Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

CORAK KEHIDUPAN DAN HASIL-HASIL BUDAYA


MANUSIA PADA MASA PRAAKSARA INDONESIA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK
1. A.M.SYAHRUL KADRIL
2. HABLUNG
3. ESTI HERAWATI
4. RISMAWATI

X tkj

SmA NEGERI 11 BULUKUMBA


SMK PUSAT KEUNGGULAN
TAHUN AJARAN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah selesai tepat pada waktunya yang
berjudul “Corak Kehidupan dan Hasil-Hasil Budaya Manusia Pada Masa Praaksara
Indonesia”.
Makalah ini berisikan tentang sejarah bangsa Indonesia, khususnya sejarah
Indonesia pada Masa Praaksara di Indonesia, diharapkan makalah ini dapat
menambahkan pengetahuan kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu,
kritik dan saran dari guru dan teman-teman yang bersifat membangun, selalu kami
harapkan demi lebih baiknya makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan semoga Tuhan
Yang Maha Esa senantiasa meridhoi segala usaha kita.

Bulukumba,24 Agustus 2022

kelompok

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................1


DAFTAR ISI ...................................................................................................................................2
BAB I ............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN ...........................................................................................................................3
B. LATAR BELAKANG .............................................................................................................3
B. RUMUASAN MASALAH .....................................................................................................5
B. TUJUAN PENULISAN .........................................................................................................5
BAB II ...........................................................................................................................................7
PEMBAHASAN .............................................................................................................................7
A. MASA BERCOCOK TANAM BUDAYA NEOLITIKUM ............................................................7
1. Asal Usul Manusia Purba Neolithikum ....................................................................7
2. Kehidupan Sosial dan Ekonomi ................................................................................7
3. Hasil Kebudayaan Masa Nelithikum ........................................................................9
4. Kehidupan Kepercayaan .........................................................................................11
B. MASA PERUNDAGIAN BUDAYA MEGALITHIK DAN BUDAYA LOGAM .............................12
BAB III ........................................................................................................................................23
PENUTUP ...................................................................................................................................23
A KESIMPULAN ..................................................................................................................23
B. SARAN ............................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................25

2
BAB I

PENDAHULUAN

B. LATAR BELAKANG
Masa praaksara adalah masa dimana manusia belum mengenal tulisan. Masa
praaksara sering disebut sebagai masa prasejarah. Kehidupan manusia pada masa
praaksara disebut sebagai kehidupan manusia purba. Manusia muncul di permukaan
bumi kira-kira 3 juta tahun yang lalu bersama dengan terjadinya berkali-kali
pengesan atau glasiasi dalam zaman yang disebut kala plestosen.
Manusia pra aksara adalah manusia yang hidup sebelum tulisan dikenal.
Karena belum ditemukan peninggalan tertulis, maka gambaran mengenai kehidupan
manusia purba dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan berupa fosil,
artefak, abris saus roche, Kejokken Moddinger dan lainnya.
Kehidupan awal masyarakat pra aksara Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan geografis wilayah Indonesia. Sebelum zaman es atau glasial, wilayah
Indonesia bagian barat menjadi satu dengan daratan Asia dan wilayah Indonesia
bagian timur menjadi satu dengan daratan Australia. Pendapat ini didasarkan pada
persamaan kehidupan flora dan fauna di Asia dan Australia dengan wilayah
Indonesia. Binatang yang hidup di wilayah Indonesia bagian barat memiliki
kesamaan dengan binatang yang hidup di daratan Asia. Misalnya, gajah, harimau,
banteng, burung, dan sebagainya. Sedangkan binatang yang hidup di wilayah bagian
timur memiliki kesamaan dengan binatang yang hidup di daratan Australia, seperti
burung Cendrawasih.
Mencairnya es di kutub utara menyebabkan air laut mengalami kenaikan.
Peristiwa ini mengakibatkan wilayah Indonesia menjadi terpisah dengan daratan

3
Asia maupun Australia. Bekas daratan yang menghubungkan Indonesia bagian barat
dengan Asia disebut Paparan Sunda. Sedangkan bekas daratan yang menghubungkan
Indonesia bagian timur dengan Australia disebut Paparan Sahul. Ternyata, perubahan
- perubahan itu sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kehidupan
masyarakat pra aksara Indonesia.
Menurut para ahli, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan.
Daerah Yunan terletak di daratan Asia Tenggara. Tepatnya, di wilayah Myanmar
sekarang. Seorang ahli sejarah yang mengemukakan pendapat ini adalah Moh. Ali.
Pendapat Moh. Ali ini didasarkan pada argumen bahwa nenek moyang bangsa
Indonesia berasal dari hulu - hulu sungai besar di Asia dan kedatangannya ke
Indonesia dilakukan secara bergelombang. Gelombang pertama berlangsung dari
tahun 3000 SM – 1500 SM dengan menggunakan perahu bercadik satu. Sedangkan
gelombang kedua berlangsung antara tahun 1500 SM – 500 SM dengan
menggunakan perahu bercadik dua. Tampaknya, pendapat Moh. Ali ini sangat
dipengaruhi oleh pendapat Mens bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari
daerah Mongol yang terdesak ke selatan oleh bangsa - bangsa yang lebih kuat.
Sementara, para ahli yang lain memiliki pendapat yang beragam dengan
berbagai argumen atau alasannya, seperti:
Prof. Dr. H. Kern dengan teori imigrasi menyatakan bahwa nenek moyang
bangsa Indonesia berasal dari Campa, Kochin Cina, Kamboja. Pendapat ini
didasarkan pada kesamaan bahasa yang dipakai di kepulauan Indonesia, Polinesia,
Melanisia, dan Mikronesia. Menurut hasil penelitiannya, bahasa - bahasa yang
digunakan di daerah - daerah tersebut berasal dari satu akar bahasa yang sama, yaitu
bahasa Austronesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya nama dan bahasa yang dipakai
daerah - daerah tersebut. Objek penelitian Kern adalah kesamaan bahasa, namanama
binatang dan alat - alat perang.
Van Heine Geldern berpendapat bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
berasal dari daerah Asia. Pendapat ini didukung oleh artefak - artefak atau
peninggalan kebudayaan yang ditemukan di Indonesia memiliki banyak kesamaan
dengan peninggalan - peninggalan kebudayaan yang ditemukan di daerah Asia.
Prof. Mohammad Yamin berpendapat bahwa nenek moyang bangsa
Indonesia berasal dari daerah Indonesia sendiri. Pendapat ini didasarkan pada

