PERTANIAN
Kelas 4A Agroteknologi
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 2
1.3. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
sangat unik, mulai dari proses kelahiran anak, proses perkawinan, tradisi makan,
pakaian adat, hingga tradisi masa panen.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Merisik
Setelah seorang gadis dianggap cukup umur untuk melangsungkan
perkawinan, keluarga si gadis akan sibuk mencarikan jodoh yang menurut
3
pandangan mereka cocok baginya. Pertama-tama orang tua si gadis akan
menanyakan pendapat mamaknya atau pamannya. Karena menurut adat, mamaklah
yang berhak memutuskan. Pengaruh mamak dalam proses pengambilan keputusan
ini sudah berubah akibat cara berpikir yang semakin maju. Menurut adat Minang
yang memutuskan perkara perkawinan adalah mamak, walaupun sebenarnya
pembicaraan pertama kali berada di tangan orang tua. Setelah menemukan pria
yang sesuai untuk calon pengantin wanita, maka dari pihak keluarga wanita
melakukan merisik.
Merisik maksudnya disini adalah pihak keluarga wanita akan mendatangi pihak
keluarga pria. Kegiatan ini menjadi proses awal tata cara pernikahan adat Minang.
Pihak keluarga yang diutus adalah mamak atau paman dari wanita yang sudah
berpengalaman dalam mencari tahu apakah calon pengantin prianya cocok dengan
calon pengantin wanitanya. Dalam mengutus pihak keluarga ini biasanya pihak
keluarga wanita membawa buah tangan untuk keluarga calon pengantin pria
sebagai simbol sopan santun.
4
perkawinan inti, seperti besar kecilnya perjamuan perkawinan, jenis atau macam
pakaian yang digunakan kedua pengantin, upacara penginai kuku, sampai kepada
yang lebih kecil. Perundingan biasanya di lakukan oleh kaum perempuan yang
menjadi utusan kedua belah pihak.
4. Babako-babaki
Prosesi ini diadakan beberapa hari sebelum akad nikah berlangsung. Bako
berarti pihak keluarga dari ayah pengantin wanita. Keluarga ini ingin menunjukkan
kasih sayangnya dengan ikut memikul beban biaya sesuai kemampuan. Dimulai
dengan calon pengantin wanita dijemput dan dibawa kerumah keluarga ayahnya.
Disana para mertua akan memberikan nasihat. Keesokan harinya, calon pengantin
wanita akan diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan
membawa berbagai macam barang bantuan. Perlengkapan yang disertakan biasanya
berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning, singgang ayam (sebagai
makanan adat). Hantaran barang yang dibutuhkan calon pengantin wanita seperti
pakaian, perhiasan, lauk pauk, dan kue.
5. Malam Bainai
Malam bainai dilaksanakan sehari sebelum upacara perkawinan di
langsungkan di rumah pengantin wanita. Bainai adalah upacara memerahkan kuku
calon pengantin dengan dan inai yang telah dihaluskan. Upacara dimulai dengan
membakar setanggi yang asapnya diarahkan ke calon pengantin sambil mendoakan
agar hidup mereka seharum setanggi itu. Disusul kemudian dengan penaburan beras
kuning yang melambangkan hidup makmur dan berjiwa sosial. Kemudian
5
keduanya di perciki dengan air setawar, sidingin, daun kemuning serta alang- alang
yang mengandung arti kiasang masing-masing. Air bunga melambangkan hal yang
suci bersih, daun setawar sidingin akan memberikan kesejukkan, sedangkan daur
kemuning dan alang-alang melambangkan kehidupan yang tentram dan damai tidak
ada halangan.
Terakhir dioleskan inai yang bertujuan untuk mempercantik diri secara lahir
dan batin, agar selamat dan bahagia dalam menjalani hidup baru. Inai dioleskan
oleh beberapa orang dari keluarga terdekat kedua belah pihak, masing-masing
mememerahkan satu jari kuku. Upacara ini dihadiri oleh keluarga terdekat kedua
pihak. Ada juga yang mengkhususkan acara ini untuk kaum wanita saja, sedangkan
dari pihak pengantin laki-laki menunggu dari luar atau di ruang lain yang telah
disediakan.
