Anda di halaman 1dari 32

NASKAH AKADEMIK TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hubungannya dengan pembangunan lingkungan hidup, faktor terpenting yang harus
mendapat perhatian adalah besarnya populasi manusia (laju pertambahan penduduk), sebab
dengan tingkat pertambahan penduduk yang tinggi, kebutuhan pangan, bahan bakar,
pemukiman dan kebutuhan-kebutuhan dasar yang lain juga akan meningkat, yang pada
akhirnya akan meningkatkan limbah yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan. Untuk mengatasi masalah ini, maka pembangunan yang
dicanangkan haruslah pembangunan dengan konsep yang bijaksana, yang bertujuan
meningkatkan kualitas lingkungan. Konsep pembangunan yang bijaksana tersebut harus
berkelanjutan, di Indonesia terkenal dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan. Dewasa ini perkembangan di daerah Kabupaten Barito Timur
khususnya di kota Tamiang Layang dan Ampah juga begitu pesat, selain tingkat pertambahan
penduduk yang cukup tinggi, di sisi lain juga terjadi pembangunan seperti pembangunan
perumahan, pasar-pasar, baik yang tradisional maupun modern, di mana pembangunan ini
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pembangunan tersebut juga mengandung
risiko yang tinggi terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan
fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Dampak negatif yang
ditimbulkan dari pesatnya pertambahan penduduk dan pembangunan di Kabupaten Barito
Timur antara lain mengenai pengelolaan sampah. Setiap hari hampir di semua sudut kota
terlihat menumpuknya sampah dan pembuangan oleh masyarakat yang tidak teratur, hal ini
juga mengakibatkan tersumbatnya parit, sungai dan saluran air dan banyak got-got yang
kotor/tersumbat. Kondisi seperti ini jika dibiarkan terus menerus mengakibatkan kondisi
Kabupaten Barito Timur khususnya di pusat kota Tamiang Layang dan Ampah 2 (dua) kota besar
yang ada di Kabupaten Barito Timur terlihat kumuh dan kotor, serta dapat menimbulkan
berbagai penyakit dan kesengsaraan bagi masyarakat.
Pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat di satu sisi menimbulkan
bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam, dan di sisi lain
pengelolaan sampah selama ini belum sepenuhnya sesuai dengan metode dan teknik
pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif
terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Sampah telah menjadi permasalahan daerah
sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir
agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan,
serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Selain itu dalam pengelolaan sampah diperlukan
kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintahan daerah, serta
peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara
proporsional, efektif, dan efisien. Hal inilah yang mendasari dibentuknya Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Masalah sampah terkait erat dengan lingkungan hidup, karena lingkungan hidup yang baik dan
sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kualitas lingkungan
hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Untuk lebih
menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap
keseluruhan ekosistem, sehingga dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain aturan di bidang lingkungan hidup, masalah sampah juga terkait dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Pemerintah Kabupaten Barito
Timur menyesuaikan berbagai peraturan daerah terkait dengan pajak daerah dan retribusi
daerah, sehingga dibentuklah Peraturan Daerah Kabupaten Barito Timur Nomor 5 Tahun 2011 .
Terkait dengan pelayanan publik, diterbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Berdasarkan berbagai ketentuan di atas terdapat adanya tanggungjawab/kewajiban pemerintah
daerah terhadap pengelolaan sampah yang diselaraskan dengan norma, standar, prosedur, dan
kreteria pelayanan publik. Di Kabupaten Barito Timur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2011, meletakan tanggungjawab/kewajiban pemerintah daerah untuk melakukan
pengelolaan sampah atas dasar pungutan retribusi daerah. Dalam Pasal 9 Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2011 dinyatakan bahwa dengan nama retribusi pelayanan
persampahan/kebersihan dipungut retribusi atas pelayanan persampahan/kebersihan.
Dengan dikeluarkannya berbagai peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang
berkaitan dengan pengelolaan sampah, kebersihan, lingkungan hidup, dan pelayanan publik
seperti yang telah dikemukakan di atas, ternyata masih belum mampu untuk mengatasi
masalah sampah di Kabupaten Barito Timur. Hal ini terbukti dari semakin meningkatnya
permasalahan pengelolaan sampah dan bahkan dari tahun ke tahun cenderung meningkat.
Dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai
norma, standar, prosedur, dan kreteria pelayanan pengelolaan sampah, sehingga dalam
pelaksanaannya lebih cenderung pada pengaturan retribusi dibandingkan dengan kewajiban
semua pihak (pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat) untuk melakukan pengelolaan
sampah.
Dalam kondisi seperti di atas, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan dalam mengantisipasi
timbulan sampah dan langkah-langkah dalam melakukan pengelolaan sampah. Pemerintah
melalui Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Meneteri Dalam Negeri Nomor 33
Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, yang menekan bahwa pengelolaan sampah
ditetapkan dengan peraturan daerah, di mana peraturan daerah tersebut sudah harus dibentuk
paling lambat 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Menteri tersebut. Sehubungan
dengan itu, maka Pemerintah Kabupaten Barito Timur melalui Dinas PU Kabupaten Barito Timur
berinisiatif mengajukan usulan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
Sehubungan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, dalam penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan
pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Barito Timur merupakan penyelenggara urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan mempunyai kewenangan serta tanggung jawab
penyelenggara kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi
masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Dalam mengaktualisasikan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat, Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Barito
Timur harus didukung dengan norma-norma hukum yang merupakan landasan bertindak, yang
salah satunya dengan membentuk Peraturan Daerah dalam rangka mengatur kehidupan
masyarakat secara luas.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dinyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi DPRD
berkorelasi dengan tugas dan wewenangnya yang salah satunya adalah membentuk peraturan
daerah bersama kepala daerah.
Dalam Pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dinyatakan bahwa Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD atau kepala
daerah ayat (1). Rancangan peraturan daerah yang berasal dari DPRD atau kepala daerah
disertai penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik ayat (2).
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 81 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010
dinyatakan bahwa pada prinsipnya semua naskah Rancangan Peraturan Daerah harus disertai
Naskah Akademik, tetapi beberapa rancangan peraturan daerah seperti rancangan peraturan
daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah, rancangan peraturan daerah yang
hanya terbatas mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya,
dapat disertai atau tidak disertai naskah akademik.
Hal yang sama juga dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa Rancangan Peraturan Daerah disertai
dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Pentingnya Naskah Akademik dalam menyertai suatu Rancangan Peraturan Daerah karena di
dalam Naskah Akademik itulah paradigma kehidupan kemasyarakatan yang hendak dituju oleh
Peraturan Daerah yang dibentuk dirumuskan secara terperinci melalui pendekatan ilmiah.
Selain itu, keberadaan Naskah Akademik yang menyertai suatu Rancangan Peraturan Daerah
dapat juga dikatakan sebagai sumber inspirasi bagi Rancangan Peraturan Daerah yang akan
diperjuangkan oleh pihak pemrakarsa agar memenuhi kreteria akademik, sehingga
perdebatan mengenai materi muatan yang nantinya akan dituangkan ke dalam sebuah
Rancangan Peraturan Daerah dapat dieleminir seminim mungkin.
Di lain pihak Naskah Akademik sangat dibutuhkan bagi para perancangan Peraturan Daerah
(Legal Drafter), khususnya dalam rangka melakukan formulasi muatan materi yang hendak
diatur ke dalam suatu Rancangan Peraturan Daerah yang dirumuskan. Kebutuhan akan Naskah
Akademik tersebut sangat penting mengingat para perancang Peraturan Daerah yang pada
umumnya tidak semuanya para ahli hukum tentu tidak mampu mengetahui pernik-pernik
materi muatan yang akan dimuat dalam sebuah Rancangan Peraturan Daerah.
Dengan demikian, keberadaan Naskah Akademik menjadi sarana penting untuk membantu para
Perancang Peraturan Daerah dalam menterjemahkan pemahaman ilmiah dari suatu bidang
pengetahuan yang akan diatur dalam Peraturan Daerah ke dalam naskah yang bermuatan
yuridis. Jadi keberadaan Naskah Akademik merupakan sebuah keharusan yang tak terelakkan.
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan sampah di Kabupaten Barito Timur cukup kompleks, seperti contohnya di
kawasan Pasar Ampah, Pasar Tamiang Layang. Seharusnya sebagai konsekuensi adanya
pembebanan retribusi sampah kepada masyarakat, maka menimbulkan kewajiban bagi
pemerintah daerah Kabupaten Barito Timur untuk meningkatkan pelayanan dan pengelolaan
sampah seperti mengangkut sampah-sampah yang berada di Tempat Pembuangan Sementara
(TPS) ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Sampah merupakan hasil dari kegiatan manusia sehari-hari baik langsung maupun tidak
langsung dan perlu dilakukan pengelolaan dan pengolahan secara maksimal agar tidak
menimbulkan dampak yang serius bagi lingkungan. Pengelolaan dan pengolahan sampah perlu
dilakukan mulai dari timbunan sampah sampai ke tempat pembuangan akhir. Timbunan
sampah di Kabupaten Barito Timur mencapai 58,82 M3 perhari, sedangkan kemampuan
pengangkutan sampah baru mencapai 47,52 M3, hal ini disebabkan karena terbatasnya sarana
dan prasarana yang dimiliki oleh Dinas Pekerjaan Umum.
Pengangkutan sampah baik domestik maupun bukan domestik dilakukan menggunakan
kendaraan angkut berupa Dump Truck sejumlah 4 unit dengan rata-rata ritasi pengangkutan
perhari 3-5 rit. Jumlah tempat penampungan sampah yang tersebar di seluruh wilayah ada 16
unit, yang terdiri dari bak sampah batako dan container sampah dan tingkat pemenuhan
pelayanan kebersihan pada masyarakat mencapai 60-70%. Komposisi sampah Kabupaten Barito
Timur sangat tergantung dari kondisi musim, geografis dan sosial ekonomi.
Dari data di atas, kondisi komposisi sampah di Kabupaten Barito Timur didominasi oleh sampah
organik, yaitu sebesar 83% dari keseluruhan jumlah komposisi jenis sampah yang ada di
Kabupaten Barito Timur. Proyeksi sampah sampai dengan Tahun 2011 adalah sebagai berikut :
1. Permukiman = 1,18 M3/hari
2. Komersil = 2,94 M3/hari
3. Pasar = 49,41 M3/hari
4. Perkantoran = 1,76 M3/hari
5. Fasum = 0,59 M3/hari
6. Sapuan Jalan = 1,18 M3/hari
7. Lain-lain = 1,76 M3/hari
Jumlah = 58,32 M3/hari
Jenis wadah yang digunakan oleh penduduk di daerah pemukiman dengan pola pewadahan
secara sendiri-sendiri adalah menggunakan wadah yang terbuat dari kantong plastik hingga
karet ban bekas. Wadah yang digunakan di daerah komersil dan tempat umum adalah terbuat
dari tong, tumpukan bata, dan kontainer kecil, sedangkan di daerah perkantoran terbuat dari
tumpukan bata. Keseluruhan wadah digunakan sebagai wadah sampah campuran antara bahan
organik dan anorganik.
Selain itu kondisi TPS yang ada (resmi) atau yang dibangun/disediakan oleh pemerintah daerah
Kabupaten Barito Timur sebanyak 16 unit sebagian sudah mengalami kerusakan (tidak
memenuhi syarat lagi),sedangkan TPS liar atau TPS yang bukan dibangun/disediakan oleh
pemerintah daerah bentuknya sangat sederhana dan bahkan ada yang tidak berbentuk
