Anda di halaman 1dari 16

Sengketa Pulau Sipadan

dan Ligitan antara


Indonesia dengan Malaysia
Kelompok Hukum Internasional :
-Immanuel Klaudeaz Irlamtio 1510611023
- Fathia Cahya Samara 1510611126
- Nauval Andry 1510611141
- Panji Satriya Pradana 1510611139
- Azharizqi Hakiim 1510611131

Latar Belakang
Kasus yang akan dibahas tentang perebutan pulau
dengan negara tetangga yaitu Malaysia yang masih
berada satu kawasan dengan Indonesia.
Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan
Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua
pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan
(luas: 50.000 meter) dengan koordinat: 4652,86LU
11837 43,52BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter)
dengan koordinat: 49LU 11853BT. Sikap Indonesia
semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi
ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan
sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana diplomasi yang dilakukan IndonesiaMalaysia dalam penyelesaian kasus Sipadan-Ligitan?
2. Apa penyebab indonesia kalah dalam kasus
tersebut?
3. Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil
Indonesia untuk kedepannya dalam mengatasi kasus
yang serupa?
4. Siapakah yang berhak memiliki hak atas kedaulatan
terhadap pulau Sipadan dan Ligitan?

Kronologis kasus
1969 Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama
kali pada perundingan mengenai batas landas kontinen
antara RI dan Malaysia di Kuala Lumpur (9-12
September 1969). Hasil Kesepakatan: kedua pihak agar
menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan
yang menyangkut kedua pulau itu sampai penyelesaian
sengketa.

197 Malaysia melakukan tindakan sepihak dengan


0
menerbitkan peta yang memasukkan kedua
pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya,
dan beberapa tahun kemudian melakukan
pembangunan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas
wisata di kedua pulau itu
198
9

Pembahasan sengketa oleh Presiden RI Soeharto


dan PM Malaysia Mahathir Muhammad di
Yogyakarta, tahun 1989. Hasil kesimpulan: sengketa
mengenai kedua pulau tersebut sulit untuk
diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral.

1997 Kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian


sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional dengan
menandatangani dokumen "Special Agreement for the
Submission to the International Court of Justice on the
Dispute between Indonesian and Malaysia concerning
the Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan"
di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997.

199 Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan


8
khusus yang telah ditandatangani itu
kemudian secara resmi disampaikan kepada
Mahkamah Internasional, melalui suatu "joint
letter" atau notifikasi bersama.
200 Proses
argumentasi
tertulis
("written
0
pleadings") dari kedua belah pihak dianggap
rampung pada akhir Maret 2000 di Mahkamah
Internasional. Argumentasi tertulis itu terdiri
atas
penyampaian
"memorial",
"counter
memorial",
dan
"reply"
ke
Mahkamah
Internasional.

2002

Proses penyelesaian sengketa Pulau


Sipadan dan Ligitan di Mahkamah
Internasional memasuki tahap akhir,
yaitu proses argumentasi lisan ("oral
hearing"), yang berlangsung dari
tanggal
3-12
Juni
2002.
Pada
kesempatan
itu,
Menlu
Hassan
Wirajuda selaku pemegang kuasa
hukum RI, menyampaikan argumentasi
lisannya ("agents speech"), yang
kemudian diikuti oleh presentasi
argumentasi yuridis yang disampaikan
Tim
Pengacara
RI.
Mahkamah
Internasional kemudian menyatakan
bahwa keputusan akhir atas sengketa
tersebut
akan
ditetapkan
pada
Desember 2002.
Pada tanggal 17 Desember 2002,
Mahkamah Internasional di Den Haag
menetapkan Pulau Sipadan dan Ligitan
menjadi
bagian
dari
wilayah
kedaulatan Kerajaan Malaysia atas
dasar efektivitas karena Malaysia

Keputusan Mahkamah
Internasional
Tiga butir Pokok-pokok Putusan Mahkamah
Internasional dari sengketa pulau sipadan ligitan
,yaitu :

1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau


sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh
Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu
dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah
juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau
termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang
kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori
rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut
Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian
yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan
kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara
tegas merujuk kedua pulau sengketa.

2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau


sengketa merupakan wilayah berada di bawah
kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal
IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis
batas 4 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai
allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga
menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di
terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan
kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori
van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang
memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran
Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki
kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari
konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif
Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak
disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878
sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang
diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.

3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah


yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical
date mengingat argumentasi hukum RI maupun
argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan
klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pulau yang
bersengketa Penyelesaian sengketa yang akhirnya
diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada
hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak
Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh
Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang
besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara
penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang
menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah
Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model
penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara
anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi,
misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan
hampir semua negara tetangganya.

Penyelesaian sengketa
internasional dengan cara hukum
1. Secara Damai
a. Jalur Politik
- Negosiasi
- Jasa Baik (Good Offices)
- Mediasi
- Pencari Fakta (fact finding/Inquiry)
- Konsiliasi (Conciliation)
- Penyelesaian Melalui PBB
- Penyelesaian Melalui Organisasi
Regional

b. Jalur Hukum
- Jalur Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut hukum
Internasional adalah prosedur untuk penyelesaian
sengketa antara negara-negara dengan penghargaan
yang mengikat berdasarkan hukum. Sebagaimana
halnya penyelesaian sengketa secara damai yang lain,
prinsip sukarela juga mendasari penyelesaian sengketa
melalui lembaga ini.
- Pengadilan Internasional
Pengadilan Internasional antara lain Internatinal Court of
Justice (ICJ), Permanent Court of International of Justice
(PCIJ), Internatinal Tribunal for the Law of the Sea,
berbagai Ad Hoc Tribunal, juga Internatinal Criminal
Court (ICC). Namun ICJ sering dianggap sebagai cara
utama penyelesaian sengketa hukum antar negara.

2. Jalur Kekerasan
-Retorsi
- Reprisal
-Blokade Damai (pacific Blocade)
- Embargo
-Perang

Sikap yang Harus Dilakukan


Indonesia Jika Mengatasi Kasus yang
Sama
Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional,
menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus diakui bahwa
pemerintah memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara
atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali ahli-ahli dari
Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia,
menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan
yang memadai untuk berlaga di Mahkamah Internasional. Salah
satunya adalah memperkuat dan memperbanyak ahli hukum yang
menguasai pengetahuan tentang hukum internasional.
Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum
internasional. Namun, tidak seharusnya ketiadaan para pakar
hukum internasional membuat kita menjadi tidak percaya diri.
Jangan menggunakan pengacara asing karena, Selain itu, ia juga
berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memilikisense
ofbelongingyang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara
asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus
tersebut dari sisi bisnisnya semata.

Kesimpulan
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia
dalam menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan
suatu cara penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan
Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan
sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah
pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB. Sengketa Pulau Sipadan dan
Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang
dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari
Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada
saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis
perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena
kedua pihak saling mengklaimkedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya
melakukan pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat
diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk menyerahkan
penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai
macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam
persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana
Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak
melaksanakan efektivitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.

Saran
Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka
Indonesia harus menjaga keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar
biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak
berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah.
Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis,
karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan.
Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan
pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang
dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau
yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang
tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia.
Dari 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau
yang harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau tersebut
adalah Pulau Rondo, Berhala, Nipa, Sekatung, Marore, Miangas,
Fani, Fanildo, Dana, Batek, Marampit dan Pulau Bras.
Jangan takut bersikap tegas, kalau memang harus perang, rakyat
Indonesia pasti mendukung demi keutuhan NKRI. Karena NKRI
adalah harga mati.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai