Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH SOSIOLOGI, KOMUNIKASI, DAN PENYULUHAN

PERTANIAN

TRADISI DAN ADAT MINANGKABAU

Diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok mata kuliah Sosiologi, Komunikasi,


dan Penyuluhan Pertanian

Dosen Pengampu : Elfi Rahmadani, S.P., M.Si.

Disusun Oleh : Kelompok 2


Anggota :
Adinda Nila Rozana (11980224253)
Afdhol Ramadhan RS (11980214263)
Agustin Kristianningrum (11980224269)
Aisha Pujawati (11980224271)
Aldi Saputra (11980214272)

Kelas 4A Agroteknologi

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
berupa sehat fisik dan akal pikiran, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah
yang berjudul “Budaya dan Adat Minangkabau” ini dengan tepat waktu. Kami juga
berterima kasih kepada Ibu Elfi Rahmadani, S.P., M.Si. yang selalu membantu
dengan memberi arahan dalam mengerjakan makalah ini.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Sosiologi, Komunikasi, dan Penyuluhan Pertanian. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana budaya dan adat
minangkabau dalam kehidupan.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Untuk itu, kami mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dan kekurangan
pada makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pekanbaru, 14 April 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 2
1.3. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2

II. PEMBAHASAN ....................................................................................... 3


2.1. Proses Perkawinan Adat Minangkabau ............................................ 3
2.2. Proses Aqiqah Dalam Tradisi Minangkabau .................................... 9
2.3. Pakaian Adat Masyarakat Minangkabau .......................................... 10
2.4. Tradisi dan Tatacara Makan Masyarakat Minangkabau .................. 12
2.5. Tradisi Masa Panen Padi Masyarakat Minangkabau ....................... 14

III. PENUTUP ................................................................................................ 17


3.1. Kesimpulan....................................................................................... 17
3.2. Saran ................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sumatera Barat merupakan provinsi di Indonesia yang identik dengan budaya
Minangkabau yang di dalamnya terdapat beberapa suku. Minang atau Minangkabau
adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat
Minangkabau. Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari
suatu rumpun melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki serta
menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan
melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat
diwarnai ajaran agama Islam. Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat
penganut matrilineal terbesar di dunia.
Semua tatanan kehidupan dalam budaya Minangkabau memiliki aturan, baik
untuk perseorangan maupun untuk kelompok. Keseluruhan tatanan tersebut tertulis
dalam aturan adat, berkaitan dengan seluruh kegiatan masyarakat Minangkabau.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski dalam Winarno dan Herimanto
(2012: 24) mengemukakan bahwa “segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk
pendapat itu adalah Cultural Determinism”. Herskovits juga memandang
kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Di Minangkabau, setiap peristiwa dalam kehidupan masyarakat sebagian
besar dilakukan dengan upacara atau tradisi yang dilakukan secara adat istiadat
sesuai norma adat yang berlaku. Seperti upacara Aqiqah, Turun Mandi,
Pengangkatan Penghulu, Perkawinan, Kematian dan peristiwa-peristiwa lainnya.
Keseluruhannya dilakukan secara adat dan ketentuan agama yang sesuai dengan
falsafah Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Hal ini
tentunya sudah menjelaskan bahwa setiap hal di minangkabau harus sejalan dengan
adat dan agama, baik itu berbentuk upacara adat maupun tradisi adat serta kegiatan
kebudayaan lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka kami pun tertarik untuk membahas budaya
dan adat Minangkabau. Kami merasa bahwa budaya dan adat Minangkabau ini

1
sangat unik, mulai dari proses kelahiran anak, proses perkawinan, tradisi makan,
pakaian adat, hingga tradisi masa panen.

1.2. Rumusan Masalah


Sesuai dengan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang diatas,
dapat ditarik suatu permasalahan yaitu :
1. Bagaimana proses perkawinan adat Minangkabau?
2. Bagaimana proses aqiqah dalam tradisi Minangkabau?
3. Bagaimana pakaian adat masyarakat Minangkabau?
4. Bagaimana tradisi dan tatacara makan masyarakat Minangkabau?
5. Bagaimana tradisi masa panen padi masyarakat Minangkabau?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sosiologi, Komunikasi, dan
Penyuluhan Pertanian
2. Untuk mengetahui bagaimana adat dan tradisi masyarakat Minangkabau dalm
beberapa peristiwa atau kehidupan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Proses Perkawinan Adat Minangkabau


Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan suatu
perkawinan adalah membentuk suatu keluarga. Keluarga mempunyai peranan
penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kesatuan
masyarakat yang kecil.
Selain itu perkawinan juga harus didasarkan pada hukum agama masing-
masing pihak yang hendak menikah. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dari uraian ini dapat
kita ketahui bahwa perkawinan tidak hanya hubungan antara seorang pria dengan
seorang wanita saja, tetapi juga hubungan dengan Tuhan atau agama. Sedangkan
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Tujuan perkawinan menurut kompilasi hukum Islam adalah untuk mentaati
perintah Allah serta memperoleh keturunan di dalam masyarakat, dengan
mendirikan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek,
mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang
(meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai
basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan
manantuan hari (menentukan hari pernikahan), kemudian dilanjutkan dengan
pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin
bersanding di pelaminan. Berikut ini proses perkawinan Minangkabau di Sumatera
Barat :