4
penemuan fosil - fosil dan artefak - artefak manusia tertua di Indonesia dalam jumlah
yang banyak. Di samping itu, Mohammad Yamin berpegang pada prinsip Blood Und
Breden Unchro, yang berarti darah dan tanah bangsa Indonesia berasal dari Indonesia
sendiri. Manusia purba mungkin telah tinggal di Indonesia, sebelum terjadi
gelombang perpindahan bangsa - bangsa dari Yunan dan Campa ke wilayah
Indonesia. Persoalannya, apakah nenek moyang bangsa Indonesia adalah manusia
purba?
Hogen berpendapat bangsa yang mendiami daerah pesisir Melayu berasal
dari Sumatera. Bangsa ini bercampur dengan bangsa Mongol dan kemudian disebut
bangsa Proto Melayu dan Deutro Melayu. Bangsa Proto Melayu (Melayu Tua)
menyebar ke wilayah Indonesia pada tahun 3000 SM – 1500 SM. Sedangkan bangsa
Deutro Melayu (Melayu Muda) menyebar ke wilayah Indonesia pada tahun 1500 SM
– 500 SM.
Berdasarkan penyelidikan terhadap penggunaan bahasa yang dipakai di
berbagai kepulauan, Kern berkesimpulan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
berasal dari satu daerah dan menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Campa.
Namun, sebelum nenek moyang bangsa Indonesia tiba di daerah kepulauan
Indonesai, daerah ini telah ditempati oleh bangsa berkulit hitam dan berambut
keriting. Bangsa - bangsa ini hingga sekarang menempati daerah - daerah Indonesia
bagian timur dan daerah - daerah Australia.

B. RUMUASAN MASALAH
1. Bagaimana kehidupan manusia purba masa bercocok tanam budaya neolithikum?
2. Bagaimana kehidupan manusia purba masa perundagian budaya megalitjikum dan
budaya logam?

B. TUJUAN PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini ada beberapa tujuan yang akan di ketahui bahwa;
1. Untuk mengetahui asal – usul manusia pra aksara.
2. Untuk mengetahui Perkembangan dari masa ke masa di zaman pra aksara.

5
3. Untuk mengetahui jenis – jenis manusia purba pada zaman pra aksara.
4. Membahas tentang peninggalan – peninggalan manusia pra aksara.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. MASA BERCOCOK TANAM BUDAYA


NEOLITIKUM
1. Asal Usul Manusia Purba Neolithikum
Zaman Neolitikum artinya zaman batu muda. Di Indonesia, zaman
Neolitikum dimulai sekitar 1.500 SM. Cara hidup untuk memenuhi
kebutuhannya telah mengalami perubahan pesat, dari cara food gathering
menjadi food producting, yaitu dengan cara bercocok tanam dan memelihara
ternak.
Pada masa itu manusia sudah mulai menetap di rumah panggung untuk
menghindari bahaya binatang buas. Manusia pada masa Neolitikum ini pun telah
mulai membuat lumbung-lumbung guna menyimpan persediaan padi dan gabah.
Tradisi menyimpan padi di lumbung ini masih bisa dilihat di Lebak, Banten.
Masyarakat Baduy di sana begitu menghargai padi yang dianggap
pemberian Nyai Sri Pohaci. Mereka tak perlu membeli beras dari pihak luar
karena menjualbelikan padi dilarang secara hukum adat. Mereka rupanya telah
mempraktikkan swasembada pangan sejak zaman nenek moyang.
Pada zaman ini, manusia purba Indonesia telah mengenal dua jenis
peralatan, yakni beliung persegi dan kapak lonjong. Beliung persegi menyebar
di Indonesia bagian Barat, diperkirakan budaya ini disebarkan dari Yunan di
Cina Selatan yang berimigrasi ke Laos dan selanjutnya ke Kepulauan Indonesia.

2. Kehidupan Sosial dan Ekonomi


Masa bercocok tanam merupakan masa yang penting bagi berkembangan
masyarakat dan peradaban. Adanya penemuan baru dalam rangka penguasaan
sumber alam bertambah cepat. Berbagai macam tumbuhan dan hewan mulai
dipelihara dan dijinakkan.

