Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“Etnografi Melayu Riau : Mengenal Sistem Kekerabatan Adat Temenggung


dan Adat Perpatih”
(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok VI (Enam) Mata Kuliah Etnografi Melayu)
Dosen Pengampu : Khairiyah M.Ag

Disusun Oleh :

Siti Nurholiza Siregar (12030324612)


Dinar (12030326398)

STUDI AGAMA-AGAMA / VI

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT beserta shalawat dan salam kepada nabi besar kita
nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul [Etnografi Melayu Riau : Mengenal sistem
kekerabatan adat temenggung dan adat perpatih] ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu
Khairiah M.Ag pada Mata Kuliah Etnografi Melayu. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Etnografi Melayu Riau : Mengenal system kekerabatan adat
temenggung dan adat perpatih bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Khairiyah M.Ag selaku dosen mata
kuliah Etnografi Melayu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun yang
membacanya termasuk juga penulis. Penulis menyadari, makalah yang penulis tulis ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 4 Mei 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2

C. Tujuan .................................................................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Deskripsi Adat Temenggung dan Adat Perpatih ................................................. 3

B. Sistem Patrilineal Dan Matrinileal ...................................................................... 5

C. Nilai- Nilai Dalam Sistem Kekerabatan Orang Melayu ...................................... 6

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 8

B. Saran .....................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 9

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat genealogis (menurut asas kesadaran
(keturunan) ialah masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu
ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal satu keturunan yang sama.
Dengan kata-kata lain: seorang menjadi atau menanggap dirinya keturunan dari seorang ayah-
asal (nenek-moyang laki-laki) tunggal melalui garis keturunan laki-laki atau dari seorang ibu
asal (nenek moyang perempuan) tunggal melalui garis keturunan perempuan dan dengan
demikian maka semua anggota masyarakat yang bersangkutan itu tadi merasa seabagai satu
kesatuan dan tunduk pada peraturan-peraturan hukum (adat) yang sama, sehingga yang berhak
untuk mendapatkan gelar adat gelar ninik mamak biasanya adalah yang memiliki garis
keturunan. Masyarakat Melayu-Riau mengenal dua bentuk adat, yaitu Adat Temenggung dan
Adat Perpatih dengan dua bentuk sistem kekerabatan, yakni sistem kekerabatan matrilineal dan
parental. Kedua corak ini, terutama Adat Perpatih mengandung unsur-unsur adat yang berlaku
di Minangkabau. Selain itu, Perpatih dan Temenggung merupakan dua tokoh adat di
Minangkabau yang masingmasing mengembangkan dua aliran adat, yaitu aliran Caniago yang
dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang dan aliran Koto Piliang yang dikembangkan
oleh Katumanggungan. Maka orang Melayu memandang bahwa adat mereka berasal dari adat
Minangkabau (Amir Luthfi, 1991: 105).

Adat istiadat dan budaya Melayu Riau adalah seperangkat nilai-nilai kaidahkaidah dan
kebiasaan yang tumbuh dan berkembang sejak lama bersamaan dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat yang telah dikenal, dihayati dan diamalkan oleh yang bersangkutan
secara berulang-ulang secara terus menerus dan turun temurun sepanjang sejarah, adat-istiadat
dan budaya Melayu Riau yang tumbuh dan berkembang sepanjang zaman tersebut dapat
memberikan andil yang cukup besar terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Satu kesatuan masyarakat adat biasanya terdiri satu puak atau bagian dari suku
bangsa (sub etnis). Di Riau misalnya dapat dikenal beberapa puak suku Melayu, seperti puak

1
Melayu Riau-Lingga, Puak Melayu Siak, Puak Melayu Inderagiri, puak Melayu Kuantan, puak
Melayu Kampar, puak Melayu Pelalawan, Puak Melayu Pekanbaru dan sebagainya. Dalam satu
puak dapat dipimpin oleh beberapa teraju adat dengan gelar Datuk. 1

