Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH BUDAYA SUNDA

SEJARAH SUNDA
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah budaya sunda yang diampu
oleh : Dr. Enok Risdayah, M.Ag.

Disusun Oleh:

Kelompok 5

Rina Rahma Fauziah - 1204070091

Rizaldi Ahmad Biben - 1204070092

Saiful Islam Ramdani - 1204070094

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HAJI DAN UMRAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Kami Panjatkan ke Hadirat Allah SWT karena berkat limpahan Rahmat
dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah “Sejarah Sunda”
ini tepat pada waktunya.

Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Dr. Enok Risdayah, M.Ag. selaku dosen mata
kuliah Budaya Sunda yang telah memberikan tugas ini kepada kami dan membimbing kami
sampai saat ini.

Kami berharap makalah sederhana ini dapat berguna bagi semuanya dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan bagi penulis maupun para pembaca. Penulis juga
menyadari bahwa di dalam makalah ini banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan baik dari segi kata, pengerjaan
maupun materi dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan datang.

Bandung, 30 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................... i
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 2
1.3. Tujuan .......................................................................................................................................... 2
BAB II .......................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 3
1.1. Pra Sejarah .................................................................................................................................. 3
1.2. Sunda Mengukir Sejarah ........................................................................................................... 5
1.3. Sunda Masa Islam ..................................................................................................................... 13
1.4. Sunda Masa Kemerdekaan ...................................................................................................... 18
BAB III ....................................................................................................................................................... 20
PENUTUP .................................................................................................................................................. 20
3.1. Kesimpulan ................................................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejarah Sunda atau sejarahnya urang Sunda atau sejarah tatar Sunda mencakup
kurun waktu yang sangat panjang, yakni dari masa prasejarah hingga masa sejarah.
Masa prasejarah dalam sejarah Sunda berakhir sejak ditemukan bukti-bukti
tertulis berupa prasasti dari Kerajaan Tarumanegara. Bukti-bukti peninggalan prasejarah di
tatar Sunda, antara lain ditemukan di Cianjur (Gunung Padang, Pasir Pogor, Bukit Tongtu,
Bukit Kasur, Gunung Putri, Lembah Duhur, Pasir Manggu, dan Pasir Gada), Sukabumi
(Pangguyangan, Tugu Gede, Ciarca, Salak Datar, dan Batu Jolang), Bandung, Garut
(Cimareme), Kuningan (Cipari, Cigadung, Cangkuang, Cibuntu, Hululingga, Darmaloka,
Batu Tilu, Panyusupan, Cibubur, Balongkagungan dan Nagog), dan Ciamis
(Karangkamulyan).
Era sejarah Sunda yang dimulai sejak abad ke-5 atau sejak ditemukannya prasasti
kerajaan Tarumanegara telah berlangsung hingga lebih dari 15 abad. Mengingat rentang
waktu yang panjang tersebut, tentu bukanlah merupakan hal yang mudah untuk bisa
mengenal dengan baik sejarah Sunda. Terlebih lagi realitas memperlihatkan bahwa pada
beberapa babakan, perjalanan sejarah Sunda hanya menyisakan sumber-sumber sejarah
yang amat sangat terbatas atau bahkan tidak menyisakan sumber sama sekali. Namun
demikian, untuk memudahkan pengenalan, secara umum sejarah Sunda dapat didekati
dengan membaginya dalam dua periodisasi besar, yakni masa sebelum kemerdekaan dan
masa sesudah kemerdekaan.
Masa sebelum kemerdekaan dalam sejarah Sunda meliputi masa Hindu-Budha,
masa Islam, masa penetrasi Barat, dan masa penetrasi Jepang. Masa Hindu-Budha antara
lain ditandai oleh munculnya dua kerajaan besar, yakni kerajaan Tarumanegara (abad ke-5
sampai dengan abad ke-7) dan kerajaan Sunda (abad ke-7 sampai dengan abad ke-16).
Masa Islam antara lain ditandai oleh munculnya dua kesultanan besar, yakni
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Masa penetrasi Barat di tatar Sunda ditandai
oleh munculnya rezim penguasa Barat, mulai dari VOC, Inggris, hingga pemerintah
kolonial Belanda. Masa penetrasi Jepang ditandai oleh berkuasanya pemerintah
pendudukan Jepang di tatar Sunda. Pasca kemerdekaan, perkembangan sejarah Sunda
secara umum sering diurai dengan mengikuti pola perkembangan yang terjadi di pusat.
Realitas perkembangan sejarah di tingkat nasional dianggap seiring sejalan dengan yang
terjadi di tingkat lokal. Padahal, sejarah Sunda di era kemerdekaan bisa jadi punya
keunikan tersendiri. Geliat kehidupan di tingkat nasional belumlah tentu menjadi geliat
kehidupan di tingkat lokal. Demikian pula sebaliknya, geliat kehidupan di tingkat lokal
belumlah tentu merupakan cerminan geliat kehidupan di tingkat nasional.1

1
Rieza. D. Dienaputra. 2011. Sunda: Sejarah, Budaya dan Politik. Sastra Unpad Press. H. 14-16

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sunda pada jaman pra sejarah?
2. Bagaimana sunda dalam mengukir sejarah?
3. Bagaimana sunda pada masa islam?
4. Bagaimana sunda pada masa kemerdekaan?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui sunda pada jaman pra sejarah
2. Untuk mengetahui sunda dalam mengukir sejarah
3. Untuk mengetahui sunda pada masa islam
4. Untuk mengetahui sunda pada masa kemerdekaan

2
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Pra Sejarah
Dataran Sunda diperkirakan muncul setelah timbulnya benua Asia. Kurang lebih 26
juta tahun yang lalu (zaman Mioceen) dataran tinggi Jawa Barat mulai menampakkan diri
dari dasar laut. Selanjutnya 600 ribu tahun yang lalu (zaman Quartair) Jawa Barat sudah
masuk hitungan waktu. Fosil tertua di Jawa Barat berasal dari endapan lahar palung
tambakan sebelah utara kaki gunung Tangkuban Perahu Kabupaten Subang. Fosil tersebut
berupa: gajah, kerbau, menjangan, kuda air dan binatang purba lainnya yang primitif.2
Masa prasejarah dibedakan atas beberapa zaman: zaman paleolitik (batu tua), zaman
Mesolitik (batu tengahan) dan zaman neolitik (batu baru), zaman logam, zaman perak.
Pada zaman paleolitik (batu tua), Kehidupan masyarakat sangat sederhana dan
belum mempunyai tempat tinggal yang tetap, kehidupan sangat tergantung kepada alam,
mereka adalah manusia pengumpul makanan (food Gathering) dan peramu serta berburu
binatang. Kemungkinan mereka juga sudah menggunakan pakaian yang terbuat dari kulit
kayu atau kulit binatang. Bukti pendukung zaman paleolitik, ditemukannya kapak
genggam dari parigi, Tasikmalaya dan Jampang. Hal ini menunjukkan bahwa sejak zaman
pleistoceen telah terdapat kehidupan manusia berkebudayaan di Jawa Barat, selain
perkakas dari batu, pada zaman ini menggunakan pula alat- alat dari tulang, tanduk rusa
bahkan dari kayu.3
Seperti pada zaman sebelumnya, pada zaman Mesolitik (batu tengahan) belum
ditemukan fosil manusianya. Pada zaman ini hanya ditemukan fosil-fosil binatang di
sekitar lapisan tanah sungai Citarum dan di sebelah barat Kota Cimahi. Adapun Artepak
yang menunjukan peninggalan manusia pada zaman ini ditemukan di sekitar Dago. Artefak
atau perkakas tersebut diperkirakan berusia sekitar 3 sampai 6 ribu tahun yang lalu, berupa
pisau kecil, alat penusuk, penggaruk, dan lainnya. Selain di Dago benda-benda tersebut
diketemukan di daerah: Ujungberung, Nagreg, Cililin, Padalarang Pasir Tugu, Pasir Luyu,
Pasir Layang, dan Pasir Angsana-Bogor.4
Zaman neolitik, di Asia diperkirakan terjadi tahun 2000 sebelum Masehi,
sedangkan khusus di Indonesia terjadinya sekitar 1500 sebelum Masehi. Manusia pada
zaman neolitik telah menetap dan mempunyai permukiman. Mereka hidup dengan bertani
dan beternak. Alat pertanian seperti cangkul (pacul), beliung, belincong dan pahat telah ada
pada zaman ini. Kehidupan meningkat dari foodgathering menjadi foodproducing. Kapak
persegi panjang paling banyak ditemukan di Jawa Barat: Banten, Bogor, Priangan Timur,
Karawang. Kemungkinan besar orang yang mula-mula mendiami Jawa Barat adalah
bangsa Austronesia atau keturunannya.