Tujuan menginai kuku agar merah ialah untuk memberikan pertanda kepada
belah pasangan, bahwa mereka yang merah kukunya adalah pengantin baru
sehingga kalau mereka berjalan berdua atau pergi mandi bersama ke pancuran,
semua orang sudah tahu bahwa keduanya adalah pasangan pengantin baru.
6. Manjapuik Marapulai
Pelaksanaan perkawinan dilangsungkan di Mesjid atau di Rumah pengantin
Wanita. Pada hari perkawinan, pengantin laki-laki atau marapulai di jemput oleh
utusan dari keluarga pihak pengantin wanita. Acara ini di sebut menjapuik
marapulai. Utusan yang menjemput terdiri dari sejumlah sumandan atau
pasumandan. Sumandan adalah dua orang wanita muda yang baru saja melakukan
perkawinannya. Bagi kedua sumandan, tugas dan kehadiran mereka disini disebut
turun ke durian. Secara adat, sebelum acara turun durian ini dilaksanakan, mereka
belum boleh menghadiri undangan pesta lain. Tugas utama mereka adalah sebagai
pengiring marapulai.
Pada waktu menjemput, semua syarat dan tata cara adat yang telah disetujui
harus dipenuhi, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Berbagai syarat jemputan
yang berupa barang dibawa diatas baki atau nampan, yang diantaranya ada
seperangkat pakaian marapulai. Jika ada kesepakatan tentang uang jemputan,
penyerahan dilakukan pada saat itu. Para penjemput menguraikan maksud
6
kedatangan mereka, biasanya dengan kalimat yang penuh dengan kiasan yang
disebut dengan petatah petitih perkawinan.
8. Akad nikah
Pada acara akad nikah anak daro tetap tinggal dikamar, ia sudah mengenakan
pakaian pengantin sesuai dengan adat daerahnya. Selanjutnya orang tua anak daro
akan menanyakan kesediaan anak daro menikah dengan calon suaminya. Biasanya
pertanyaan ini tidak dijawab dengan kata-kata, tetapi cukup dengan anggukan
kepala saja.
Akad nikah dilakukan secara Islam yang biasa dilakukan di masjid, sebelum
kedua pengantin bersanding di pelaminan. Mahar sebagai syarat dalam agama Islam
diserahkan pada waktu itu. Selain mahar, marapulai juga menyerahkan perangkat
keperluan anak daro yang disebut panibo. Di beberapa daerah sebagai
imbangannya, pihak wanita menyediakan pananti yang berupa perangkat keperluan
marapulai..
9. Basandiang di Pelaminan
Setelah akad nikah ini selesai, anak daro dan marapulai diantar ke pelaminan
untuk duduk bersanding. Anak daro dan marapulai akan menanti tam dengan
diwarnai musik dari halaman rumah.
7
➢ Mamulangkan Tando
Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, maka tanda yang diberikan sebagai
ikatan janji saat lamaran atau pertunangan akan dikembalikan oleh kedua belah
pihak.
8
➢ Manjalang
Setelah melalui berbagai upacara baik menurut agama dan adat, keduanya resmi
menjadi suami istri. Semua acara yang diuraikan sebelumnya berlangsung dirumah
anak daro. Acara selanjutnya adalah manjalang. Acara ini berlangsung di rumah
marapulai, sama dengan di Jawa yang disebut ngundu mantu. Kedua pengantin
baru, turun dari rumah anak daro dengan para pengiring yang membawa jamba
(makanan besar), berupa hantaran yang terdiri dari nasi dengan lauk pauknya.
Makanan tersebut diletakkan di atas semacam tempat dari kuningan yang disebut
dengan dulang dan ditutup dengan tudung saji. Kemudian di atasnya ditutup lagi
dengan sehelai kain berhiaskan benang emas yang disebut dengan dalamak.
Kedatangan kedua pengantin disambut dengan taburan beras kuning sebagai tanda
memberi berkah mereka duduk di pelaminan yang telah di pasang. Acara ini lebih
bersifat ramah tamah diantara kerabat dan undangan kedua belah pihak. Jamba
yang dibawa oleh rombongan pengiring anak daro isinya dikeluarkan dan diganti
dengan masakan yang dibuat oleh keluarga marapulai. Salah satu dibiarkan tidak
tertutup dan diatasnya diletakkan pemberian keluarga marapulai untuk anak daro
berupa baju perhiasan. Setelah acara selesai rombongan pulang dengan membawa
jamba yang telah di tukar tadi. Tujuan prosesi ini untuk menghormati dan
memuliakan orang tua serta ninik mamak dari pengantin pria.
9
Nan Godang Payakumbuh. Marondang boreh adalah sebuah kebiasaan yang harus
dilakukan oleh pihak anak yang baru dilahirkan baik itu dari pihak keluarga ibunya
maupun bapaknya. Kedua pihak tersebut wajib melaksanakan tradisi marondang
boreh terhadap anaknya yang baru lahir sebab apabila tidak dilakukan tradisi
marondang boreh maka anak tersebut dikatakan tidak dikokehan (tidak diadatkan).
Bakokehan ini adalah kewajiban yang sakral bagi masyarakat Koto Nan Gadang
Payakumbuh, sebab apabila tidak adanya bakokehan ini maka anak sampai besar
dianggap sebagai anak tidak diadatkan.
Tradisi ini adalah kegiatan membuat rendang beras untuk menyambut
sekaligus pengadatan anak yang baru lahir. Biasanya tradisi marondang boreh
diadakan pada sore hari pada saat upacara aqiqah dilakukan. Tradisi marondang
boreh ini biasanya dilakukan oleh pihak bapak yaitu induak bako anak yang aqiqah
(saudara perempuan ayah), mulai dari proses pembuatan boreh rondang sampai
pada proses pembagiannya saat upacara aqiqah tersebut.
Fungsi marondang boreh dalam kehidupan masyarakat di Koto Nan Gadang
Payakumbuh yaitu menjauhkan anak dari kepercayaan-kepercayaan burul yang ada
dalam lingkungan masyarakat, dan untuk mendapatkan pengakuan masyarakat atas
hak hidupnya dan bergaul dalam masyarajat Koto Nan Gadang. Karena masyarakat
meyakini dahulu tradisi ini adalah bentuk tolak bala dalam berbagai kejadian yang
menimpa anak yang baru lahir.
Tradisi marondang boreh pada upacara aqiqah ini masih dilakukan oleh
masyarakat di Koto Nan Godang sampai sekarang ini. Berdasarkan syariat agama,
tradisi marondang boreh ini tidak bertentangan sama sekali dengan syariat Islam.
10
menggunakan pakaian adat tersebut dan peran dari orang yang menggunakannya
dalam masyarakat.
Pakaian adat yang dikenakan oleh perempuan Minangkabau disebut dengan
pakaian bundo kanduang dan anak daro, sedangkan pakaian adat laki-laki
Minangkabau disebut pakaian pangulu, manti, dubalang, malin, marapulai. Semua
pakaian adat tersebut memiliki fungsi sesuai dengan masing-masing peran yang
menggunakannya.
11
➢ Pakaian adat Pangulu
Pangulu adalah sebutan bagi ninik mamak pemangku adat. Asal kata Pangulu
adalah “hulu” yang berarti “kepala”. Yang dimaksud kepala adalah seorang laki-
laki yang dipilih nagari sebagai kepala atau pemimpin masyarakat di Minangkabau.
Sebagai seorang pemimpin tentu memiliki tanggung jawab yang sangat besar
terhadap kaum, suku, dan nagarinya. Dalam suatu kaum gelar Pangulu diberikan
kepada kemenakan yang memiliki hubungan darah.
Pakaian adat Pangulu terdiri atas baju hitam longgar (besar lengan), celana
(sarawa), cawek (ikat pinggang), kain sandang (kain kaciak), keris, dan tongkat.