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat penulis merumuskan masalah yang akan di
bahas pada makalah ini antara lain :

1. Apakah perbedaan adat temenggung dan adat perpatih dalam etnografi Melayu Riau
2. Apasaja Nilai- Nilai Dalam Sistem Kekerabatan Orang Melayu

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui dan Memahami perbedaan adat temenggung dan adat perpatih dalam
etnografi Melayu Riau
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Nilai- Nilai Dalam Sistem Kekerabatan Orang Melayu

BAB II
1
U.U. Hamidy, Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya di Riau. Pekanbaru : Bilik Kreatif Press, tahun 2006, hlm 74.

2
PEMBAHASAN

A. Deskripsi Adat Temenggung dan Adat Perpatih

Masyarakat Melayu-Riau mengenal dua bentuk adat, yaitu Adat Temenggung dan
Adat Perpatih dengan dua bentuk sistem kekerabatan, yakni sistem kekerabatan matrilineal
dan parental. Kedua corak ini, terutama Adat Perpatih mengandung unsur-unsur adat yang
berlaku di Minangkabau. Selain itu, Perpatih dan Temenggung merupakan dua tokoh adat di
Minangkabau yang masing masing mengembangkan dua aliran adat, yaitu aliran Caniago
yang dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang dan aliran Koto Piliang yang
dikembangkan oleh Katumanggungan. Maka orang Melayu memandang bahwa adat mereka
berasal dari adat Minangkabau (Amir Luthfi, 1991: 105). Untuk memperjelas adat yang
berlaku dalam masyarakat Melayu-Riau, perlu ditinjau terlebih dahulu bentuk dan isi adat
yang terdapat di Minangkabau. Hal itu perlu dilakukan karena ada hubungan historis antara
orang-orang Minangkabau dengan orang Melayu-Riau, terutama pada masa Kesultanan Siak
Sri Indrapura. Di mana Adat Minangkabau, pada waktu itu dan masa-masa sesudahnya,
mempunyai pengaruh yang luas terhadap perkembangan adat di daerah Melayu-Riau.

Di alam Melayu-Riau terdapat pula dua sistem sosial yang berbeda, yaitu sistem Adat
Perpatih dan sistem Adat Temanggung. Yang pertama mempertahankan garis keturunan atas
garis keturunan ibu, sedangkan yang kedua mengembangkan susunan masyarakat atas garis
keturunan bapak. Adat Perpatih disepakati berasal dari Minangkabau yang dibawa oleh
imigran Minangkabu ke alam Melayu-Riau, sedangkan adat Temenggung berkembang di
daerah Melayu-Riau melalui adaptasi dengan unsur-unsur local. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa Adat Temenggung adalah adat asli alam Melayu-Riau, sedangkan adat
Perpatih adalah adat yang dipengaruhi orang-orang yang berimigran dari Minangkabau ke
alam Melayu-Riau, walaupun ada yang berpendapat bahwa kedua adat itu berasal dari
Minangkabau. Ada kecenderungan di kalangan orang Melayu-Riau yang menyatakan bahwa
Adat Temenggung dan Adat Perpatih berasal dari Minangkabau. Akan tetapi Adat
Temenggung di daerah Melayu Riau berbeda dengan adat Katumanggungan di daerah
Minangkabau. Adat Temenggung di daerah Melayu-Riau mengembangkan bentuk
kekerabatan patrilinial (garis bapak), sedangkan di Minangkabau bersifat matrilineal (garis

3
ibu), sama halnya dengan Adat Perpatih. Adat Temanggung dan Adat Perpatih merupakan
inti dari adat Melayu yang mewarnai kehidupan masyarakat MelayuRiau, sehingga kedua
adat tersebut disebut dengan Adat Melayu. Meskipun kedua adat itu berbeda yang pertama
bersifat patrilinial dan yang kedua matrilineal tetapi keduanya dianggap serumpun. Di
daerah Melayu, tepatnya di pantai timur Sumatera dan Kepulauan Riau kurang dikenal
pembagian adat Melayu menjadi Adat Temenggung dan Adat Perpatih. Mereka menyebut
adat yang berlaku bagi mereka adalah adat Melayu sebagai imbangan dari adat
Minangkabau yang berlaku di daerah Minangkabau (Amir Luthfi, 1991: 123).