perwadahan atau dibuang begitu saja (menumpuk di atas tanah/semen/aspal), dan sebagian
juga sudah mengalami kerusakan. TPS seperti ini yang sebagian besar mengakibatkan sampah
berserakan sampai ke jalan raya atau masuk ke parit/got.
Pengumpulan sampah pada pasar-pasar tradisional dilakukan oleh tenaga dari Dinas PU
Kabupaten Barito Timur. Pengumpulan sampahnya dilakukan setiap hari setelah selesai aktivitas
pasar. Kegiatan dimulai dari penyapuan los-los, meja-meja jualan, lapak halaman trotoar jalan
sampai dengan sampah saluran got/saluran. Kegiatan ini dilakukan setiap hari oleh pekerja yang
dikoordinir oleh Dinas PU. Sampah tersebut diangkut dengan gerobak sampah untuk
dimasukkan ke dalam dump truk/container dan ada pula yang ditampung pada TPS yang
dibangun di sekitar pasar tersebut. Kemudian sampah-sampah tersebut diangkut dengan dump
teruk/conainer untuk dibawa ke TPA.
Sampah pasar volumenya relatif meningkat pada saat tiba hari-hari besar, seperti Idhul Adha,
Idul Fitri, Hari Natal, Momentum hari Nasional, kegiatan besar Kabupaten. Demikian pula pada
musim buah, pada musim ini Kabupaten Barito Timur akan dibanjiri berbagai jenis buah sesuai
dengan musimnya, terutama buah durian. Oleh karena itu, jika musim buah ini tiba maka
timbunan sampah volumenya meningkat. Pada umumnya pada hari-hari besar volume sampah
meningkat hingga 100%-200%, pada musim buah meningkat sampah dengan 200%-300%. Jenis
buah-buah yang datang dari daerah adalah durian, rambutan, langsat, rambai, jambu,
semangka, jeruk, melon dan mangga.
Masalah sampah yang ada di Kabupaten Barito Timur harus segera di atas agar dapat
mewujudkan Kabupaten Barito Timur sebagai daerah yang berwawasan lingkungan. Jika
masalah sampah tidak dapat diatasi, maka sulit untuk mewujudkan Kabupaten Barito Timur
sebagai Kabupaten yang berwawasan lingkungan.
Dengan jumlah sampah di pasar tradisional, kawasan perdagangan, dan ditambah lagi dengan
tumpukan sampah di tempat lainnya (seperti di TPS), maka diperlukan armada kendaraan, alat
berat, dan tenaga/petugas yang memadai untuk mengangkut sampah-sampah tersebut.
Dalam rangka melakukan pengelolaan/pengangkutan sampah yang ada di Kabupaten Barito
Timur, Dinas PU Kabupaten Barito Timur memiliki/menyediakan armada kendaraan, alat berat,
dan tenaga/petugas (bidang operasional kebersihan) .
Secara regulasi dalam hubungannya dengan pengelolaan atau penanggulangan sampah di
Kabupaten Barito Timur sudah cukup tersedia antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan ditambah lagi dengan beberapa aturan di
tingkat daerah seperti mengenai Ketertiban Umum, Retribusi Sampah, Pembentukan Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) khusus untuk mengelola sampah dan limbah, dan pengaturan
mengenai jam pembuangan sampah, jam angkutan sampah serta jam mobilisasi pengelolaan
sampah.
Dari puluhan sampai ratusan meter kubik (M3) sampah yang dihasilkan setiap harinya, sebagian
kecil juga terbantu dari pelaku usaha yaitu melalui aktivitas pemulung atau pengumpul barang-
barang bekas, baik yang dilakukan secara perorangan maupun yang terkoordinir, kemudian ada
penampungnya atau dijual ke tempat penampungan. Adapun aktivitas yang dilakukan oleh
pelaku usaha di bidang pengumpulan barang bekas atau dalam hubungannya dengan
penanggulangan sampah adalah:
1. Memilah/memilih barang-barang yang berada ditumpukan sampah yang masih dapat
dipergunakan atau didaur ulang.
2. Melakukan pembelian dari rumah ke rumah barang-barang yang tidak dipergunakan lagi
oleh masyarakat tetapi masih bisa dipergunakan untuk lainnya/didaur ulang.
3. Menghimpun pemulung untuk mengumpulkan/mencarai barang-barang yang masih bisa
dipergunakan atau di daur ulang seperti, besi, logam, bahan plastik, kardus, kertas, dan lain-
lain.
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa peran pelaku usaha dalam penanggulangan sampah
adalah dengan mengumpulkan barang-barang bekas yang bisa didaur ulang atau yang masih
dapat dipergunakan sebagai bahan untuk berbagai kegiatan lainnya. Namun demikian peran ini
masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah atau volume sampah yang dihasilkan setiap
hari, dan seperti yang telah digambar sebelumnya bahwa jumlah sampah yang paling banyak di
Kabupaten Barito Timur ini adalah sampah organic sebesar 83%. Jenis-jenis sampah organik ini
bukan merupakan barang-barang yang dipilih oleh pemulung atau pengumpul barang bekas,
sehingga peran dari pelaku usaha dalam hubungannya dengan penanggulangan sampah masih
sangat kecil yang dikarenakan volume sampah yang bisa mereka ambil/manfaatkan juga kecil.
Dampak langsung dari kegiatan pelaku usaha terhadap penanggulangan masalah sampah
adalah berkurangnya jumlah sampah terutama di TPS atau tempat-tempat penumpukan
sampah.
Namun ada hal menarik yang dilakukan oleh pelaku usaha seperti tersebut di atas, yaitu dengan
melakukan pembelian dari rumah ke rumah barang-barang yang tidak dipergunakan lagi oleh
masyarakat tetapi masih bisa dipergunakan untuk lainnya/didaur ulang. Hal ini berarti bahwa
sampah/barang-barang bekas tersebut belum sempat dibuang oleh masyarakat ke tempat
sampah sudah diambil/dibeli oleh pelaku usaha tersebut. Dengan berbagai kondisi yang ada
saat ini mengenai permasalahan sampah, maka pemerintah merubah sistem pengelolaan
sampah yang dari End of Pipe System, yaitu pengelolaan sampah ketika sudah berada pada
akhir keberadaannya (TPA), menjadi From Cradle to the Grave, yaitu pengelolaan sampah sejak
dari sumber hingga berada di tempat akhir. Lebih lanjut dapat dikemukan perbedaan
pengelolaan sampah yang lama dengan sistem yang baru sebagai berikut:
1. Pola yang lama:
a. Kumpul dari sumber dan/atau TPS.
b. Angkut dari sumber dan/atau TPS ke TPA.
c. Timbun di TPA.
d. Lupakan.
2. Pola yang baru berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008:
a. Batasi sejak dari sumber.
b. Pilah dan olah di sumber dan/atau di TPS untuk dimanfaatkan.
c. Kumpul dari sumber dan TPS secara terpilah.
d. Angkut dari sumber dan TPS ke tempat pengolahan, TPST, atau TPA secara terpilah.
e. Olah di tempat pengolahan dan/atau di TPST untuk dimanfaatkan.
f. Sampah di TPA harus diproses agar aman bagi lingkungan.
Di era otonomi daerah dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 beserta berbagai peraturan
pelaksananya yang lebih menekankan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya
dalam bidang pelayanan persampahan/kebersihan juga harus meningkat dari waktu ke waktu,
apalagi terkait dengan persampahan/kebersihan masyarakat juga dibebankan dalam membayar
retribusi. Selain itu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan
sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
pihak lain yang diberi tanggung jawab untuk itu.
Dalam bidang pelayanan publik juga menuntut tanggungjawab pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan pelayanan publik bagi warga masyarakat, sehingga pemerintah daerah
berkewajiban untuk menyusun standar pelayanan publik. Dalam bidang pengelolaan
sampah/kebersihan yang merupakan bagian dari pelayanan publik harus dibuat norma, standar,
prosedur, dan kreteria yang jelas, sehingga pengelolaan maupun pembebanan kewajiban
kepada masyarakat dengan retribusi semakin jelas dan mudah dipertanggungjawabkan
pelaksanaannya.
Berdasarkan uraian di atas berarti bahwa pengelolaan/ penanggulangan masalah sampah di
Kabupaten Barito Timur masih cenderung dilakukan oleh instansi yang berwenang dengan cara
meningkatkan fasilitas dan pendanaan, agar dapat melaksanakan tugas di bidang pengelolaan
sampah lebih baik ke depannya.
Dengan kondisi ketidakmampuan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah
Kabupaten Barito Timur, maka perlu memberdayakan pelaku usaha dalam hal ini seperti lapak
barang bekas, penampung, pembeli, dan lain sebagainya. Tidak dipungkiri bahwa pelaku usaha
seperti tersebut juga memiliki kontribusi penting dalam membantu menanggulangi masalah
sampah di Kabupaten Barito Timur. Selain itu juga ada kemungkinan melakukan kemitraan
dengan dunia usaha untuk melakukan pengelolaan sampah di Kabupaten Barito Timur
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008.
Berdasarkan kondisi di atas, maka diperlukan kebijakan Pemerintah Kabupaten Barito
Timuruntuk mengatur mengenai pengelolaan sampah dalam bentuk Peraturan Daerah, yang
antara lain mengatur mengenai pengurangan dan penanganan sampah, adanya lembaga
pengelola sampah sampai pada tingkat yang paling rendah, mengatur hak dan kewajiban,
perizinan dalam bidang pengelolaan sampah, kerjasama dan kemitraan, peran serta
masyarakat, dan lain sebagainya.
C. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademis
1. Tujuan:
Sebagai bahan acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran, konsep-konsep, asas-asas,
dan norma-norma hukum dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Barito Timur tentang Pengelolaan Sampah, yang meliputi:
a. Merumuskan permasalahan Pengelolaan Sampah yang dihadapi pemerintah daerah
Kabupaten Barito Timur dan solusi mengatasinya melalui peraturan daerah.
b. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai dasar hukum penyelesaian
atau solusi permasalahan Pengelolaan Sampah di Kabupaten Barito Timur.
c. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan
arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Barito Timur tentang
Pengelolaan Sampah.
2. Kegunaan:
a. Memberikan bahan acuan bagi Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kabupaten Barito Timur dalam merumuskan materi muatan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
b. Memberikan bahan masukan kepada pemerintah daerah dan Warga Masyarakat
mengenai urgensi dan substansi pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Barito
Timur tentang Pengelolaan Sampah.
c. Mempermudah perumusan tujuan, asas-asas dan norma pasal-pasal Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
D. Metode Penyusunan Naskah Akademik
Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan menggunakan metode penelitian yuridis normatif
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pendekatan
Ada tiga pendekatan pokok yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini, yakni:
lapisan dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Ketiga pendekatan ini dapat juga
disebut sebagai pendekatan yuridis, konseptual dan filosofis:
a. Pendekatan dogmatik hukum (yuridis) bertujuan untuk mempelajari dan
mengaplikasikan norma hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dianggap relevan dengan masalah pembentukan Peraturan Daerah
Kabupaten Barito Timur tentang Pengelolaan Sampah.
b. Pendekatan teori hukum (Konseptual), bertujuan untuk mempelajari dan
mengaplikasikan teori, konsep, pendapat, ajaran-ajaran hukum, yang terkait dengan
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Barito Timur tentang Pengelolaan Sampah.
c. Pendekatan filsafat hukum (filosofis), adalah untuk menemukan dan menganalisis asas-
asas hukum yang dapat dijadikan acuan dalam pembentukan Peraturan Daerah
Kabupaten Barito Timurtentang Pengelolaan Sampah.
2. Sumber Data:
a. Bahan hukum primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait langsung
dengan masalah pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Barito Timurtentang
Pengelolaan Sampah, di tingkat Pusat dan Daerah.
b. Bahan hukum sekunder, berupa literatur-literatur ilmu hukum, hasil penelitian,
literatur dan dokumen resmi lainnya yang terkait dengan masalah yang diteliti.
c. Bahan hukum tertier, ialah kamus hukum, kamus bahasa dan kamus Pemerintahan
yang dapat memperjelas istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan naskah
akademik ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dilakukan dengan cara menginventarisasi, mempelajari dan mengaplikasikan teori, konsep-
konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum yang diperoleh dari sumber data primer,
sekunder dan tertier, untuk diaplikasikan ke dalam analisis naskah akademik ini.
4. Teknik Analisa Data:
Dilakukan dengan metode deskriptif yuridis dan kualitatif, melalui proses interpretasi,
penalaran konseptual dan kontekstualitasnya dengan masalah yang dikaji

