Anda di halaman 1dari 19

TUGAS AKHIR HUKUM ADAT

MENJAGA ADAT ISTIADAT SUKU BADUY SEBAGAI SALAH


SATU WARISAN LELUHUR MASYARAKAT SUNDA

DISUSUN OLEH :
IMMANUEL KLAUDEAZ IRLAMTIO (1510611023)
ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM
UPNVJ
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang ditugaskan oleh Bapak Andriyanto Adhi Nugroho, SH,MH yang
berjudul Menjaga Adat Istiadat Suku Baduy sebagai Salah Satu Warisan Leluhur
Masyarakat Sunda ini.
Makalah ini berisikan tentang kebudayaan suku Baduy, perbedaan antara
Baduy Dalam dan Baduy luar, adat pernikahan dalam suku Baduy, dan selukbeluk tradisi serta kebiasaan masyarakat Baduy.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir
sehingga terselesaikannya makalah ini.

Jakarta, November 2016

Penulis

i
Abstrak
Adat istiadat atau tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari
suatu wilayah, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling
mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke
generasi, baik tertulis maupun lisan. Informasi yang diteruskan secara turunmenurun dimaksudkan agar tradisi tersebut tidak akan punah.
Di Indonesia terdapat berbagai macam adat istiadat yang berbeda-beda,
ada adat Jawa, adat Sunda, adat Batak, dan lain sebagainya. Keanekaragaman adat
istiadat ini menambah keindahan kebudayaan bangsa Indonesia.
Salah satu adat istiadat yang menarik perhatian untuk ditelusuri adalah
adat Sunda, lebih tepatnya adat istiadat suku Baduy. Suku Baduy adalah
sekumpulan masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kenakes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Mereka masih sangat menjunjung tinggi
adat istiadat yang diturunkan oleh leluhur mereka. Masyarakat suku Baduy hidup
secara sederhana dan belum terkontaminasi dengan kebudayaan luar. Mereka
enggan menerima pengaruh atau mengikuti perkembangan zaman yang semakin
banyak menggunakan alat-alat canggih. Itu merupakan prinsip yang masih
dipegang teguh oleh masyarakat Baduy sampai sekarang.
Adat istiadat suku Baduy wajib dijaga karena merupakan aset kebudayaan
bangsa yang masih asli.
Kata Kunci : suku Baduy, adat istiadat, menjaga tradisi, warisan leluhur, Sunda.

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
ABSTRAK...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I

BAB II

PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.

LATAR BELAKANG.............................................................. 1

2.

RUMUSAN MASALAH......................................................... 2

3.

TUJUAN.................................................................................. 2

4.

METODE PENELITIAN..........................................................2

5.

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI.............. 3

PEMBAHASAN.............................................................................. 4
1.

KEHIDUPAN KHAS SUKU BADUY.................................... 4

2.

PERBEDAAN BADUY LUAR DAN BADUY DALAM....... 9

3.

ADAT PERNIKAHAN SUKU BADUY................................. 12

BAB III PENUTUP........................................................................................ 14


1.

RINGKASAN........................................................................... 14

2.

SARAN..................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 15

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
13.487 pulau, karenanya Indonesia juga disebut sebagai Nusantara. Indonesia
terbentang dari Sabang sampai Meurauke yang terdiri dari berbagai adat, tradisi,
budaya, dan bahasa daerah yang berdeda-beda. Perbedaan yang beraneka ragam
membuat Indonesia berdiri sebagai negara multikultural. Namun, segala
perbedaan yang beraneka ragam tersebut tidak menjadikan masyarakat Indonesia
tercerai berai. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi
sikap pluralisme.
Sikap pluralisme masyarakat Indonesia juga ditujukan kepada suku Baduy,
yaitu suku yang masih sangat tradisional dan tidak menerima pengaruh apapun
dari luar. Perkembangan zaman yang semakin maju dengan segala macam
teknologi canggih yang menyertainya, ternyata tidak mampu mengusik eksistensi
suku Baduy untuk tetap memegang teguh adat istiadat yang telah diwariskan oleh
para leluhurnya hingga sampai sekarang ini. Sungguh hal yang sangat luar biasa
apabila kita berbicara tentang prinsip dan pedoman yang diterapkan oleh
masyarakat suku Baduy, yang lebih memilih untuk tetap terisolasi dari dunia luar
dan berpegang teguh dengan pola hidup yang sederhana dan tradisional. Betapa
tidak, Banten adalah sebuah kota modern, dan letaknya tidak jauh dari jantung

ibukota negara Indonesia, Jakarta, yang identik dengan kemewahan dan segala
kecanggihannya.
Dengan segala keaslian dan keunikan tersebut, sudah tentu banyak orang
atau wisatawan yang ingin berkunjung kesana. Orang Baduy terbuka kepada siapa
pun yang datang berkunjung, asalkan mereka menaati peraturan yang ada. Namun,
semakin banyak orang yang datang kesana, ditakutkan akan merusak alam yang
telah dijaga oleh suku Baduy selama bertahun-tahun.