2
Kosoh, dkk. 1979. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan
Daerah. H. 16
3
Kosoh. Sejarah Daerah Jawa Barat. H.19
4
JA. Katili. 1953. 3.000.000 Tahun Sejarah Bumi. Jakarta. H. 17

3
Penghidupan bertani dilakukan seperti orang mengerjakan huma di ladang
(berhuma atau ngahuma dalam bahasa Sundal Adanya kehidupan semacam itu didasarkan
kepada kenyataan adanya alat-alat seperti: kapak persegi panjang, cangkul (pacul),
belincong, perimbas, dan lain-lain. Pacul dan belincong pada waktu itu digunakan untuk
menanam benih-benih tumbuhan atau biji-bijian di huma Ingaseuk dalam bahasa Sunda).
Benda-benda peninggalan lain yang digunakan untuk keperluan hidup berumah tangga,
ialah pecahan-pecahan kereweng, atau pecahan benda tembikar (periuk belanga). Benda-
benda semacam itu ditemukan di daerah Patenggang dan Pamanukan daerah Subang. 5
Setelah zaman neolitik terjadi dalam ribuan tahun, tiba masanya pada zaman logam Logam
yang digunakan di antaranya: kuningan perunggu dan besi. Zaman logam di Indonesia
dimulai dengan zaman perunggu yang dikenal dengan kebudayaan Dongson. Dan logam
perunggu dihasilkan berbagai alat dan perkakas, di Jabar ditemukan: kapak, genderang,
anting-anting, gelang, kalung, pisau, arca manusia, arca binatang, tombak dan sebagainya.
Manusia di Jawa Barat pada zaman perunggu telah mempunyai kepandaian
menuang bijih logam menjadi benda-benda dan perkakas yang diinginkan. Tekniknya
sangat maju yaitu: cara tuangan bevalve dan tuangan a cire perdue. Cara yang pertama
lebih banyak dipergunakan untuk membuat perkakas yang berbentuk kapak corong dan
kapak sepatu. Cara ini menggunakan dua belah (kepingan) alat cetak sesuai dengan
namanya bevalve yang berarti dua keping (be=dua; valva-keping). Di daerah Bandung
Utara, yakni di daerah Dago, pernah ditemukan pecahan-pecahan bekas cetakan dari jenis
bevalve. Hal itu menunjukkan bahwa seni tuang perunggu yang memproduksi kapak
corong pernah di lakukan di daerah itu. Cara yang kedua, yaitu teknik a cire perdue,
dipergunakan apabila benda-benda yang diinginkan bentuknya sangat rumit, terutama
apabila banyak cabangnya, sehingga dilakukan dengan cara a cire perdue. Akan tetapi,
cetakan nekara tidak ditemukan di Jawa Barat. Kemungkinan besar benda semacam itu
tidak dibuat di daerah ini, tetapi kalaupun ada mungkin benda itu dibuat di daerah lain.6
Masa prasejarah masyarakat Sunda, telah menghasilkan berbagai kebudayaan di
antaranya: lukisan berupa goresan-goresan jari-jari kaki binatang pada sebuah tebing batu,
ditemukan di daerah Cijolang-Ciamis, seni gosok benda perhiasan dan perkakas, seni tuang
perunggu, seni hias, tari-tarian, seni bangun yang terdiri dari dua: profan (tempat
perlindungan: rumah) dan sakral (berhubungan dengan sistem kepercayaan).
Sistem kemasyarakatan pada masa prasejarah, menurut. A. Brandes menyatakan
bahwa masyarakat Jawa Barat pada zaman prasejarah telah mengenal bentuk masyarakat
yang teratur. Dalam masyarakat terdapat pemimpin dan masyarakatnya termasuk orang-
orang pembantu yang menjadi alat pelaksana. Bahkan pada zaman perunggu telah
mengenal stratifikasi sosial: golongan penguasa (man power) dan golongan pelaksana
(golongan elit). Adapun Kepercayaan masyarakat Sunda pada zaman sejarah terdiri dan
animisme dan dinamisme.

5
Kosoh. Sejarah Daerah Jawa Barat. H. 28
6
Kosoh. Sejarah Daerah Jawa Barat. H. 30

4
1.2. Sunda Mengukir Sejarah
1. Salakanagara Kerajaan Pertama di Jawa Barat
Berita tertua tentang Jawa Barat bermula dari catatan negeri Cina pada masa
Dinasti Han. Catatan ini memberitakan bahwa Raja Yeh-Tiao bernama Tiao-pen
mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 132 M. Selanjutnya menurut catatan
Wangsakerta Cirebon yang diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita mengungkapkan:
Pada awal tarikh Saka, datang orang-orang dari Barat seperti Sri Langka dan India,
tujuannya untuk berdagang, mereka menjual bahan pakaian. Mulanya mereka menuju
Jawa Timur, lalu Jawa Barat. Daerah ini adalah daerah-daerah yang sangat subur, hasil
pertanian melimpah, sehingga ketika pulang mereka membeli rempah-rempah, beras,
dan sayuran.
Di antara para pendatang tersebut, ada yang terus menetap dengan menikahi
putri-putri di sini. Mereka mendirikan rumah besar, yang diberi kolong dan disebut
rumah panggung, kolong rumahnya digunakan untuk kandang hewan/ternak.
Pembangunan rumah dilaksanakan secara gotong-royong (sama karya).
Dalam segi keagamaan, khususnya pendatang India, mereka mengajarkan
agama yang dianutnya, yakni pemujaan terhadap Dewa Iswara, yaitu Dewa Brahma,
Dewa Wisnu, dan Dewi Siwa Teknik yang mereka lakukan dalam penyebaran tersebut
hampir tidak menemui kesulitan, pemujaan api yang dilakukan penduduk disamakan
dengan pemujaan Dewa Agni. Pemujaan matahari disamakan dengan pemujaan Dewa
Surya, dan sebagainya.
Sekitar tahun 80 sampai dengan 320 saka, para pendatang dari Cina, Benggala,
dan Campa serta India semakin banyak, pendatang tersebut berasal dari keluarga
Calankayana dan Palawa dari India di bawah pimpinan Dewawarman. Selanjutnya
Dewawarman bersahabat dengan penghulu atau penguasa daerah pesisir Jawa Barat
(Krakatau) yang bernama Aki Tirem atau Sang Luhur Mulya. Kemudian Dewawarman
menikahi putri Aki Tirem yang bernama Pohaci Larasati. Ketika Aki tirem sakit,
kekuasaan diserahkan kepada menantunya Dewawarman.
Dewawarman diserahi daerah oleh Aki Tirem. Kemudian daerah tersebut
diproklamasikan menjadi sebuah kerajaan bernama "Salakanagara", artinya negeri
perak. Kerajaan ini beribu kota di Rajatapura (Kota Perak), Ptolomeus menyebutnya
Argyre, dan dalam lapal Cina disebut ko ying.
Setelah melalui proses penelitian yang sangat panjang, ditemukanlah bahwa
Yeh Tiao (yang ditulis di bagian awal) sama artinya dengan Yabadio atau Yawadwipa,
dan Tio-pen sama dengan nama Dewawarman.
Kekuasaan Salakanagara meliputi Jawa Barat bagian Barat, sebelah Barat nusa
Jawa, dan laut antara Jawa dengan Sumatera. Dewawarman menjadi raja pertama yang
berkuasa selama 38 tahun mulal dari 130 M-168 M. Sampai pada Raja Dewawarman
ke-8 (348-363 M), kehidupan penduduk tetap makmur sentosa, dan kehidupan