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Pengelolaan Sampah dan Lingkungan Hidup


Sampah merupakan bahan padat buangan dari kegiatan rumah tangga, pasar, kantor, rumah
penginapan, hotel, rumah makan, industri, atau aktivitas manusia lainnya. Bahkan, sampah bisa
berasal dari puing-puing bahan bangunan dan besi-besi tua bekas kendaraan bermotor. Sampah
merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah tidak terpakai.
Sampah (di perkotaan) secara sederhana diartikan sebagai sampah organik maupun anorganik
yang dibuang oleh masyarakat dari berbagai lokasi di kota tersebut. Sumber sampah umumnya
berasal dari perumahan dan pasar. Sampah atau waste memiliki banyak pengertian dalam
batasan ilmu pengetahuan. Namun pada prinsipnya, sampah adalah suatu bahan yang terbuang
atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai
ekonomis. Bentuk sampah bisa berada dalam setiap fase materi, yaitu padat, cair, dan gas.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 juga memberikan defenisi sampah, yaitu sisa kegiatan
sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Besarnya sampah yang dihasilkan dalam suatu daerah tertentu sebanding dengan jumlah
penduduk, jenis aktivitas, dan tingkat konsumsi penduduk tersebut terhadap barang/material.
Semakin besar jumlah penduduk atau tingkat konsumsi terhadap barang, maka semakin besar
pula volume sampah yang dihasilkan. Setiap harinya, kota-kota besar menghasilkan sampah
dalam volume yang cukup besar. Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang cukup besar dan
termasuk ke dalam katagori kota besar.
Bentuk dari pertambahan beban lingkungan yang diakibatkan dari aktivitas manusia adalah
bertambahnya kuantitas maupun kualitas pencemaran ke lingkungan. Dari aktivitas domestik
saja banyak yang menghasilkan limbah cair maupun padat yang seringnya belum terkelola
dengan baik sebelum dibuang ke lingkungan, baik itu badan air maupun lahan. Limbah padat
domestik yang sering disebut sampah sebagai salah satu pencemar dari aktivitas domestik
secara perlahan namun pasti telah menimbulkan permasalahan tidak hanya lingkungan namun
juga ekonomi dan sosial.
Sampah menjadi masalah penting untuk kota yang padat penduduknya. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Volume sampah sangat besar, sehingga melebihi kapasitas daya tampung tempat
pembuangan sampah akhir atau TPA.
2. Lahan TPA semakin sempit karena tergeser tujuan penggunaan lain.
3. Teknologi pengelolaan sampah tidak optimal sehingga sampah lambat membusuknya. Hal
ini menyebabkan percepatan peningkatan volume sampah lebih besar dari
pembusukannya. Oleh karena itu selalu diperlukan perluasan area TPA baru.
4. Sampah yang telah matang dan telah berubah menjadi kompos tidak dikeluarkan dari TPA
karena berbagai pertimbangan.
5. Manajemen pengelolaan sampah tidak efektif, sehingga seringkali menjadi penyebab
distorsi dengan masyarakat setempat.
6. Pengelolaan sampah dirasakan tidak memberikan dampak positif kepada lingkungan.
7. Kurangnya dukungan kebijakan dari pemerintah, terutama dalam memanfaatkan produk
sampingan dari sampah sehingga menyebabkan tertumpuknya produk tersebut di TPA.
Sebagaimana diketahui bahwa selama ini sebagian besar masyarakat masih memandang
sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna, bukan sebagai sumber daya yang perlu
dimanfaatkan. Masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir
(end-of-pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir
sampah. Padahal, timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi tempat pemrosesan
akhir sampah berpotensi melepas gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi gas rumah
kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global. Agar timbunan sampah dapat
terurai melalui proses alam diperlukan jangka waktu yang lama dan diperlukan penanganan
dengan biaya yang besar.
Paradigma pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah saatnya
ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengelolaan sampah. Paradigma baru
memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat
dimanfaatkan, misalnya, untuk energi, kompos, pupuk ataupun untuk bahan baku industri.
Pengelolaan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dari hulu, sejak sebelum
dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah, sampai ke hilir, yaitu pada fase
produk sudah digunakan sehingga menjadi sampah, yang kemudian dikembalikan ke media
lingkungan secara aman. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru tersebut dilakukan
dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi
kegiatan pembatasan, penggunaan kembali, dan pendauran ulang, sedangkan kegiatan
penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan
pemrosesan akhir.
Dengan berbagai permasalahan yang muncul terkait dengan sampah, maka pemerintah
membentuk Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang
sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan
sampah. Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas
berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas
keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Pengelolaan sampah bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai
sumber daya.
Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendaur-ulangan, atau
pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yang
dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap
kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan
sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas, atau radioaktif
dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
Praktek pengelolaan sampah berbeda-beda antara negara maju dan negara berkembang,
berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan, berbeda juga antara daerah
perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yang tidak berbahaya dari pemukiman
dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,
sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan
pengolah sampah. Metode pengelolaan sampah berbeda beda tergantung banyak hal, di
antaranya tipe zat sampah, tanah yang digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 dinyatakan :
1. Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan kabupaten/kota mempunyai
kewenangan:
a. menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan
nasional dan provinsi;
b. menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan
oleh pihak lain;
d. menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah
terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah;
e. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20
(dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem
pembuangan terbuka yang telah ditutup; dan
f. menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai
dengan kewenangannya.
2. Penetapan lokasi tempat pengolahan sampah terpadu dan tempat pemrosesan akhir
sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan bagian dari rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 dinyatakan:
1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan
sampah.
2. Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 juga mengatur mengenai hak dan kewajiban
masyarakat dalam pengelolaan sampah, yaitu:
Pasal 11
1. Setiap orang berhak:
a. mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan
lingkungan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pihak lain yang diberi
tanggung jawab untuk itu;
b. berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan
pengawasan di bidang pengelolaan sampah;
c. memperoleh informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu mengenai penyelenggaraan
pengelolaan sampah;
d. mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan
tempat pemrosesan akhir sampah; dan
e. memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan sampah secara baik dan
berwawasan lingkungan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah dan peraturan daerah sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 12
1. Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah
tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan
lingkungan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah
rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan peraturan daerah.
Terkait dengan pelayanan dan pengelolaan sampah penting artinya melihat ketentuan
mengenai prinsip-prinsip standar pelayanan minimal. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65
Tahun 2005 dinyatakan:
1. SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk menjamin akses dan
mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan
urusan wajib.
2. SPM ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintahan Daerah
Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
3. Penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan
pelayanan dasar nasional.
4. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat
dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian.
5. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan
nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang
yang bersangkutan.
Berdasarkan berbagai ketentuan di atas, maka seharusnya dalam menyelenggarakan
pengelolaan sampah harus dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah. Jika pemerintah belum menetapkan hal tersebut, maka
pemerintah daerah harus tetap memberikan pelayanan sesuai dengan kondisi daerah masing-
masing.
Masalah sampah berkaitan dengan masalah lingkungan hidup. Lingkungan hidup yang
dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan
Karunia dan Rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap
menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta mahkluk hidup
lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas Lingkungan itu sendiri.
Lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat negara Republik Indonesia melaksanakan
kedaulatan dan hak berdaulat serta yurisdiksinya. Dalam hal ini lingkungan hidup Indonesia
tidak lain adalah wilayah, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudra
dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alam dan kedudukan
dengan peranan strategis yang tinggi nilainya sebagai tempat rakyat dan bangsa Indonesia
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam segala
aspeknya. Dengan demikian, wawasan dalam menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup
Indonesia adalah Wawasan Nusantara.
Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang
mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan corak ragam yang berbeda
yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan
yang demikian memerlukan pembinaan dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan
pada keadaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, yang pada akhirnya akan
meningkatkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan subsistem itu sendiri. Dalam pada
itu, pembinaan dan pengembangan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem
dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Untuk itu, diperlukan suatu kebijaksanaan nasional
pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari
pusat sampai ke daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan
hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Amanat
Undang-Undang Dasar tersebut memberikan konsekuensi bahwa pemerintah wajib
memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi
hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang
pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan
badan usaha. Selain itu organisasi persampahan, dan kelompok masyarakat yang bergerak di
bidang usaha terkait dengan sampah yang pelaku usaha barang bekas dapat juga diikutsertakan
dalam kegiatan pengelolaan sampah.
Pembangunan memanfaatkan secara terus menerus sumber daya alam guna meningkatkan
kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas
dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan
sumber daya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam. Di
pihak lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup
dapat menurun, yang pada akhirnya lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi dengan baik.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan :
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak
asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Kemudian dalam UUPPLH dinyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
meliputi: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum. Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat
kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat
kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
Di Indonesia kehadiran berbagai perangkat peraturan perundang-undangan, organisasi dan
administrasi negara serta pengelola lingkungan dalam masyarakat ternyata belum menunjukkan
hasil-hasil yang benar-benar diharapkan dalam upaya mencegah kerusakan atau ancaman
perusakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu lingkungan hidup. Di samping itu pula dalam
pemahaman masyarakat untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, merupakan bagian
yang tidak kalah pentingnya dalam rangka membudayakan sadar lingkungan.
Masalah lingkungan hidup pada intinya adalah menemukan cara-cara yang harus dijalankan
untuk menjamin dan menjadikan bumi dan alam sekitar sebagai ruang yang layak dihuni bagi
kehidupan yang tentram, damai, dan sejahtera. Karena itu tindakan yang tercemar di
lingkungan hidup sama artinya dengan mematikan hidup itu sendiri. Untuk itu Indonesia pada
bulan Maret telah menandatangani deklarasi Den Haag yang pada intinya adalah jaminan bagi
hak untuk hidup sebagai sumber dari berbagai hak lainnya.
Realita yang ada menunjukkan, bahwa sumber daya alam khususnya pemanfaatan lingkungan
hidup di samping telah memberikan dampak positif juga telah menimbulkan dampak negatif.
Munculnya dampak negatif sebagai konsekuensi dari banyaknya kepentingan dalam
memanfaatkan lingkungan hidup. Lingkungan hidup menjadi rentan terhadap bahaya
kerusakan dan pencemaran, yang salah satunya disebabkan oleh tidak berfungsinya lingkungan
hidup.
Secara faktual menunjukkan, bahwa masalah lingkungan hidup termasuk masalah pengelolaan
sampah di Kabupaten Barito Timur terus menjadi kendala. Membuang sampah sembarangan
merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum serta telah menimbulkan kerugian bagi
manusia termasuk tidak berfungsinya lingkungan hidup.
Usaha mengembangkan lingkungan hidup tidak perlu bertentangan dengan usaha
pembangunan. Keseimbangan antara pembangunan dengan lingkungan hidup dapat tercapai,
apabila dalam pola kebijakan pembangunan tercakup tiga unsur pokok, yaitu: Pertama,
kebijakan pembangunan untuk mencapai pertumbuhan material yang meningkat, kedua,
kebijakan pembangunan untuk mencapai pertumbuhan spiritual yang meningkat, ketiga,
kebijakan pembangunan untuk mencapai lingkungan hidup yang lebih beragam bagi pengisian
kualitas hidup yang lebih meningkat .
Dari apa yang dikemukakan oleh Emil Salim di atas tergambar bahwa antara pembangunan dan
lingkungan hidup terjalin hubungan yang saling isi mengisi, dengan kata lain pembangunan
tergantung pada lingkungan dan lingkungan bergantung pada pembangunan.
Untuk menciptakan lingkungan dalam kehidupan yang seimbang sangat tergantung dari
kegiatan manusia, sedangkan kegiatan manusia sangat dipengaruhi tingkat kesadaran
masyarakatnya dalam mengelola dan membina lingkungan. Dalam kehidupan bernegara yang
didalamnya berisi kumpulan manusia yang disebut masyarakat, dan bagian terkecil dari
masyarakat ini adalah keluarga. Jadi warna dari masyarakat ditentukan oleh keadaan keluarga.
Pembangunan memanfaatkan secara terus menerus sumber daya alam guna meningkatkan
kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara itu, kesediaan sumber daya alam terbatas dan
tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumber
daya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan
untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang kian meningkat dan beragam. Di pihak lain, daya
dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun.
Untuk meningkatkan kelayakan suatu kegiatan pembangunan agar tahan lama dan serasi
dengan lingkungan serta memberikan manfaat terlanjutkan bagi pemilik usaha dan kepada
masyarakat di sekitarnya, maka Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Dampak penting ditentukan berdasarkan
kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi .
Lebih Lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dinyatakan bahwa kriteria usaha
dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas:
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam
pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi
sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara;
dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi
lingkungan hidup.
Dokumen amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup yang
dijadikan dasar dalam menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan. Dalam izin tersebut harus
ditegaskan kewajiban yang berkenaan dengan penataan terhadap ketentuan mengenai
perlindungan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan oleh penanggungjawab
usaha dan/atau kegiatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diatur mengenai masalah penanggulangan, yaitu:
1. Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib
melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
2. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
kepada masyarakat;
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga mengatur mengenai pelarangan, yaitu
bahwa setiap orang dilarang:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke
media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi,
atau memberikan keterangan yang tidak benar.
Untuk mencapai tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup, maka masyarakat memiliki hak dan
kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat dapat berupa: pengawasan sosial; pemberian
saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau
laporan. Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan
sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Lingkungan hidup dapat dikatakan merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan manusia dan
merupakan sumber utama bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari lingkungan
hidup, manusia memanfaatkan bagian-bagian lingkungan hidup, seperti hewan, tumbuhan, air,
udara, sinar matahari, garam, kayu, barang-barang tambang dan lain sebagainya, dari
lingkungan pula manusia bisa memperoleh daya atau tenaga, memperoleh kebutuhan primer
dan sekundernya, bahkan manusia dapat berkreasi dan mengembangkan bakat atau seninya.
B. Kebijakan Pemerintah, Pelayanan Publik dan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam rangka menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan memperlancar
pembangunan, diperlukan suatu kebijakan berupa ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan
pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan kegiatan aparatur pemerintah, di
samping melakukan koordinasi, dan integrasi, juga melakukan sinkronisasi. Maksudnya supaya
pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dengan baik,
adanya kesatuan tindakan yang serasi, seirama, dan selaras antara satu dengan lainnya.
Lingkup kebijakan pemerintah dapat dibedakan menjadi kebijakan nasional dan kebijakan
daerah. Kebijakan nasional adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat yang
bersifat fundamental dan strategis dalam mencapai tujuan nasional. Kebijakan daerah adalah
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebagai pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan demikian pengaturan mengenai pengelolaan sampah merupakan kebijakan pemerintah
pusat yang ditindaklanjuti dengan kebijakan daerah. Kebijakan pemerintah daerah dalam
mendukung kebijakan pemerintah pusat tersebut harus disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Implementasi atau pelaksanaan kebijakan pemerintah bukanlah sekedar berkaitan dengan
mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia juga menyangkut masalah konflik,
keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah keliru
apabila dikatakan bahwa pelaksanaan kebijakan merupakan aspek yang penting dari
keseluruhan proses kebijakan.
Mengacu pada uraian di atas dan dikaitkan dengan sisi pelaksanaan kebijakan publik, bahwa
fungsi birokrasi pemerintahan terletak pada jalur pelaksanaan yang mendapat elaborasi lebih
lanjut dalam fungsi output dari sistem politik, yaitu pembuatan peraturan (tingkatan yang lebih
rendah dari peraturan yang memerlukan pengesahan dari badan legislatif atau yang dibuat oleh
legislatif), penerapan/pelaksanaan peraturan dan pengawasan. Dengan demikian, fungsi
birokrasi dapat dicermati dari dua sisi, yaitu fungsi regulatif (pengaturan) dan pelayanan
(service).
Terlihat dengan jelas bahwa pada dasarnya Kebijakan Publik adalah sebuah sikap pemerintah
yang berorientasi pada tindakan, artinya Kebijakan Publik merupakan sebuah kerja konkrit dari
adanya sebuah organisasi pemerintah.
Dari pemahaman di atas, maka pada dasarnya Kebijakan Publik memiliki implikasi sebagai
berikut:
1. bahwa kebijakan publik itu bentuk awalnya adalah merupakan penetapan tindakan-
tindakan pemerintah;
2. bahwa Kebijakan Publik itu tidak cukup hanya dinyatakan dalam bentuk teks-teks formal,
namun juga harus dilaksanakan atau diimplementasikan secara nyata;
3. bahwa Kebijakan Publik pada hahekatnya harus memiliki tujuan-tujuan dan dampak-
dampak, baik jangka panjang maupun jangka pendek, yang telah dipikirkan secara matang
terlebih dahulu;
4. dan akhirnya segala proses yang ada diperuntukan bagi pemenuhan kepentingan
masyarakat.
Beberapa ketentuan seperti yang telah diuraikan di atas jika dikaitkan dengan pengaturan
mengenai pengelolaan sampah dalam bentuk peraturan daerah, jelaslah bahwa hal tersebut
merupakan produk Kebijakan Publik pemerintah daerah yang dibuat dengan tujuan untuk
mengatur pengelolaan sampah melalui tindakan-tindakan yang nyata.
Pengertian dan unsur-unsur kebijakan publik sebagaimana diuraikan di atas berkaitan dengan
masalah kewenangan, karena sebelum mengambil suatu kebijakan, maka terlebih dahulu harus
dilihat apakah ada atau tidak kewenangan dari badan/pejabat yang akan mengambil kebijakan
tersebut. Konsep kewenangan terdiri atas: Atributie, Delegatie, dan Mandat:
a. Atribusi, yaitu pemberian wewenang oleh pembentuk undang-undang kepada lembaga-
lembaga negara, Badan atau Pejabat Adminitrasi berdasarkan Undang-Undang Dasar,
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Pelaksana lainnyanya yang bersifat
orisinil. Dengan kewenangan atribusian tersebut, Badan atau Pejabat Adminitrasi Negara
dapat melaksanakan dan mengembangkan kewenangan yang diatribusikan kepadanya,
melalui berbagai tindakan hukum pengaturan dan penetapan ketika menyelenggarakan
tugas-tugas pemerintah dan pembangunan, termasuk juga menyelenggarakan otonomi
daerah.
b. Delegasi, yaitu penyerahan wewenang dari Badan atau Pejabat Administrasi Negara yang
satu kepada Badan atau Pejabat Administrasi Negara yang lain dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan yang dituangkan ke dalam peraturan perundang-
undangan tertentu. Penyerahan sebagian wewenang dan urusan pemerintahan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan Otonomi Daerah
merupakan contoh nyata dari adanya implementasi konsep delegasi.
c. Mandat, merupakan pemberian kuasa sementara oleh mandans (pemberi mandat) kepada
mandataris (penerima mandat) untuk melaksanakan kewenangan, urusan dan tugas
tertentu untuk dan atas nama pemberi mandat. Tanggung jawab pelaksanaan kewenangan
yang dimandatkan sepenuhnya berada pada pemberi mandat.
Berkaitan dengan masalah kebijakan pemerintah daerah dalam mengatur masalah pengelolaan
sampah, maka perlu dikemukan mengenai pengaturan hukum. Pengaturan hukum mengandung
makna aktivitas membentuk dan melaksanakan hukum. Terutama jika dilihat dari sudut tata
hirarkhi peraturan perundang-undangan, maka setiap tingkatan peraturan hukum harus
dibentuk oleh lingkungan jabatan dan/atau lembaga pembentuk hukum yang berwenang untuk
itu, dengan mempertimbangkan urgensinya serta mengingati dasar-dasar peraturan perundang-
undangan yang berlaku secara vertikal maupun horizontal.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan termasuk pembuatan suatu kebijakan
terdapat asas formal dan material yang wajib dipedomani :
1. Asas Formal:
a. Memiliki tujuan yang jelas, ialah maksud yang ingin diwujudkan dengan dibentuknya
suatu peraturan perundang-undangan;
b. Memiliki dasar-dasar pertimbangan yang pasti pada konsiderans menimbangnya;
c. Memiliki dasar-dasar peraturan hukum yang jelas pada konsiderans mengingatnya;
d. Memiliki sistematika yang logis dan tidak saling bertentangan antara Bab, Bagian, Pasal,
Ayat, dan sub ayat;
e. Dapat dikenali, melalui pengundangannya ke dalam lembaran negara/daerah serta
disosialisasikan kepada masyarakat.
2. Asas Material:
a. Dibentuk oleh pejabat atau lembaga pembentuk peraturan hukum yang berwenang
untuk itu;
b. Dibentuk melalui mekanisme, prosedur atau tata tertib yang berlaku untuk itu;
c. Materi muatannya memiliki asas-asas hukum yang jelas, tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau
peraturan perundang-undangan lainnya yang sederajat/mengatur perihal yang sama.
d. Isi peraturan harus jelas, mengandung kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.
e. Dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik, untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran yang terjadi terhadap peraturan perundang-undangan dimaksud.
Dalam kaitan dengan masalah pembentukan peraturan, maka sangat penting artinya
mengemukakan tentang kebijaksanaan negara. Lebih lanjutnya dinyatakan bahwa
Kebijaksanaan Negara itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan
atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program
dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat atas
pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang
harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk
tentang peningkatan pelayanan publik, dan sebagai upaya untuk mempertegas hak dan
kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan
korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi
pengaturan secara jelas. Selain itu sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin
penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang
baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari
penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan
pengaturan hukum yang mendukungnya, dan hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan
lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang tentang pelayanan publik dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Tujuan
Undang-Undang tentang pelayanan publik adalah :
a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban,
dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas
umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
c. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan
d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta
pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ruang lingkup di
atas meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan
informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan,
sumber daya alam, pariwisata, dan sektor lain yang terkait.
Pelayanan atas jasa publik meliputi penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Penyediaan jasa publik oleh suatu badan
usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara
dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan. Dan penyediaan jasa publik yang pembiayaannya
tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya
bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi
ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik harus memenuhi skala kegiatan yang didasarkan pada ukuran besaran biaya
tertentu yang digunakan dan jaringan yang dimiliki dalam kegiatan pelayanan publik untuk
dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan pelayanan administratif
meliputi:
a. tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda.
b. tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur
dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan perjanjian dengan
penerima pelayanan.
Penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan
memperhatikan kemampuan Penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan.
Dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan, Penyelenggara wajib mengikutsertakan
masyarakat dan pihak terkait. Selain itu penyelenggara berkewajiban menerapkan standar
pelayanan, dan pengikutsertaan masyarakat dan pihak terkait dilakukan dengan prinsip tidak
diskriminatif, terkait langsung dengan jenis pelayanan, memiliki kompetensi dan
mengutamakan musyawarah, serta memperhatikan keberagaman.
Dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 dinyatakan bahwa Komponen standar pelayanan sekurang-
kurangnya meliputi:
a. dasar hukum;
b. persyaratan;
c. sistem, mekanisme, dan prosedur;
d. jangka waktu penyelesaian;
e. biaya/tarif;
f. produk pelayanan;
g. sarana, prasarana, dan/atau fasilitas;
h. kompetensi Pelaksana;
i. pengawasan internal;
j. penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
k. jumlah Pelaksana;
l. jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan
standar pelayanan;
m. jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk
memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan
n. evaluasi kinerja Pelaksana.
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dimulai sejak penyusunan
standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Peran serta
masyarakat diwujudkan dalam bentuk kerja sama, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat,
serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik. Masyarakat dapat membentuk
lembaga pengawasan pelayanan publik, dan tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas tergambar bahwa dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi
pemerintahan (termasuk pemerintah daerah), maka instansi pelaksana pelayanan publik wajib
menyusun standar pelayanan publik. Dalam kaitan dengan hal ini, maka semua kegiatan
pelayanan publik (termasuk pelayanan persampahan/kebersihan) wajib disusun norma,
standar, prosedur, dan kreteria pelayanan publik.
Membuat kebijakan di tingkat daerah seperti Peraturan daerah yang berkaitan dengan
pengelolaan sampah sangat penting artinya dalam memberikan perlindungan, rasa aman,
keindahan, kesehatan, ketertiban, dan ketentraman masyarakat di Kabupaten Barito Timur. Di
sinilah hukum diharapkan dapat berperan dalam mengatur masalah pengelolaan sampah.
Hukum merupakan bagian integral dari kehidupan bersama. Kalau manusia hidup terisolir dari
manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak, baik yang menyenangkan maupun
yang merupakan konflik. Dalam keadaan seperti itu hukum tidak diperlukan. Di dalam
masyarakat walaupun bagaimana primitifnya, manusia selalu menjadi subyek hukum, menjadi
penyandang hak dan kewajiban.
Peranan hukum untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi mendapat
perhatian yang serius dalam kehidupan masyarakat, karena dengan peranan hukum diharapkan
dinamika kegiatan ekonomi itu dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat.