1. Merisik
Setelah seorang gadis dianggap cukup umur untuk melangsungkan
perkawinan, keluarga si gadis akan sibuk mencarikan jodoh yang menurut

3
pandangan mereka cocok baginya. Pertama-tama orang tua si gadis akan
menanyakan pendapat mamaknya atau pamannya. Karena menurut adat, mamaklah
yang berhak memutuskan. Pengaruh mamak dalam proses pengambilan keputusan
ini sudah berubah akibat cara berpikir yang semakin maju. Menurut adat Minang
yang memutuskan perkara perkawinan adalah mamak, walaupun sebenarnya
pembicaraan pertama kali berada di tangan orang tua. Setelah menemukan pria
yang sesuai untuk calon pengantin wanita, maka dari pihak keluarga wanita
melakukan merisik.
Merisik maksudnya disini adalah pihak keluarga wanita akan mendatangi pihak
keluarga pria. Kegiatan ini menjadi proses awal tata cara pernikahan adat Minang.
Pihak keluarga yang diutus adalah mamak atau paman dari wanita yang sudah
berpengalaman dalam mencari tahu apakah calon pengantin prianya cocok dengan
calon pengantin wanitanya. Dalam mengutus pihak keluarga ini biasanya pihak
keluarga wanita membawa buah tangan untuk keluarga calon pengantin pria
sebagai simbol sopan santun.

2. Manimang dan Batimbang Tando (Tukar Tanda)


Setelah kedua belah pihak sama-sama setuju, maka dilaksanakan pinangan
resmi. Pinangan resmi akan dilaksanakan setelah pembicaraan mengenai waktu dan
tata cara meminang di sepakati oleh kedua belah pihak. Jawaban pinangan tidak
langsung diberikan karena harus dirundingkan dulu oleh keluarga pihak laki-laki.
Kemudian diberikan setelah beberapa hari kemudian dan jika diterima biasanya
diikuti dengan upacara batimbang tando.
Batimbang tando adalah pertukaran tanda bahwa mereka telah berjanji
menjodohkan anak kemenakan mereka disuatu waktu yang akan ditentukan. Bentuk
tanda bisa berbentuk cincin emas, kain bersuji benang emas (kain balapak), atau
keris pusaka. Namun, pada umumnya pihak perempuan memberikan kain atau
perhiasan emas, sedangkan pihak laki-laki memberikan keris pusaka. Apabila
pertunangan putus, pihak yang memutuskan akan mengembalikan tanda yang
diterima dahulu. Pihak lain tidak berkewajiban mengembalikan tanda yang
diterimanya.
Setelah pertunangan, kemudian dilanjut dengan perundingan pernikahan.
Dalam perundingan ini dibicarakan waktu dan cara yang akan digunakan dalam

4
perkawinan inti, seperti besar kecilnya perjamuan perkawinan, jenis atau macam
pakaian yang digunakan kedua pengantin, upacara penginai kuku, sampai kepada
yang lebih kecil. Perundingan biasanya di lakukan oleh kaum perempuan yang
menjadi utusan kedua belah pihak.

3. Minta Izin/Mahanta Siriah


Apabila seorang pemuda sudah ditentukan jodohnya, prosesi selanjutnya
adalah memberi tahu dan mohon doa restu kepada mamak-mamaknya, saudara-
saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan orang-orang tua
lainnya yang dihormati. Prosesi ini di sebut dengan Minta Izin. Sedangkan pihak
calon pengantin wanita, kewajiban untuk melakukan perkawinan tidak langsung
dipikul olehnya, tetapi dilaksanakan oleh keluarganya yang wanita yang telah
berkeluarga. Prosesi ini disebut dengan mahanta siriah. Prosesi ini dilaksanakan
beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum akad nikah dilangsungkan.

4. Babako-babaki
Prosesi ini diadakan beberapa hari sebelum akad nikah berlangsung. Bako
berarti pihak keluarga dari ayah pengantin wanita. Keluarga ini ingin menunjukkan
kasih sayangnya dengan ikut memikul beban biaya sesuai kemampuan. Dimulai
dengan calon pengantin wanita dijemput dan dibawa kerumah keluarga ayahnya.
Disana para mertua akan memberikan nasihat. Keesokan harinya, calon pengantin
wanita akan diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan
membawa berbagai macam barang bantuan. Perlengkapan yang disertakan biasanya
berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning, singgang ayam (sebagai
makanan adat). Hantaran barang yang dibutuhkan calon pengantin wanita seperti
pakaian, perhiasan, lauk pauk, dan kue.