12
Masyarakat Minangkabau, salah satu contohnya di Kubuang Tigobaleh,
mempunyai aturan tatacara makan yang berorientasi pada senioritas, yaitu
mendahulukan orang yang lebih tua sehingga makanan untuk yang lebih tua atau
urang sumando (menantu laki-laki) akan disisihkan jika mereka belum berada di
tempat makan. Pada waktu makan bersama, yang lebih tua akan mengambil
makanan terlebih dahulu baru diikuti oleh yang lebih muda.
Wadah tempat menaruh makanan sewaktu makan adalah menggunakan
cambuang sebagai tempat nasi, piring kecil untuk tempat makanan yang tidak
berkuah, dan mangkuk untuk tempat makanan yang berkuah. Semua makanan
tersebut diberi sendok dan tidak dipindah-pindahkan dari piring ke piring lainnya.
Hal ini diyakini oleh masyarakat akan mempercepat pembusukan makanan.
Mengambil makanan dengan tangan dianggap sebagai sesuatu yang tidak sopan,
oleh karena itu semua piring dan mangkuk tempat makanan masing-masing diberi
sendok. Dalam mengambil makanan adalah dengan cara dari pinggir ke tengah,
bukan sebaliknya, dengan tujuan supaya pinggir piring tidak kotor dan kurang indah
dipandang mata. Untuk menyuap makanan dalam keadaan biasa digunakan tangan,
bukan dengan sendok atau alat lainnya. Makan dengan sendok biasanya adalah
untuk makan bubur atau kolak.
Secara tradisional masyarakat Kubuang Tigobaleh makan dengan cara duduk
bersila bagi laki-laki dan bersimpuh bagi perempuan di atas tikar yang
dibentangkan di atas lantai. Sewaktu makan, piring tempat nasi harus diletakkan di
atas tikar. Mengangkat piring dengan sebelah tangan dianggap sebagai kelakuan
yang kurang sopan, walaupun pada masyarakat Minangkabau lainnya hal ini
tidaklah dianggap sebagai sesuatu ketidaksopanan. Apabila telah selesai makan,
tetapi yang lain belum selesai, dilarang mencuci tangan terlebih dahulu, karena hal
ini akan membuat orang yang masih makan merasa malu dan merasa makannya
terlalu banyak. Jika makanan di piring tinggal sedikit mereka biasa melambatkan
makannya sehingga bisa selesai bersamaan dengan yang lainnya.
Makanan yang dihidangkan kadang-kadang berbeda antara makanan untuk
orang dewasa dengan anak-anak. Makanan untuk orang dewasa biasanya lebih
pedas dan diberi bumbu yang lebih banyak. Untuk urang sumando makanan yang
dihidangkan biasanya adalah makanan terbaik yang dimiliki oleh keluarga itu yang
13
tidak boleh dimakan oleh anak-anak, kecuali jika urang sumando telah selesai
makan. Makanan yang diberikan kepada anak-anak biasanya tidak atau kurang
pedas. Bumbu-bumbunya juga tidak begitu banyak, karena perut anak kecil
dikhawatirkan tidak siap menerima makanan yang pedas dan berbumbu banyak.
Makanan untuk anak-anak lebih banyak berupa goreng tanpa cabai dan sayur-
mayur.
Masyarakat Minangkabau juga memiliki tradisi makan yang unik pada saat
upacara adat perkawinan. Tata cara makannya biasa disebut oleh masyarakatnya
dengan nama makan “bajamba”. Makan bajamba ini dilakukan dengan
menggunakan talam besar dengan jumlah orang yang makan didalam talam tersebut
sebanyak tiga sampai lima orang. Masyarakat yang melakukan makan bajamba ini
melakukannya dengan cara duduk melingkari talam besar (piring besar) yang sudah
disediakan, kemudian posisi duduknya yang sudah diatur yaitu kalau wanita duduk
dengan “basimpuah” (bersimpuh) dan laki-laki dengan “baselo” (bersila). Makan
bajamba ini memberikan kesempatan kepada yang melaksanakannya untuk
mengenal orang yang belum dikenal serta dapat mempererat tali silaturrahmi
seseorang yang renggang menjadi dekat kembali.
