) tidak diwajibkan mengunakan bahasa Ngapak, tetapi malahan
menggunakan bahasa bandhek. 

14
Menurut sejarahnya, bahasa Jawa Banten mulai dituturkan di zaman
Kesultanan Banten pada abad ke-16. Di zaman itu, bahasa Jawa yang diucapkan di
Banten tiada bedanya dengan bahasa di Cirebon, sedikit diwarnai dialek
Banyumasan.Asal muasal kerajaan Banten memang berasal laskar gabungan Demak
dan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir utara Kerajaan Pajajaran. Namun,
bahasa Jawa Banten mulai terlihat bedanya, apa lagi daerah penuturannya dikelilingi
daerah penuturan bahasa Sunda dan Betawi.Bahasa ini menjadi bahasa utama
Kesultanan Banten (tingkatan bebasan) yang menempati Keraton Surosowan. Bahasa
ini juga menjadi bahasa sehari – harinya warga Banten Lor (Banten Utara).

Bahasa Jawa Banten atau bahasa Jawa dialek Banten ini dituturkan di bagian
utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah barat Kabupaten
Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga banyak pengaruh bahasa
Sunda dan Betawi.

Bahasa Jawa di Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu tingkatan bebasan


(krama) dan standar.

Dalam bahasa Jawa dialek Banten (Jawa Serang), pengucapan huruf ‘e’, ada
dua versi. ada yang diucapkan ‘e’ saja, seperti pada kata “teman”. Dan juga ada yang
diucapkan ‘a’, seperti pada kata “Apa”.

Daerah yang melafalkan ‘a’ adalah kecamatan Keragilan, Kibin, Cikande,


Kopo, Pamarayan, dan daerah timurnya. Sedangkan daerah yang melafalkan ‘e’
adalah kecamatan Serang, Cipocok Jaya, Kasemen, Bojonegara, Kramatwatu, Ciruas,
Anyer, dan seberang baratnya.

15
Tingkat-tingkatan Bahasa Jawa

Tingkat tutur Bahasa Jawa menurut Soepomo terbagai menjadi dua yakni
tingkat ngoko dan tingkat basa. Akan tetapi, tingkat ngoko memiliki beberapa varian
seperti ngoko alus dan ngoko biasa. Apabila semakin banyak unsur kata krama seperti
krama inggil ataupun krama andhap dalam ujaran ngoko maka semakin haluslah
ngoko tersebut.Dari bentuk ngoko sendiri bervariasi dan dapat dibagi menjadi 3
tingkatan.

1. Ngoko bentuk rendah, ngoko bentuk rendah memiliki lemen yang bersifat netral
yakni dengan dua kata yang dianggap rendah (low). Tingkat tutur tersebut digunakan
apabila bentuk tersebut digunakan saat berbicara dengan lawan tutur yang secara
sosial dianggap lebih rendah, anggota keluarga yang dianggap lebih muda, atau
seseorang yang sangat dikenal dan akrab, misalnya bu sastro (netral) wis (rendah)
mangan (mangan);

2. Ngoko bentuk menengah, ragam ngoko ini lebih sering digunakan apabila hubungan
penutur dan mitra tutur tidak terlalu dekat dan memiliki status sosial yang sama,
misalnya Bu Sastro (netral) mpun (menengah) dhahar (hormat) atau Bu Sastro (netral)
mpun (menengah) nedho (tinggi);

16
3. Ngoko bentuk tinggi, ragam bentuk tinggi ini digunakan untuk menunjukkan jarak
dan rasa hormat kepada mitra tutur yang yang dianggap memiliki status sosial yang
lebih tinggi, misalnya Bu Sastro (netral) sampun (tinggi) nedho (tinggi)

Prinsip unggah-ungguh Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu unggah-


unggung ngko dan unggah-ungguh krama (Sasangka, 2004). Perbedaan unggah-
ungguh tersebut terletak pada leksikon yang terangkai pada kalimat yang secara
kontras terlihat perbedaannya. Dalam bahasa jawa terdapat dua unggah-ungguh yakni
ngoko dan krama apabila terdapat bentuk lain maka itu hanya variasi dari ragam
ngoko maupun krama (Indrayanto, 2015).