Dalam masyarakat masyarakat Melayu-Riau, adat yang berlaku pada dasarnya adalah
Adat Temenggung dan Adat Perpatih. Akar Adat Temenggung di daerah ini dapat ditelusuri
dari hubungan Kesultanan Siak dengan Kesultanan Johor, selain pecahan Johor, Kesultanan
Siak melanjutkan tradisi adat Johor. Hubungan antara Siak dan Johor, bahkan Malaka telah
terjalin jauh sebelum Raja Kecil mendirikan Kesultanan Siak. Daerah Melayu-Riau
merupakan daerah taklukan Johor sampai berdirinya Kesultanan Siak. Adat Temenggung
berlaku di kalangan keluarga sultan dan masyarakat Melayu Riau yang tidak berasal dari
Minangkabau atau pernah mempunyai hubungan kekeluargaan yang bersifat politis dengan
Minangkabau. Adat Perpatih yang terdapat di Melayu Riau mengalami perubahan bila
dibandingkan dengan adat di Minangkabau, baik menurut aliran Piliang (Datuk
Katumanggungan), aliran Caniago (Datuk Perpatih Nan Sabatang), maupun campuran antara
keduanya. Orang-orang Minangkabau di Riau membentuk organisasi berdasarkan daerah
asal mereka di Minangkabau dan melebur suku-suku asal mereka ke dalam persukuan baru.
Pada mulanya di bentuk tiga persukuan baru di “Siak Asli” dengan nama Limapuluh, Tanah
Datar dan Pesisir, kemudian ditambah suku keempat yaitu suku Kampar. Persukuan baru ini
disebut “Empat Suku” dengan pimpinan yang dikenal dengan sebutan “Datuk Empat Suku.”

Adat yang dikembangkan oleh Datuk Empat Suku di Kesultanan Siak adalah
campuran antara Adat Perpatih dan Adat Temanggung. Unsur Adat Perpatih diambil sistem
kekerabatan yang didasarkan atas persukuan. Perkawinan yang bersifat eksogami dan
pemilihan kepala suku yang demokratis. Meskipun Datuk Empat Suku ditetapkan sultan,
tetapi kepala suku tersebut berdasarkan usulan oleh warga suku yang bersangkutan setelah
melakukan musyawarah pemilihan di antara anak lakilaki atau garis keturunan terdekat dari

4
datuk yang digantikan. Bila sultan tidak berkenan dengan calon yang diusulkan, maka warga
suku tersebut mengusulkan calon lain. Setelah mendapat persetujuan sultan maka diminta
pandangan Datuk Empat Suku lain tentang calon tersebut. Kemudian barulah datuk yang
baru diusulkan itu memangku jabatannya dalam masa percobaan satu tahun dan akan
dikukuhkan secara defenitif bila dia dapat menunjukkan kemampuannya.