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan:
Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menormatifkan
bahwa : “Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensinya segala aspek kehidupan dalam tata
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan (termasuk penyelenggaraan menara telekomunikasi) wajib dilakukan
berdasarkan atas hukum.
Dalam menyusun suatu perundang-undangan, agar aturan hukum itu dapat berlaku efektif
dalam arti mempunyai dampak positif, menurut Soerjono Soekanto haruslah memperhatikan
empat hal, satu di antaranya yaitu hukum positif tertulis yang ada harus mempunyai taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal yang selaras . Artinya, dalam menyusun peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan ketentuan yang lebih tinggi dan jangan
bertabrakan antar sesama peraturan yang setingkat, apalagi yang kedudukannya lebih tinggi.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan terletak pada hierarkinya. Hierarki adalah
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas:
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain asas tersebut, dalam doktrin ilmu hukum masih
terdapat beberapa asas yang berkenaan dengan kepastian peraturan perundang-undangan,
yaitu:
a. Lex posterior derogat legi priori : Hukum yang berlaku kemudian membatalkan hukum yang
terdahulu.
b. Lex specialis derogat legi generali : Hukum khusus membatalkan hukum umum;
c. Lex superior derogat legi inferiori : Hukum yang derajatnya lebih tinggi membatalkan
hukum derajatnya lebih rendah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 telah menormatifkan Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan yang terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Lembaga
Negara atau Pejabat yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan sesuai jenis
dan hierarkinya di Indonesia berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 adalah :
a. Undang-Undang: Peraturan Perundang-¬undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden, dengan materi muatan :
1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang: Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Materi muatannya
sama dengan materi muatan Undang-Undang.
c. Peraturan Pemerintah: Peraturan Perundang¬-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, berisi materi untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
d. Peraturan Presiden: Peraturan Perundang-¬undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk
menjalankan perintah Peraturan Perundang¬undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Berisi materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk
melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
e. Peraturan Daerah Provinsi: Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-¬undangan yang lebih tinggi. Perda dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
f. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-¬undangan yang
lebih tinggi. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
g. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan: bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas apa yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat: dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Jika tidak, dapat dibatalkan atau batal
demi hukum.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan : benar-benar memperhatikan materi muatan
yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.
d. Dapat dilaksanakan: memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut
di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan : benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Kejelasan rumusan : memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika, pilihan kata
atau terminologi, bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan : transparan atau terbuka bagi masyarakat luas mulai dari proses
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan, agar seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan yang diperlukan.
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. Asas pengayoman : setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Asas kemanusiaan : mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
c. Asas kebangsaan : mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik
(kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
d. Asas kekeluargaan : mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan : senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
f. Asas bhinneka tunggal ika : memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-
masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Asas keadilan : harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali.
h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan : tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum : dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan : mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan
kepentingan bangsa, dan negara.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (6) Amandemen UUD 1945
: ”Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Kemudian dijabarkan lebih lanjut
pengertiannya ke dalam Pasal 1 butir 2 s.d. butir 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Selanjutnya, Pasal 136 sampai dengan Pasal 147 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 mengatribusikan kewenangan pembentukan, penetapan dan tata cara
umum pembentukan Peraturan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan salah satu
wujud reformasi otonomi daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan
masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi
ketenteraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan
mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya.
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa pemerintah telah membentuk
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pembentukan Undang-
Undang ini diperlukan dalam rangka:
a. Kepastian hukum bagi rakyat untuk mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah yang baik
dan berwawasan lingkungan;
b. ketegasan mengenai larangan memasukkan dan/atau mengimpor sampah ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. ketertiban dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah;
d. kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintahan daerah
dalam pengelolaan sampah; dan
e. kejelasan antara pengertian sampah yang diatur dalam undang-undang ini dan pengertian
limbah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Masalah sampah terkait erat dengan lingkungan hidup, karena lingkungan hidup yang baik dan
sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk lebih menjamin
kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan
ekosistem, sehingga dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Masalah sampah juga terkait dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan aturan di tingkat daerah Kabupaten Barito
Timur, Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (yang salah
satunya mengatur mengenai Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan).
Sebelumnya dibentuknya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun
2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Dalam
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan bahwa Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah
ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang
berhak diperoleh setiap warga secara minimal.
Terkait dengan pelayanan publik, diterbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Dengan dikeluarkannya berbagai peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang
berkaitan dengan pengelolaan sampah, kebersihan, lingkungan hidup, dan pelayanan publik
seperti yang telah dikemukakan di atas, ternyata masih belum mampu untuk mengatasi
masalah sampah di Kabupaten Barito Timur. Hal ini terbukti dari semakin meningkatnya
permasalahan pengelolaan sampah dan bahkan dari tahun ke tahun cenderung meningkat.
Dalam kondisi seperti di atas, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan dalam mengantisipasi
timbulan sampah dan langkah-langkah dalam melakukan pengelolaan sampah. Pemerintah
melalui Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Meneteri Dalam Negeri Nomor 33
Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Pasal 44 Permendagri ini menyatakan
1. Bupati/Walikota menetapkan Peraturan Daerah tentang pengelolaan sampah dengan
berpedoman pada Peraturan Menteri ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak ditetapkan.
2. Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. pengurangan dan penanganan;
b. lembaga pengelola;
c. hak dan kewajiban;
d. perizinan;
e. insentif dan disinsentif;
f. kerjasama dan kemitraan;
g. retribusi;
h. pembiayaan dan kompensasi;
i. peran masyarakat;
j. mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa;
k. pengawasan dan pengendalian; dan
l. larangan dan sanksi.
Dengan mengevaluasi dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan mengenai
atau yang berkaitan dengan pengelolaan sampah seperti tersebut di atas, maka diperlukan
pembentukan peraturan daerah Kabupaten Barito Timur atau dengan kata lain Pemerintah
Kabupaten Barito Timur diberikan kewenangan untuk membentuk peraturan daerah
mengenai Pengelolaan Sampah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan
terkait.