5
keagamaan sangat diperhatikan. Mata pencaharian penduduk sekitar, berburu,
berniaga, menangkap ikan, beternak, bertanam buah-buahan dan pertanian.
Raja Dewawarman ke-8 mempunyai putra-putri di antaranya: bwari Tunggal
Pertiwi atau Dewi Minawati, kelak menjadi permaisuri di kerajaan Tarumanagara.
Kemudian anak yang lainnya bernama Aswawarman, yang sejak kecil diangkat anak
oleh Sang Kudungga penguasa Bakulapura (Kutai).7

2. Kerajaan Tarumanagara
Bukti arkeologis sebagai pemandu keberadaan kerajaan Tarumanagara adalah
sebagai berikut.
a. Prasasti Claruteun, ditemukan di aliran sungai Ciaruteun Kabupaten Bogor,
bertuliskan hurup Palawa berbahasa Sansekerta. Dari Bacaan prasasti tersebut
dapat disimpulkan bahwa Purnawarman adalah seorang raja Tarumanagara,
menganut agama Hindu aliran Waisnawa.
b. Prasasti Kebon Kopi, letaknya tidak jauh dari prasasti Ciaruteun.
c. Prasasti Pasir Jambu, berlokasi di Desa Panyaungan Leuwiliang, Bogor.
d. Prasasti Tugu, terletak di Kampung Batutumpu, Desa Tugu Kecamatan Calingcing
Kabupaten Bekasi. Dari prasasti ini diketahui bahwa Purnawarman bukanlah raja
pertama di Tarumanagara.
e. Prasasti Cidangiang, ditemukan di Desa Lebak Kecamatan Munjur Kabupaten
Pandeglang, Mengacu pada prasasti Tugu, dihubungkan dengan panigit dari India
berdasarkan naskah Pangeran Wangsakerta adalah sebagai berikut.
Pada tahun 348 M, ada seorang maharesi Hindu dari keluarga Calankayana
mengungsi ke pulau-pulau sebelah selatan India. Maharesi tersebut bernama
Jayasingawarman, tiba di Pulau Jawa dan menetap di Jawa Barat. Oleh Dewawarman
(Raja Salakanagara ke-8) mereka dimukimkan di dekat sungai Citarum. Pemukiman
ini oleh Jayasingawarman diberi nama Tarumadesya (Desa Taruma, dalam lapal Cina
To-lo-mo). Akibat banyak penduduk yang berdatangan dari desa lain, pemukiman ini
menjadi desa yang sangat besar, kira-kira sepuluh tahun kemudian Desa Taruma
menjadi nagara (sama dengan kota daerah lainnya).
Jayasingawarman yang beristrikan Dewi Minawati (putri Dewawarman ke-8)
berusaha terus memperbesar daerah kekuasaannya, sampai akhimya menjadi sebuah
kerajaan "Tarumanagara". Jayasingawarman ialah raja pertama sekaligus pendiri
kerajaan Tarumanagara, berkuasa dari tahun 358-382 M, setelah wafat,
Jayasingawarman dipusarakan di kali Gomati.
Penerus tahta kerajaan dilanjutkan oleh putra sulungnya, yaitu
Darmayawarman. Pada masa raja kedua ini, kehidupan penduduk dibagi ke dalam
empat kasta: Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Setelah wafat, Darmayawarman

7
Yosef Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat. Bandung: Geger Sunten

6
dipusarakan di Candrabhaga (Candrabagha-Bhagacandra Bhagasasi - Bekasi),
kekuasaan selanjutnya dipegang oleh putranya bernama Purnawarman.8
Tindakan pertama yang dilakukan Purnawarman adalah memindahkan ibu kota
kerajaan yang asalnya Jayasingapura (didirikan oleh kakeknya) ke sebalah utara ibu
kota lama. Ibu kota yang baru ini diberi nama Sundapura (kota Sunda) dan dibangun di
tepi kali Gomati. Dari peristiwa inilah pertama kali kata "Sunda" ditemukan. Jadi yang
perlu diketahui, di India Selatan terdapat nama tempat bernama Tarumapura, dan di
tempat ini juga terdapat nama Sinda dan Sindapura. Kemudian dalam The Hammond
World Atlas terbitan Time (USA) tahun 1980, pada lokasi yang sama tertulis nama
kota Sundagarth. Hal-hal penting yang dilakukan oleh Purnawarman sebagai raja
Tarumanagara ketiga di antaranya:
a. Membangun pelabuhan sebagai sarana perdagangan.
b. Memperbaiki alur sungai Gangga di Cirebon.
c. Memperteguh dan memperindah kali Cupu di Cupunagara.
d. Memperbaiki kali Gomati dan Candrabhaga
e. Memperbaiki dan memperdalam sungai Citarum.
Setiap selesai perbaikan sungai-sungai tersebut, Purnawarman membuat prasasti
yang bercirikan khas lukisan telapak kaki, lukisan telapak kaki tunggangannya
yaitu gajah yang bernama Sang Erawata.

Sekalipun Purnawarman pemuja Wisnu, namun penduduk pribumi kebanyakan


memuja roh, leluhur nenek moyang mereka. Di bawah pemerintahannya,
Tarumanagara menjadi besar dan kuat. Di samping membawahi 44 kerajaan,
bentangan atlas wilayah kekuasaan Purnawarman meliputi:

a. Sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda.


b. Sebelah timur kali Serayu Jawa Tengah bagian selatan.
c. Sebelah timur dengan batas kali Brebes (Cipamali) di Jawa Tengah bagian utara.

Kerajaan Tarumanagara berlangsung kira-kira tiga abad sampai tahun 669 M.


Pemegang kekuasaan terakhir kerajaan ini yang bernama Tarusbawa
memproklamirkan perubahan nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda pada
tahun 670 M.

3. Kerajaan Galuh
Poerbatjaraka mengartikan Galuh sama dengan perak atau permata, sedangkan
menurut Van der Meuleun kata Galuh sama artinya dengan kata bahasa Tagalog yang
berarti berasal dari air. Selanjutnya Van der Meuleun mengemukakan tentang adanya
tiga kerajaan Galuh, yaitu:

8
Iskandar. Sejarah jawa Barat.

7
a. Galuh purba (Galuh lama) berpusat di Ciamis, Galuh zaman pemerintahan
Sempakjaya-Purbasora.
b. Galuh utara (Galuh baru Galuh lor Galuh luar) berpusat di Dieng, zaman
pemerintahan Mandiminyak-Senna.
c. Galuh yang berpusat di Denuh Tasikmalaya, pemerintahan Rahiyang Kedul.
Kekuasaannya selalu terancam oleh kedua kerajaan Galuh di atas.

Adapun prasasti yang secara tidak langsung berkaitan dengan Galuh yaitu
prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M. Dalam prasasti ini diberitakan bahwa
Sanjaya membuat pemujaan untuk Dewa Siwa. Nama Sanjaya sama sekali tidak
dikenal dalam cerita orang Jawa dan bahkan termasuk dalam cerita Babad Tanah Jawi.
Keberadaan Sanjaya terkisah secara tidak lengkap dalam kropak yang ditulis pada
daun nipah berasal dari Galuh.9

Mengenai Galuh selanjutnya diceritakan dalam catatan naskah Pangeran


Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara. Disebutkan ada seorang
Resiguru bernama Manikmaya datang dari India ke Jawa Barat, ia menikahi Dewi
Tirtakancana (putri raja Tarumanagara ke-7). Oleh Suryawarman (ayah Tirtakancana)
Manikmaya dihadiahi sebuah wilayah lengkap dengan penduduk dan tentaranya.
Daerah yang dihadiahkan tersebut bernama Kendan (nama sebuah bukit terletak 500 m
sebelah utara stasiun Nagreg Cicalengka-Bandung). Jadilah Kendan sebuah kerajaan
pada tahun 536 M dengan raja pertamanya Manikmaya. la berputra Rajatapura
Suraliman yang kemudian menggantikannya sebagai raja Galuh kedua. Setelah
Suraliman wafat diganti oleh putranya Kandiawan. Putra bungsu Kandiawan bernama
Wretikendayun, yang kemudian meneruskan tahta kerajaannya.