Ragam ngoko ialah unggah-ungguh Bahasa Jawa yang memiliki inti leksikon
ngoko dalam ragam ngoko bukan leksikon yang lain. Dalam ragam ngoko afiks yang
muncul hanya berbentuk ngoko seperti di-, -e, dan-ake. Ragam ngoko dapat
digunakan apabila seseorang memiliki hubungan yang akrab dengan mitra tutur atau
seseorang yang merasa status sosialnya lebih tinggi daripada mitra tuturnya. Ragam
ngoko terdapat dua varian yakni ngoko lagu dan ngoko alus.

1. Ngoko lugu ialah unggah-ungguh dalam bahasa jawa yang semua kosakatanya
berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama,
krama inggil, atau krama andhap, baik untuk O1, O2, maupun (O3). Contoh: Yen
mung kaya ngunu wae, aku mesthi ya iso (Jika cuma seperti itu saja, saya pasti juga
bisa);
2. Ngoko alus, ngoko alus ialah unggah-ungguh yang didalamnya tidak hanya leksikon
ngoko dan netral saja tetapi juga ada leksokon krama inggil dan andhap. Leksikon
krama inggil dan andhap yang muncul digunkan untuk menghormati mitra tutur.
Leksikon krama inggil yang muncul biasanya terbatas pada kata kerja, benda dan
pronomina. Sedangkan leksikon krama andhap yang muncul biasanya berbentuk kata
kerja, misalnya Mentri pendhidhikan sing anyar iki asmane sapa? (Menteri
pendidikan yang baru ini siapa namanya?).

Ragam krama ialah unggah-ungguh bahasa jawa yang memiliki inti leksikon
krama dan leksikon lain. Dalam ragam krama afiks yang muncul dipun-, -ipun, dan
-aken. Ragam krama digunakan bila seseorang merasa status sosialnya lebih rendah

17
daripada mitra tuturnya. Ragam krama terbagi menjadi dua variasi yaknikrama lugu
dan krama alus.

1. krama lugu, leksikon yang terdapat dalam ragam ini berupa ngoko. Kata lugu dalam
ragam ini menunjukkan bahwa ragam ini memiliki leksikon krama, madya dan lugu
serta tambahan krama inggil dan andhap. Akan tetapi yang menjadi leksikon inti ialah
krama, madya dan netral. Leksikon krama inggil dan krama andhap hanya digunakan
untuk menghormati mitra tutur. Secara semantik ragam krama lugu dapat didefinisikan
sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun
demikian, ragam ini tetap menunjukkan kehalusan dibandingkan ngoko alus. Contoh:
Sing dipilih Sigit niku jurusan jurnalistik utawi perhotelan. (Yang dipilih Sigit itu
jurusan jurnalistik atau perhotelan)

2. krama alus, krama alus ialah unggah-ungguh bahasa jawa yang memiliki leksikon into
krama yang dapat berapa krama inggil ataupun krama andhap. Dalam tingkat tutur ini
leksikon ngoko Dan madhya tidak pernah muncul. Dalam ragam ini secara konsisten
krama inggil dan andhap sekali digunakan untuk menghormati mitra tutur. Dari segi
semantik ragam krama alus ini merupakan ragam krama yang memiliki tingkat
kehalusan paling tinggi. Contoh: para miyarso, wonton ing giyaran punika Lula badhe
ngaturaken eembag bab kasusastran jawi (para pendengar, Salam kesempatan saran ini
saya akan berbicara tentang kesusastraaan jawa.

1.6. Sistem Kemasyarakatan


Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk
mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah.
Hubungan keluarga dapat dihadirkan secara nyata (ibu, saudara, kakek) atau secara
abstrak menurut tingkatan kekerabatan. Sebuah hubungan dapat memiliki syarat
relatif atau mewakili secara absolut. Tingkatan kekerabatan tidak identik dengan
pewarisan maupun suksesi legal. Banyak kode etik yang menganggap bahwa ikatan
kekerabatan menciptakan kewajiban di antara orang-orang terkait yang lebih kuat
daripada di antara orang asing, seperti bakti anak.