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Undang-Undang merupakan sumber formil utama dari hukum, untuk itu faktor-faktor yang
berkaitan dengan berfungsinya hukum perlu untuk mendapat perhatian yang serius, yaitu
diusahakan untuk adanya keserasian antara peraturan (hukum itu sendiri), petugas (penegak),
fasilitas dan masyarakat. Namun juga perlu untuk diingatkan bahwa selain keempat faktor
tersebut di atas, masih ada lagi faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu pengaruh politik
(kekuasaan, ekonomi, dan sosial).
Masyarakat yang sedang mengalami transisi kearah Reformasi adalah suatu pergaulan hidup
yang sedang mengalami perubahan-perubahan dalam sistem nilai-nilainya, termasuk di
dalamnya sikap-sikap dan pola-pola perilaku. Di dalam suatu masa transisi, maka sistem nilai-
nilai baru yang telah dipilih berlaku bersamaan dengan berlakunya dengan sistem nilai-nilai
lama yang hendak ditinggalkan. Dalam masyarakat Indonesia sistem nilai baru di sini adalah
sistem nilai yang sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia di masa Reformasi ini.
Hukum berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, sebaliknya masyarakat juga ikut
menentukan bagaimana perkembangan hukum. Selain itu dalam kehidupan masyarakat dengan
berbagai tuntutan mengakibatkan terjadi perubahan yang diikuti dengan berbagai
perkembangan, yang salah satunya adalah di bidang teknologi. Perkembangan teknologi di satu
sisi memang membawa dampak positif, namun dampak negatifnya juga terkadang timbul,
sehingga perkembangan teknologi juga harus diikuti dengan perkembangan aturan hukum,
bahkan sering terjadi perkembangan teknologi berpengaruh terhadap perkembangan hukum.
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat hendaknya hukum dapat menjalankan fungsi pengarah
prilaku masyarakat. Dengan demikian, konsepsi hukum yang harus dibangun adalah hukum
tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan
proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.
Membuat aturan hukum di tingkat daerah seperti peraturan daerah Kabupaten Barito Timur
tentang Pengelolaan Sampah sangat penting artinya dalam pengelolaan sampah di Kabupaten
Barito Timur. Di sinilah hukum (peraturan daerah) diharapkan dapat berperan dalam
pembangunan daerah untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan perekonomian daerah.
Pengaturan hukum, mengandung makna aktivitas membentuk dan melaksanakan hukum.
Terutama jika dilihat dari sudut tata hirarkhi peraturan perundang-undangan. Bahwa, untuk
setiap tingkatan peraturan hukum harus dibentuk oleh lingkungan jabatan dan/atau lembaga
pembentuk hukum yang berwenang untuk itu, dengan mempertimbangkan urgensinya serta
mengingati dasar-dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku secara vertikal maupun
horizontal.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah harus
memiliki landasan filosofis, sosiologis dan landasan yuridis. Landasan filosofis merupakan
pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Penempatan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara ini juga
dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 .
Landasan filosofis dari peraturan daerah ini didasarkan pada tujuan pembangunan nasional
yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata meteriil dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Amanat Undang-Undang Dasar tersebut memberikan
konsekuensi bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan
sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang
berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional
pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha. Selain itu organisasi persampahan, dan
kelompok masyarakat yang bergerak di bidang persampahan dapat juga diikut sertakan dalam
kegiatan pengelolaan sampah.
Pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat di Kabupaten Barito Timur
di satu sisi menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin
beragam, dan di sisi lain pengelolaan sampah belum sesuai dengan metode dan teknik
pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Pemerintah Kabupaten Barito Timurjuga harus meningkatkan pelayanan, serta membuat
kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, di sisi lain masyarakat dan dunia usaha tidak
dirugikan dengan terbitnya Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah. Pengelolaan
sampah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu sesuai dengan prinsip yang
berwawasan lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
masyarakat dan lingkungan; memberikan manfaat secara ekonomi, serta dapat mengubah
perilaku masyarakat.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara
lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah,
peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum
ada.
Peraturan daerah ini di satu sisi dilakukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah, dan di sisi lain merupakan
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang¬-undangan yang lebih tinggi. Adapun berbagai
peraturan dimaksud dan yang dijadikan sebagai konsiderans mengingat adalah:
1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten Katingan,
Kabupaten Seruyan, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Pulang
Pisau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Barito Timur di
Provinsi Kalimantan Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 18,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4180);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4851);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063);
8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5188);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4578);
10. PeraturanPemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah SejenisSampah Rumah Tangga;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan
Sampah;
14. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011
tentang Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN
DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