7
Cara bercocok tanam dengan berhuma mulai dikembangkan, sehingga
muncullah ladang-ladang pertanian yang sederhana. Berhuma adalah bercocok
tanam secara berpindah-pindah dengan cara menebang, membakar, serta
membersihkan hutan kemudian menamainya dan meninggalkannya setelah
tanah tersebut tidak subur lagi.
Kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam mengalami
peningkatan cukup pesat. Masyarakat praaksara pada saat itu telah memiliki
tempat tinggal yang tetap. Mereka memilih tempat tinggal pada suatu tempat
tertentu. Hal ini dimaksudkan agar hubungan antarmanusia di dalam kelompok
masyarakat semakin erat.
Eratnya hubungan antarmanusia di dalam kelompok masyarakat
merupakan cermin bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa anggota
masyarakat lain. Kehidupan sosial yang dilakukan oleh masyarakat pada masa
bercocok tanam ini terlihat dengan jelas melalui cara bekerja dengan bergotong
royong. Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat selalu dilakukan
dengan cara bergotong royong, diantaranya pekerjaan bertani, merambah hutan,
berburu, membangun rumah, dan lain-lain.
Cara hidup bergotong royong itu merupakan salah satu ciri kehidupan
masyarakat yang bersifat agraris. Kegiatan gotong royong hingga saat ini masih
tetap dipertahankan terutama di daerah pedesaan. Dalam kehidupan masyarakat
bercocok tanam sudah terlihat peran pemimpin (primus inter pares). Gelar
primus inter pares di Indonesia adalah ratu atau datu(k) artinya orang terhormat
dan yang patut dihormati karena kepemimpinannya, kecakapannya,
kesetiaannya, pengalamannya, dan lain-lain.
Kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam dan menetap
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Sudah mengenal bercocok tanam secara baik.
b. Sudah mampu mengolah bahan makanan sendiri sesuai dengan kebutuhan
mereka (menghasilkan makanan atau food pruducing). Disamping berburu
dan menangkap ikan, mereka juga telah memelihara binatang-binatang jinak
seperti anjing, babai, dan kerbau. Binatang-binatang tersebut selain untuk
keperluan konsumsi juga dapat dipakai sebagai binatang korban.

8
c. Sudah mempunyai tempat tinggal yang menetap secara mantap.
d. Peralatan yang dibuat dari batu lebih halus dam bermacam-macam, seperti
kapak, tombak, panah, dan lain-lain. Selain peralatan, mereka juga berhasil
membuat perhiasan dari gelang-gelang dan biji-biji kalung dari batu.
e. Peradaban mereka sudah lebih maju, alat-alat rumah tangga dibuat lebih
baik dan mereka telah mengerti seni.

3. Hasil Kebudayaan Masa Nelithikum


Hasil kebudayaan zaman batu muda menunjukkan bahwa manusia purba
sudah mengalami banyak kemajuan dalam menghasilkan alat-alat. Ada sentuhan
tangan manusia, bahan masih tetap dari batu. Namun sudah lebih halus, diasah,
ada sentuhan rasa seni. Fungsi alat yang dibuat jelas untuk pengggunaannya.
Hasil budaya zaman neolithikum, antara lain.
a. Kapak Persegi

Kapak Persegi
Kapak persegi dibuat dari batu persegi. Kapak ini dipergunakan untuk
mengerjakan kayu, menggarap tanah, dan melaksanakan upacara. Di
Indonesia, kapak persegi atau juga disebut beliung persegi banyak
ditemukan di Jawa, Kalimantan Selatan, Sulawesi, dan Nusa tenggara.
b. Kapak Lonjong

Kapak Lonjong

9
Kapak ini disebut kapak lonjong karena penampangnya berbentuk lonjong.
Ukurannya ada yang besar ada yang kecil. Alat digunakan sebagai cangkul
untuk menggarap tanah dan memotong kayu atau pohon. Jenis kapak
lonjong ditemukan di Maluku, Papua, dan Sulawesi Utara.
c. Mata Panah

Mata Panah
Mata panah terbuat dari batu yang diasah secara halus. Gunanya untuk
berburu. Penemuan mata panah terbanyak di Jawa Timur dan Sulawesi
Selatan.
d. Gerabah

Gerabah
Gerabah dibuat dari tanah liat. Fungsinya untuk berbagai keperluan.
e. Perhiasan

Perhiasan
Masyarakat pra-aksara telah mengenal perhiasan, diantaranya berupa
gelang, kalung, dan anting-anting. Perhiasan banyak ditemukan di Jawa
Barat, dan Jawa Tengah.

10
f. Alat Pemukul Kulit Kayu

Pemukul Kayu
Alat pemukul kulit kayu digunakan untuk memukul kulit kayu yang akan
digunakan sebagai bahan pakaian. Adanya alat ini, membuktikan bahwa
pada zaman neolithikum manusia pra- aksara sudah mengenal pakaian.

4. Kehidupan Kepercayaan
Bagaimana kepercayaan masyarakat pada masa bercocok tanam?
Kepercayaan masyarakat pada masa bercocok tanam mengalami perkembangan.
Mereka telah mempunyai konsep tentang alam dan kehidupan setelah kematian.
Mereka percaya bahwa roh seseorang tidak lenyap pada waktu meninggal.
Penghormatan terhadap nenek moyang atau kepala suku yang diagungkan tidak
berhenti pada waktu kepala suku telah meninggal. Penghormatan terus berlanjut
menjadi sebuah pemujaan.
Kepercayaan masyarakat pada masa bercocok tanam diwujudkan dalam
berbagai upacara keagamaan, seperti persembahan kepala leluhur dan upacara
penguburan mayat yang dibekali dengan benda miliknya. Mereka percaya bahwa
roh nenek moyang selalu mengawasi mereka. Oleh karena itu, mereka selalu
meminta perlindungan dari ancaman kelompok lain, binatang buas, dan ancaman
dari adanya wabah penyakit.
Sistem kepercayaan masyarakat praaksara tersebut telah mendorong
berkembangannya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan
animisme merupakan sebuah sistem kepercayaan yang memuja roh nenek
moyang, sedangkan menurut kepercayaan dinamisme ada benda-benda tertentu
yang diyakini memiliki kekuatan gaib, sehingga benda tersebut sangat dihormati
dan dikeramatkan.