Dalam masyarakat jawa sistem kekerabatan orang jawa berdasarkan prinsip


keturunan bilateral (garis keturunan diperhitungkan dari dua belah pihak, ayah dan

18
ibu). Dengan prinsip bilateral atau parental ini maka ego mengenal hubungannya
dengan sanak saudara dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, dari satu nenek moyang
sampai generasi ketiga.

1.7. Sistem Perkawinan


Di Jawa dimana kehidupan kekeluargaan masih kuat, sebuah perkawinan tentu
akan mempertemukan dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan
yang berlaku, kedua pasangan yang akan melakukan pernikahan akan memberitahu
keluarga masing-masing bahwa mereka telah menemukan pasangan yang cocok dan
ideal untuk dijadikan suami/istrinya. Secara tradisional, pertimbangan penerimaan
seorang calon menantu berdasarkan kepada bibit, bebet dan bobot.

1. Bibit : mempunyai latar kehidupan keluarga yang baik


2. Bebet : calon pengantin terutama pria harus mampu memenuhi kebutuhan
keluarganya
3. Bobot : kedua calon pengantin adalah orang yang berkualitas, bermental baik dan
berpendidikan cukup

Peristilahan Dalam Keluarga Jawa

Seperti yang sudah dipaparkan diatas tadi sistem kekerabatan orang Jawa
berdasarkan prinsip keturunan bilateral atau parental (garis keturunan diperhitungkan
dari dua belah pihak, ayah dan ibu). Dengan prinsip bilateral atau parental ini
mengenal hubungan dengan keluarga dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, dari satu
nenek moyang sampai generasi ketiga, yang disebut sanak sedulur (kindred).

           Adapun peristilah untuk saudara sedarah yaitu:

 Mbah             : kakek/nenek yaitu sanak saudara siapa saja yang ada pada taraf
generasi sama dengan kakek/nenek, suami/istri mereka itu.
 Bapak             : ayah atau setiap anggota laki-laki dari generasi orang tua, atau suami
seorang wanita yang dipanggil Ibu.

19
 Ibu             : ibu atau setiap anggota wanita dari generasi orang tua, atau istri seorang
laki-laki yang dipanggil Bapak.
 Pak De : saudara laki-laki orang tua yang lebih tua dari orangtua, atau suami seorang
perempuan yang dipanggil Bu De.
 Bu De             : saudara perempuan orang tua yang lebih dari orang tua itu, atau istri
seorang laki-laki yang dipanggil Pak De.
 Pak Lik : saudara laki-laki orang tua yang lebih muda dari orang tua itu, atau suami
seorang perempuan yang dipanggil Bu Lik.
 Bu Lik : adik perempuan orang tua, atau istri seorang yang dipanggil Pak Lik.
 Mas : kakak laki-laki, anak laki-laki kakak orang tua, atau suami seorang wanita yang
disebut dengan Mbakyu.
 Mbakyu : kakak perempuan, anak perempuan dari kakak orang tua, atau istri seorang
laki-laki yang disebut dengan Mas.
 Adik : saudara muda, anak dari saudara muda orang tua, suami/istri dari seseorang
yang disapa dengan Dik.
 Putu : cucu.
 Buyut :Cicit.
 Bojo : istri/suami.
 Maratua : orang tua suami atau orangtua istri.
 Anak mantu   : Menantu.
 Besan : Orang tuanya suami/istri si anak.
Sistem kekerabatan yang ada di masyarakat desa Ngrancah, kecamatan Sukorejo, kabupaten
Kendal

Di masyarakat desa Ngrancah masih erat ikatan persaudaraannya. Hal itu bisa
dilihat dari sistem kekeluargaan di masyarakat tersebut. Di masyarakat desa Ngrancah
setiap keluarga mempunyai rumah masing-masing tetapi rumah yang dibangun oleh
suatu keluarga akan selalu dekat dengan anggota keluarga yang lain. Misalnya sebuah
keluarga mempunyai anak terutama perempuan yang akan menikah atau akan
berkeluarga, orang yang akan berkeluarga tersebut akan membuat rumah dekat dengan
rumah orangtuanya. Hal itu dilakukan agar orang yang akan berkeluarga tersebut
masih dapat “menjaga” orangtuanya jika sudah tua begitu juga dengan anggota
keluarga lainnya. Untuk anak laki-lakinya yang akan menikah biasanya akan ikut
dengan istrinya untuk tinggal dengan orangtua istrinya.