5. Malam Bainai
Malam bainai dilaksanakan sehari sebelum upacara perkawinan di
langsungkan di rumah pengantin wanita. Bainai adalah upacara memerahkan kuku
calon pengantin dengan dan inai yang telah dihaluskan. Upacara dimulai dengan
membakar setanggi yang asapnya diarahkan ke calon pengantin sambil mendoakan
agar hidup mereka seharum setanggi itu. Disusul kemudian dengan penaburan beras
kuning yang melambangkan hidup makmur dan berjiwa sosial. Kemudian

5
keduanya di perciki dengan air setawar, sidingin, daun kemuning serta alang- alang
yang mengandung arti kiasang masing-masing. Air bunga melambangkan hal yang
suci bersih, daun setawar sidingin akan memberikan kesejukkan, sedangkan daur
kemuning dan alang-alang melambangkan kehidupan yang tentram dan damai tidak
ada halangan.
Terakhir dioleskan inai yang bertujuan untuk mempercantik diri secara lahir
dan batin, agar selamat dan bahagia dalam menjalani hidup baru. Inai dioleskan
oleh beberapa orang dari keluarga terdekat kedua belah pihak, masing-masing
mememerahkan satu jari kuku. Upacara ini dihadiri oleh keluarga terdekat kedua
pihak. Ada juga yang mengkhususkan acara ini untuk kaum wanita saja, sedangkan
dari pihak pengantin laki-laki menunggu dari luar atau di ruang lain yang telah
disediakan.
Tujuan menginai kuku agar merah ialah untuk memberikan pertanda kepada
belah pasangan, bahwa mereka yang merah kukunya adalah pengantin baru
sehingga kalau mereka berjalan berdua atau pergi mandi bersama ke pancuran,
semua orang sudah tahu bahwa keduanya adalah pasangan pengantin baru.

6. Manjapuik Marapulai
Pelaksanaan perkawinan dilangsungkan di Mesjid atau di Rumah pengantin
Wanita. Pada hari perkawinan, pengantin laki-laki atau marapulai di jemput oleh
utusan dari keluarga pihak pengantin wanita. Acara ini di sebut menjapuik
marapulai. Utusan yang menjemput terdiri dari sejumlah sumandan atau
pasumandan. Sumandan adalah dua orang wanita muda yang baru saja melakukan
perkawinannya. Bagi kedua sumandan, tugas dan kehadiran mereka disini disebut
turun ke durian. Secara adat, sebelum acara turun durian ini dilaksanakan, mereka
belum boleh menghadiri undangan pesta lain. Tugas utama mereka adalah sebagai
pengiring marapulai.
Pada waktu menjemput, semua syarat dan tata cara adat yang telah disetujui
harus dipenuhi, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Berbagai syarat jemputan
yang berupa barang dibawa diatas baki atau nampan, yang diantaranya ada
seperangkat pakaian marapulai. Jika ada kesepakatan tentang uang jemputan,
penyerahan dilakukan pada saat itu. Para penjemput menguraikan maksud

6
kedatangan mereka, biasanya dengan kalimat yang penuh dengan kiasan yang
disebut dengan petatah petitih perkawinan.

7. Penyambutan di Rumah Anak Daro


Setelah upacara menjemput marapulai selesai, rombongan penjemput dan
keluarga marapulai mengiringi marapulai kerumah anak daro. Kedatangan
rombongan ini disambut dengan tari persembahan atau tari gelombang untuk basa-
basi upacara tertinggi bagi yang mampu. Tarian ini merupakan tarian adat untuk
menyambut tamu yang dihormati. Marapulai masuk ke rumah melalui hamparan
kain putih yang disebut dengan kain jajak yang melambangkan hati yang bersih
menerima kedatangannya.

8. Akad nikah
Pada acara akad nikah anak daro tetap tinggal dikamar, ia sudah mengenakan
pakaian pengantin sesuai dengan adat daerahnya. Selanjutnya orang tua anak daro
akan menanyakan kesediaan anak daro menikah dengan calon suaminya. Biasanya
pertanyaan ini tidak dijawab dengan kata-kata, tetapi cukup dengan anggukan
kepala saja.
Akad nikah dilakukan secara Islam yang biasa dilakukan di masjid, sebelum
kedua pengantin bersanding di pelaminan. Mahar sebagai syarat dalam agama Islam
diserahkan pada waktu itu. Selain mahar, marapulai juga menyerahkan perangkat
keperluan anak daro yang disebut panibo. Di beberapa daerah sebagai
imbangannya, pihak wanita menyediakan pananti yang berupa perangkat keperluan
marapulai..

9. Basandiang di Pelaminan
Setelah akad nikah ini selesai, anak daro dan marapulai diantar ke pelaminan
untuk duduk bersanding. Anak daro dan marapulai akan menanti tam dengan
diwarnai musik dari halaman rumah.

10. Tradisi Usai Akad Nikah


Setelah akad nikah selesai, kedua pengantin harus melewati beberapa acara
adat lainnya diantaranya :

7
➢ Mamulangkan Tando
Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, maka tanda yang diberikan sebagai
ikatan janji saat lamaran atau pertunangan akan dikembalikan oleh kedua belah
pihak.