Peraturan Daerah Kabupaten Barito Timur tentang Pengelolaan Sampah ini mengatur berbagai
aspek/bidang dalam rangka pengelolaan sampah, antara lain: pengurangan dan penanganan,
lembaga pengelola, hak dan kewajiban, perizinan, insentif dan disinsentif, kerjasama dan
kemitraan, retribusi, pembiayaan dan kompensasi, oeran masyarakat, mekanisme pengaduan dan
penyelesaian sengketa, pengawasan dan pengendalian, serta larangan dan sanksi.
Peraturan daerah ini menjangkau seluruh masyarakat khususnya pemerintah daerah, pelaku
usaha, dan warga masyarakat yang menghasilkan timbulan sampah di Kabupaten Barito Timurdan
dengan berbagai problem yang muncul, sehingga diharapkan adanya landasan dalam mengarahkan
masyarakat untuk sadar hukum dan menaati berbagai ketentuan yang terdapat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, yang pada akhirnya penyelenggaraan pemerintahan daerah,
pembangunan, dan kegiatan masyarakat dapat berjalan secaran tertib, teratur, aman dan tentram.
A. Rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa :
1. Daerah adalah Kabupaten Barito Timur;
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati Barito Timur dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah;
3. Kepala Daerah adalah Bupati Barito Timur;
4. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi Perseroaan Terbatas, Perseroaan
Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama
dandalam bentuk apapun,persekutuan, perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi, Yayasan
atau organisasi yang sejenis, Lembaga Dana Pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk
usaha lainnya;
5. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk
padat;
6. Sumber sampah adalah asal timbulan sampah;
7. Penghasil sampah asalah setiap orang dan/atau akibat proses alam yang menghasilkan
timbulan sampah.
8. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan
yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah;
9. Pengelola sampah adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab dan melaksanakan
pengelolaan sampah yaituPemerintah Daerah, pihak swasta/pelaku usaha yang bergerak
dalam penyediaan jasa pengelolaan sampah dan anggota masyarakat yang melakukan
swakelola pengelolaan sampah;
10. Sampah anorganik adalah sampah yang berasal dari benda mati;
11. Sampah organik adalah sampah yang berasal dari benda hidup;
12. Sampah domestik adalah sampah yang dihasilkan dari kegiatan domestik;
13. Sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalamrumah
tangga;
14. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya
memerlukan pengelolaan khusus;
15. Sampah industri adalah sampah yang dihasilkan oleh kegiatan industri;
16. Lingkunganadalah lingkungan hidup yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya;
17. Ramah Lingkungan berhubungan dengan kualitas yang dapat dipakai kembali, dapat
diuraikan secara biologis atau dapat dibuat kompos, dapat didaur ulang dan tidak beracun
atau berbahaya bagi lingkungan;
18. Bahan ramah lingkungan berhubungan bahan dengan kualitas yang dapat dipakai kembali
dapat diuraikan secara biologis atau dapat dibuat kompos, dapat didaur ulang dan tidak
beracun atau berbahaya bagi lingkungan;
19. Timbulan sampah adalah satuan kegiatan atau proses menghasilkan sampah;
20. Bak sampah adalah tempat untuk menampung sampah yang disediakan untuk
menampung sampah sementara yang disediakan dan digunakan oleh pemakai persil dan
publik;
21. Pengumpulan sampah adalah kegiatan mengumpulkan sampah dari setiap persil dan
memindahkan ke Tempat Penampungan Sementara (TPS);
22. Pengangkutan sampah adalah kegiatan memindahkan sampah dari Tempat Penampungan
Sementara (TPS) ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA);
23. Daur ulang adalah kegiatan pemanfaatan materi yang terkandung dalam sampah
anorganik;
24. Pengomposan adalah kegiatan pemanfaatan ulang sampah organik melalui proses
pembusukan;
25. Tempat Penampungan Sementara yang selanjutnya disebut TPS adalah tempat sebelum
sampah diangkut ketempat pendaur ulang, pengolahan dan/atau tempat pengolahan
sampah terpadu;
26. Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu yang selanjutnyadisebut TPST adalah tempat
dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang,
pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah;
27. Tempat Pemrosesan Akhir yang selanjutnya disebut TPA adalah tempat untuk mengisolasi
sampah yang memenuhi standar teknis dan oprasional sehingga aman bagi lingkungan
yang dilengkapi DPL (Dokumen Pengelolaan Lingkungan);
28. Tempat Penampungan dan/atau Pemrosesan sampah 3R yang selanjutnya disebut TPS/TPA
3R adalah tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) yakni
pembatasan timbulan sampah, pemanfaatan kembali sampah; dan pendauran ulang
sampah;
29. Insentif merupakan upaya memberikan dorongan atau daya tarik secara moneter dan/atau
non moneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar
melakukan kegiatan mengurangi sampah, sehingga berdampak positif paa kesehatan,
lingkungan hidup ataupun masyarakat.
30. Disinsentif merupakan pengenaan beban ataupun ancaman secara moneter dan/atau
nonmoneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar
mengurangi kegiatan yang menghasilkan sampah yang berdampak negatif paa kesehatan,
lingkungan hidup dan masyarakat.
31. Masyarakat adalah semua orang yang secara alami dan hukum memiliki hak dan kewajiban
atau menjadi subjek hukum;
32. Orang adalah orang perseorangan, sekelompok orang, dan/atau Badan Hukum;
33. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
B. Materi yang akan diatur dalam Peraturan daerah ini adalah penormaan tentang :
1. Pengelolaan sampah bertujuan yakni mengurangi kuantitas dan dampak yang ditimbulkan
oleh sampah, meningkatkan kesehatan masyarakat, meningkatkan kualitas lingkungan
hidup dan menjadikan sampah sebagai sumber daya.
2. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelanggaran pengelolaan sampah adalah
menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan Nasional
dan Provinsi, menyelenggarakan pengelolaan sampah skala Kabupaten sesuai dengan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah,
melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengeloaan sampah yang dilaksanakan
oeh pihak lain, menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan
sampah terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah serta melakukan
pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20 (dua puluh)
tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka
yang telah ditutup.
3. Bahwa dalam materi peraturan daerah tentang pengelolaan sampah adalah tentang hak,
kewajiban dan larangan setiap orang dalam memeliharan lingkungan atas pengendalian
sampah
4. Dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah memerlukan arahan dalam dalam menyusun
arah kebijakan pengelolaan sampah yakni : standar pengurangan sampah, pembatasan
timbunan sampah serta tata cara penanganan sampah.
5. Dalam melakukan penanganan dan pengelolaan sampah, Pemerintah Daerah dapat
membentuk Lembaga Pengelolaan Sampah di tingkat desa atau di tingkat Kecamatan.
6. Pemerintah Daerah dapat memberikan kompensasi kepada orang terhadap pengelolaan
sampah di tempat pemrosesan akhir yang berdampak negatif yang merupakan bentuk
pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.
7. Dalam pengelolaan sampah oleh pihak Ke tiga, wajib mendapatkan izin dari Bupati.
8. Pemerintah daerah dalam penyelenggara pengelolaan sampah dapat berkerja sama
dengan Pemerintah Daerah lainnya yang dituangkan dalam bentuk Kerja Sama dan juga
kemitraan dengan Badan Usaha Pengelola Sampah.
9. Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan dan
pengawasan dalam kegiatan pengolahan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga yang diselenggarakan oleh SKPD yang membidangi persampahan
dan lingkungan hidup.
10. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pengelola
sampah dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
11. Sengketa yang dapat timbul dari pengelolaan sampah terdiri dapat diselesaikan dengan
Penyelesaian sengketa melalui penyelesaian di luar pengadilan ataupun melalui pengadilan
yang sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan.
12. Pemerintahan Daerah melakukan tindakan hukum berupa sanksi administratif untuk
memulihkan kualitas lingkungan dalam keadaan semula dengan beban biaya yang
ditanggung oleh pengelola sampah yang tidak mematuhi ketentuan dalam Peraturan
Perundang-Undangan.
13. Selain pejabat penyidik umum yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidik atas tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat dilakukan pula oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah yang
pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku.
14. Setiap orang atau badan yang melakukan pelanggaran terhadap larangan dalam
pengelolaan sampah dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku.
15. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan agar setiap orang
mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Barito Timur.