20
Di masyarakat tersebut juga seminggu sekali diadakan talilan yang bertujuan
untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Kegiatan tersebut diakan
bergantian setiap rumah seminggu sekali. Tetapi sekarang masyarakat mulai
meninggalkan tradisi terlihat dari jumlah masyarakat yeng mengikuti tradisi tersebut
yang semakin lama semakin sedikit. Mereka menganggap hal tersebut tidak penting
lagi. Hal tersebut bisa mengurangi rasa solidaritas antar masyarakat dan bisa
menyebabkan kesenjangan social.

Orang jawa sebagai masyarakat yang menganut system perkawinan bilateral harus
bisa menjaga tradisi-tradisi perkawinan agar nilai-nilai yang terkandung didalam
tradisi tersebut tidak hilang dan budaya tersebut tidak hanya menjadi cerita saja bagi
generasi penerus. Salah satu cara yaitu dengan tetap menggunakan tradisi-tradisi jawa
misalnya seseorang akan memilih pasangan harus memperhatikan Bibit,Bebet,Bobot
nya, midodareni dan lain-lain. Di dalam masyarkat juga harus menjaga tradisi-tradisi
jawa misalnya tahlilan agar rasa solidaritas antar warganya bisa terjalin dengan baik
dan menambah rasa persaudaraan.

1.8. Sistem Mata Pencaharian Hidup


Mayoritas masyarakat Jawa berprofesi sebagai petani. Sedangkan di perkotaan
mereka berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, karyawan, pedagang, usahawan, dan lain-
lain. Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta jumlah orang Jawa mencapai 40% pada tahun
2015 dari penduduk Jakarta. Orang Jawa perantauan di Jakarta bekerja di berbagai
bidang. Hal ini terlihat dari jumlah mudik lebaran yang terbesar dari Jakarta adalah
menuju Jawa Tengah. Pekerjaan orang Jawa secara historis adalah sebagai berikut :

1. Petani

Secara tradisional, kebanyakan orang Jawa adalah petani. Pertanian sangat umum
karena tanah vulkanik yang subur di Jawa. Komoditas pertanian terpenting adalah beras.
Pada tahun 1997, diperkirakan bahwa Jawa menghasilkan 55% dari total hasil panen
Indonesia. Sebagian besar petani bekerja di sawah skala kecil, dengan sekitar 42% petani
bekerja dan mengolah kurang dari 0,5 hektar lahan. Di wilayah di mana tanahnya kurang
subur karena musim hujan pendek, tanaman pokok lainnya dibudidayakan,
seperti singkong.

2. Pembuatan Batik

21
Batik tradisional dibuat oleh perempuan sebagai hobi, tetapi beberapa kota dan
desa memiliki spesialisasi dalam pembuatan batik, seperti Pekalongan, Kauman,
Kampung Taman, dan Laweyan.

3. Pelaut (Nelayan)
Negara kita kaya akan potensi perikanan. Selain memiliki laut yang luas dan garis
pantai yang panjang, Indonesia juga memiliki sumber air darat yang melimpah. Semua
potensi tersebut dapat digunakan untuk mendukung sektor perikanan. Sehingga dalam
hal ini, mayoritas masyarakat di Indonesia termasuk masyarakat di Jawa Tengah banyak
yang bekerja sebagai nelayan.

Kehidupan nelayan merupakan kehidupan keras dan berat, kepada laut hidupnya
digantungkan. Nelayan identik dengan laut, mereka melaut pada sore hari bersamaan
angin darat dan pulang di pagi hari bersamaan angin laut. Nelayan harus menguasai ilmu
perbintangan, iklim, cuaca, arah angin, dan kondisi perairan sebelum melaut.