B. SISTEM PATRILINEAL DAN MATRINILEAL


Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak
ayah.2 Patrilineal berasal dari dua kata bahasa latin, yaitu pater yang artinya ayah, dan linea yang
berarti garis. Jadi, dalam kalangan berbagai suku dan daerah patrilineal adalah suatu adat
masyarakat yang mengatur akan keturunan berasal dari pihak ayah dimana apabila terjadi
masalah maka yang bertanggung jawab adalah pihak laki- laki. Sistem kekeluargaan ini dianut
oleh bangsa arab, Eropa, suku melayu dan suku batak yang hidup di daerah Sumatra. Menurut
sistem patrilineal, kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dalam pembagian warisan
daripada kedudukan wanita sehingga hanya anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris.
Bentuk perkawinan suatu masyarakat yang menarik sistem keturunan dari pihak ayah
(patrilineal) mengenai bentuk perkawinan eksogami, misalnya bentuk ‘’perkawinan jujur’’, pada
masyarakat melayu yang mengharuskan adanya perbedaan klan antara calon mempelai laki-laki
dengan mempelai perempuan. Pihak laki-laki menarik pihak perempuan untuk masuk kedalam
klannya. Dengan demikian si perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sepadan dengan
anggota-anggota keluarga laki-laki yang lain, penarikan perempuan ke dalam klan laki-laki ini
harus disertai dengan pemberian jujur, berupa barang-barang yang memiliki nilai kepada pihak
perempuan. Hal ini dilakukan karena masyarakat melayu mempercayai bahwa pemberian jujur
menggambarkan symbol sebagai pengganti kedudukan perempuan dalam suatu klan. Oleh
karena itu, pada masyarakat melayu patrilineal yang menarik keturunan garis ayah menjadikan
kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dan pada kedudukan wanita dalam hal waris.

2
Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari. Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal
Antropologi. Aura Publisher. hlm. 97. ISBN 978-623-211-107-3.

5
Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari
pihak ibu.3 Dalam adat matrilineal, anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis
keturunan perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat
ibu berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang
susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga
menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para
warganya yang seketurunan menurut garis ibu yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi yang
lebih besar daripada garis keturunan bapak.

Terkait dalam suatu jalinan kekerabatan ber-dasarkan garis keturunan ibu. Seorang anak
laki-laki atau perempuan, merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukan
anaknya ke dalam sukunya, sebagaimana yang berlaku dalam sistem matrilineal. Amir
Sjarifoedin TjA mengatakan bahwa matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur
atau garis keturunan berasal dari pihak ibu.4 Kata ini matrilineal seringkali disamakan dengan
matriarkh atatau matriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda.5

C. NILAI- NILAI DALAM SISTEM KEKERABATAN ORANG MELAYU

Sistem kekerabatan orang melayu mengandung nilai- nilai luhur dalam kehidupan,
diantaranya yang pertama yaitu Pembagiaan peran, nilai ini tercemin dari sistem kekerabatan
yang dibagi dalam bagian- bagian tertentu. Secara sosial, pembagiaan ini ditunjukkan untuk
membagi peran masing- masing, baik dikeluarga maupun masyarakat. Pembagian peran ini
sangat penting karena setiap manusia tentu saja saling membutuhkan dan harus saling
membantu. Yang kedua yakni dapat Melestarikan tradisi. Pelaksanaan sistem ini dalam
kehidupan keluarga maupun sosial menjadi bukti tindak orang melayu dalam melestarikan
tradisi. Tradisi yang dilakukan secara turun menurun dapat menjadi suatu ciri khas tersendiri
dalam masyarakat tersebut. Yang ketiga yakni Menjaga keturunan. Satu hal penting dari

3
Ibid
4
Sjarifoedin Tj.A., Amir. Minang-kabau Dari Dinasti Iskandar Zul-karnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta
Timur: PT. Gria Media Prima,2011
5
Indra Andar Sastra. “ Suku Malayu: Sistem Matrilineal dan Budaya Perunggu di Minangkabau “. Journal malayu
art and performance. Vol. 1, No.1, April, 2018

6
sistem kekerabatan adalah berlangsungnya keturunan agar bertahan dan bermanfaat bagi
sesama. Melalui sistem ini, keluhuran melayu ingin menjaga nasab setiap orang agar tetap
tersambung baik itu dari nasab ibu maupun nasab ayah.