11
B. MASA PERUNDAGIAN BUDAYA
MEGALITHIK DAN BUDAYA LOGAM
5. Asal-usul Manusia masa Perundagian
Masa perundagian Zaman perundagian adalah zaman di mana manusia
sudah mengenal pengolahan logam. Hasil-hasil kebudayaan yang dihasilkan
terbuat dari bahan logam. Adanya penggunaan logam, tidaklah berarti hilangnya
penggunaan barang-barang dari batu. Pada masa perundagian, manusia masih
juga menggunakan barang-barang yang berasal dari batu.
Penggunaan bahan dari logam tidak begitu tersebar luas sebagaimana
halnya bahan dari batu. Persediaan logam sangat terbatas. Hanya orangorang
tertentu yang memiliki barang-barang dari logam. Kemungkinan hanya orang-
orang yang mampu membeli bahan-bahan tersebut. Keterbatasan persediaan
tersebut memungkinkan barang-barang dari logam diperjualbelikan. Adanya
perdagangan tersebut dapat diperkirakan bahwa manusia pada zaman
perundagian telah mengadakan hubungan dengan luar.

6. Corak Kehidupan Sosial Ekonomi


Masyarakat pada masa perundagian diperkirakan sudah mengenal
pembagian kerja. Hal ini dapat dilihat dari pengerjaan barang-barang dari logam.
Pengerjaan barang-barang dari logam membutuhkan suatu keahlian, tidak semua
orang dapat mengerjakan pekerjaan ini. Selain itu, ada orang-orang tertentu yang
memiliki benda-benda dari logam. Dengan demikian pada masa perundagian
sudah terjadi pelapisan sosial.Bahkan bukan hanya pembuat dan pemilik, tetapi
adanya pedagang yang memperjualbelikan logam. Pada masa perundagian
kehidupan sosialnya sudah mengenal system kemasyarakatan yang sudah
teratur. Masyarakat hidup diikat oleh normanorma dan nilai. Norma-norma dan
nilai-nilai ini diciptakan oleh mereka sendiri, disepakati dan dijadikan pegangan
dalam menjalan kehidupannya. Sebagaimana layaknya dalam suatu sistem
kemasyarakatan, pada masa ini sudah ada pemimpin dan ada masyarakat yang
dipimpin. Struktur ini dikatakan ada kalau dilihat dari penemuan alat-alat untuk
penguburan. Kuburan-kuburan yang ada terdapat kuburan yang diiringi dengan
berbagai bekal bagi mayat.

12
Model kuburan ini diperkirakan hanya untuk para pemimpin. Sistem
mata pencaharian pada masa perundagian sudah mengalami kemajuan.
Keterikatan terhadap bahan-bahan makanan yang disediakan oleh alam mulai
berkurang. Mereka mampu mengolah sumber-sumber daya yang ada di alam
untuk dijadikan bahan makanan. Cara bertani berhuma sudah mulai berubah
menjadi bertani dengan bersawah. Ada perbedaan dalam cara bertani berhuma
dengan bersawah. Dalam bertani berhuma ada kebiasaan meninggalkan tempat
olahannya, apabila tanahnya sudah tidak subur, jadi hidup mereka pun tidak
menetap secara permanen. Sedangkan dalam bertani bersawah tidak lagi
berpindah, mereka tinggal secara permanen. Hal ini dikarenakan pengolahan
tanah pertanian sudah menggunakan pupuk yang membantu kesuburan tanah.
Dengan demikian masyarakat tidak akan meninggalkan lahan garapannya. Bukti
adanya kehidupan bersawah yaitu dengan ditemukannya alat-alat pertanian dari
logam, seperti bajak, pisau, dan alat-alat yang lainnya.

7. Hasil Budaya
Adanya perkembangan teknologi yang semakin maju, mendorong
manusia untuk melakukan hal yang terbaik pada dirinya, di antaranya pengaturan
tata air (irigasi). Perdagangan pun diperluas hingga antarpulau yang sebelumnya
hanya antardaerah domestik.
Dengan demikian, terjadilah sosialisasi antara manusia Indonesia dengan
suku dan bangsa-bangsa lain yang perkembangan budayanya telah lebih maju,
seperti kebudayaan India dan Cina. Melalui interaksi dengan orang India,
masyarakat Indonesia mulai mengenal sistem kerajaan, yang kemudian
melahirkan kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Tarumanagara, Sriwijaya,
Mataram, dan lain-lain.
Kehidupan seperti ini menunjang terbentuknya kebudayaan yang lebih
maju yang memerlukan alat-alat pertanian dan perdagangan yang lebih baik
dengan bahan-bahan dari logam. Hasil-hasil peninggalan kebudayaannya antara
lain :
a. Gerabah