Secara tradisional, para nelayan biasanya menggunakan perahu-perahu kecil


dalam melakukan pekerjaannya, nelayan juga memerlukan suatu alat bantu untuk
menangkap ikan. Pada awalnya nelayan hanya menggunakan alat bantu “Gogo atau
Gogoh”. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman alat-alat tersebut sudah mulai
canggih. Ada berbagai macam peralatan yang digunakan contohnya seperti : pancing,
jala, sero, wuwu, kepis, seser, ajug, anlo, bagan, ental.

4. Ukiran kayu

Seni ukir kayu Jawa secara tradisional diterapkan pada berbagai atribut budaya
seperti patung, boneka (wayang), dan topeng. Ukiran kayu juga menonjol sebagai
ornamen dan detail rumah. Omah Kudus yang diukir dengan rumit adalah contoh bagus
penguasaan ukiran kayu Jawa. Kota Jepara Jawa Tengah terkenal sebagai pusat lokakarya
ukiran kayu Jawa, di mana para seniman dan tukang kayu secara khusus mengolah kayu
jati Jawa.

1.9. Sistem pengetahuan


Salah satu bentuk sistem pengetahuan yang ada, berkembang, dan masih ada
hingga saat ini adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk kalender Jawa menurut
kelompok kami, adalah salah satu bentuk kemajuan pengetahuan yang diciptakan oleh
para masyarakat Jawa kuno, karena penciptaannya yang terpengaruh unsur budaya islam,
Hindu-Budha, Jawa kuno, dan bahkan ada sedikit budaya barat. Namun tetap

22
dipertahankan penggunanya hingga saat ini, walaupun penggunaannya yang rumit, tetapi
kalender Jawa dianggap lebih lengkap menggambarkan penanggalan. Karena di dalamnya
berpadu dua sistem penanggalan, baik berdasarkan sistem matahari (sonar/syamsiah) dan
berdasarkan perputaran bulan (lunar/komariah).

Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu 7 hari seperti pada
umumnya dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. Sejarah penggunaan
kalender jawa ini baru dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat itu Sultan Agung, raja
kerajaan Mataram yang sedang menyebarkan agama islam di Pulau Jawa mengeluarkan
dekrit agar wilayah kekuasaannya menggunakan sistem kalender hijriyah. Namun angka
tahun hijriyah tidak digunakan demi asas kesinambungan. Sehingga saat itu adalah tahun
1025H. Namun tetap menggunakan tahun saka, yaitu 1547.

Dalam sistem kalender Jawa pun, terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama
bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama- nama bulan dalam
sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah suro, sapar, mulud,
bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan dulkijah.
Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah dianggap tidak cocok
dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka Sri Paduka
Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem matahari. Dalam
kalender matahari pun terdapat dua belas bulan .

1.10. Kesenian
Seni Tradisional Jawa adalah karya seni yang diciptakan dan berasal dari Pulau
Jawa, Indonesia. Beberapa contoh dari seni tradisional jawa antara lain tari Gambyong.
Kesenian tradisional dari Jawa ada berbagai macam, tetapi secara umum dalam satu akar
budaya kesenian Jawa ada 3 kelompok besar yaitu Banyumasan (Ebeg), Jawa Tengah-
DIY (Ketoprak dan Srimpi), dan Jawa Timur (Ludruk dan Reog).

1. Seni bangunan

Seni bangunan yang dimaksud adalah rumah adat, salah satunya rumah adat di
Jawa Timur. Rumah adat di Jawa Timur disebut rumah Situbondo, sedangkan rumah adat
di Jawa Tengah disebut Istana Mangkunegaran. Istana Mangkunegaran merupakan
rumah adat Jawa asli.

23
2. Seni tari

Tarian-tarian di Jawa beraneka ragam di antaranya sebagai berikut. Tari tayuban


adalah tari untuk meramaikan suasana acara, seperti khitanan dan perkawinan. Penari
tayuban terdiri dari beberapa perempuan.

- Tari reog dari Ponorogo. Penari utamanya menggunakan topeng.

- Tari serimpi adalah tari yang bersifat sakral dengan irama lembut.