Yang keempat adalah Menjaga adat. Salah satu tugas yang ditanggung orang melayu
menjadi wali adat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa salah satu tujuan sistem kekerabatan
ini adalah untuk menjaga adat melayu agar tetap lestari sehingga terus menerus diajarkan
kepada anak cucu walaupun kemajuan zaman semakin moderen kita tetap harus memakai
nilai-nilai yang sudah dijalani secara turun menurun tersebut. Yang kelima yaitu Harmoni
masyarakat, sistem ini secara sosial juga bernilai kepada harmonisasi masyarakat. Dengan ini
tentunya kehidupan sosial akan berjalan dengan baik jika masing- masing menjalankan
peranya dan tidak melanggar aturan. Setiap orang memang memiliki peran nya masing-
masing yang secara mau tidak mau ia harus melakukan nya dikarenakan ini merupakan
hukum adat. Yang keenam yaitu menjadi menghargai sesama melalui sistem ini, orang
melayu satu keluarga telah diberi porsi masing- masing. Hal itu akan berefek pada sikap
saling menghormati antar sesama anggota keluarga. Karena diadakan nya sistem kekerabatan
ini masyarakat melayu akan saling menghargai sesama nya sehingga tidak ada lagi orang
yang berbuat semena-mena terhadap anggota keluarga nya apalagi sampai mentelantarkan
anggota keluarga nya sendiri. Dan yang terakhir yaitu dapat menjaga persatuan dan kesatuan
suku dalam konteks suku, sistem kekerabatan bernilai untuk menjaga persatuan dan kesatuan
suku. Hal ini disebabkan oleh kesadaran mereka yang diikat oleh satu keluhur dari suku yang
sama.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masyarakat Melayu-Riau mengenal dua bentuk adat, yaitu Adat Temenggung dan Adat
Perpatih dengan dua bentuk sistem kekerabatan, yakni sistem kekerabatan matrilineal dan
parental. Yang pertama mempertahankan garis keturunan atas garis keturunan ibu, sedangkan
yang kedua mengembangkan susunan masyarakat atas garis keturunan bapak. Adat Perpatih
disepakati berasal dari Minangkabau yang dibawa oleh imigran Minangkabu ke alam Melayu-
Riau, sedangkan adat Temenggung berkembang di daerah Melayu-Riau melalui adaptasi dengan
unsur-unsur local. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Adat Temenggung adalah adat asli
alam Melayu-Riau, sedangkan adat Perpatih adalah adat yang dipengaruhi orang-orang yang
berimigran dari Minangkabau ke alam Melayu-Riau. Maka adapun nilai-nilai system
kekerabatan orang melayu antara lain : Pembagiaan peran, nilai ini tercemin dari sistem
kekerabatan yang dibagi dalam bagian- bagian tertentu karena setiap manusia tentu saja saling
membutuhkan dan harus saling membantu,selanjutnya yakni dapat Melestarikan tradisi,
Menjaga keturunan dan menjaga adat.

B. Saran

Pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa dalam proses penyusunan dan penyampaian


makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran
dari para pembaca demi perbaikan makalah ini. Tentunya,pemakalah akan terus memperbaiki
makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan nantinya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Amir Luthfi. (1991). Hukum dan Perubahan Struktur Kekuasaan, Pelaksanaan Hukum Islam
Dalam Kesultanan Melayu Siak 1901-1942. Pekanbaru, Susqa Press.

Budisantoso, dkk. (1992). Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya. Pekanbaru: Pemda
Riau.

Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari. Pengantar Antropologi: Sebuah
Ikhtisar Mengenal Antropologi. Aura Publisher. hlm. 97. ISBN 978-623-211-107-3.

Indra Andar Sastra. 2018 “Suku Malayu: Sistem Matrilineal dan Budaya Perunggu di
Minangkabau “. Journal malayu art and performance. Vol. 1, No.1, April

Sjarifoedin Tj.A., 2011 Amir. Minang-kabau Dari Dinasti Iskandar Zul-karnain Sampai Tuanku
Imam Bonjol. Jakarta Timur: PT. Gria Media Prima,

U.U. Hamidy, 2006 Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya di Riau, Pekanbaru : Bilik Kreatif
Press

Anda mungkin juga menyukai