1.2 Rumusan Masalah


1) Bagaimana kehidupan khas masyarakat suku Baduy?
2) Bagaimana membedakan suku Baduy Dalam dan Baduy Luar?
3) Bagaimana proses pernikahan dalam adat suku Baduy?

1.3 Tujuan
1) Menjelaskan kehidupan khas masyarakat suku Baduy.
2) Menjelaskan perbedaan suku Baduy Dalam dan Baduy luar.
3) Menjelaskan proses pernikahan dalam adat Baduy.

1.4 Metode Penelitian


Dikarenakan waktu yang terbatas, penulis menggunakan metode
pustaka dalam menyusun makalah ini.

kajian

1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori


Dalam menyusun sebuah makalah diperlukan dasar/pondasi agar makalah
yang disusun jelas maksud dan tujuannya. Buku-buku, karya ilmiah, artikel, serta
sumber internet tentang suku Baduy merupakan dasar yang digunakan penulis
dalam penyusunan makalah ini.
Teori yang melandasinya yaitu dari berbagai sumber yang menyatakan
bahwa suku Baduy merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan
dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh
kebudayaan luar.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kehidupan khas masyarakat Baduy


A. Sistem Organisasi Sosial Suku Baduy
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu
sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya
masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional
penduduk Baduy dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai Jaro
pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk
pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu Puun.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan)
dilaksanakan oleh Jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro
tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu
bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan
berbagai macam urusan lainnya. Jaro tangtu adalah satu-satunya warga
suku Baduy yang memiliki kewenangan bertemu Puun*. Jaro dangka

*Yollanda Octavitri, Resepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi Banten


Terhadap Upacara Seba Suku Baduy, (Tesis S1 Program Jurusan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya Undip, Semarang, 2012), hal.66.

bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang


ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang
apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro
duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro
tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai
penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah
nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot
lembur atau tetua kampong.
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh
kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan
oleh Puun mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut
menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain
itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat
Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang
atau menolak aturan yang diterapkan sang Puun.
Walaupun demikian ada sedikit warga yang kadang tidak menaati
peraturan atau cecok dengan warga Baduy lain. Dr. Nasikun mengatakan
bahwa konflik pada hakikatnya merupakan suatu gejala sosial yang
melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat*. Hukuman di dalam

*Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta, 1984), hal.5.

masyarakat Baduy sendiri disesuaikan dengan kategori pelanggaran,


yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman
ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan si pelanggar oleh Puun
untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran
ringan antara lain cekcok atau beradu mulut antara dua atau lebih warga
Baduy. Sedangkan hukuman berat diperuntukkan bagi mereka yang
melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan
hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan.
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada
seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah
dianggap berat. Selain itu berzinah dan berpakaian ala orang kota juga
termasuk pelanggaran berat. Banyak larangan yang diatur dalam hukum
adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara
ternak berkaki empat, tidak dibenarkan bepergian dengan naik
kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, dilarang memiliki alat
rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.

B. Sistem Religi
Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten
hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan. Yang mana
kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai Guriang Mangtua
atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai
ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan

ini. Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani


kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan
sehari-hari, langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang
mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewahan).

C. Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek
SundaBanten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka
lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak
mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Baduy Dalam
tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama,
dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
D. Mata Pencaharian
Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah
bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja
atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil
telah mengenal berdagang. Selain itu mereka juga mendapatkan
penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan
di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Kehidupan
orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan keempat
kalender Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni
membersihkan semua belukar untuk menyiapkan ladang.

E. Teknologi
Peralatan dan teknologi kehidupan orang Baduy berpusat pada daur
pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat
sederhana. Dalam adapt Baduy terutama Baduy Dalam, masyarakat tidak
boleh menggunakan peralatan yang sudah modern. Mereka
mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti bedog,
kampak, cangkul, dan lain-lain.
F.

Pakaian
Malcolm Bernard mengatakan pakaian atau fashion digunakan
untuk menunjukkan atau mendefinisikan peran sosial yang dimiliki
seseorang*. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat dilihat
dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun
fungsinya. Perbedaan busana didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat
kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Untuk
Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut
jamang sangsang, serba putih polos itu dapat mengandung makna suci
bersih karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di
badan. Bahan dasarnya harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret

*Malcolm Bernard, Fashion for Communication, atau Fashion sebagai


Komunikasi, terj. Idi Subandy Ibrahim (Yogyakarta, 1996) hal. 89.

berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak
batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang
biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan
kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas
murni.