➢ Malewakan Gala Marapulai


Acara ini mengumumkan gelar untuk pengantin pria sebagai tanda kehormatan
dan kedewasaan yang disandang oleh pengantin pria. Gelar biasanya dipanggil
dengan sutan, bagindo, sidi, bergantung dari daerah asalnya. Jika pria bukan dari
persukuan Minang, maka pengumuman gelar ini dilakukan oleh ninik mamak
persukuan pengantin wanita dengan memberikan alasan dan penjelasan yang sama.

➢ Balantuang Kaniang dan Menguakkan Kipeh


Prosesi ini dipimpin oleh sesepuh wanita dan sang pengantin akan saling
menyentuhkan keningnya. Mereka harus duduk berhadapan dengan wajah
dipisahkan kipas, lalu diturunkan secara perlahan. Setelah itu boleh saling
menyentuhkan kening. Makna acara ini selain mengungkapkan kemesraan pertama
antara mereka dengan saling menyentuhkan bagian mulia pada wajah, persentuhan
kulit pertama ini juga bermakna bahwa sejak detik itu mereka sudah sah sebagai
muhrim.

➢ Mangaruak Nasi Kuning


Prosesi ini diawali dengan kedua pengantin saling berebut daging ayam yang
tersembunyi didalam nasi kuning. Pada waktu adegan ketika sang suami mengambil
sedikit nasi kuning dengan lauknya, kemudian menyerahkan pada istrinya. Istri
menerima pemberian suaminya itu, tapi tidak memakan semuanya. Ia hanya
memasukkan sedikit kedalam mulutnya, dan menyisihkan yang lain dipiringnya.
Sikap ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa istri yang baik
adalah isteri yang bisa menahan hati untuk tidak menghabiskan nafkah berapapun
yang diberikan suaminya, tetapi selalu menyimpan sedikit. Simpanan ini akan
dikeluarkan secara surprise kelak untuk membantu keluarga ketika terjadi musim
panceklik.

8
➢ Manjalang
Setelah melalui berbagai upacara baik menurut agama dan adat, keduanya resmi
menjadi suami istri. Semua acara yang diuraikan sebelumnya berlangsung dirumah
anak daro. Acara selanjutnya adalah manjalang. Acara ini berlangsung di rumah
marapulai, sama dengan di Jawa yang disebut ngundu mantu. Kedua pengantin
baru, turun dari rumah anak daro dengan para pengiring yang membawa jamba
(makanan besar), berupa hantaran yang terdiri dari nasi dengan lauk pauknya.
Makanan tersebut diletakkan di atas semacam tempat dari kuningan yang disebut
dengan dulang dan ditutup dengan tudung saji. Kemudian di atasnya ditutup lagi
dengan sehelai kain berhiaskan benang emas yang disebut dengan dalamak.
Kedatangan kedua pengantin disambut dengan taburan beras kuning sebagai tanda
memberi berkah mereka duduk di pelaminan yang telah di pasang. Acara ini lebih
bersifat ramah tamah diantara kerabat dan undangan kedua belah pihak. Jamba
yang dibawa oleh rombongan pengiring anak daro isinya dikeluarkan dan diganti
dengan masakan yang dibuat oleh keluarga marapulai. Salah satu dibiarkan tidak
tertutup dan diatasnya diletakkan pemberian keluarga marapulai untuk anak daro
berupa baju perhiasan. Setelah acara selesai rombongan pulang dengan membawa
jamba yang telah di tukar tadi. Tujuan prosesi ini untuk menghormati dan
memuliakan orang tua serta ninik mamak dari pengantin pria.

2.2. Proses Aqiqah Dalam Tradisi Minangkabau


Kelahiran anak adalah sebuah anugerah yang diberikan Allah SWT terhadap
setiap manusia. Kelahiran menjadi suatu bentuk kuasa ilahi dalam menciptakan
masyarakat baru yang memiliki peran penting nantinya didalam kehidupan
masyarakat. Setiap kelahiran anak dalam masyarakat memiliki arti penting bagi
kehidupan masyarakat tersebut, sebab kelahiran adalah bentuk perpanjangan
generasi antara satu manusia dengan manusia baru lainya. Banyak tradisi yang
tercipta dari proses kelahiran tersebut, bahkan sebelum kelahiran proses tradisi
sudah berjalan seperti tradisi sewaktu kehamilan bahkan nantinya tradisi ketika
kelahiran tersebut.
Dalam masyarakat minangkabau terdapat berbagai tradisi atas kelahiran anak
ke atas dunia, yang mana tradisi ini nantinya akan memperlihatkan bagaimana rasa
syukur atas kelahiran tersebut salah satunya ialah tradisi marondang boreh di Koto