Setelah dinobatkan menjadi raja keempat di Kendan, Wretikandayun


memindahkan pusat pemerintahannya ke ibu kota baru yang diberi nama Galuh
(permata). Lokasi bekas Galuh sekarang adalah Desa Karangkamulyaan, Kecamatan
Cijeunjing Kabupaten Ciamis.

Ketika Tarusbawa dinobatkan sebagai raja Tarumanagara ke-13, pamor kerajaan


ini sudah sangat menurun. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Wretikendayun untuk
melepaskan diri dari kedudukan sebagai bawahan Tarumanagara. Pada tahun 670 M,
kerajaan Tarumanagara berakhir sekaligus juga mengakhiri Dinasti Warman. Sebagai
gantinya muncul dua kerajaan di Jawa Barat, yaitu:

a. Di sebelah barat Citarum menjadi Kerajaan Sunda


b. Di sebelah timurnya menjadi Kerajaan Galuh, pada tahun 612 M.
Dari perkawinannya dengan Manawati, Wretikandayun berputera tiga orang,
yaitu:
9
Iskandar. Sejarah Jawa Barat.

8
1) Sempakjaya, lahir pada tahun 620 M, ia dijadikan Resiguru di daerah Galunggung.
Dari istrinya bernama Pohaci Rababu diperoleh dua orang anak, yaitu Purbasora
dan Demunaman.
2) Jantaka, lahir pada tahun 622 M, ia menjadi Resiguru di daerah Denuh, Galuh
Selatan, la mempunyai seorang putera bernama Bimaraksa.
3) Amara atau Mandiminyak, lahir 624 M. la kemudian dianggap paling pantas
mewarisi tahta kerajaan Galuh. Sekalipun dalam perjalanannya banyak diwamai
skandal, perang saudara (Gotrayuda), bahkan sampai terjadinya perkawinan Manu,
namun kerajaan Galuh berlangsung cukup lama sampai kira- kira abad ke-12.

4. Kerajaan Sunda
Pada tahun 669 M kerajaan Tarumanagara dipegang oleh Tarusbawa
menggantikan mertuanya Linggawarman. Karena pada saat ini pamor Taruma sudah
sangat menurun, maka raja Tarusbawa berusaha mengembalikan kerajaan seperti pada
masa Purnawarman. Tindakannya yang pertama adalah merubah nama Tarumanagara
menjadi Kerajaan Sunda, juga memindahkan ibu kota kerajaan dari Sundapura
(Bekasi) ke Pakuan (Bogor). Selain itu, ia mendirikan lima buah keraton (Bima, Punta,
Narayana, Madura, Suradipat) yang besar dan posisinya sama berjajar, dalam sastra
klasik lima keraton ini disebut Panca Persada.10
a. Kekerabatan Sunda – Sriwijaya
Raja Tarumanagara ke-12, yaitu Linggawarman, ia mempunyai dua anak
perempuan, yang sulung bernama Manasih menjadi permaisuri Tarusbawa.
Kemudian adiknya Manasih bernama Sobakancana bersuamikan Sri Jayanasa
pendiri kerajaan Sriwijaya. Selanjutnya melalui jaring-jaring perkawinan, terjadilah
kekerabatan dan persahabatan antara lain:
1) Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Jawa Timur.
2) Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Sriwijaya.
3) Keluarga keraton Sunda dengan keraton Galuh.
4) Kekerabatan Sunda dengan Majapahit.11
b. Tragedi Palangan Bubat (1357 M)
Penerus tahta Kerajaan Sunda selanjutnya adalah Linggabuana,ia beristrikan
Dewi Lara Linsing (Putri Prabu Arya Kulon). Dari hasil perkawinan mereka
dikaruniai beberapa anak di antaranya Citaresmi (Dyah Pitaloka) dan Niskala Wastu
Kencana. Putri Citaresmi dilamar oleh Hayam Wuruk dari Majapahit melalui
patihnya Gajah Mada. Alasan raja Majapahit melamar Citaresmi:
1) Mengingat kekerabatan Sunda-Majapahit yang sudah terjalin sejak Raden
Wijaya.

10
Iskandar. Sejarah Jawa Barat.
11
Ibid.

9
2) Karena kecantikan Citaresmi yang dijuluki Wajra (permata) sangat menarik
Prabu Hayam Wuruk.

Adapun alasan logis Linggabuana menerima lamaran Raja Majapahit adalah:

1) Kekerabatan Sunda-Majapahit
2) Suatu kehormatan yang luar biasa, karena Majapahit saat itu sedang dalam
puncak kejayaannya.

Menurut lamaran patih Gajah Mada, perkawinan akan dilaksanakan di


keraton Majapahit. Dengan demikian, Raja Sunda Linggabuana, Putri Citaresmi
beserta para pengiring kerajaan bersiap menuju Majapahit. Namun karena ulah
patih Gajah Mada yang sebenarnya tidak menghendaki perkawinan tersebut,
kedatangan rombongan dari kerajaan Sunda dianggap sebagai upeti. Dengan
demikian, sang patih telah mengingkari janjinya, dan menyebabkan Raja Sunda
tidak bisa menerima hal tersebut, yang akhirnya menimbulkan ketegangan di
antara dua kelompok.12 Sumber lain menyebutkan, alasan ketidak-setujuan
sebenarnya Patih Gajah Mada adalah, ia sendiri pernah menjalin hubungan
dengan Putri Citaresmi, ketika sedang menjadi pelukis istana di kerajaan Sunda.
Namun hubungan tersebut tentu tidak akan direstui oleh Raja Sunda. Secara
diam-diam Gajah Mada meninggalkan kerajaan Sunda, dan berjuang keras
hingga menduduki jabatan penting di kerajaan Majapahit.

Gajah Mada memerintahkan pasukannya untuk bertempur melawan


Kerajaan Sunda. Sedangkan Raja Sunda sendiri hatinya cemas dan ragu
menghadapi pasukan yang demikian besar, dilengkapi alat perang seperti panah
dan tunggangan kuda. Namun seandainya kalah dan gugur, Raja Sunda bertekad
untuk mempertaruhkan kehormatan. Pertempuran pun terjadi dengan dahsyat,
dan akhirnya semua rombongan kerajaan Sunda semuanya gugur, sedangkan
Citaresmi sendiri mati-bela.

Kejadian ini terjadi pada tahun 1357 Masehi di sebuah tempat bernama
Bubat. Peristiwa ini menggemparkan seluruh penduduk kerajaan Sunda, apalagi
Linggabuana terkenal sebagai seorang raja yang adil bijaksana. Bahkan cerita
ini termashur ke seluruh bumi Nusantara, karena itu semua orang yang
mengetahui dan mengenalinya memberikan gelar Prabu Linggabuana sebagal
Prabu Wangi.

12
Iskandar. Sejarah jawa Barat.

10
Setelah peristiwa Bubat terjadi, Niskala Wastu Kancana (sebagai Putra
Mahkota kerajaan Sunda, pewaris Linggabuana) baru berusia 9 tahun, sehingga
kerajaan dipegang sementara oleh Bunisora (adik Linggabuana), yang dalam
pemerintahannya cenderung sebagai raja pendeta, diwamai suasana religius, dan
ia adalah Satmata.

Menurut naskah Kropak 630, tingkat batin manusia dalam keagamaan


adalah: acara, adiguna, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka dan nirawerah.

Satmata adalah tingkatan kelima dan tahap tertinggi bagi seseorang yang
masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam
(suraloka) orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkat ketujuh
(nirawerah), padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada
Hyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa). Diisi nilai-nilai keagamaan seperti
itulah kehidupan Niskala Wastu Kancana dalam asuhan Bunisora. Kemudian
pada usia 23 tahun ia dinobatkan menjadi raja.

Mengenal cerita Niskala Wastu Kancana, tertulis dalam prasasti Kawali


(Ciamis) berbahasa Sunda kuno, prasasti ini lebih merupakan wangsit bagi sang
prabu yang sudah menemukan sumber hakiki bagi kesentosaan negara, yang
intinya:

1) Membiasakan diri berbuat kebajikan


2) Membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati.

