Oleh:
031511133135
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018
1. LATAR BELAKANG
birokrasi mulai dari badan publik Negara hingga menjalar ke ranah privat/swasta
yang identik dengan dunia bisnis. Ibarat penyakit, korupsi merupakan penyakit
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana
korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada
khususnya serta masyarakat pada umumnya. Tindak pidana korupsi sendiri dalam
Corruption Watch (ICW) yang telah mencatat pada tahun 2017 terdapat 576 kasus
korupsi dengan kerugian keuangan negara mencapai Rp 6,5 triliun dan kerugian
dari kasus suap mencapai Rp 211 miliar dari kasus tersebut terdapat jumlah
tersangka mencapai 1.298 orang. Dilihat dari 735 kasus korupsi yang diperiksa
dan diputus ditingkat kasasi Mahkamah Agung, yang datanya dikumpulkan oleh
1
M. Akil Mochtar, Memberantas Korupsi, Efektivitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian
dalam Gratifikasi, Q-Communication, Jakarta, 2006, h. 103.
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) pada 2013,
dari 735 perkara, terdapat 503 perkara atau 68,43% menggunakan pasal 3 UU
PTPK untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Selain pasal 3, Jaksa
Penuntut Umum juga sering menggunakan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK untuk
menjerat pelaku tindak pidana korupsi sekitar 147 perkara atau 20%. Pasal 2 ayat
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
Pasal 3 :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
2
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 387), Ps. 2.
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi
pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 jo.
negara atau perekonomian negara pada saat ini haruslah dimaknai menjadi delik
diartikan benar-benar telah terjadi kerugian yang nyata atau actual loss.
penegakkan tindak pidana korupsi di Indonesia dibuktikan dengan audit dari BPK
3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 387), Ps.3.
bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena merugikan perekonomian
negara.4 Kerugian negara pada tindak pidana korupsi kenyataanya hanya dimaknai
sebagai kerugian keuangan negara saja, penegak hukum sama sekali tidak pernah
dampak dari tindak pidana korupsi tidak hanya pada kerugian keuangan saja tetapi
juga aspek ekonomis, sosial, ekologis dan kerugian lainnya. Baru pada awal tahun
2018 terdapat terobosan baru dari Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada praktik penegakkan kasus korupsi, yaitu pada kasus suap dengan
Nikel kepada PT. Anugrah Harisma Barakah (PT. AHB) di Pulau Kabaena,
negara akibat perbuatan Nur Alam dengan total Rp. 4,3 Triliun yang terdiri atas
kerugian keuangan negara secara materiil yang telah dibuktikan dengan audit
BPK RI dan BPKP sebesar Rp. 1,5 Triliun ditambahk dengan kerugian non-
materiil yaitu kerugian ekonomi lingkungan yang terdiri dari aspek ekologis,
ekonomis, dan biaya rehabilitasi lingkungan dengan total 2,7 Triliun. Beranjak
dari kasus ini, yang seakan mengingatkan khalayak bahwa unsur kerugian negara
dalam tindak pidana korupsi tidak hanya kerugian keuangan saja, tapi juga
ekonomi lingkungan ini dilakukan oleh ahli kerusakan lingkungan dari IPB.
4
Supriyanto, Supanto, dan Hartiwiningsih, ‘Redefinisi Unsur “yang Dapat Merugikan Keuangan
(Perekonomian) Negara” dalam Tindak Pidana Korupsi’, Amanna Gappa, Vol.25, No.2, 2017, h
11.
Apabila melihat dampak dari kasus korupsi di luar Indonesia, penulis merujuk
pada jurnal dari Bimand Prasad yang telah melakukan survei literatur tentang Cost
menyatakan bahwa dampak dari korupsi selain dari kerugian keuangan negara ada
aspek yang tak kalah penting dan tidak dapat dikesampingkan sebagai dampak
adanya perilaku korupsi yaitu di aspek pertumbuhan ekonomi dan sosial yang
inflasi, kualitas pendidikan, kesehatan, dan lingkungan dan masih banyak lagi
dampak yang juga luar biasa dari kerugian perekonomian negara, penegak hukum
5
Bimand Prasad, ‘Cost of Corruption : A Survey of the Literature’, Australian Agency for
International Development, 2010, h 38-48
https://www.researchgate.net/publication/268050187_Cost_of_Corruption_A_Survey_of_the_Lite
rature
kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.6 Pemaknaan
kerugian negara yang tidak secara holistik ini menimbulkan ketidakpastian hukum
kaitannya dengan pemulihan kerugian negara sebagai dampak dari tindak pidana
korupsi.
2. RUMUSAN MASALAH
sebagai berikut :
3. TUJUAN PENELITIAN
Dari rumusan masalah diatas, penulisan penelitian ini dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut :
korupsi di Indonesia.
6
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 387), Penjelasan
Umum.
2. Mengusulkan pemaknaan secara holistik kerugian keuangan negara dan
Indonesia.
4. MANFAAT PENELITIAN
di Indonesia.
pidana korupsi dapat berjalan efektif dan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
5. METODE PENELITIAN
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar
diteliti.7
(Conceptual Approach).
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 8 Dalam hal ini,
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 13-14.
8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi,Prenadamedia Group, Jakarta, 2016,
hal.133.
ada serta masih berlaku saat ini terkait penegakkan hukum tindak pidana
korupsi.
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari
Pidana Korupsi;
Pidana Korupsi;
Keuangan;
9
Ibid, hal. 135-136.
5. Undang-Undang Nomr 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi;
Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah
hukum dan ditunjang juga oleh artikel-artikel yang bersumber dari internet.
dibahas pada tulisan ini. Kemudian, dilakukan pengkajian dan telaah terhadap
bahan-bahan hukum yang ada untuk mencari penjelasan maupun solusi atas
yang tersedia dan keduanya berkaitan dengan isu hukum, lalu dikumpulkan
hukum yang dilakukan untuk memberikan penjelasan yang jelas dan terang
atas ketentuan Pasal dalam undang-undang, agar ruang lingkup kaedah dalam
10
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993, hal. 13.