9
Nan Godang Payakumbuh. Marondang boreh adalah sebuah kebiasaan yang harus
dilakukan oleh pihak anak yang baru dilahirkan baik itu dari pihak keluarga ibunya
maupun bapaknya. Kedua pihak tersebut wajib melaksanakan tradisi marondang
boreh terhadap anaknya yang baru lahir sebab apabila tidak dilakukan tradisi
marondang boreh maka anak tersebut dikatakan tidak dikokehan (tidak diadatkan).
Bakokehan ini adalah kewajiban yang sakral bagi masyarakat Koto Nan Gadang
Payakumbuh, sebab apabila tidak adanya bakokehan ini maka anak sampai besar
dianggap sebagai anak tidak diadatkan.
Tradisi ini adalah kegiatan membuat rendang beras untuk menyambut
sekaligus pengadatan anak yang baru lahir. Biasanya tradisi marondang boreh
diadakan pada sore hari pada saat upacara aqiqah dilakukan. Tradisi marondang
boreh ini biasanya dilakukan oleh pihak bapak yaitu induak bako anak yang aqiqah
(saudara perempuan ayah), mulai dari proses pembuatan boreh rondang sampai
pada proses pembagiannya saat upacara aqiqah tersebut.
Fungsi marondang boreh dalam kehidupan masyarakat di Koto Nan Gadang
Payakumbuh yaitu menjauhkan anak dari kepercayaan-kepercayaan burul yang ada
dalam lingkungan masyarakat, dan untuk mendapatkan pengakuan masyarakat atas
hak hidupnya dan bergaul dalam masyarajat Koto Nan Gadang. Karena masyarakat
meyakini dahulu tradisi ini adalah bentuk tolak bala dalam berbagai kejadian yang
menimpa anak yang baru lahir.
Tradisi marondang boreh pada upacara aqiqah ini masih dilakukan oleh
masyarakat di Koto Nan Godang sampai sekarang ini. Berdasarkan syariat agama,
tradisi marondang boreh ini tidak bertentangan sama sekali dengan syariat Islam.

2.3. Pakaian Adat Masyarakat Minangkabau


Salah satu tatanan kehidupan masyarakat yang diatur dalam budaya adat
Minangkabau yaitu pakaian adat perempuan dan laki-laki. Pakaian adat adalah
pakaian yang dipakai secara turun temurun, yang merupakan salah satu identitas
diri dan menjadi kebanggaan bagi sebagian besar masyarakat pendukung
kebudayaan tersebut. Masing-masing pakaian adat memiliki keunikan yang
disebabkan oleh perbedaan kebiasaan yang terdapat di dalam masyarakat daerah itu
sendiri. Perbedaan dari setiap pakaian adat juga dipengaruhi oleh orang/tokoh yang

10
menggunakan pakaian adat tersebut dan peran dari orang yang menggunakannya
dalam masyarakat.
Pakaian adat yang dikenakan oleh perempuan Minangkabau disebut dengan
pakaian bundo kanduang dan anak daro, sedangkan pakaian adat laki-laki
Minangkabau disebut pakaian pangulu, manti, dubalang, malin, marapulai. Semua
pakaian adat tersebut memiliki fungsi sesuai dengan masing-masing peran yang
menggunakannya.

➢ Pakaian adat "Bunda kandung" (bundo kanduang)


"Bunda kandung" (bundo kanduang) merupakan orang yang memegang peranan
pula dalam suatu kaum (suku) di Minangkabau. Tidak seluruh wanita merupakan
"bundo kanduang". Orang yang dapat dijadikan bunda kandung di Minangkabau,
adalah wanita yang arif bijaksana, orang yang kata-katanya di dengar, pergi tempat
bertanya dan pulang tempat berberita. Sekaligus wanita ini merupakan peti ambon
puruak artinya termpat menyimpan · atau pemegang harta pusaka kaumnya
(sukunya). Oleh karena itu pulalah pakaian bundo kanduang dalam mengikuti
upacara-upacara adat mempunyai bentuk tertentu dan berbeda dengan pakaian
wanita lainnya.
Pakaian adat "Bunda kandung" (bundo kanduang) terdiri atas tengkuluk tanduk
(penutup kepala) yang berbentuk tanduk kerbau, baju kurung, salempang
(salendang), kodek atau kain sarung. Tidak lupa dilengkapi perhiasan seperti
anting-anting, kaluang, dan gelang.

Gambar 1. Pakaian Adat Bundo Kanduang

11
➢ Pakaian adat Pangulu
Pangulu adalah sebutan bagi ninik mamak pemangku adat. Asal kata Pangulu
adalah “hulu” yang berarti “kepala”. Yang dimaksud kepala adalah seorang laki-
laki yang dipilih nagari sebagai kepala atau pemimpin masyarakat di Minangkabau.
Sebagai seorang pemimpin tentu memiliki tanggung jawab yang sangat besar
terhadap kaum, suku, dan nagarinya. Dalam suatu kaum gelar Pangulu diberikan
kepada kemenakan yang memiliki hubungan darah.
Pakaian adat Pangulu terdiri atas baju hitam longgar (besar lengan), celana
(sarawa), cawek (ikat pinggang), kain sandang (kain kaciak), keris, dan tongkat.

