Anda di halaman 1dari 4

NAMA : FRENDY MONIKA

NIM : 042524911
JURUSAN : ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : BANDAR LAMPUNG
MATA KULIAH : TINDAK PIDANA KORUPSI

SOAL

1. Berikan pembuktian klausula dalam UU No. 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu No. 1
Tahun 2020 yang dapat dianggap melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Berikan
argumentasi anda mengapa klausul tersebut dianggap melemahkan upaya pemberantasan
korupsi.
2. Berikan analisis bahwa klausula yang dimaksudkan dalam jawaban no. 1 bahwa Perpu
tersebut dibutuhkan.
3. Berikan analisis indikator untuk menentukan perbuatan penyalahgunaan kewenangan yang
dilakukan oleh pejabat atau pemerintah masuk kedalam kategori tindak pidana korupsi
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

JAWABAN
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 1 tahun 2020 yang telah disahkan
menjadi Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2020 tersebut justru melemahkan penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi dan perubahannya, dimana peraturan pemerintah
tersebut berisi tentang kebijakan keuangan dan stabilitas sistem keuangan untuk
penanganan pandemi covid – 19 pada Pasal 27 ayat 1 pada Peraturan Pemerintah Nomor 1
tahun 2020 yang mana harus diperhatikan dalam pasal tersebut berbunyi :
“Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka
pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan,
kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan
pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi
nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari
krisis dan bukan merupakan kerugian negara.”
Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2020 Pasal 27 Ayat (2) berbunyi :
“Pasal 27 Ayat (2) berbunyi : “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan
pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta
Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.”
Pasal tersebut kontaproduktif dengan undang – undang tindak pidana korupsi serta
perubahannya, karena seolah – olah aparat dalam hal ini penyidik dan penyelidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan
atau lebih tepatnya tindakan dalam menegakan hukum terhadap kasus korupsi pada dana
bantuan sosial penanggulangan pandemi covid-19 yang sedemikian besar itu menjadikan
sasaran empuk bagi para koruptor dan harus tepat sasaran sesuai peruntukannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2020 Pasal 27 Ayat (1) dan (2) dianggap melemahkan
semangat anti-korupsi karena memberikan imunitas bagi pihak-pihak dalam peraturan
pemerintah pengganti undangundang (anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat
KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya) dan tentu saja rentan
terjadi korupsi kebijakan, terlepas dari dalil apapun, penting bagi kita untuk menutup celah
terhadap siapapun yang hendak mengambil kesempatan dalam kesempitan pada situasi
pandemi covid-19.
Sumber:
Connery, Arga W. ., Nixon Lowing., Arie Sendow. 2022. Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana
Korupsi Pada Situasi Pandemi Covid-19. Lex Privatum, Vol. 10(4).