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Barito Timur tentang Pengelolaan Sampah secara
konkret memiliki dasar hukum yang kuat, sebagaimana tersebut dalam konsideran
mengingatnya.
Demikian pula materi muatannya, sudah diupayakan bersesuaian dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan
Pasal 136 sampai Pasal 149 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
Sungguhpun demikian, tetap perlu dibahas dan diberi masukan oleh Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Barito Timur.
B. Saran
Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Timur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Barito Timur, diharapkan dapat melakukan rapat konsultasi, rapat koordinas atau
rapat kerja terbatas dengan Tim Penyusun Naskah Akademis ini. Melalui rapat konsultasi, rapat
koordinasi atau rapat kerja terbatas tersebut, diharapkan dapat dikembangkan pemikiran-
pemikiran konstruktif, pendapat, aspirasi, informasi, dan aspek teknis lainnya guna
menyempurnakan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Barito Timurtentang
Pengelolaan Sampah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Makalah :

Irfan M., Islamy, 1997, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.

Irma Hidayana (Ed.), 2005, Panduan Praktis Pemantauan Proses Legislasi. Jakarta, PSHK (Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia).

Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2009, Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah
Sistem Lahan Urug Saniter (Sanitary Landfill), Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional
Kalimantan, Balikpapan.

Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Nasional, Bina
Cipta, Bandung.

Otto Soemarwoto, 1999, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Cetakan Kedelapan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Salim, Emil, 1991, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Supriadi, 2008, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan:

Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 27 tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun
1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1965.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010
tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi , dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah.

Peraturan Daerah Kabupaten Barito Timur Nomor 8 Tahun 2008 tentang Bidang Urusan
Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Daerah Kabupaten Barito Timur.

Anda mungkin juga menyukai