Anda di halaman 1dari 3

ANALISA PASAL 2 DAN 3 UNDANG UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI SERTA

KAITKAN DENGAN PUTUSAN MA DAN MK

I. Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

Pada pasal 2 dan 3 Undang Undang TIPIKOR ini sangat menuai banyak problematika dimana
pada pasal tersebut ternyata bertentangan dengan UUD 1945. Tujuan di buat nya pasal ini untuk
di tunjukan kepada subjek yang merupakan seorang pegawai negeri atau para penjabat publik yang
memeliki kewenangan dan kekuasaan. Secara historis ketentuan pada pasal 2 dan 3 UU TIPIKOR
yang merupakan berasal dari norma hokum yang terdapat pada pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf
b No.3 Tahun 1971 yang kemudia di adopsi kedalam UU TIPIKOR dengan melakukan beberapa
perubahan pada bagian frase. Jika dilihat Pada pasal 2 terdapat 3 unsur yang dimanaa yaitu

a) Dengan tujua memperkaya diri sendiri, orang lain


b) Melawan Hukum
c) Dapar merugikan keuangan dan perekonomian Negara.

Sehingga perbuatan yang melanggar atau dilarang dalam pasal tersebut adalah kegiatan
dimana seseorang dengan sengaja untuk memperkaya diri sendiri, memperkaya rekan atau orang
lain yang berkerjasama dengannya atau koorperasi denga menggunakan sarana dalam melawan
hukum tanpa perlu membuktikan apakah terdapat kerugian keuangan Negara ataupun juga
mengganggu perekonomian Negara. Pada pasal ini merupakan sebuah Delik Formil, hal itu
dikarenakan suatu perbatan yang hendak di pidanakan adalah sebuah manifestasi dari perbuatan
seorang Pegawai Negeri atau Kedudukan dari seorang Penjabat Publik yang secara tidak patut
yang hanya menguntungkan dan memperkaya diri sendiri atau korporasi dengan segala akibat
hukum yang di tanggungnya.

Pada pasal 3 UU TIPIKOR sama dengan pasal 2 sebelumnya ada terdapat 3 unsur dalam
pasal ini yaitu :

a) Dengan tujuan menguntungkan Diri sendiri atau orang lain atau suatu korperasi
b) Menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan dan dudukan
c) Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara
Jika dilihat secara deliknya pasla ini memiliki tujuan untuk ditunjukan kepada para
Pegawai Negeri atau Penjabat Publik yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan tertentu dalam
pemerintahan. Hal ini ditafsirkan dari dilihatnya unsur “Menyalahgunakan Kewenangan” yang
dimana pada Frasa tersebut jika dilihat secara Inherent selalu mengandung suatu sifat melawan
hukum. Selain juga dijelaskan pada pasal 1 ayat (1) b UU No. 3 Tahun 1997 yang dimana disini
mengaitkan unsur-unsur menyalahgunakan kewenangan dengan ketentuan pasal 52 Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), yang dimana hanya berlaku bagi para Pegawai Negeri
saja. Seharusnya pada pasal ini dibuktikan terlebih dahulu bahwa seorang pegawai negeri atau
penjabat publik tersebut apakah memiliki kewenangan untuk dikemudian dibuktikan bahwa ada
kewenangan yang diselewengkan atau di salahgunakan sebagai tempat untuk memperkaya diri
atau menguntungkan orang lain. Ini hal yang sama dengan rumusan pada pasal 2 ayat (1) UU. 31
Tahun 1999 yang dirumuskan secara formil(Formeel Delict)

Dengan menegaskan dalam penerapan pasa 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
tersebut dimana haruslah mempertimbangkan dengan adanya kesengajaan dan hubungan
kausalitas antara subjek dengan tindak pidana, unsur melawan hukum, dan unsur yang
memperkaya diri sendiri atau orang lain. Juga harus ada hubungan kausalitas yang nyata bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri sipil atau penjabat publik yang dilakukan
dengan sarana atau tindakan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau
sarana yang di gunakan padanya karena dalam posisi jabatan tersebut yang mengakibatkan
pegawau negeri atau penjabat publik atau orang lain yang terkait dengan memproleh kekayaan
yang tidak semestinya. Apabila dapat dibuktikan maka bisa di anggap sebuah tindak pidana apabila
sebuah tindakan tersebut tidak dapat dibuktikan maka bukanlah merupakan tindakan pidana.