13
Dalam masa peundagian, pembuatan barang-barang gerabah makin
maju dan kegunaan gerabah semakin meningkat. Walaupun masa
perundagian peranan perunggu dan besi sangat penting, namun peranan
gerabah pun dalam kehidupan masyarakat masih sangat penting dan
fungsinya tidak dapat dengan mudah digantikan oleh alat-alat yang terbuat
dari logam.
Pada umumnya gerabah dibuat untuk kepentingan rumah tangga
sehari-hari. Dalam upacara keagamaan gerabah digunakan sebagai
tempayan kubur, tempat bekal kubur atau tempat sesaji. Cara pembuatan
gerabah pada masa perundagian lebih maju dari pada masa bercocok tanam.
Pada masa perundagian ada adat kebiasaan untuk menempatkan tulang-
tulang mayat dalam tempayan-tempayan besar. Dengan adanya kebiasaan
ini menunjukan bahwa teknik pembuatan gerabah lebih tinggi.
Bukti-bukti peninggalan benda-benda gerabah ditemukan di
Kendenglembu (Banyuwangi), Klapadua (Bogor), Serpong (Tangerang),
Kalumpang dan Minanga Sapakka (Sulawesi Tengah) dan sekitar bekas
danau Bandung. Di Indonesia penggunaan roda putar dan tatap batu dalam
pembuatan barang gerabah berkembang lebih pesat dalam masa
perundagian (logam), bahkan di beberapa tempat masih dilanjutkan sampai
sekarang.
Dari temuan benda-benda gerabah di Kendenglembu dapat diketahui
tentang bentuk-bentuk periuk yang kebulat-bulatan dengan bibir yang
melipat ke luar. Menurut dugaan para ahli, gerabah semacam itu dibuat oleh
kelompok petani yang selalu terikat dalam hubungan sosial ekonomi dan
kegiatan ritual. Dalam pembuatan gerabah karena lebih mudah memberi
bentuk, maka dapat berkembang seni hias maupun bentuknya.
Di samping barang-barang gerabah di Kalimantan Tenggara
(Ampah) dan di Sulawesi Tengah (Kalumpang dan Minanga Sipakka)
ditemukan alat pemukul kulit kayu dari batu. Kagunaan alat ini ialah untuk
menyiapkan bahan pakaian dengan cara memukul-mukul kulit kayu sampai
halus. Alat pemukul kulit kayu sekarang masih digunakan di Sulawesi.

14
Gerabah pada masa perundagian banyak sekali ditemukan di Buni
(Bekasi, Jawa Barat). Di tempat ini telah dilakukan penggalian percobaan
yang dikerjakan oleh R.P.Suyono dan Basuki pada tahun 1961. Di tempat
ini gerabah ditemukan bersama-sama dengan tulang-tulang manusia. Sistem
penguburan di sini adalah sistem penguburan langsung (tanpa tempayan
kubur untuk tempat tulang-tulang mayat). Selain gerabah ditemukan pula
beliung persegi, barang-barang dari logam dan besi. Warna gerabah yang
ditemukan adalah kemerah-merahan dan keabu-abuan. Selain di Bekasi,
gerabah juga ditemukan di Bogor (Jawa Barat), Gilimanuk (ujung barat
pulau Bali), Kalumpang (Sulawesi Tengah), Melolo (Sumba), dan Anyer
(Jawa Barat).
b. Kapak Corong
Hasil-hasil kebudayaan perunggu di Indonesia adalah kapak corong
dan nekara. Kapak corong banyak sekali jenisnya, ada yang kecil bersahaja,
ada yang besar dan memakai hiasan, ada yang pendek lebar, bulat dan ada
pula yang panjang serta sisinya atau disebut candrana.
Di lihat dari bentuknya, kapak-kapak corong tersebut tentunya tidak
digunakan sebagaimana kapak, melainkan sebagai alat kebesaran atau
benda upacara. Hal ini menunjukkan bahwa kapak corong yang ditemukan
di Indonesia peninggalan zaman perunggu memiliki nilai-nilai sakral atau
nilai religi. Bentuk-bentuk corong tersebut ditemukan di Irian Barat dan
sekarang disimpan di Belanda. Sedangkan kapak upacara yang ditemukan
pada tahun 1903 oleh ekspedisi Wichman di Sentani disimpan di musium
lembaga kebudayaan Indonesia di Jakarta.
c. Kapak perunggu
Di Indonesia kapak perunggu yang ditemukan memiliki bentuk
tersendiri. Kapak perunggu memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran.
Di lihat dari pengggunaannya, maka kapak perunggu dapat berfungsi
sebagai alat upacara atau benda pusaka dan sebagai pekakas atau alat untuk
bekerja.
Secara Tipologik, kapak perunggu digolongkan ke dalam dua
golongan, yaitu: kapak corong dan kapak upacara. Umumnya kapak

15
perunggu yang terdapat di Indonesia mempunyai semacam corong untuk
memasukan kayu tangkai. Oleh karena bentuknya menyerupai kaki orang
yang bersepatu, maka dinamakan “kapak sepatu”. Kapak perunggu tersebut
ada yang diberi hiasan dan tanpa hiasan. Pada candrasa yang ditemukan di
daerah Yogyakarta, di dekat tungkainya terdapat lukisan yang sangat
menarik yaitu seekor burung terbang memegang sebuah candrasa yang
tangkainya sangat pendek.
Adapun cara pembuatan kapak-kapak perunggu atau corong, banyak
tanda-tanda yang menunjukan teknik a cire perdue. Di dekat Bandung
ditemukan cetakan-cetakan dari tanah bakar untuk menuangkan kapak
corong. Penyelidikan menyatakan bahwa yang dicetak adalah bukan
logamnya, melainkan tentunya kapak yang dibuat dari lilin, ialah yang
menjadi model dari kapak logamnya.
Daerah-daerah temuan kapak perunggu di Indonesia adalah
Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah
dan Selatan, Bali, Flores, pulau Roti dan Irian Jaya dekat Danau Sentani.
Kapak perunggu atau corong yang ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa,
Bali, sulawesi Tengah dan Selatan, pulau Selayar dan Irian dekat Danau
Sentani memiliki beragam jenis. Ada yang kecil dan bersahaja; ada yang
besar dan memakai hiasan; ada yang pendek lebar; ada yang bulat, dan
adapula yang panjang satu sisinya. Yang panjang satu sisinya disebut
Candrasa.
d. Bejana perunggu
Temuan bejana perunggu di Indonesia hanya sedikit. Daerah tempat
penemuannya tidak tersebar. Penemuan bejana perunggu ini hanya
ditemukan di daerah Sumatera dan Madura. Bejana perunggu ini memiliki
bentuk yang bulat panjang, seperti keranjang tempat ikan yang biasa
digunakan oleh para pencari ikan di sungai (kepis) atau menyerupai bentuk
gitar model Spanyol tanpa tangkai. Bejana yang di temukan di Kerinci
(Sumatera) memiliki panjang 50,8 cm dan lebar 37 cm. Sedang bejana yang
di temukan di Sampang lebih tinggi dan lebar ukurannya yaitu tingginya 90
cm dan lebar 54 cm.