- Tari gambyong

- Tari bedoyo

- Tari Angguk dari Yogyakarta

- Tari Bambangan Cakil dari Jawa Tengah

- Tari Ebeg dari Banyumas

- Tari Emprak dari Jawa Tengah

- Tari Gandrung dari Banyuwangi

- Tari Golek Menak dari Yogyakarta

- Tari Kridhajati dari Jepara

- Tari Kuda Lumping dari Jawa Tengah

- Tari Reog dari Jawa Timur

- Tari Remo dari Jawa Timur

- Tari Seblang dari Jawa Timur

- Tari Sintren dari Jawa Tengah

3. Seni Musik

24
Langgam Jawa merupakan bentuk adaptasi musik keroncong ke dalam musik
tradisional Jawa, khususnya gamelan. Tokoh-tokoh musik ini di antaranya Andjar Any,
Gesang, Ki Narto Sabdo, dan Waljinah.

Gamelan merupakan seni musik Jawa yang terkenal. Gamelan terdiri atas
gambang, bonang, gender, saron, rebab, seruling, kenong, dan kempul.

4. Seni Pertunjukan

Seni pertunjukan yang terkenal adalah wayang, kethoprak, ludruk, dan


kentrung. Keahlian masyarakat Jawa untuk beradaptasi dengan lingkungan, tentunya
tidak bisa dilepaskan dari pandangan hidup orang Jawa dan penekanan tingkah laku
seseorang agar nrima, sabar, eling lan waspada, andap asor, tepa selira, dan prasaja.

Semua aturan itu sangat penting agar tercapainya keseimbangan hidup


manusia, baik selaku individu, maupun, sosial, maupun ciptaan Tuhan. Menurut
pandangan orang Jawa, dengan tercapainya keserasian atau harmoni hidup maka dapat
menciptakan ketenangan dan ketentraman.

Bagi orang Jawa, ketenteraman itu dianggap sebagai nilai moral yang tinggi
dibandingkan dengan tata nilai yang lain, sebab menurut mereka kedamaian dan
ketenteraman tidak saja tentang kehidupan di dunia, tetapi juga di akhirat.

1.11. Sistem Kepercayaan


Kejawen dipandang sebagai Ilmu yang mempunyai ajaran-ajaran yang utama,
yaitu membangun tata krama atau aturan dalam berkehidupan yang baik. Kejawen
merupakan kepercayaan dari sebuah etnis yang berada di Pulau Jawa. Filsafat Kejawen
didasari pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf dari Jawa. Walaupun Kejawen
merupakan kepercayaan, sebenarnya Kejawen bukanlah sebuah agama.

Dari naskah-naskah kuno Kejawen, tampak betapa Kejawen lebih berupa seni,
budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi orang-orang Jawa. Yang mana, itu tidak
terlepas dari spiritualitas suku Jawa. Budaya Kejawen muncul sebagai bentuk proses
perpaduan dari beberapa paham atau aliran agama pendatang dan kepercayaan asli
masyarakat Jawa. Sebelum Budha, Kristen, Hindu, dan Islam masuk ke Pulau Jawa,

25
kepercayaan asli yang dianut masyarakat Jawa adalah animisme dan dinamisme, atau
perdukunan.

Orang-orang Jawa yang percaya dengan Kejawen relatif taat dengan agamanya.
Di mana, mereka tetap melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan dari
agamanya. Caranya, dengan menjaga diri sebagai orang pribumi. Pada dasarnya, ajaran
filsafat Kejawen memang mendorong manusia untuk tetap taat dengan Tuhannya.

Sejak dahulu kala, orang Jawa memang dikenal mengakui keesaan Tuhan.
Itulah menjadi inti dari ajaran Kejawen sendiri, yakni yang dikenal dengan ‘Sangkan
Paraning Dumadhi’, atau memiliki arti ‘dari mana datang dan kembalinya hamba
Tuhan’. Aliran filsafat kejawen biasanya berkembang seiring dengan agama yang
dianut pengikutnya. Sehingga kemudian dikenal terminologi Islam Kejawen, Hindu
Kejawen, Budha Kejawen, dan Kristen Kejawen. Di mana pengikut masing-masing
aliran itu akan tetap melaksanakan adat dan budaya Kejawen yang tidak bertentangan
dengan agama yang dipeluknya.