Dalam kehidupan bukan hanya pedang dan tombak yang harus diasah,
melainkan juga akal, budi, keahlian dan kepekaan terhadap kebenaran dan
kebajikan. Sebelum wafat, Prabu Niskala Wastu Kancana membagikan tahta
kerajaan kepada:

1) Sang Haliwungan (Prabu Dewatmaka) diwariskan kerajaan Sunda, yang


terletak dari batas sungai Citarum ke Barat. Sang Haliwungan adalah putra
Niskala Wastu Kancana dengan Ratna Sarkati.
2) Prabu Dewa Niskala diwariskan kerajaan Galuh, yang terletak dari batas
sungai Citarum ke Timur. Prabu Dewa Niskala putra Niskala Wastu
Kancana dengan Dewi Mayangsari.13

5. Kerajaan Padjajaran
Menurut Poerbatjaraka, nama Pajajaran kemungkinan diambil dari istana yang
berjajar atau Panca Persada (yang didirikan oleh Tarusbawa). Berita mengenai
digunakannya nama Pajajaran sebagai nama kerajaan sudah dimulai sejak Prabu

13
Iskandar. Sejarah jawa Barat.

11
Susuktunggal (Sang Haliwungan). Kerajaan Pajajaran mencapai puncaknya pada masa
Jayadewata/Pamanahrasa yang bergelar Sri Baduga, pemerintahannya berlangsung
dari tahun 1482-1521 M. la putera Prabu Dewa Niskala. Cucu Prabu Niskala Wastu
Kancana dan cicit dari Prabu Linggabuana (Prabu Wangi).
Pakuan (Bogor) sebagai ibu kota Pajajaran berpenduduk 49.271 orang,
merupakan kota kedua terbesar di Nusantara setelah Demak dan ketiganya adalah
Pasai. Ibu kota kerajaan Pajajaran mempunyai pelabuhan-pelabuhan sebagai pusat
niaganya, antara lain: Banten, Pontang, Cigede, Tamgara (Cisadane), Kalapa (Jakarta),
Karawang, dan Cimanuk.
Bangsa Eropa yang pertama mengadakan hubungan niaga dengan Pajajaran
adalah Portugis pada tahun 1513 M. Juru catat perjalanannya bernama Tome Pires
menyebutkan, kerajaan (Sunda) Pajajaran adalah negeri kesatria dan pahlawan laut,
sedangkan komoditi perdagangannya yang terpenting yaitu beras, lada, kain tenun,
sayuran, daging, asam, yang bisa memenuhi seribu kapal.
Menurut Pires masyarakat Pajajaran mempunyai perilaku menarik, ramah, jujur
dan sebagainya, sedangkan perawakannya tinggi-kekar. Tentang pemerintahan Sri
Baduga, ia tulis dalam bukunya The Kingdom of Sunda is Justtly Governed (kerajaan
Sunda diperintah dengan adil). Pada masa itu peraturan dan ajaran leluhur dipegang
dengan teguh, karena itu tidak akan kedatangan musuh lahir dan musuh batin.
Kehidupan masyarakat sentosa dan sejahtera, di seluruh pelosok kerajaan Sentosa.
Prasasti yang berhubungan dengan Pajajaran adalah Prasasti Bogor, yang
sampai sekarang masih ada. Sedangkan prasasti yang dibuat oleh Sri Baduga sendiri
adalah Prasasti Tembaya yang ditemukan di Kabantenan Bekasi sebanyak lima lembar.
Dari Prasasti Kabantenan ini diketahui bahwa Sri Baduga mengukuhkan atau
menetapkan lemah Dewasasana atau lurah kawisuan di Sunda Sembawa, Gunung
Samaya dan Jayagiri. Penetapan batas-batas tanah ini merupakan perlindungan
terhadap tempat-tempat suci keagamaan.
Cita-cita orang Pajajaran pada saat itu adalah manggeuhkeun Hyang Tapa balik
dewa (bertemu dengan Hyang, bukan dewa). Manggihkeun Hyang itulah yang
kemudian populer menjadi Ngahyang, yang dalam pengertian positif sukma kembali
berpadu dengan Dzat asalnya. Kembali kepada Hyang, karena Dia-lah Si tuhun lawan
pretyaksa (Yang Hak dan Yang Wujud). Jasa-jasa Sri Baduga selama masa
pemerintahannya sebaga berikut.
1) Membuat parit pertahanan sepanjang 3 km di tebing Cisadane
2) Membuat tanda peringatan berupa gunung-gunung, seperti Bukit Badigul di
Rancamaya
3) Memperkeras jalan dengan batu-batuan tertentu dari gerbang Pakuan sampai
keraton, dan dari gerbang Pakuan ke Rancamaya.
4) Melestarikan hutan tutupan (terlarang)

12
5) Membuat talaga untuk kepentingan pariwisata dan kesuburan tanah di daerah
Rancamaya.14

Prabu Siliwangi

Prabu Siliwangi berdasarkan pendapat Ayat Rohaedi, ia bersikeras bahwa


menurutnya yang dimaksud tokoh Prabu Siliwangi adalah Niskala Wastu Kancana
(Putera Prabu Wangi/Linggabuana). Namun pendapat lain menyebutkan bahwa Prabu
Siliwangi adalah Sri Baduga/Pamanahrasa/Jaya Dewata (cicit Prabu Wangi, cucu
Niskala Wastu Kancana), Baik Prabu Wangi maupun Prabu Niskala Wastu Kancana,
keduanya sama, Silih Wangi dan kemudian terkenal dengan istilah Siliwangi. Di Jawa
Barat nama Siliwangi diabadikan secara monumental sebagai lambang perjuangan
rakyat Jawa Barat melalui Kodam III Siliwangi dengan motto Esa Hilang Dua
Terbilang.15

1.3. Sunda Masa Islam


Setelah keruntuhan kerajaan Sunda, perjalanan sejarah Sunda selanjutnya secara
eksplisit memberikan gambaran tentang terjadinya mondialisasi atau globalisasi di tatar
Sunda. Dengan demikian, bagi urang Sunda globalisasi sebenarnya bukanlah merupakan
barang baru, tetapi lebih merupakan barang lama yang diberi kemasan baru. Ada dua
kekuatan besar yang telah mengakibatkan urang Sunda mau tidak mau larut dalam
mondialisasi, yakni Islam dan Barat. Di tengah mondialisasi tersebut, urang Sunda pun
dihadapkan oleh datangnya pengaruh dari Jawa (Mataram). Kehadiran Islam di tatar
Sunda, yang benih-benihnya sudah muncul sejak sebelum abad ke-15 dan memperlihatkan
bentuknya yang tegas pada abad ke-16 secara perlahan tapi pasti membawa pengaruh pada
ideologi Sunda. Satu di antaranya yang paling fenomenal adalah tertanggalkannya sistem
kepercayaan lama, dan tampilnya Islam sebagai agama urang Sunda. Uniknya, berbeda
dengan Hindu-Budha, Islam di tatar Sunda melebarkan sayapnya dari kalangan bawah
terlebih dahulu baru kelompok elit. Semasa Islam menyeberangi tembok-tembok kerajaan,
Islam pun tidak dipandang sebagai ancaman. Kondisi ini bisa jadi memperlihatkan sebuah
realitas bahwa urang Sunda merupakan komunitas yang cukup rasional dalam menyikapi
kehadiran ajaran baru. Dengan kata lain bisa dimaknai bahwa Hindu-Budha pada saat itu
menjadi "kepercayaan" kerajaan hanya mengakar di kalangan penguasa saja, dan belum
menyentuh lapis bawah atau rakyat kebanyakan. Oleh karena itu, ketika Islam disebarkan
secara intensif oleh para tokohnya, urang Sunda sangat terbuka menerimanya. Terlebih
Islam mengembangkan prinsip-prinsip ajaran yang bersifat egaliter dan tidak membeda-
bedakan manusia ke dalam kelas-kelas tertentu.16
1. Kerajaan Islam di Jawa Barat