Gambar 2. Pakaian adat Pangulu

2.4. Tradisi dan Tatacara Makan Masyarakat Minangkabau


Makanan merupakan salah satu aspek kebudayaan yang ada dalam setiap
masyarakat yang diperoleh melalui proses belajar. Masyarakat Indonesia yang
terdiri dari bermacam-macam etnis dan menempati wilayah tempat tinggal yang
berbeda-beda, telah mengembangkan makanan yang sangat beraneka ragam guna
memenuhi kebutuhan hidup yang sesuai dengan pola makan pada masing-masing
daerah. Adanya perbedaan tradisi dan pola makan tersebut terkait dengan potensi
alam pada masing-masing daerah yang menyebabkan perbedaan perilaku dalam
menanggapi alam.

12
Masyarakat Minangkabau, salah satu contohnya di Kubuang Tigobaleh,
mempunyai aturan tatacara makan yang berorientasi pada senioritas, yaitu
mendahulukan orang yang lebih tua sehingga makanan untuk yang lebih tua atau
urang sumando (menantu laki-laki) akan disisihkan jika mereka belum berada di
tempat makan. Pada waktu makan bersama, yang lebih tua akan mengambil
makanan terlebih dahulu baru diikuti oleh yang lebih muda.
Wadah tempat menaruh makanan sewaktu makan adalah menggunakan
cambuang sebagai tempat nasi, piring kecil untuk tempat makanan yang tidak
berkuah, dan mangkuk untuk tempat makanan yang berkuah. Semua makanan
tersebut diberi sendok dan tidak dipindah-pindahkan dari piring ke piring lainnya.
Hal ini diyakini oleh masyarakat akan mempercepat pembusukan makanan.
Mengambil makanan dengan tangan dianggap sebagai sesuatu yang tidak sopan,
oleh karena itu semua piring dan mangkuk tempat makanan masing-masing diberi
sendok. Dalam mengambil makanan adalah dengan cara dari pinggir ke tengah,
bukan sebaliknya, dengan tujuan supaya pinggir piring tidak kotor dan kurang indah
dipandang mata. Untuk menyuap makanan dalam keadaan biasa digunakan tangan,
bukan dengan sendok atau alat lainnya. Makan dengan sendok biasanya adalah
untuk makan bubur atau kolak.
Secara tradisional masyarakat Kubuang Tigobaleh makan dengan cara duduk
bersila bagi laki-laki dan bersimpuh bagi perempuan di atas tikar yang
dibentangkan di atas lantai. Sewaktu makan, piring tempat nasi harus diletakkan di
atas tikar. Mengangkat piring dengan sebelah tangan dianggap sebagai kelakuan
yang kurang sopan, walaupun pada masyarakat Minangkabau lainnya hal ini
tidaklah dianggap sebagai sesuatu ketidaksopanan. Apabila telah selesai makan,
tetapi yang lain belum selesai, dilarang mencuci tangan terlebih dahulu, karena hal
ini akan membuat orang yang masih makan merasa malu dan merasa makannya
terlalu banyak. Jika makanan di piring tinggal sedikit mereka biasa melambatkan
makannya sehingga bisa selesai bersamaan dengan yang lainnya.
Makanan yang dihidangkan kadang-kadang berbeda antara makanan untuk
orang dewasa dengan anak-anak. Makanan untuk orang dewasa biasanya lebih
pedas dan diberi bumbu yang lebih banyak. Untuk urang sumando makanan yang
dihidangkan biasanya adalah makanan terbaik yang dimiliki oleh keluarga itu yang

13
tidak boleh dimakan oleh anak-anak, kecuali jika urang sumando telah selesai
makan. Makanan yang diberikan kepada anak-anak biasanya tidak atau kurang
pedas. Bumbu-bumbunya juga tidak begitu banyak, karena perut anak kecil
dikhawatirkan tidak siap menerima makanan yang pedas dan berbumbu banyak.
Makanan untuk anak-anak lebih banyak berupa goreng tanpa cabai dan sayur-
mayur.
Masyarakat Minangkabau juga memiliki tradisi makan yang unik pada saat
upacara adat perkawinan. Tata cara makannya biasa disebut oleh masyarakatnya
dengan nama makan “bajamba”. Makan bajamba ini dilakukan dengan
menggunakan talam besar dengan jumlah orang yang makan didalam talam tersebut
sebanyak tiga sampai lima orang. Masyarakat yang melakukan makan bajamba ini
melakukannya dengan cara duduk melingkari talam besar (piring besar) yang sudah
disediakan, kemudian posisi duduknya yang sudah diatur yaitu kalau wanita duduk
dengan “basimpuah” (bersimpuh) dan laki-laki dengan “baselo” (bersila). Makan
bajamba ini memberikan kesempatan kepada yang melaksanakannya untuk
mengenal orang yang belum dikenal serta dapat mempererat tali silaturrahmi
seseorang yang renggang menjadi dekat kembali.
Tradisi makan “bajamba” ini wajib dilakukan apabila seorang masyarakat
ingin melaksanakan prosesi perkawinan (barelek) di Minangkabau, baik itu ingin
melaksanakan perkawinan besar (baralek gadang), perkawinan menengah (baralek
manangah )maupun perkawinan kecil (baralek kaciak). Dalam perkawinan ini
masyarakat tidak dituntut untuk melaksanakan makan bajamba dalam baralek
gadang saja, namun di baralek menengah dan kecilpun juga bisa melakukan prosesi
makan “bajamba” sesuai keinginan masyarakat yang sedang melaksanakan acara
perkawinan.