Secara umum, Kejawen sendiri merupakan sebuah kebudayaan yang


mempunyai ajaran utama yakni membangun tata krama atau aturan dalam
berkehidupan yang baik. Kini Kejawen telah banyak ditinggalkan, dan untuk sebagian
orang bahkan dianggap representasi dari kekunoan.

Tetapi kenyataannya, masih banyak juga masyarakat Jawa yang menjalankan


tradisi-tradisi hingga saat ini. Sebut saja ritual nyadran, mitoni, tedhak siten,
dan wetonan. Nyadran merupakan upacara yang dilakukan orang Jawa sebelum Puasa
tiba. Wujudnya, melakukan berziarah ke makam-makam dan menabur bunga.
Kemudian mitoni, tradisi ini diperuntukkan bagi wanita yang mengandung bayi untuk
pertama kalinya. Tepatnya di usia kehamilan tujuh bulan, ritual berupa siraman itu
digelar. Lalu ada tedhak siten, yakni ritual yang dilaksanakan dalam rangka
mempersiapkan seorang anak agar dapat menjalani kehidupan yang benar dan sukses di
masa depan.

Sedangkan tradisi lainnya adalah wetonan yang mirip dengan tradisi ulang


tahun. Hanya saja, wetonan bisa dilaksanakan hingga 10 kali dalam setahun.
Wetonan dilaksanakan sesuai dengan penunjukan waktu dalam penanggalan kalender

26
Jawa. Sekarang masih banyak tradisi Kejawen yang masih dilakukan oleh orang Jawa,
selain tentunya dilestarikan secara turun-temurun. Namun terkadang mereka seperti
kehilangan makna filosofis dari Kejawen itu sendiri. Sehingga mereka melakukan
tradisi Kejawen tapi hanya menganggap tradisi-tradisi itu sebagai kebiasaan masyarakat
Jawa. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa, sudah sepantasnya kita terus
melestarikan dan bangga dengan adat istiadat khas Indonesia.

Kejawen memang amat lekat dengan adat istiadat orang Jawa. Itulah sebabnya,
walau Kejawen telah banyak ditinggalkan, beberapa tradisi yang dalam Kejawen masih
melekat di masyarakat hingga kini. 

Agama Islam umumnya berkembang baik di kalangan masyarakat orang Jawa.


Hal ini tampak nyata pada bangunan-bangunan khusus untuk tempat beribadat orang-
orang beragama Islam. Walaupun demikian tidak semua orang beribadat menurut
agama Islam, sehingga berlandaskan atas kriteria pemeluk agamanya, ada yang disebut
Islam santri dan Islam kejawen. Orang santri adalah penganut agama Islam di Jawa
yang secara penuh dan teratur menjalankan ajaranajaran dan agamanya.

Adapaun golongan orang Islam kejawen, walaupun tidak menjalankan salat,


atau puasa, serta tidak bercita-cita naik haji, tetapi toh percaya kepada ajaran keimanan
agama Islam. Orang Jawa percaya kepada sesuatu kekuatan yang melebihi segala
kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu kasakten, kemudian arwah atau ruh
leluhur, dan makhluk-makhluk halus seperti misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit,
serta jin dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka.

Menurut kepercayaan mereka masing-masing makhluk halus tersebut dapat


mendatangkan sukses-sukses, kebahagiaan, kententeraman, ataupun keselamatan, tetapi
sebaliknya bisa pula menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan, bahkan kematian.
Maka bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, ia harus berbuat
sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan misalnya berprihatin, berpuasa,
berpantang melakukan perbuatan serta makan tertentu, berselamatan, dan bersaji.
Kedua cara terakhir ini kerap kali dijalankan oleh masyarakat orang Jawa di desa-desa
di waktu yang tertentu dalam peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-hari. Menurut
Santosa “Kejawen adalah pandangan hidup (filsafat) yang mengutamakan dimensi

27
kerohanian, kejiwaan, batin, mental, moral, jiwa, roh, yang bersumber pada nilai-nilai
khas Jawa.”