Tradisi makan “bajamba” ini wajib dilakukan apabila seorang masyarakat
ingin melaksanakan prosesi perkawinan (barelek) di Minangkabau, baik itu ingin
melaksanakan perkawinan besar (baralek gadang), perkawinan menengah (baralek
manangah )maupun perkawinan kecil (baralek kaciak). Dalam perkawinan ini
masyarakat tidak dituntut untuk melaksanakan makan bajamba dalam baralek
gadang saja, namun di baralek menengah dan kecilpun juga bisa melakukan prosesi
makan “bajamba” sesuai keinginan masyarakat yang sedang melaksanakan acara
perkawinan.
14
merencanakan kapan padi itu akan di “iriak”, serta memberitahukan keluarga
ataupun tetangganya. Mairiak adalah aktivitas melepaskan bulir padi dari
tangkainya dengan menggunakan telapak kaki manusia, dan biasa dikerjakan secara
bersama oleh kaum laki-laki. Tradisi mairiak ini berlaku umum pada masyarakat
Minangkabau dahulunya (tradisional), dan merupakan tradisi yang sarat dengan
nilai budaya yang mencerminkan kebersamaan masyarakat Minangkabau.
Pelaksanaan iriak atau mairiak ini pada masa dahulu disebabkan karena
belum adanya peralatan khusus seperti halnya sekarang untuk memisahkan padi
dari tangkainya, dan oleh karenanya orang Minangkabau waktu itu menggunakan
kaki untuk memisahkan bulir padi itu. Kapan tradisi mairiak mulai ada dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau tidak diketahui secara pasti, namun diyakini
telah ada semenjak orang Minangkabau mengenal bercocok tanam di sawah.
Aktifitas mairiak pada masyarakat Minangkabau, sebagaimana telah
diungkapkan, bertujuan untuk memisahkan bulir padi yang sudah disabit dari
tangkainya dan agar padi yang sudah masak dapat dimanfaatkan baik untuk di
konsumsi sendiri ataupun dijual. Manfaat dari tradisi mairiak tersebut yang penting
karena dengan adanya tradisi tersebut membina rasa kegotongroyongan (tolong
menolong) sesama komunitas tersebut dan ikatan kekerabatan yang lebih kuat.
Pemilik sawah sebagai pelaksana teknis tradisi mairiak dan mengurus segala
sesuatunya menyangkut persiapan, peralatan dan pelaksanaan mairiak itu pada
waktunya. Biasanya orang yang dituakan dalam kaum itu (tungganai) atau
penghulu kaum tersebut menjadi pemimpin yang akan mengarahkan peserta untuk
memulai dan menyediakan hal-hal yang diperlukan.
Peserta atau orang yang melaksanakan aktifitas mairiak pada suatu tempat
adalah keluarga (kerabat) dekat, yang sebelumnya diberitahu untuk membantu
pekerjaan mairiak tersebut. Pihak kerabat, tidak saja keluarga yang sedarah, tetapi
juga adakalanya kerabat yang dari pihak suami atau isteri (ipar besan) dari saudara,
anak, menantu dan lain-lain. Biasanya peserta atau orang yang ikut membantu itu
berjumlah 10- 20 orang dan bisa lebih, terutama bagi pemilik yang banyak memiliki
keluarga, tetangga dan kenalan. Peserta mairiak itu terdiri dari laki-laki dan
perempuan, namun sepenuhnya pekerjaan mairiak itu dilakukan oleh laki-laki yang
sudah dewasa (berumur 20 tahun ke atas). Sedangkan pihak perempuan
15
mengerjakan kegiatan pendukung seperti, menyiapkan/mengantarkan makanan dan
minuman bagi yang mairiak tersebut, membersihkan jerami dari bulir padi yang
sudah di iriak (mangirai), memisahkan padi yang bernas dengan yang hampa,
memasukkan padi yang sudah bersih ke karung atau katidiang, dan lainnya.