14
Iskandar. Sejarah jawa Barat.
15
Ibid
16
Dienaputra. Sunda: Sejarah, Budaya dan Politik. H19

13
a. Haji Purwa Galuh
Putera kedua Sang Bunisora (adik Linggabuana, pengasuh Niskala Wastu
Kancana semasa kecil) adalah Bratalagawa. la memilih hidup menjadi saudagar dan
sering mengembara ke luar negeri. Karena seringnya mengembara, Bratalagawa
mendapat jodoh seorang muslimah bernama Farhana berasal dari Gujarat, yang
kemudian membawanya menjadi seorang muslim. Kemudian Bratalagawa bersama
istrinya, menunaikan ibadah haji ke Mekah dan mendapat julukan Haji Baharuddin
Al Jawi.
Sepulang dari tanah suci mereka kembali ke Galuh, dan menemui adiknya,
Ratu Banawati untuk mencobanya mengajak masuk Islam, namun usahanya tidak
berhasil. Setelah itu Bratalagawa bersama istrinya tinggal di Cirebon Girang, di sini
ia pun mengajak kakaknya, Ki Gedeng Kasmaya masuk Islam, walaupun kakaknya
sama dengan adiknya menolak masuk Islam, tetapi penolakan tersebut tidak
mengurangi keharmonisan hubungan mereka semua sebagai kerabat. Sebagai haji
pertama di Galuh, Bratalagawa dikenal dengan nama Haji Purwa Galuh. Beserta
anak dan cucunya Bratalagawa merupakan penyebar Islam pertama di Jawa Barat.17
b. Pondok Quro
Pondok Quro Pesantren Tertua Di Jawa Barat. Tahun 1416 M, armada laut
Cina mengadakan pelayaran keliling atas perintah Kaisar Cheng-Ho yang beragama
Islam. Dalam pelayarannya ke Majapahit, armada tersebut singgah ke daerah Pura-
Karawang. Terdapat seorang ulama bemama Syeikh Hasanudin dalam armada itu,
yang kemudian ketika singgah ia dan rombongannya turun di Pura, untuk
menyebarkan Islam di Pula Jawa.
Setelah beberapa lama di Pura, Syeikh Hasanudin berjodoh dengan Ratna
Sondari puteri penguasa daerah Karawang, Ki Gedeng Karawang. Atas izin
mertuanya Syekh Hasanudin mendirikan pesantren bernama Pondok Quro. Disebut
demikian karena di pesantren ini cenderung mengutamakan pelajaran Al Qur'an
dengan baik. Di antara santri pesantren Quro adalah Subanglarang (Puteri Ki Gedeng
Tapa, cucu Niskala Wastu Kencana) yang kemudian berjodoh dengan Pamanahrasa
(Sri Baduga).18
c. Keraton Pakungwati
Dari perkawinan Sri Baduga dengan Subanglarang, dikarunia tiga orang anak,
yakni: Walangsungsang, Rara Santang dan Rajasangara. Oleh karena Subanglarang
beragama Islam, maka ketiga anaknya pun mengikuti agama ibunya, yaitu Islam.
Ketika ibu mereka wafat, Walangsungsang bersama adiknya meminta izin untuk
tinggal bersama kakeknya (Ki Gedeng Tapa) di kerajaan Singapura (Cirebon). Alasan
yang mereka kemukakan ialah, setelah ibunya wafat tidak ada orang yang dapat
dijadikan guru, tidak ada lagi penenang batin yang memadai untuk mereka. Alasan

17
Iskandar. Sejarah jawa Barat.
18
Ibid.

14
ini dimaklumi oleh Sri Baduga, namun yang boleh pergi hanyalah Walangsungsang
dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara dimohon tetap tinggal di Pakuan.
Setelah tinggal beberapa lama di Cirebon, Walangsungsang meminta izin
kepada kakeknya untuk mengembara berguru mencar ilmu. Dalam pengembaran
yang pertama, Walangsungsang (Sang Pangeran) tiba di padepokan Ki Danuwarsih,
seorang Pendeta Budha, ia mempunyai seorang puteri bernama Indang Geulis yang
kemudian dijodohkan dengan sang Pangeran.
Di Cirebon, ketika Walangsungsang19 pulang dari pengembaraan bersama
istrinya, telah berdiri pesantren Pondok Quro yang terletak di kaki bukit Amparan
Jati. Pesantren ini berdiri atas prakarsa Ki Gedeng Tapa, yang pemimpinnya
diserahkan kepada Syeikh Datuk Kahfi. Akhirnya mondoklah Pangeran
Walangsungsang di pesantren ini. Kemudian oleh Datuk Kahfi Pangeran
Walangsungsang diberi nama baru menjadi Samadullah. Begitu pula dengan istrinya
Indang Geulis dan adiknya Rara Santang juga menjadi santri di pesantren ini.
Atas saran gurunya (Datuk Kahfi) Walangsungsang diminta membuka
perkampungan baru untuk penyiaran agama Islam. Dengan seizin Ki Gedeng Tapa
(kakeknya) Sang Pangeran membuka perkampungan tersebut pada tanggal 8 April
tahun 1445 M bertepatan dengan 1 Muharam 848 H, dibantu oleh 52 orang
penduduk, berlokasi di hutan Pantai Kebun Pesisir. Kampung itu diberi nama
Cirebon Larang atau Cirebon Pesisir.
Dua tahun setelah membuka perkampungan baru, Walangsungsang bersama
penduduknya membangun tajug yang diberi nama Jalagrahan (rumah air). Mesjid
tertua pertama di Cirebon (bahkan mungkin di Jawa Barat). Di perkampungan yang
baru tersebut, Walangsungsang/ Samadullah terpilih menjadi Pangraksabumi
(pemerhati dan pemelihara tanah pemukiman) dengan julukan Ki Cakrabumi yang
kemudian dijuluki Pangeran Cakrabuana.
Atas nasehat gurunya, Ki Samadullah dan Rara Santang menunaikan ibadah
haji. Ketika dalam perjalanan ibadah haji itu Rara Santang diperistri oleh Syeikh
Abdullah (Walikota Mesir keturunan Bani Hasyim). Di Mekah Ki Samadulah
kembali mendapat nama baru: Haji Abdullah Iman, sedangkan adiknya Rara Santang
bergelar: Hajjah Syarifah Mudaim, Ketika pulang dari Mekah, istrinya Indang Geulis
telah melahirkan seorang putera yang diberi nama Nyai Pakungwati. Setelah Ki
Gedeng Tapa (kakeknya) wafat, Haji Abdullah Iman tidak mendapat warisan tahta,
melainkan mendapat warisan harta kekayaan yang berlimpah. Bermodalkan warisan
ini, Haji Abdullah Iman mendirikan sebuah keraton yang diberi nama Keraton
Pakungwati, sekaligus membentuk tentara kerajaan. Di keraton itulah Haji Abdullah

19
Pangeran Walangsungsang memiliki banyak nama yaitu: Walangsungsang-Ki Samadullah Pangeran Cakrabuana-
Haji Abdullah Iman