2. Legitimasi (Validitas) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perppu Nomor 1 Tahun
2020 merupakan kaidah hukum yang legitimate dan sah (valid), karena telah dibentuk oleh
lembaga yang berwenang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Namun,
legitimasi (validitas) yang telah dimiliki oleh Undang-Undang tersebut dapat hilang apabila
diketahui substansi dari kaidah hukum/normanya bertentangan dengan kaidah hukum/
norma yang lebih tinggi yaitu konstitusi nasional, sebagaimana salah satu syarat dari
legitimate-nya sebuah kaidah hukum adalah tidak ada cacat-cacat yuridis seperti tidak
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Diketahui bahwa terdapat beberapa pasal
dalam undang-undang tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD NRI
1945 yaitu Pasal 2 ayat 1 dan pasal 27 ayat (1) dan ayat (3). Pada pasal 27 ayat (2) dinilai
tidak bertentangan selama didasarkan pada itikad baik, namun substansi pasal tersebut
ditakutkan terdapat penumpang gelap yang memanfaatkan pasal tersebut dengan tujuan
menguntungkan kepentingan pribadi dan/ atau kelompok/golongan. Selanjutnya legitimasi
(validitas) hukum dari pasal-pasal tersebut perlu dilakukan uji materi oleh Mahkamah
Konstitusi.
Sumber:
Puteri, Santi Ayu., Aprillyna Ilmy Akmalya, Rinawasih. 2022. Analisa Yuridis Inkonsistensi
Vertikal Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan” Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. Jurnal Education and development, Vol.10
No.1: 30-36.
3. Tindakan penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menguraikan unsur-unsur tindakan tersebut, yaitu memiliki tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menggunakan kewenangan, kesempatan,
sarana yang didapatkan dari jabatan atau kedudukannya sehingga menimbulkan kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi merupakan pasal yang khusus digunakan untuk menjerat pejabat yang
menyalahgunakan wewenang. Menurut UU Pemberantasan Tipikor, tindakan
menyalahgunakan wewenang dalam melakukan tindak pidana korupsi tidak harus selalu
berupa dikeluarkannya keputusan yang bertentangan atau menyalahi suatu aturan. Asalkan
memenuhi poin poin tertentu, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai
menyalahgunakan wewemamg. Poin poin tersebut yaitu perbuatan itu melanggar aturan
tertulis sebagai dasar kewenangannya, memiliki maksud yang menyimpang, dan berpotensi
merugikan negara.
Berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun yang berbunyi
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)”.
Poin menyalahgunakan kewenangan yang terdapat pada pasal tersebut menjadi bagian dari
delik korupsi yang menjadi kompetensi Pengadilan Tipikor. Namun konsep tersebut tidak
dijelaskan secara lanjut dalam UU Tipikor. Ketentuan dasar bahwa kesalahan administrasi
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pernyataan tersebut diperkuat dengan
adanya asas “lex posteriori derogate legi priori”, menurut prinsip ini, pengadilan TUN
memiliki kewenangan tunggal untuk menyelidiki dan memutuskan kasus penyalahgunaan
kekuasaan ketika posisi melibatkan korupsi. Sifat korupsi melawan hukum dapat dikaitkan
dengan hal tersebut apabila kesalahan administrasi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah
dilakukan dengan sengaja dan merugikan keuangan negara dengan maksud untuk
memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Pertanggungjawaban secara
hukum administrasi beralih ke ranah hukum pidana apabila perbuatan diawali dan diikuti
dengan adanya niat jahat dari pejabat pemerintahan.
Penyalahgunaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU
Nomor 20 Tahun 2001 bukanlah satu-satunya bentuk penyalahgunaan kewenangan. Selain
penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001 tersebut, terdapat tiga bentuk penyalahgunaan lainnya yaitu tindak pidana
penyuapan kepada aparatur negara, tindak pidana gratifikasi kepada aparatur negara dan
tindak pidana pemerasan oleh pejabat/aparatur negara. Ketiga bentuk tindak pidana korupsi
tersebut masing-masing diatur dalam pasal tersendiri dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo
UU Nomor 20 Tahun 2001.
Perbedaan prinsip antara ketiga bentuk penyalahgunaan kewenangan tersebut diatas
dengan penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor
20 Tahun 2001 adalah bahwa terjadinya ketiga bentuk penyalahgunaan kewenangan
tersebut tidak disyaratkan harus berimplikasi terhadap kerugian negara atau kerugian
perekonomian negara, sedangkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan pada Pasal 3,
mensyaratkan harus terdapat implikasi kerugian negara atau kerugian perekonomian negara.
Bentuk penyalahgunaan wewenang jabatan yang masuk kategori tindak pidana sebagaimana
diatur dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 adalah
manakala pejabat yang diberi amanah telah melakukan tindakan korupsi karena
penyalahgunaan kewenangan jabatannya seperti pengadaan barang dan jasa tanpa melalui
proses sesuai prosedur pengadaan dalam Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang berakibat
terjadinya kerugian negara, maka perbuatan tersebut masuk dalam kategori penyalahgunaan
wewenang jabatan (abuse of power).
Sumber:
Rizkyta, Amelia Putri dan Bunga Restu Ningsih. 2022. Penyalahgunaan Wewenang
Berdasarkan Pengadilan Tata Usaha Negara Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal
Esensi Hukum, Vol. 4(2), hlm. 131-138.

Anda mungkin juga menyukai