Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

BUDAYA MELAYU RIAU


tentang
“ADAT DAN ADAB MELAYU RIAU”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK III

1. USWATUN HASANAH
2. ARMI HUTABARAT
3. ANDRE SAPUTRA
4. MIKHAEL
5. RIAN PRADIKA

KELAS XI IS

SMAN 1 BANDAR PETALANGAN

TP. 2019/ 2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Budaya Melayu Riau tentang “Adat
dan Adab Melayu Riau” sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Seiring penyusunan makalah ini, kami mengucapkan terimakasih kepada guru mata
pelajaran Budaya Melayu Riau yang telah membimbing kami, dan semua pihak yang turut
membantu dalam penyusunan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini tentu jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini dan untuk
pelajaran bagi kami semua dalam penyusunan selanjut nya.

September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Adat Dalam Masyarakat Melayu Riau.......................................................................3
B. Nilai – Nilai Adab  Melayu Riau Dalam  Kebudayaan Melayu Riau........................4
C. Sistem Kemasyarakatan Dalam Kebudayaan Melayu Riau.......................................4
D. Struktur Kemasyarakatan Dalam Kebudayaan Melayu Riau.....................................6

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................................................8
B. Saran ..........................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Orang Melayu menetapkan identitasnya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu,
beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam. Dalam makalah ini, penulis akan
mengemukakan beberapa hal pokok yang berkaitan dengan adat istiadat Melayu Riau.
Seperti diketahui bersama, segala hal yang bersangkutan dengan adat istiadat Melayu
belum banyak ditulis atau dicatat dengan jelas. Sejak dulu segala ketentuan adat-istiadat
disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Saat ini ketentuan adat
yang disampaikan hanya terbatas pada adat sopan santun saja. Untuk dapat memahami adat
istiadat yang berlaku dalam pergaulan, perlu diketahui sumbernya terlebih dahulu, yaitu
adat yang disebut “adat yang sebenar adat”. Sebelumnya, akan dibahas pengertian adat.
Banyak orang keliru mengartikan adat, terutama generasi muda. Adat diartikan sama
dengan kebiasaan lama dan kuno. Kalau mendengar kata adat, maka yang terbayang dalam
khayalan adalah orang tua berpakaian daerah, upacara perkawinan, atau upacara-upacara
lainnya. Oleh karena itu, jangan heran jika media massa pun sering keliru, sehingga pakaian
daerah disebut pakaian adat atau rumah yang berbentuk khas daerah disebut rumah adat.
Tegasnya, apa yang berbentuk tradisional dianggap adat.
Pengertian adat di Riau sendiri adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah-laku
dan hubungan antara anggota masyarakat dalam segala segi kehidupan. Oleh karena itu,
adat merupakan hukum tidak tertulis dan sekaligus sebagai sumber hukum. Sebelum hukum
Barat masuk ke Indonesia, adat adalah satu-satunya hukum rakyat yang kemudian
disempurnakan dengan hukum Islam, sehingga disebut “adat bersendikan syarak”.
Menyatunya adat Melayu dengan hukum syarak diperkirakan terjadi setelah Islam masuk ke
Malaka pada akhir abad ke-14.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Adat Dalam Masyarakat Melayu Riau ?
2. Bagaimana Nilai – Nilai Adab  Melayu Riau Dalam  Kebudayaan Melayu Riau
3. Bagaimana Sistem Kemasyarakatan Dalam Kebudayaan Melayu Riau
4. Bagaimana Struktur Kemasyarakatan Dalam Kebudayaan Melayu Riau

1
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Adat Dalam Masyarakat Melayu Riau
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Nilai – Nilai Adab  Melayu Riau Dalam  Kebudayaan
Melayu Riau
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Sistem Kemasyarakatan Dalam Kebudayaan Melayu
Riau
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Struktur Kemasyarakatan Dalam Kebudayaan Melayu
Riau

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. ADAT DALAM MASYARAKAT MELAYU RIAU


Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Riau bersumber dari Malaka dan Johor,
karena dahulu Malaka, Johor, dan Riau merupakan Kerajaan Melayu dan adatnya berpunca
dari istana,  Adat Melayu di Riau dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu adat sebenar adat,
adat yang diadatkan, dan adat yang teradat.
a. Adat Sebenar Adat
Yang dimaksud dengan “adat sebenar adat” adalah prinsip adat Melayu yang tidak dapat
diubah-ubah.

b. Adat yang Diadatkan


“Adat yang diadatkan” adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu kurun waktu dan
adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat
berubah-ubah sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan
dengan peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan adat.

c. Adat yang Teradat


Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik, sebagai pedoman dalam
menentuhan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga
merupakan kebiasaan turun-temurun. Oleh karena itu, “adat yang teradat” ini pun dapat
berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang.