15
Iman dinobatkan sebagai raja daerah, dan mendapat restu dari ayahnya Sri Baduga
(Raja Pajajaran).20
d. Sunan Gunung Jati
Dari perkawinan Rara Santang dan Syarif Abdullah terlahir seorang putera
bernama Syarif Hidayatullah. Mereka cukup lama tinggal di Mesir, dan ketika
kembali ke Cirebon, Islam sudah menyebar sampai ke daerah Kuningan. Didukung
oleh para Kamastu (wali) Syarif Hidayatullah memutuskan Cirebon harus menjadi
negara kekuatan Islam yang merdeka. Pada tahun 1482 M putera Rara Santang ini
dinobatkan menjadi raja di Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati. Namun, kerajaan
yang baru diproklamirkan ini tidak direstui oleh pemerintah Pusat (Pakuan
Pajajaran), Sri Baduga mengutus Tumenggung Jayabaya beserta para pengawalnya
untuk menertibkan dan mengatasi keadaan di Cirebon. Penobatan Susuhunan Jati
sendiri justru dihadiri oleh pasukan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.
Kedekatan antara Cirebon-Demak inilah yang sangat dikhawatirkan oleh
Pajajaran. Kekhawatiran tersebut bukan disebabkan oleh agama Islamnya, sebab Sri
Baduga (sama halnya seperti kakeknya Niskala Wastu Kancana) membebaskan para
pendukungnya memeluk agama apa saja, bahkan pada masa pemerintahannya agama
Budha berkembang pesat di Kerajaan Talaga. Akan tetapi, satu- satunya saingan
dagang di perairan Nusantara adalah Demak, yang sejak awal menampakkan diri
sebagai negara maritim. Sedangkan kerajaan Pajajaran adalah negara yang tangguh
di darat, tetapi lemah di lautan. Kekhawatiran Pajajaran ini mendorong Sri Baduga
mengadakan hubungan secara bilateral dengan Portugis.
Pada tahun 1528 M, kerajaan Galuh mengadakan serangan wilayah
kekuasaan Cirebon. Pasukan (Galuh tersebut dihadang oleh Adipati Kuningan
Suranggajaya di perbatasan Galuh-Cirebon (dekat bukit Gundul). Dalam
pertempuran Ini Adipati Kuningan terdesak mundur, kemudian meminta bantuan ke
Pakungwati Cirebon. Bantuan dari Cirebon pun datang dipimpin oleh Haji Abdullah
Iman sendiri didampingi Fadillah Khan dengan seratus orang pasukan Demak. Pada
tahun yang sama terjadi pertempuran sengit, pasukan Galuh (Prabu Jayaningrat)
terdesak dan mundur ke kerajaan Talaga, wilayah pertahanannya yang terakhir.
Penyerangan Cirebon ke Talaga terhenti beberapa lama, karena suasana keraton
berkabung atas wafatnya Haji Abdullah Iman (Pangeran Walangsungsang) pada
tahun 1529 M. Beliau adalah peletak dasar pondasi Islam di Jawa Barat. Setelah
suasana duka berlalu, baru terlaksana Cirebon menggempur Talaga. Pertahan Galuh
di Talaga dapat dilumpuhkan,
Raja Talaga yang semula penganut Budha kemudian memeluk agama Islam.
Kemenangan ini memperluas wilayah Susuhunan Jati Disusul dengan Sumedang,
yang masuk kekuasaan Cirebon dengan jalan damai, yakni melalui perkawinan

20
Iskandar. Sejarah jawa Barat.

16
antara kerabat keraton Cirebon dengan penguasa Sumedang Larang yang bergelar
Pucuk Umun Sumedang Larang.
Runtuhnya Galuh menyadarkan Prabu Surawisesa (sebagai pemerintah pusat
Pakuan, raja Pajajaran ke-2 pengganti Sri Baduga) mengirim utusan kepada
Susuhunan Jadi untuk berdamai. Usul damai ini disambut dengan ketulusan hati oleh
Cirebon. Pada tanggal 12 Juni 1531 M, perjanjian damai itu disepakati. Adapun isi
perjanjian ini adalah sebagai berikut.
1) Kedua belah pihak saling mengakui kedaulatan masing-masing, tidak saling
menyerang, silih asih.
2) Kedua belah pihak mengakui sederajat dan bersaudara sebagai sesama ahli waris
(seuweu-siwi) Sri Baduga, sedarah, Janganlah putus.
Berdasarkan perjanjian damai tersebut, Prabu Surawisesa berkesempatan
membenahi negerinya dalam keadaan tenang. la merenungi pengalaman hidupnya,
betapa kecil dirinya bila dibandingkan dengan ayahnya Sri Baduga, yang begitu
dikagumi dan dihormati. Kemudian Prabu Surawisesa membuat prasasti untuk
mengenang kebesaran ayahnya. Selain itu, ia mengadakan upacara suci
"ngahyangkeun" jerasah Sri Baduga di Rancamaya, setelah dua belas tahun
kematiannya yakni pada tahun 1533 M.21
e. Kerajaan Islam Banten
Dari pernikahan Sri Baduga dengan Kentring Manik Mayang Sunda diperoleh
dua orang putera yaitu Surawisesa (penerus Pajajaran) dan Surasowan yang menjadi
raja daerah pesisir (bupati) Banten Pesisir. Puteri Surasowan Nyi Kawunganten
diperistri oleh Syarif Hidayatullah, dari pernikahan ini lahir Hasanudin atau Pangeran
Sabakingkin. Dalam hidupnya Hasanudin lebih memilih menjadi guru agama Islam,
dan kemudian menjadi pimpinan pesantren, karenanya la dikenal dengan Syeikh
Hasanudin.
Ketika Banten Pesisir yang dipegang oleh Arya Surajaya (kakaknya
Kawunganten) berhasil direbut oleh Fadillah Khan. Pada saat itu, Syeikh Hasanudin
diangkat menjadi bupati Banten pada usia 48 tahun. Untuk memperkuat posisi
pemerintahannya, didirikanlah keraton yang megah, sehingga daerah ini berkembang
menjadi kerajaan. Dalam prasasti Tembaga berhuruf Arab yang disebut oleh Sultan
Abdul Nazar (1671-1687), nama resmi kerajaan Islam Banten adalah Negeri
Surasowan.
Ketika ayahnya (Susuhunan Jati) wafat tahun 1568 M, Panembahan
Hasasundin memproklamirian negeri Surasowan menjadi negara yang merdeka,
lepas dari kekuasaan Cirebon. Setelah menjadi kerajaan, dunia perdagangan di
Banten semakin pesat. Islam telah mewarnai Surasowan menjadi negara perniagaan.
Setelah Panembahan Hasanudin wafat, la digantikan oleh puteranya dari
puteri Indrapura bernama Maulana Yusuf atau Panembahan Yusuf. Panembahan

21
Iskandar. Sejarah jawa Barat.

17
Yusuflah yang kemudian membersihkan (menghancurkan) Pajajaran, berikut Keraton
Panca Persada dibumi-hanguskan. Dengan peristiwa ini sirnalah kerajaan Pajajaran
di bumi Jawa Barat pada tahun 1579 M bertepatan dengan tahun 987 H.22
f. Kerajaan Islam Sumedanglarang
Kerajaan Sumedanglarang didirikan oleh Praburesi Tajimalela, segenerasi
dengan Prabu Ragamulya (Kerajaan Sunda: 1340-1350 M) salah satu keturunannya
diperistri oleh Sri Baduga (Pajajaran). Penguasa Sumedanglarang yang pertama
beragama Islam adalah Ki Gedeng Sumedang (Pangeran Santri) yang beristrikan
Ratu Setya Asih (Putera Sunan Corenda dan Sintawati), dinobatkan pada tahun 1530
M berkedudukan sebagai bawahan Cirebon. Pangeran Santri wafat, bertepatan
tahunnya dengan runtuhnya Pajajaran tahun 1579 M. Penggantinya adalah Pangeran
Angkawijaya yang dinobatkan tahun 1580 M dengan gelar Geusan Ulun
Sumedanglarang, Wilayah kekuasaannya meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya
dan Bandung. Prabu Geusan Ulun masuk Islam di Cirebon dan belajar agama Islam
di Demak. Setelah Prabu Geusan Ulun, kerajaan dipegang oleh Suriadiwangsa yang
berakhir pada tahun 1625 M, karena harus menyerah kepada Mataram.
Sedangkan kesultanan/kerajaan Banten pada tahun 1808 M menjadi milik
gubernemen, dan pada tahun 1823 M kerajaan Banten sirna, sultannya yang terakhir
diasingkan ke Surabaya bernama Moh. Rafiudin. Pada tahun 1813 dan 1815 Sultan
Cirebon pun dipensiunkan diganti oleh Bupati.23

1.4. Sunda Masa Kemerdekaan


Konflik yang terjadi antara Mataram dan kompeni diselesaikan dengan cara:
Mataram menghadiahkan tanah Pasundan kepada kompeni pada tahun 1705 M. Kemudian
secara berangsur-angsur Belanda menanamkan kekuasaannya di tanah Sunda, dan pada
akhir abad 19, seluruh wilayah Jawa Barat jatuh ke tangan Belanda.
Awal abad ke-20, ketika Indonesia memasuki era baru, orang Sunda pun bangkit,
salah satunya ditandai dengan berdirinya Paguyuban Pasundan pada tanggal 22 September
1914 M. Pada mulanya Organisasi Adat Karuhun Urang (Akur) dalam bidang sosial dan
budaya, namun akhirnya bergerak pula dalam bidang politik, pendidikan, dan sebagainya. 24
1. Masa Awal Kemerdekaan
Melalui rapat PPKI 19 Agustus 1945, Indonesia dibagi untuk sementara ke
dalam delapan provinsi, setiap provinsi dikepalai oleh seorang gubernur. Salah satu
dari delapan provinsi tersebut adalah Jawa Barat, karena setiap provinsi dibagi
menjadi keresidenan- keresidenan, maka untuk Jawa Barat, Komite Nasional
Indonesia Daerah (KNID)nya diawali dengan dibentuknya keresidenan Priangan pada
hari Jumat tahun 1945. Pusat pemerintahan Jawa Barat mula-mula berkedudukan di