2.2 Perbedaan suku Baduy Dalam dan Baduy Luar


Sistem pelapisan sosial yang terdapat pada setiap masyarakat di
dunia ini timbul karena di dalam masyarakat itu terdapat perbedaan status
atau tingkat sosial yang dimiliki oleh setiap individu*. Pada suku Baduy
dikenal dua pelapisan sosial, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
A. Baduy Dalam
Kanekes Tangtu ( Baduy Dalam ) adalah bagian dari keseluruhan
orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam
masih

memegang

teguh

adat

istiadat

nenek

moyang

mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
1. Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana
transportasi
2. Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
3. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah
sang Pu'un atau ketua adat)

4. Larangan menggunakan alat elektronik (samasekali tak


tersentuh teknologi)
5. Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang
ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan
menggunakan pakaian modern.
B. Baduy Luar
Kanekes Panamping (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai
kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti
Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat
kepala berwarna hitam. Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah
keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang
menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
1. Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam
2. Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
3. Menikah dengan anggota Kanekes Luar

*Ayatrohaedi,et.al., Tata Krama di Beberapa Daerah di Indonesia (Jakarta,


1989), hal.137.

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar:


1. Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik,
meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk
setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka
menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyisembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
Dalam hal ini konsep HAM tidak tercetus sebagai suatu konsep
mandiri dengan definisi yang jelas, karena masing-masing
anggota kelompok berpandangan, bersikap, dan berperilaku
sesuai dengan kedudukan dan posisinya dalam struktur adat
yang sudah mapan*.
2. Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah
menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll,
yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.

*A. Gonggong, Andre A. Hardjana, A. Agus Nugroho, Sejarah Pemikiran


Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia (Jakarta, 1995), hal.14.

3.

Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua


(untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci.
Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan
celana jeans.
4. Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur,
bantal, piring & gelas kaca & plastik.
5. Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.

2.3 Pernikahan adat Baduy


Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat
Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan
yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya
pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua
perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan
dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap pertama, orang tua laki-laki harus
melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah
pinang dan gambir secukupnya. Thomas Wiyasa Bratawidjaja dalam
bukunya mengatakan bahwa perkawinan dalam suku Baduy tidak perlu

melapor ke pihak berwajib, hal ini sudah berlaku sejak zaman


pemerintahan Belanda*. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan
gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari
baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat
kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak
perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat
yang dipimpin langsung oleh Puun untuk mensahkan pernikahan
tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal
poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah
kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia
melaksanakan hal tersebut.

*Thomas W. Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Sunda (Jakarta,


1994), hal.138.

BAB III
PENUTUP
Ringkasan
Masyarakat Baduy dibedakan menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan
Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam terkenal dengan pakaiannya yang
berwarna putih, sedangkan Baduy Luar berwarna hitam. Orang Baduy Luar
awalnya merupakan anggota dari masyarakat Baduy Dalam. Namun karena
mereka kurang menaati peraturan dari Puun

dan sudah hidup sedikit lebih

modern maka mereka berpindah ke Baduy Luar.


Walaupun demikian, sebagian besar masyarakat suku Baduy sangat patuh
terhadap kebudayaan suku mereka yang telah ditetapkan oleh Puun. Kepatuhan
dan ketaatan itu dijalani secara enjoy tanpa penolakkan apa pun. Mereka amat
rukun, damai, dan sangat sejahtera untuk ukuran kecukupan kebutuhan hidup
sehari-hari.
Dalam adat suku Baduy, seseorang menikah dengan cara dijodohkan
tanpa ada istilah pacaran. Selain itu, masyarakat suku Baduy juga tidak mengenal
perceraian.

Saran
Suku Baduy sebagai suku yang masih sangat terjaga keaslian adat istiadat
leluhurnya, sudah seharusnya kita beri apresiasi yang luar biasa dengan cara
saling menghormati dan memahami perbedaan yang ada, serta ikut berpartisipasi
menjaga kebudayaan yang unik ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi, et.al. 1989. Tatakrama di Beberapa Daerah di Indonesia. Jakarta:


Dep Dik Bud.
Bratawidjaja, Thomas W.1994.Upacara Perkawinan Adat Sunda.Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Gonggong A., Andre A. Hardjana, dan A. Agus Nugroho. 1995. Sejarah
Pemikiran Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Dep Dik
Bud.
Malcolm, Barnard. 1996. Fashion for Communication atau Fashion sebagai
Komunikasi, terj. Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta: Jalasutra.
Nasikun.1984.Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
Octavitri, Yollanda.2012. Resepsi Masyarakt Kabupaten Lebak Provinsi Banten
terhadap UpacaraSeba Suku Baduy, Tesis S1 Program Studi Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Undip, Semarang.

Anda mungkin juga menyukai