Ada permasalahan yang terjadi dalam penerapan pasal 2 ayat (1) dan 3 UU TIPIKOR ini
dimana dalam PENERAPAN SUBJEK TINDAK PIDANA pada pasal 2 yang dalam parktiknya
pasal 2 ayat (1) diterapkan pada pihak non Pegawai negeri atau pihak swasta. Sedangkan pada pasl
3 UU No. 31 Tahun 1999 diterapkan kepada subjek tindak pidana koropsi dari pihak pegawai
negeri atau penjabat umum. Dengan begitu dalam putusan MAKHAMAH AGUNG No. 334
K/PID.Sus/2009, dimana majelis kasasi membatalkan putusan PN BATURAJA No.
146/Pid.B/2007 yang dimana menyatakan bahwa terdakwa dinyatakan bersalah telah memenuhi
dakwaan primair pasal 2 ayat (1)
PENERAPAN UNSUR MELAWAN HUKUM, dimana dalam praltiknya Pasal 2 ayat
(1) UU TIPIKOR tentag perihal permasalahan apakah perbuatan melawan hukum yang dilaukan
oleh pelaku dapat dikualisifikasikan sebagai sebuah perbuatan melawan hukum dalam pengertian
hukum pidana. Maka dapat dilihat dari pengertian arti dari perbuatan melawan hukum
“WEDERRECHTELIJK” dimana dalam hukum pidana sering dicampurnya dengan dengan
perbuatan melawan hukum “ONRECHMATIGEDAAD” dalam hukum perdata. Dimana sebuah
tindakan tercela dari seorang yang masih dalam area hukum perdata malah dikualisifikasikan
sebagai area lingkup hukum pidana. PENERAPAN UNSUR MEMPERKAYA DIRI SENDIRI
ATAU ORANG LAIN dengan banyaknya perumusan pasal yang luas tersebut mengakibatkan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menggunakan sarana melawan hukum
mengakibatkan banyak perbuatan yang tidak seharusnya masuk kedalam kualisifikasi tindak
pidana dapat dimasukan dalam rumusan pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999.

II. KAITAN DENGAN PUTUSAN MK DAN MA

Dalam putusan MK terkait dengan UU tipikor yang dimana disini dilihat dapat melemahkan
pecegahan korupsi iti sendiri. Dimana pada Putusan No. 25 /PPU-XIV/2016 yang dimana
dinyatakan kata “dapat” pada kerugian keuangan Negara pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU
TIPIKOR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena dikatakan bahwa Putusan MK
Hanya mengedepankan aspek kepastian Hukum. MK hanya melihat UU TIPIKOR sebagai
instrument untuk menjerat para pelaku korupsi tetapi tidak menempatkan sebagai instrumen
pencegahan Korupsi sebagaimana yang tercantum dalam UU TIPIKOR. Pasal 2 dan 3 berupa delik
formil maka tidak pidana tersebut tidak perlu dibuktikan dengan secara actual.

Dalam putusan MA terdapat beberapa putusan yang di singgung dalam putusan No. 1038
K/Pid.Sus/2015 dimana MA berpendirian kerugian Negara di atas 100 juta akan dikenakan pasal
2 UU TIPIKOR. Apabila penuntut umum ingin menggunakan dakwaan yang alternative maka
pasal yang lebih tepat adalah pasal 2 ayat (1) UU TIPIKOR.

Anda mungkin juga menyukai