Tradisi mairiak pada dasarnya bisa dilakukan pada siang hari maupun malam
hari, namun yang paling umum adalah pada malam hari. Hal itu disebabkan pada
malam hari dirasakan cuaca tidak panas (sejuk) sehingga pekerjaan mairiak dapat
berlangsung cepat dan mudah. Biasanya untuk padi yang jumlahnya sedikit akan
dilaksanakan siang hari dengan jumlah orang yang mairiak sedikit pula, dan jika
padi cukup banyak maka dilaksanakan pada malam hari. Pada siang hari yang
biasanya dilakukan adalah proses memotong atau menyabit padi dan membuat
“lungguak” padi. Biasanya proses mairiak bisa diselesaikan menjelang tengah
malam (sebelum jam 12 malam), dan setelah itu menjelang pagi dilanjutkan degan
kegiatan maangin dan manampi dalam rangka membersihkan padi, serta
mengangkut padi kerumah keesokan harinya.
Tempat atau lokasi pelaksanaan mairiak adalah pada sawah yang sudah
dipanen (disabit) dengan pemilihan pada tempat yang memungkinkan untuk
dijadikan lokasi mairiak. Biasanya tempat mairiak adalah pada tumpak sawah yang
paling besar dan datar. Ketika padi telah disabit, pada tempat yang dianggap baik
akan dipangkas sisa batang padi yang tertinggal untuk tempat mairiak dan tempat
istirahat.
16
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Di Minangkabau, setiap peristiwa dalam kehidupan masyarakat sebagian
besar dilakukan dengan upacara atau tradisi yang dilakukan secara adat istiadat
sesuai norma adat yang berlaku. Keseluruhannya dilakukan secara adat dan
ketentuan agama yang sesuai dengan falsafah Minangkabau adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah. Hal ini tentunya sudah menjelaskan bahwa setiap hal di
minangkabau harus sejalan dengan adat dan agama, baik itu berbentuk upacara adat
maupun tradisi adat serta kegiatan kebudayaan lainnya. Dari pembahasan kami,
dapat disimpulkan beberapa tradisi dan adat Minangkabau yaitu :
1. Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, terdapat beberapa tahapan yang
umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik
marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di
pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari
(menentukan hari pernikahan), kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara
Islam yang biasa dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin bersanding di
pelaminan.
2. Pada saat lahirnya anak ke dunia, dilakukan tradisi yang disebut marondang
boreh di Koto Nan Godang Payakumbuh sebagai ungkapan rasa syukur atas
kelahiran anak tersebut.
3. Pakaian adat Minangkabau yang sangat unik karena perbedaan kebiasaan yang
terdapat di dalam masyarakat daerah itu sendiri. Perbedaan dari setiap pakaian
adat juga dipengaruhi oleh orang/tokoh yang menggunakan pakaian adat
tersebut dan peran dari orang yang menggunakannya dalam masyarakat.
4. Masyarakat Minangkabau juga memiliki tradisi makan yang unik pada saat
upacara adat perkawinan yang disebut makan “bajamba”. Makan bajamba ini
dilakukan dengan menggunakan talam besar dengan jumlah orang yang makan
didalam talam tersebut sebanyak tiga sampai lima orang.
5. Lalu pada masa panen padi, masyarakat Minangkabau melakukan tradisi
mairiak, yaitu aktivitas melepaskan bulir padi dari tangkainya dengan
17
menggunakan telapak kaki manusia, yang biasa dikerjakan secara bersama oleh
kaum laki-laki.
3.2. Saran
Sebagai salah satu aset budaya yang ada terutama di Minangkabau tradisi atau
upacara dan adat Minangkabau wajib di jaga dan dilestarikan. Maksud pelestarian
adalah menjaga agar tradisi ini tetap ada dan selalu dipakai oleh masyarakat yang
memiliki tradisi itu sendiri. Akan lebih baik jika tradisi ini di kembangkan serta
benar-benar dipakai bagi seluruh masyarakat yang ada. Tradisi ini juga dapat
dilakukan pengembangan agar sejalan dengan kehidupan era modern saat ini
sehingga tradisi ini dapat bertahan dengan baik.
18
DAFTAR PUSTAKA
19