 Adat-Istiadat Dalam Pergaulan Orang Melayu Di Riau


a. Tutur-Kata
Dalam bertutur dan berkata, banyak dijumpai nasihat, karena kata sangat berpengaruh bagi
keselarasan pergaulan, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Pengertian “bangsa” yang dimaksud
di sini adalah “orang baik-baik” atau orang berderajat yang juga disebut “orang berbangsa”.
Orang baik-baik tentu mengeluarkan kata-kata yang baik dan tekanan suaranya akan
menimbulkan simpati orang. Orang yang menggunakan kata-kata kasar dan tidak senonoh,
dia tentu orang yang “tidak berbangsa” atau derajatnya rendah.

b. Sopan-Santun Berpakaian
Dari pepatah “Biar salah kain asal jangan salah cakap” juga tercermin bahwa salah kain
juga merupakan aib. Dalam masyarakat Melayu, kesempurnaan berpakaian menjadi ukuran
bagi tinggi rendahnya budaya seseorang. Makin tinggi kebudayaannya, akan semakin

3
sempurna pakaiannya. Selain itu, sopan-santun berpakaian menurut Islam telah menyatu
dengan adat.

c. Adab dalam Pergaulan


Kerangka acuan adab dan sopan-santun dalam pergaulan adalah norma Islam yang sudah
melembaga menjadi adat. Di dalamnya terdapat berbagai pantangan, larangan, dan hal-hal
yang dianggap “sumbang”. Pelanggaran dalam hal ini menimbulkan aib besar dan si
pelanggar dianggap tidak beradab.

B. NILAI – NILAI ADAB  MELAYU RIAU DALAM  KEBUDAYAAN MELAYU RIAU


Nilai-nilai Islam akan mendominasi dan mengakar kuat dalam sistem budaya suatu
masyarakat apabila nilai-nilai Islam berakulturasi ke dalam budaya masyarakat melalui
proses yang intensif, gradual, akomodatif, empatif, dan berkelanjutan, bukan frontal dan
konfrontatif Dari sisi sosiologi, akulturasi Islam ke dalam suatu masyarakat dapat
menjadikan Islam sebagai suatu identitas dan pengikat solidaritas suatu komunitas (spirit de
corps), karena itu identitas dan solidaritas suatu komunitas tidak mutlak berdasarkan
kesatuan etnis. Ia juga dapat juga terbentuk atas kesatuan aqidah. Kesatuan sosial inilah
yang disebut dengan ummat.
Dakwah islamiyah yang dilaksanakan dengan pendekatan cultural, akomodatif –empatik,
menghasilkan respon yang positif-simpatik, dapat menekan intensitas konflik karena
perbedaan sistem dan orientasi nilai, mengembangkan toleransi, saling menghormati, dan
menerima kemajemukan keberagaman umat sebagai realitas historis dan manusiawi. Secara
empiris, akulturasi Islam ke dalam budaya Melayu Palalawan, telah menjadikan Islam
sebagai identitas kemelayuan orang Pelalawan, sehingga identitas kemelayuan tidak
selamanya didasarkan pada faktor genetis, tapi juga dapat terbentuk atas dasar aqidah.
Dengan demikian, “Melayu” adalah konsep terbuka yang dapat dimasuki siapa saja
melalui koridor Islam. Sebaliknya kemelayuan orang Melayu akan hilang apabila tidak
berbajukan Islam. Secara praktis operasional, penelitian ini memberi kontribusi bahwa
orang-orang Melayu akan mencapai kemajuan apabila pandangan hidup mereka yang
dogmatis-mistis ditransformasikan kepada pandangan hidup yang rasional empiris melalui
transformasi pemikiran dan pemahaman mereka atas Islam dan nilai-nilai budayanya
sendiri, sehingga keberagamaan dan keberbudayaan orang-orang Melayu menjadi lebih
rasional.

C. SISTEM KEMASYARAKATAN DALAM KEBUDAYAAN MELAYU RIAU


Jika pada mulanya suatu kampung di Riau didiami oleh mereka yang sesuku, maka pada
perkembangan kemudian telah banyak penduduk baru yang bukan sesuku merupakan
penduduk pendatang yang ikut berdiam di kampung tersebut. Datangnya penduduk baru