16
e. Nekara perunggu
Nekara adalah semacam berumbung dari perunggu yang
berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Bentuk nekara
ini dapatlah disamakan dengan dandang yang ditelungkupkan. Nekara
sebagai hasil dari masa perundagian, mempunyai bentuk unik dengan pola-
pola hias yang kompleks. Bentuk nekara umumnya tersusun dalam tiga
bagian. Bagian atas terdiri dari bidang pukul datar dan bagian bahu dengan
pegangan. Bagian tengah merupakan silinder dan bagian bawah berbentuk
melebar. Pola hias yang terdapat di nekara ini pada umumnya berbentuk
pola hias geometrik dengan beberapa variasinya. Misalnya, pola hias
bersusun, pola hias pilin, dan pola hias topeng.
Nekara pun dianggap sebagai benda suci yang digunakan pada saat
upacara saja. Hal ini diperjelas dengan ditemukannya nekara di berbagai
daerah dan diantaranya sampai sekarang masih tersimpan di Bali dengan
ukuran 1,86 meter disimpan di sebuah pura di desa Intaran yaitu pure
penataran sasil.
Nekara merupakan benda-benda atau alat-alat yang ada dalam
kegiatan upacara yang berfungsi untuk genderang waktu perang, waktu
upacara pemakamam, untuk upacara minta hujan, dan sebagai benda pusaka
(benda keramat).
Nekara perunggu banyak sekali ditemukan di daerah Nusantara. Di
pulau Bima dan Sumbawa, nekara-nekara perunggu memakai pola hiasan
berupa orang-orang yang sedang menari dengan memakai hiasan bulu
burung dan terdapat hiasan perahu. Hiasan perahu tersebut diduga
merupakan perahu jenazah yang membawa arwah orang yang telah
meninggal.
Di Pulau Alor banyak nekara berukuran lebih kecil dan ramping dari
pada yang ditemukan di tempat-tempat lain. Nekara yang ditemukan di Alor
diberi nama Moko. Menurut penelitian dikatakan bahwa moko itu dibuat di
Gresik dan kemudian di bawa oleh orang-orang Bugis ke daerahnya. Di
bawa ke Nusa Tenggara sebagai barang dagangan.

17
Di daerah Manggarai (Flores) orang menanamakan Moko dengan
sebutan “gendang gelang” atau “tambur”. Biasanya Moko merupakan benda
pusaka yang dimiliki oleh seorang kepala suku yang kemudian diturunkan
kepada salah seorang anak laki-lakinya. Di Jawa Moko disebut “tamra” atau
“tambra”. Di Pulau Roti Moko ini disebut “Moko malai” yang artinya pulau
besar dari malai (Malaya), dan di Maluku Moko disebut “tifa guntur”.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa daerah-daerah
penyebaran moko terutama di Indonesia, meliputi daerah: pulau-pulau Alor,
Flores, Jawa, pulau Roti dan Maluku. Nekara yang paling besar adalah
sebuah nekara yang ditemukan di dekat Manuaba, daerah Pejeng (Bali).
Karena itu nekara yang ditemukan tersebut diberi nama “Nekara Pejeng”
atau “Bulan Pejeng”. Nekara di Pejeng (Gianjar Bali) berukuran sangat
besar, yaitu tinggi 1,98 meter dan bidang pukulnya 1,60 meter. Nekara
tersebut disimpan di puara penataran Sasih dan masih dipandang keramat
oleh penduduk setempat.
Pada tahun 1704, G.E. Rumpius telah melaporkan hasil
penelitiannya dengan mengemukakan tentang nekara dari Bali, yang
kemudian dikenal dengan nama Bulan Pejeng. Kemudian E.C. Barehewitz
menghasilkan hasil penelitiannya nekara dari Nusa Tenggara Timur pada
tahun 1930. Sebelum itu, A.B. Meyer telah menemukan beberapa nekara
dari Jawa, Salayar, Luang, Roti dan Leti. Bersama-sama dengan W. Fox,
A.B. Meyer mengadakan perbandingan tentang benda-benda nekara yang
ditemukan di Asia Tenggara dan mengambil kesimpulan, bahwa nekara-
nekara perunggu itu pada dasarnya berpusat di Khemer dan kemudian
menyebar ke Asia Tenggara termasuk penyebaran selanjutnya ke Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian yang sistematis dilakukan oleh R.P.
Soejono pada akhir-akhir ini telah menghasilkan benda-benda perunggu dari
Gilimanuk di Bali, Leuwi Liang di Bogor. Di tempat lain juga didapatkan
benda-benda perunggu seperti hasil penelitian di Prajekan antara
Bondowoso dan Situbudondo. Kemudian dari daerah antara Tangerang
sampai Karawang di Jawa Barat dan di aliran sungai Cisadane, Bekasi,
Citarum, Ciparage dan Cikarang.