22
Iskandar. Sejarah jawa Barat.
23
Edi S. Ekadjati. 1984. sejarah Sunda
24
Iskandar. Sejarah jawa Barat.

18
Jakarta, kemudian berpindah ke Bandung melalui UU/1950/11. Perkembangan
selanjutnya pemerintahan tingkat keresidenan dihapuskan diganti menjadi Provinsi
Daerah Tingkat | Jawa Barat.
2. Masa Revolusi
Sekitar tahun 1955-1967 Jawa Barat dibagi menjadi lima keresidenan, 4
kotapraja, 19 daerah tingkat 11, 108 kewedanan, 336 kecamatan dan 3.801 desa. Tahun
1964 keresidenan dihilangkan dan fungsi tersebut diganti dengan penghubung-
penghubung gubernur kepala daerah tingkat 1, yang selanjutnya menjadi inspektoral
wilayah. Sejak April 1965, kewedanan pun dihilangkan dan dibentuk penghubung
bupati/walikota kepala daerah tingkat II.
3. Masa Pembangunan
Masa pembangunan ditandai dengan adanya Rencana Pembangunan lima tahun
atau dikenal dengan nama Repelita, di bawah kekuasaan pemerintah orde baru.
4. Masa Reformasi
Momentum reformasi ini juga mendorong munculnya kebangkitan kelompok-
kelompok kebudayaan dari berbagai suku dan adat di Indonesia, yang menegosiasikan
kembali hak-hak politik, eksistensi kebudayaan dan sumber daya alam di wilayah
mereka. Kebangkitan identitas kelompok suku dan adat di Indonesia mewujud dalam
bentuknya yang beragam, bergantung pada persoalan yang dihadapi oleh masing-
masing kelompok tersebut.
Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat, politik identitas kesundaan ini mulai
bangkit di era reformasi ini, baik dalam bentuk perdebatan wacana tentang kesundaan,
dan semaraknya pagelaran seni tradisi Sunda di berbagai wilayah. Di samping itu,
munculnya organisasi-organisasi sosial yang merepresentasikan identitas adat
(kesundaan) seperti Bamus Sunda, Paguyuban Pasundan, Barisan Olot Tatar-Sunda
dan organisasi-organisasi kesundaan lainnya. Kesemuanya itu, berhasrat
mengonstruksi dan merepresentasikan identitas kesundaan yang sudah lama terabaikan
dan termarginalkan.25
Berdasarkan data yang terdapat pada Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda
(PPSS) ada sekitar 200 organisasi kesundaan di Jawa Barat, di antaranya ada yang
berumur satu atau dua tahun lalu mati, ada juga yang puluhan, bahkan Paguyuban
Pasundan menginjak usia lebih dari 100. Berdasarkan data tersebut, kategori organisasi
menurut bidangnya paling banyak untuk bidang seni, disusul bidang pendidikan,
politik, ekonomi dan budaya. Umumnya organisasi kesundaan mengedepankan
bendera seni terdahulu, baru kemudian membuat spesifikasi pada bidang-bidang yang
lain

25
Husnul Qodim. 2013. Politik Identitas Sunda: Pergulatan Ideologi Kebudayaan dan Politik Kekuasaan (Studi
terhadap Dua Organisasi Sosial Kesundaan Di Jawa Barat). Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri
(Uin) Sunan Gunung Djati.

19
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sejarah Sunda atau sejarahnya urang Sunda atau sejarah tatar Sunda mencakup
kurun waktu yang sangat panjang, yakni dari masa prasejarah hingga masa sejarah.
Masa prasejarah dalam sejarah Sunda berakhir sejak ditemukan bukti-bukti
tertulis berupa prasasti dari Kerajaan Tarumanegara. Bukti-bukti peninggalan prasejarah di
tatar Sunda, antara lain ditemukan di Cianjur (Gunung Padang, Pasir Pogor, Bukit Tongtu,
Bukit Kasur, Gunung Putri, Lembah Duhur, Pasir Manggu, dan Pasir Gada), Sukabumi
(Pangguyangan, Tugu Gede, Ciarca, Salak Datar, dan Batu Jolang), Bandung, Garut
(Cimareme), Kuningan (Cipari, Cigadung, Cangkuang, Cibuntu, Hululingga, Darmaloka,
Batu Tilu, Panyusupan, Cibubur, Balongkagungan dan Nagog), dan Ciamis
(Karangkamulyan).
Era sejarah Sunda yang dimulai sejak abad ke-5 atau sejak ditemukannya prasasti
kerajaan Tarumanegara telah berlangsung hingga lebih dari 15 abad. Mengingat rentang
waktu yang panjang tersebut, tentu bukanlah merupakan hal yang mudah untuk bisa
mengenal dengan baik sejarah Sunda. Terlebih lagi realitas memperlihatkan bahwa pada
beberapa babakan, perjalanan sejarah Sunda hanya menyisakan sumber-sumber sejarah
yang amat sangat terbatas atau bahkan tidak menyisakan sumber sama sekali. Namun
demikian, untuk memudahkan pengenalan, secara umum sejarah Sunda dapat didekati
dengan membaginya dalam dua periodisasi besar, yakni masa sebelum kemerdekaan dan
masa sesudah kemerdekaan.
Masa sebelum kemerdekaan dalam sejarah Sunda meliputi masa Hindu-Budha,
masa Islam, masa penetrasi Barat, dan masa penetrasi Jepang. Masa Hindu-Budha antara
lain ditandai oleh munculnya dua kerajaan besar, yakni kerajaan Tarumanegara (abad ke-5
sampai dengan abad ke-7) dan kerajaan Sunda (abad ke-7 sampai dengan abad ke-16).
Masa Islam antara lain ditandai oleh munculnya dua kesultanan besar, yakni
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Masa penetrasi Barat di tatar Sunda ditandai
oleh munculnya rezim penguasa Barat, mulai dari VOC, Inggris, hingga pemerintah
kolonial Belanda. Masa penetrasi Jepang ditandai oleh berkuasanya pemerintah
pendudukan Jepang di tatar Sunda. Pasca kemerdekaan, perkembangan sejarah Sunda
secara umum sering diurai dengan mengikuti pola perkembangan yang terjadi di pusat.
Realitas perkembangan sejarah di tingkat nasional dianggap seiring sejalan dengan yang
terjadi di tingkat lokal. Padahal, sejarah Sunda di era kemerdekaan bisa jadi punya
keunikan tersendiri. Geliat kehidupan di tingkat nasional belumlah tentu menjadi geliat
kehidupan di tingkat lokal. Demikian pula sebaliknya, geliat kehidupan di tingkat lokal
belumlah tentu merupakan cerminan geliat kehidupan di tingkat nasional.26

26
Rieza. D. Dienaputra. 2011. Sunda: Sejarah, Budaya dan Politik. Sastra Unpad Press. H. 14-16

20
DAFTAR PUSTAKA
Edi S. Ekadjati. 1984. sejarah Sunda
Dienaputra. Sunda: Sejarah, Budaya dan Politik. H19

Iskandar. Sejarah jawa Barat.

JA. Katili. 1953. 3.000.000 Tahun Sejarah Bumi. Jakarta. H. 17

Kosoh, dkk. 1979. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah. H. 16

Rieza. D. Dienaputra. 2011. Sunda: Sejarah, Budaya dan Politik. Sastra Unpad Press. H. 14-16

Yosef Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat. Bandung: Geger Sunten


Husnul Qodim. 2013. Politik Identitas Sunda: Pergulatan Ideologi Kebudayaan dan Politik Kekuasaan (Studi
terhadap Dua Organisasi Sosial Kesundaan Di Jawa Barat). Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Islam
Negeri (Uin) Sunan Gunung Djati.

iii

Anda mungkin juga menyukai