4
mungkin disebabkan perkawinan dan ada pula disebabkan adanya mata pencaharian
ditempat tersebut. Dengan demikian, masyarakat kampung tadi tidak terikat oleh karena
kesatuan suku, tetapi dengan perkembangan baru itu, ikatan tersebut tidak lagi bersifat
kesukuan, tetapi terikat karena kesatuan tempat tinggal dan kampung halaman.
Kampung-kampung tersebut dipimpin oleh seorang kepala kampung yang disebut
“Penghulu” dan sekarang merupakan pamong desa yang dipilih berdasar peraturan
pemerintah.
Disamping penghulu ini terdapat pula pimpinan bidang agama, yaitu “imam”. Imam
inilah yang mengurus segala persoalan yang menyangkut keagamaan, seperti menjadi imam
mesjid, pengajian dan pelajaran agama, nikah/cerai/rujuk, pembagian warisan, pengumpulan
zakat dan lainnya. Dengan demikian penghulu dengan didampingi oleh imam merupakan
pimpinan kampung.
1. Pimpinan dalam kesatuan hidup setempat
Terdapat bermacam-macam sebutan untuk pimpinan dalam kesatuan hidup setempat.
Pada mulanya struktur kesatuan hidup setempat berdasarkan kesukuan, maka
pemimpin adalah kepala suku atau kepala hinduk. Gelar kepala suku atau kepala
hinduk ini bermacam-macam, sebagai berikut :
Datuk = disamping menjadi kepala suku, sekaligus menjadi pimpinan territorial yang
agak luas yang mencakup dan membawahi beberapa kepala suku dan hinduk-hinduk.
Penghulu, batin, tua-tua, jenang dan monti adalah gelar untuk kepala suku dan
hinduk-hinduk.
Perkembangan kemudian menyebabkan pula perobahan batas-batas territorial, kalau
pada mulanya territorial mengikuti suku, yaitu dimana suku tersebut menetap, maka
lingkungan tempat tinggalnya itu menjadi daerah kekuasaannya. Tetapi keadaan ini
kemudian berbalik, yaitu suku yang mengikuti territorial. Teritoir ini kemudian
disebut “kampung”, “rantau” atau “banjar”. Mereka yang tinggal dalam lingkungan
teritoir tadi mejadi penduduk kampung dan dengan sendirinya kampung ini
mencakup beberapa kesukuan. Untuk kampung, rantau atau banjar ini diangkat
seorang kepala kampung yang disebut “penghulu”.

2. Hubungan sosial dalam kesatuan hidup setempat


Dikampung-kampung penduduk saling mengenal satu sama lain, karena
masyarakat kampung memiliki rasa keterikatan antara satu sama lainnya masih kuat.
Kerukunan merupakan cirri khas dari masyarakat kampung-kampung tersebut.
Adanya kerukunan ini bukan disebabkan karena paksaan dari luar berupa sangsi-
sangsi hukuman yang keras, tetapi memang timbul dari hati nurani yang dipengaruhi
oleh norma-norma yang hidup dimasyarakat itu.

5
Mulai dari gerak-gerik, sikap dan pembawaan dipengaruhi oleh faktor ini.
Menghindarkan hal-hal yang dapat menimbulkan aib dan malu merupakan fakor
pendorong untuk terus berbuat dan bersikap baik terhadao sesamanya dan perasaan
yang demikian lebih kuat dibandingkan dengan perasaan berdosa. Segala tindakan
harus dijaga supaya tidak menimbulkan “sumbang mata”, “sumbang telinga”,
“sumbang adab”. Secara keseluruhan haruslah dihindari hal-hal yang menyebabkan
orang di cap sebagai seorang yang “tidak tau adat’.
Dengan demikian jelaslah, norma-norma yang bersifat lebih besar pengaruhnya,
sehingga jarang dijumpai adanya pertikaian dan sengketa. Dalam hal ini pengaruh
kepemimpinan penghulu dan imam merupakan saham yang besar, sehingga
pertikaian-pertikaian yang timbul segera dapat didamaikan.