18
f. Patung-patung perunggu
Bentuk patung perunggu bermacam-macam bentuknya. Ada yang
berbentuk orang atau hewan. Patung yang berbentuk orang menggambarkan
orang yang sedang menari, orang yang sedang berdiri, sedang naik kuda dan
ada yang memegang panah. Patung perunggu ini tenyata banyak juga
ditemukan di Indonesia. Arca- raca yang berbentuk orang atau hewan telah
ditemukan di daerah Bangkinan (propinsi Riau), Lumajang (Jawa Timur),
Bogor (Jawa Barat), dan Palembang (Sumatera Selatan) Jenis patung ada
dua, yakni patung orang dan patung binatang, berupa kerbau. Patung orang
atau boneka perunggu ini ditemukan di Bangkinang daerah provinsi Riau
daratan. Sedangkan yang berbentuk hewan ditemukan di Limbangan daerah
Bogor.
g. Gelang dan cincin perunggu
Gelang perunggu dan cincin perunggu pada umumnya tanpa hiasan.
Tetapi ada juga yang dihias dengan pola geometrik atau pola binatang.
Bentuk- bentuk hiasa yang kecil mungkin dipergunakan sebagai alat tukar
atau benda puasaka. Ada juga mata cincin yang bernetuk seekor kambing
jantan yang ditemukan di Kedu (Jawa Tengah). Bandul (mata) kalung yang
berbentuk kepala orang ditemukan di Bogor. Ada pula kelintingan perunggu
berukuran kecil yang berbentuk kerucut, silinder-silinder kecil dari
perunggu, yang tiap ujung silinder ada yang berbentuk kepala kuda, burung,
kijang. Kelintingan perunggu banyak ditemukan di Malang (Jawa Timur).
Di samping perhiasan dari perunggu juga ada yang berbentuk belati, ujung
tombak, ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta
Flores.

h. Benda-benda perunggu lainnya


Benda-benda yang terbuat dari perunggu mempunyai nilai seni yang
tinggi seperti yang ditemukan berupa jelang kaki atau benggel, gelang,
anting- anting, kalung, dan cincin. Di samping itu, seni menuang patung
sudah ada dengan ditemukannya patung-patung, juga memiliki nilai
ekonomi dengan ditemukannya cincin dengan lubang kecil yang

19
diperkirakan sebagai alat tukar. Untuk menetapkan benda-benda yang
terbuat dari perunggu diperlukan suatu teknologi. Dengan menempa logam
untuk dijadikan sebuah benda yang didinginkan terlebih dahulu harus
melebur bijih menjadi lempengan logam, sedangkan proses peleburan
diperlukan panas dengan suhu yang tinggi. Kesemuanya meliputi jenis:
1) Ujung tombak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
2) Pisau belati, ditemukan di Jawa Timur dan Flores.
3) Mata pancing ditemukan di Gilimanuk di Bali.
4) Ikat pinggang berpola hias geometris ditemukan di Prajekan di Jawa
Timur.
5) Penutup lengan ditemukan di Bangkinang dan Bali.
6) Bandul kalung berbentuk manusia ditemukan di Bogor.
7) Silinder-silinder kecil bagian dari kalung ditemukan di Malang.
8) Kelintingan kecil berbentuk kerucut, ditemukan di Bali.
i. Manik-manik
Manik-manik sebagai hasil hiasan sesungguhnya sudah lama di
kenal masyarakat Indonesia. Manik-manik di Indonesia memegang peranan
penting. Manik-manik digunakan sebagai bekal kubur, benda pusaka, juga
dipergunakan sebagai alat tukar. Manik-manik ditemukan hampir di setiap
penggalian, terutama di daerah-daerah penemuan kubur prasejarah seperti
Pasemah, Jawa Barat, Gunung Kidul (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Besuki
(Jawa Timur), dan Gilimanuk (Bali).
Manik-manik di Indonesia yang pernah ditemukan bermacam-
macam bentuk dan ukurannya. Ukuran yang biasa adalah bulat, silinder,
bulat panjang, lonjong telor, persegi enam, dan sebagainya. Warna-warna
yang umum pada manik-manik tersebut adalah biru, merah. Kuning, hujau
atau merupakan kombinasi dari warna-warna itu. Beberapa manik-manik
yang berwarna hitam ditemukan di Sangir, yang terbuat dari batu andesit.
j. Benda-benda besi
Berbeda dengan penemuan benda-benda perunggu, maka penemuan
benda-benda besi terbatas jumlahnya. Benda-benda besi di gunakan sebagai

20
bekal kubur, misalnya yang ditemukan di kubur-kubur prasejarah di
Wonosari (Jawa Tengah) dan Besuki (Jawa Timur).
Jenis-jenis alat besi dapat digolongkan sebagai prkakas kerja sehari-
hari dan sebagai senjata. Sebagian temuan hanya berupa fragmen-fragmen
yang sukar ditentukan macam bendanya dan sebagian lagi memperlihatkan
bentuk-bentuk yang belum jelas fungsinya. Alat-alat besi yang banyak
ditemukan berbentuk:
1) Mata kapak atau sejenis beliung yang dikaitkan secara melintang pada
tangkai kayu. Alat ini banyak ditemukan di daerah Gunung Kidul (Jawa
Tengah). Alat yang temukan tersebut diperkirakan dipergunakan untuk
menatah batu padas.
2) Mata pisau dalam berbagai ukuran
3) Mata sabit dalam bentuk melingkar
4) Mata tembilang atau tajak
5) Mata alat penyiang rumput
6) Mata pedang, yang antara lain ditemukan dalam kubur peti di
7) Gunung Kidul
8) Mata tombak
9) Tongkat dengan ujungnya berbentuk kepala orang
10) Gelang-gelang besi ditemukan antara lain di daerah Banyumas dan
Punung (Pacitan Jawa Tengah)