Dalam ajaran Islam, setiap bayi yang lahir dianjurkan untuk melaksanakan
aqiqah. Aqiqah ini menjadi bentuk keyakinan orang Islam dalam ritual bagi bayi yang
baru lahir sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan. Dalam sistem religi, pelaksanaan
aqiqah termasuk upacara ritual yang diyakini oleh penganut Islam sebagai bentuk
syukur dengan berkorban hewan kambing berupa kambing dua ekor bagi anak laki-laki
dan satu ekor bagi anak perempuan.

Ritual Aqiqah ini bertujuan untuk mendoakan keselamatan dan kesalehan si


bayi. Sistem religi Islam yang diyakini oleh masyarakat Jawa melalui ritual aqiqah si
bayi laki-laki yang ditandai dengan berkorban dua ekor kambing. Kakek dan nenek
Abu ini sebagai keluarga priyai, sehingga Abu diperlakukan dengan tradisi keluarga
priyai dengan mengharapkan Abu akan menjadi priyai yang dapat menguasai dan
melestarikan budaya Jawa khusunya pewayangan dan dalang.

28
BAB III
KESIMPULAN
1.12. Kesimpulan
Suku Jawa merupakan salah satu etnis terbesar di Indonesia. Suku ini terkenal
akan tatakrama, lemah lembut, dan sopan santun. Masyarakat suku Jawa tersebar luas
di penjuru Indonesia karena program transmigrasi pemerintahan orde baru. Kebesaran
suku Jawa berasal dari sejarah yang panjang. Menjadi salah satu suku dengan
peradaban yang paling maju. Hal ini dibuktikan dengan beragamnya warisan leluhur
suku Jawa seperti candi-candi kerajaan yang berjasa saat masanya.

Budaya suku Jawa khususnya berada di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.
Dibagi secara garis besar menjadi 3 yaitu budaya Banyumasan, budaya Jawa Tengah-
DIY, dan budaya Jawa Timur. Budaya Jawa mengutamakan keseimbangan,
keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan bermasyarakat. Menjunjung tinggi nilai
kesopanan dan kesederhanaan.

1.13. Saran

Terkait hal-hal diatas terdapat beberapa saran berikut:

1. Kita sebagai suku Jawa memiliki tanggung jawab akan kelestarian budaya
Jawa.
2. Sebagai bagian dari masyarakat suku Jawa, harus menjaga budaya tatakrama
serta nilai moral lainnya.
3. Menjaga nama baik kebudayaan suku Jawa adalah kewajiban bagi semua
masyarakat suku Jawa, dikarenakan menjadi salah satu etnis terbesar di
Indonesia yang sudah terkenal di bumi nusantara. Masyarakat suku Jawa
diharapkan saling berbagi nilai kebaikan kepada masyarakat suku lain, dan
masyarakat selain suku Jawa diharapkan mampu menghargai kebudayaan suku
Jawa serta suku lain di Indonesia.

29
30
DAFTAR PUSTAKA
https://www.prestasiglobal.id/mengenal-suku-jawa-sejarah-dan-keseniannya/
https://www.ruparupa.com/blog/5-macam-rumah-adat-jawa-tengah-dan-penjelasannya/
http://stekotiarchi.blogspot.com/2017/03/kebudayaan-masyarakat-jawa-tengah-wong_25
https://guratgarut.com/asal-usul-bahasa-jawa/)
(https://erudisi.com/asal-usul-bahasa-jawa/)

(https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Hanacaraka-jawa.png)

http://blog.unnes.ac.id/darmawanbudipurnomo/sistem-kekerabatan-di-masyarakat-jawa/

:https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa

http://kitaberduaitu.blogspot.com/2014/12/mata-pencaharian-masyarakat-jawa.html
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Budaya_Jawa
https://amp.tirto.id/mengenal-sistem-kesenian-dalam-masyarakat-suku-bangsa-jawa-
gi7U#referrer=https://www.google.com&csi=0
. https://journal.uny.ac.id

https://indonesia.go.id

31
LAMPIRAN
Rumah Limasa Rumah Joglo

Rumah Tajug Kapal Jung

Delman Keris

Sastra Jawa Kalender Jawa

32

Anda mungkin juga menyukai