2.5. Tradisi Masa Panen Padi Masyarakat Minangkabau


Pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, kebiasaan tolong
menolong dalam mengolah lahan pertanian telah terbentuk saja lama. Salah satu
aktifitas yang dikerjakan secara bersama atau tolong menolong adalah ketika
memisahkan bulir padi dari tangkainya dengan menggunakan kaki yang lazim
disebut dengan “mairiak”. Ketika padi telah menguning, maka biasanya si pemilik
sawah akan mempersiapkan segala sesuatu untuk memanen padi tersebut, dan mulai

14
merencanakan kapan padi itu akan di “iriak”, serta memberitahukan keluarga
ataupun tetangganya. Mairiak adalah aktivitas melepaskan bulir padi dari
tangkainya dengan menggunakan telapak kaki manusia, dan biasa dikerjakan secara
bersama oleh kaum laki-laki. Tradisi mairiak ini berlaku umum pada masyarakat
Minangkabau dahulunya (tradisional), dan merupakan tradisi yang sarat dengan
nilai budaya yang mencerminkan kebersamaan masyarakat Minangkabau.
Pelaksanaan iriak atau mairiak ini pada masa dahulu disebabkan karena
belum adanya peralatan khusus seperti halnya sekarang untuk memisahkan padi
dari tangkainya, dan oleh karenanya orang Minangkabau waktu itu menggunakan
kaki untuk memisahkan bulir padi itu. Kapan tradisi mairiak mulai ada dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau tidak diketahui secara pasti, namun diyakini
telah ada semenjak orang Minangkabau mengenal bercocok tanam di sawah.
Aktifitas mairiak pada masyarakat Minangkabau, sebagaimana telah
diungkapkan, bertujuan untuk memisahkan bulir padi yang sudah disabit dari
tangkainya dan agar padi yang sudah masak dapat dimanfaatkan baik untuk di
konsumsi sendiri ataupun dijual. Manfaat dari tradisi mairiak tersebut yang penting
karena dengan adanya tradisi tersebut membina rasa kegotongroyongan (tolong
menolong) sesama komunitas tersebut dan ikatan kekerabatan yang lebih kuat.
Pemilik sawah sebagai pelaksana teknis tradisi mairiak dan mengurus segala
sesuatunya menyangkut persiapan, peralatan dan pelaksanaan mairiak itu pada
waktunya. Biasanya orang yang dituakan dalam kaum itu (tungganai) atau
penghulu kaum tersebut menjadi pemimpin yang akan mengarahkan peserta untuk
memulai dan menyediakan hal-hal yang diperlukan.
Peserta atau orang yang melaksanakan aktifitas mairiak pada suatu tempat
adalah keluarga (kerabat) dekat, yang sebelumnya diberitahu untuk membantu
pekerjaan mairiak tersebut. Pihak kerabat, tidak saja keluarga yang sedarah, tetapi
juga adakalanya kerabat yang dari pihak suami atau isteri (ipar besan) dari saudara,
anak, menantu dan lain-lain. Biasanya peserta atau orang yang ikut membantu itu
berjumlah 10- 20 orang dan bisa lebih, terutama bagi pemilik yang banyak memiliki
keluarga, tetangga dan kenalan. Peserta mairiak itu terdiri dari laki-laki dan
perempuan, namun sepenuhnya pekerjaan mairiak itu dilakukan oleh laki-laki yang
sudah dewasa (berumur 20 tahun ke atas). Sedangkan pihak perempuan

15
mengerjakan kegiatan pendukung seperti, menyiapkan/mengantarkan makanan dan
minuman bagi yang mairiak tersebut, membersihkan jerami dari bulir padi yang
sudah di iriak (mangirai), memisahkan padi yang bernas dengan yang hampa,
memasukkan padi yang sudah bersih ke karung atau katidiang, dan lainnya.
Tradisi mairiak pada dasarnya bisa dilakukan pada siang hari maupun malam
hari, namun yang paling umum adalah pada malam hari. Hal itu disebabkan pada
malam hari dirasakan cuaca tidak panas (sejuk) sehingga pekerjaan mairiak dapat
berlangsung cepat dan mudah. Biasanya untuk padi yang jumlahnya sedikit akan
dilaksanakan siang hari dengan jumlah orang yang mairiak sedikit pula, dan jika
padi cukup banyak maka dilaksanakan pada malam hari. Pada siang hari yang
biasanya dilakukan adalah proses memotong atau menyabit padi dan membuat
“lungguak” padi. Biasanya proses mairiak bisa diselesaikan menjelang tengah
malam (sebelum jam 12 malam), dan setelah itu menjelang pagi dilanjutkan degan
kegiatan maangin dan manampi dalam rangka membersihkan padi, serta
mengangkut padi kerumah keesokan harinya.
Tempat atau lokasi pelaksanaan mairiak adalah pada sawah yang sudah
dipanen (disabit) dengan pemilihan pada tempat yang memungkinkan untuk
dijadikan lokasi mairiak. Biasanya tempat mairiak adalah pada tumpak sawah yang
paling besar dan datar. Ketika padi telah disabit, pada tempat yang dianggap baik
akan dipangkas sisa batang padi yang tertinggal untuk tempat mairiak dan tempat
istirahat.