8. Bentuk Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat pada masa perundagian merupakan kelanjutan
dari masa bercocok tanam. Kepercayan berkembang sesuai dengan pola pikir
manusia yang merasa dirinya memiliki keterbatasan dibandingkan dengan yang
lainnya. Anggapan seperti ini memunculkan jenis kepercayaan: animisme dan
dinamisme.
a. Animisme
Dalam kepercayaan animisme, manusia mempunyai anggapan
bahwa suatu benda memiliki kekuatan supranatural dalam bentuk roh. Roh
ini bisa dipanggil dan diminta pertolongan pada saat diperlukan. Mereka

21
percaya akan hal-hal yang gaib atau kekuatan hebat. Kepercayaan terhadap
bermacam-macam roh dan makhluk halus yang menempati suatu tempat
memunculkan kegiatan menghormati atau memuja roh tersebut dengan cara
berdoa dengan mantera dan memberi sesajen atau persembahan.
b. Dinamisme
Kepercayaan dinamisme ini perpanjangan dari animisme. Roh atau
makhluk halus yang diyakini berasal dari jiwa manusia yang meninggal,
kemudian mendiami berbagai tempat, misalnya hutan belantara, lautan luas,
gua-gua, sumur dalam, sumber mata air, persimpangan jalan, pohon besar,
batu-batu besar, dan lain-lain.
Timbullah kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib yang dapat
menambah kekuatan seseorang yang masih hidup. Kekuatan yang timbul
dari alam semesta inilah yang menimbulkan kepercayaan dinamisme
(dinamis berarti bergerak). Manusia purba percaya bahwa, misalnya, pada
batu akik, tombak, keris, belati, anak panah, bersemayam kekuatan halus,
sehingga alat-alat tersebut harus dirawat, diberi sesajen, dimandikan dengan
air kembang.
Di kemudian hari, kepercayaan-kepercayaan animisme dan
dinamisme mendorong manusia menemukan kekuatan yang lebih besar dari
sekadar kekuatan roh dan makhluk halus dan alam. Masyarakat lambat laun,
dari generasi ke generasi, meyakini bahwa ada kekuatan tunggal yang
mendominasi kehidupan pribadi mereka maupun kehidupan alam semesta.
Kekuatan gaib tersebut diyakini memiliki keteraturan sendiri yang tak dapat
diganggu-gugat, yakni hukum alam.
Kepercayaan terhadap “Kekuatan Tunggal” ini lantas dihayati
sebagai kekayaan batin spiritual sekaligus kekayaan kebudayaan.
Kepercayaan animisme dan dinamisme ini kemudian berkembang dan
menyatu dengan kebudayaan Hindu-Buddha dan kemudian Islam.

22
BAB III

PENUTUP

A KESIMPULAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa pengaruh yang
luas di bidang perubahan. Perkembangan tersebut merupakan rangkaian dari
perkembangan yang pernah terjadi sebelumnya.
Dalam sejarah dijelaskan yang pada awalnya, kehidupan masyarakat dimulai
dari masyarakat primitif yang hidup sederhana. Mereka hidup dari hasil berburu dan
mengumpulkan makanan yang terdapat di alam untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Manusia primitif berkembang dan beruhah menjadi beternak. Seiring
dengan berkembangnya peradaban, kemudian muncul pertanian dalam bentuk yang
sederhana yaitu dengan cara berladang, lalu kemudian dengan semakin
berkembangnya teknologi kemudian manusia mulai mengenal apa yang namanya
industri.
Masa perundagian Zaman perundagian adalah zaman di mana manusia sudah
mengenal pengolahan logam. Hasil-hasil kebudayaan yang dihasilkan terbuat dari
bahan logam. Adanya penggunaan logam, tidaklah berarti hilangnya penggunaan
barang-barang dari batu. Pada masa perundagian, manusia masih juga menggunakan
barang-barang yang berasal dari batu.
Masyarakat pada masa perundagian diperkirakan sudah mengenal pembagian
kerja. Hal ini dapat dilihat dari pengerjaan barang-barang dari logam. Pengerjaan
barang-barang dari logam membutuhkan suatu keahlian, tidak semua orang dapat
mengerjakan pekerjaan ini. Selain itu, ada orang-orang tertentu yang memiliki benda-
benda dari logam.
Hasil-hasil peninggalan kebudayaannya antara lain nekara perunggu, moko,
kapak perunggu, bejana perunggu, arca perunggu, dan perhiasan. Kepercayaan
masyarakat pada masa perundagian merupakan kelanjutan dari masa bercocok

23
tanam. Kepercayan berkembang sesuai dengan pola pikir manusia yang merasa
dirinya memiliki keterbatasan dibandingkan dengan yang lainnya. Anggapan seperti
ini memunculkan jenis kepercayaan: animisme dan dinamisme.

B. SARAN
Karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis, diharapakan kepada
pembaca agar memberikan masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

24
DAFTAR PUSTAKA

http://buihkata.blogspot.com/2012/11/ciri-ciri-zaman-batu-neolitikum-zaman.html
http://sejenisinfo.blogspot.com/2012/08/sejarah-api-mula-mula-
ditemukan.html#ixzz2iE44fWdE
http://escapefromstupidity.blogspot.com/2013/08/pola-hunian-manusia-praaksara.html
http://blogzulkifly.blogspot.com/2013/08/masa-berburu-dan-mengumpulkan-
makanan.html
http://sejarahkelasx.blogspot.co.id/2014/06/benda-benda-yang-dihasilkan-pada-
zaman.html
http://www.gurusejarah.com/2015/01/masa-perundagian.html
http://www.materisma.com/2014/11/kehidupan-manusia-purba-masa-perundagian.html
http://www.kopi-ireng.com/2015/02/corak-kehidupan-manusia-purba.html
http://maruyamaimam.blogspot.co.id/2014/01/pengertian-masa-perundagian-
sejarah.html

25

Anda mungkin juga menyukai