D. STRUKTUR KEMASYARAKATAN DALAM KEBUDAYAAN MELAYU RIAU


Masyarakat Melayu Riau pada dasarnya terdiri dari dua dua stratifikasi Sosial atau
golongan, yaitu golongan masyarakat asli dan golongan penguasa atau bangsawan
kesultanan. Meskipun demikian, struktur sosial orang Melayu Riau sebenarnya longgar dan
terbuka bagi kebudayaan lain. Sehingga banyak orang Arab dan Bugis yang menjadi
bangsawan.
Wan adalah gelar bangsawan bagi orang Arab dan raja adalah gelar kebangsawanan
orang Bugis. Mereka juga mendapat kedudukan yang sangat tinggi (Sultan Siak dan Sultan-
sultan Kerajaan riau-Lingga). Sedangkan, gelar bangsawan untuk orang Melayu adalah
tengku. Pada awalnya kepala-kepala suku yang menguasai hutan tanah, “territorial”
bernaung di bawah kerajaan Johor. Namun setelah Raja Kecil dapat meduduki takhta
Kerajaan Johor, terpaksa Keluarga kesultanan meninggalkan Johor dan membuka kerajaan
baru di sungai Siak, maka kerajaannya dinamakan “Kerajaan Siak Sri Inderapura”. Dalam
keadaan yang baru ini, pembagian golongan dalam masyarakat Riau mulai berlaku.
Jika pada mulanya yang ada hanya kepala suku sebagai puncak dan anggota sukunya
sebagai dasarnya, maka dengan adanya Sultan beserta keturunannya, terjadilah tingkatan
sosial baru sebagai berikut: Raja/Ratu dan Permaisuri yang merupakan tingkat teratas.
Keturunan Raja yang disebut anak Raja-raja, merupakan lapisan kedua. Orang baik-baik
yang terdiri dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya beserta keturunannya
merupakan lapisan ketiga. Orang kebanyakan atau rakyat umum, merupakan tingkatan
terbawah.
Adanya tingkatan sosial tersebut membawa konsekuensi pula dibidang adat istiadat dan
tata cara pergaulan masyarakat. Makin tinggi golongannya semakin banyak hak- haknya,
seperti; keistimewaan dalam tata pakaian, tempat duduk dalam upaca-upacara pun
menunjukan adanya perbedaan itu.

6
Pada perkembangan kekinian, seiring dengan perubahan ketatanegaraan akhirnya
berubah juga  stratifikasi sosial ini. Saat ini ketentuan-ketentuan adat ini sudah tidak
mengikat lagi dan pada umumnya sudah disesuaikan dengan alam demokrasi sekarang.
Sehingga perbedaan golongan tingkat ini sudah tidak kelihatan lagi dalam pergaulan. Pada
waktu ini lebih diutamakan kepribadian, kedudukan dan keadaan materiel seseorang
menurut ukuran sekarang.
Dalam upacara perkawinan misalnya, bagi mereka yang mempunyai kemampuan
materiel, bisa memakai pakaian dan perlengkapan yang seharusnya diperuntukan bagi
seorang Raja atau Sultan. Dalam upacar adat yang diadakan sekarang, yang dianggap tinggi
adalah pejabat-pejabat pemerintah sesuai menurut kedudukannya sekarang, bukan lagi
Datuk-datuk atau Tengku-tengku. Upacara adat sekarang sudah beralih fungsinya. Adanya
upacara adat ini hanya sekedar menunjukkan identitas suku bangsanya dengan kejayaannya
dengan masa lampau.
Dengan demikian, perkembangan budaya dalam pemahaman nation atau negara
Indonesia hari ini, tidak mengenal kasta, strata, jenis tertentu dalam masyarkat. Hal ini
menunjukkan sisi egalitarian bangsa Indonesia dalam menyikapi ragam budaya, serta garis
sejarah yang panjang di masing-masing daerahnya.
Dengan sifat egalitarian ini, sangat memungkinkan perbedaan yang ada bisa kita duduk
sejajar dalam bermasyarakat meski berasal dari asal usul, golongan atau nenek moyang
yang berbeda. Dan pentingnya pembelajaran adat dan budaya nenek moyang adalah untuk
memahami makna filosofis yang terkandung bukan untuk memperdalam jurang pemisaha
kebhinekaan kita.

7
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat dari makalah ini adalah sejauh mana pengetahuan seseorang
terhadap kebudayaannya sendiri dipengaruhi oleh berberapa hal dan salah satunya adalah
dirinya sendiri. Besar atau kecilnyanya rasa cinta dan bangga terhadap kebudayaannya
itulah yang nantinya mencerminkan bahwa sejauh mana seseorang mengenali budayanya
sendiri. Jika semakin kecil rasa kecintaannya maka jelaslah seseorang tersebut belum terlalu
dekat dengan budaya sukunya sendiri, begitu juga sebaliknya.
Mengenali budaya sendiri khususnya melayu merupakan sebuah keharusan baginya yang
mengaku melayu. Sedikit banyaknya pengetahuan kita mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan budaya melayu menjadikan kita secara tidak langsung mempelajari
budaya itu sendiri. Seperti yang dikatakan para pakar bahwa seseorang yang mengaku
melayu jikalau ia: 1. Berbahasa melayu, 2. Beradat-istiadat Melayu dan 3. Beragama Islam.
Maka dari itu, ketiga hal inilah menjadi patokan ataupun barometer sejauh mana kita sudah
menjadi bagian dari budaya itu sendiri khususnya budaya melayu.

B. SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai Adat dan
Adab Melayu Riau. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://irfansyahp.blogspot.com/2013/09/adab-adab-budaya-melayu-riau.html?m=1
Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA kelas XI

Anda mungkin juga menyukai