16
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Di Minangkabau, setiap peristiwa dalam kehidupan masyarakat sebagian
besar dilakukan dengan upacara atau tradisi yang dilakukan secara adat istiadat
sesuai norma adat yang berlaku. Keseluruhannya dilakukan secara adat dan
ketentuan agama yang sesuai dengan falsafah Minangkabau adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah. Hal ini tentunya sudah menjelaskan bahwa setiap hal di
minangkabau harus sejalan dengan adat dan agama, baik itu berbentuk upacara adat
maupun tradisi adat serta kegiatan kebudayaan lainnya. Dari pembahasan kami,
dapat disimpulkan beberapa tradisi dan adat Minangkabau yaitu :
1. Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, terdapat beberapa tahapan yang
umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik
marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di
pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari
(menentukan hari pernikahan), kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara
Islam yang biasa dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin bersanding di
pelaminan.
2. Pada saat lahirnya anak ke dunia, dilakukan tradisi yang disebut marondang
boreh di Koto Nan Godang Payakumbuh sebagai ungkapan rasa syukur atas
kelahiran anak tersebut.
3. Pakaian adat Minangkabau yang sangat unik karena perbedaan kebiasaan yang
terdapat di dalam masyarakat daerah itu sendiri. Perbedaan dari setiap pakaian
adat juga dipengaruhi oleh orang/tokoh yang menggunakan pakaian adat
tersebut dan peran dari orang yang menggunakannya dalam masyarakat.
4. Masyarakat Minangkabau juga memiliki tradisi makan yang unik pada saat
upacara adat perkawinan yang disebut makan “bajamba”. Makan bajamba ini
dilakukan dengan menggunakan talam besar dengan jumlah orang yang makan
didalam talam tersebut sebanyak tiga sampai lima orang.
5. Lalu pada masa panen padi, masyarakat Minangkabau melakukan tradisi
mairiak, yaitu aktivitas melepaskan bulir padi dari tangkainya dengan

17
menggunakan telapak kaki manusia, yang biasa dikerjakan secara bersama oleh
kaum laki-laki.

3.2. Saran
Sebagai salah satu aset budaya yang ada terutama di Minangkabau tradisi atau
upacara dan adat Minangkabau wajib di jaga dan dilestarikan. Maksud pelestarian
adalah menjaga agar tradisi ini tetap ada dan selalu dipakai oleh masyarakat yang
memiliki tradisi itu sendiri. Akan lebih baik jika tradisi ini di kembangkan serta
benar-benar dipakai bagi seluruh masyarakat yang ada. Tradisi ini juga dapat
dilakukan pengembangan agar sejalan dengan kehidupan era modern saat ini
sehingga tradisi ini dapat bertahan dengan baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Asmaniar. 2018. Perkawinan Adat Minangkabau. Jurnal Binamulia Hukum, 7(2):


131-140.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986. Pakaian Adat Tradisional
Daerah Sumatera Barat. Depdikbud. Padang. 211 hal.
Gustina, M. 2019. Tradisi Makan Bajamba Dalam Alek Perkawinan di Nagari
Magek Provinsi Sumatera Barat. Jurnal JOM FISIP, 6(2): 1-15.
Hanifah, U. 2015. Studi Tentang Bentuk , Fungsi, dan Makna Pakaian Adat
Pangulu Kanagarian Sungai Janiah Kecamatan Gunung Talang Kabupaten
Solok Propinsi Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Bahasa dan Seni.
Universitas Negeri Padang. Padang.
Ikhwan, M. 2019. Tradisi Marondang Boreh Dalam Upacar Aqiqah di Koto Nan
Godang Payakumbuh. Skripsi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Andalas.
Padang.
Mila. 2019. Komunitas Minangkabau di Surabaya (Studi Tentang Perubahan Tata
Cara Perkawinan Minangkabau). Skripsi. Fakultas Adab dan Humaniora.
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Surabaya.
Refisrul. 2015. Mairiak : Tradisi Masa Panen Padi di Minangkabau. Jurnal
Penelitian Sejarah dan Budaya, 1(2) : 264-282.
Witrianto., dan Arfinal. 2011. Tradisi dan Pola Makan Masyarakat Tradisional
Minangkabau di Kubuang Tigobaleh. Seminar Persidangan Antarabangsa
Hubungan Malaysia-Indonesia V (PAHMI V) 2011.

19

Anda mungkin juga menyukai