Anda di halaman 1dari 12

PROPOSAL SKRIPSI

PERLUASAN MAKNA KERUGIAN NEGARA DALAM UNDANG-


UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 20
TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI

Oleh:

RIZKI AGUNG FIRMANSYAH

031511133135

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2018
1. LATAR BELAKANG

Korupsi telah menjadi permasalahan yang serius, mengakar, bahkan

membudaya di Indonesia. Praktik korupsi terjadi hampir di semua elemen

birokrasi mulai dari badan publik Negara hingga menjalar ke ranah privat/swasta

yang identik dengan dunia bisnis. Ibarat penyakit, korupsi merupakan penyakit

yang sudah kronis, sehingga sulit untuk mengobatinya1. Maraknya praktik-praktik

korupsi yang terjadi di Indonesia mengharuskan aparat penegak hukum untuk

mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana

korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada

khususnya serta masyarakat pada umumnya. Tindak pidana korupsi sendiri dalam

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) diklasifikasikan

menjadi 7 (tujuh) jenis yaitu Kerugian Keuangan Negara, Suap-menyuap,

Penggelapan dalam Jabatan, Pemerasan, Perbuatan Curang, Benturan

Kepentingan dalam Pengadaan, dan Gratifikasi. Menurut data dari Indonesia

Corruption Watch (ICW) yang telah mencatat pada tahun 2017 terdapat 576 kasus

korupsi dengan kerugian keuangan negara mencapai Rp 6,5 triliun dan kerugian

dari kasus suap mencapai Rp 211 miliar dari kasus tersebut terdapat jumlah

tersangka mencapai 1.298 orang. Dilihat dari 735 kasus korupsi yang diperiksa

dan diputus ditingkat kasasi Mahkamah Agung, yang datanya dikumpulkan oleh

1
M. Akil Mochtar, Memberantas Korupsi, Efektivitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian
dalam Gratifikasi, Q-Communication, Jakarta, 2006, h. 103.
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) pada 2013,

dari 735 perkara, terdapat 503 perkara atau 68,43% menggunakan pasal 3 UU

PTPK untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Selain pasal 3, Jaksa

Penuntut Umum juga sering menggunakan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK untuk

menjerat pelaku tindak pidana korupsi sekitar 147 perkara atau 20%. Pasal 2 ayat

(1) dan pasal 3 UU PTPK masing-masing selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2 ayat (1) :

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).2

Pasal 3 :

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana

dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat

2
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 387), Ps. 2.
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda

paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).3

Frasa “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara” pada pasal-pasal tersebut menyebabkan delik korupsi ini

dikualifikasikan sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian keuangan negara

atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi

(potential loss). Namun, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-

XIV/2016 yang amar putusannya pada pokoknya menghilangkan frasa “dapat”

pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang menjadikan kualifikasi delik korupsi yang merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara pada saat ini haruslah dimaknai menjadi delik

materiil yang konsekuensinya adalah akibat yang dilarang dalam pasal-pasal

tersebut yaitu “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” harus

diartikan benar-benar telah terjadi kerugian yang nyata atau actual loss.

Pada praktik penegakkan hukum tindak pidana korupsi, umumnya

pembuktian kerugian negara mengenai kerugian keuangan negara dalam

penegakkan tindak pidana korupsi di Indonesia dibuktikan dengan audit dari BPK

RI dan/atau BPKP. Sedangkan untuk kerugian perekonomian negara, nyaris tidak

ditemukan perkara yang diputus oleh pengadilan bahwa terdakwa terbukti

3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 387), Ps.3.
bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena merugikan perekonomian

negara.4 Kerugian negara pada tindak pidana korupsi kenyataanya hanya dimaknai

sebagai kerugian keuangan negara saja, penegak hukum sama sekali tidak pernah

menjerat para koruptor dengan unsur kerugian perekonomian negara. Faktanya,

dampak dari tindak pidana korupsi tidak hanya pada kerugian keuangan saja tetapi

juga aspek ekonomis, sosial, ekologis dan kerugian lainnya. Baru pada awal tahun

2018 terdapat terobosan baru dari Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) pada praktik penegakkan kasus korupsi, yaitu pada kasus suap dengan

terdakwa NA, Gubernur Sulawesi Tenggara yang telah melakukan

penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP)

Nikel kepada PT. Anugrah Harisma Barakah (PT. AHB) di Pulau Kabaena,

Sulawesi Tenggara. Dalam tuntutannya, Jaksa KPK mengakumulasi kerugian

negara akibat perbuatan Nur Alam dengan total Rp. 4,3 Triliun yang terdiri atas

kerugian keuangan negara secara materiil yang telah dibuktikan dengan audit

BPK RI dan BPKP sebesar Rp. 1,5 Triliun ditambahk dengan kerugian non-

materiil yaitu kerugian ekonomi lingkungan yang terdiri dari aspek ekologis,

ekonomis, dan biaya rehabilitasi lingkungan dengan total 2,7 Triliun. Beranjak

dari kasus ini, yang seakan mengingatkan khalayak bahwa unsur kerugian negara

dalam tindak pidana korupsi tidak hanya kerugian keuangan saja, tapi juga

kerugian perekonomian negara yaitu dengan memasukkan kerugian lingkungan

bahkan hingga biaya pemulihan kerusakan tersebut. Penghitungan kerugian

ekonomi lingkungan ini dilakukan oleh ahli kerusakan lingkungan dari IPB.
4
Supriyanto, Supanto, dan Hartiwiningsih, ‘Redefinisi Unsur “yang Dapat Merugikan Keuangan
(Perekonomian) Negara” dalam Tindak Pidana Korupsi’, Amanna Gappa, Vol.25, No.2, 2017, h
11.
Apabila melihat dampak dari kasus korupsi di luar Indonesia, penulis merujuk

pada jurnal dari Bimand Prasad yang telah melakukan survei literatur tentang Cost

of Corruption di seluruh negara di berbagai belahan dunia dalam kesimpulannya

menyatakan bahwa dampak dari korupsi selain dari kerugian keuangan negara ada

aspek yang tak kalah penting dan tidak dapat dikesampingkan sebagai dampak

adanya perilaku korupsi yaitu di aspek pertumbuhan ekonomi dan sosial yang

contohnya seperti turunnya pendapatan produk domestik bruto perkapita,

terhambatnya aktivitas investasi dari luar negeri, perdagangan internasional,

inflasi, kualitas pendidikan, kesehatan, dan lingkungan dan masih banyak lagi

permasalahan seputar pertumbuhan ekonomi dan aspek sosial 5. Mengingat

dampak yang juga luar biasa dari kerugian perekonomian negara, penegak hukum

haruslah mulai memaknai kerugian negara tidak sekedar sebagai kerugian

keuangan negara saja tapi juga kerugian perekonomian negara.

Pada bagian penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dijelaskan bahwa Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian

yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun

usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah,

baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat,

5
Bimand Prasad, ‘Cost of Corruption : A Survey of the Literature’, Australian Agency for
International Development, 2010, h 38-48
https://www.researchgate.net/publication/268050187_Cost_of_Corruption_A_Survey_of_the_Lite
rature
kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.6 Pemaknaan

kerugian negara yang tidak secara holistik ini menimbulkan ketidakpastian hukum

kaitannya dengan pemulihan kerugian negara sebagai dampak dari tindak pidana

korupsi.

2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep kerugian keuangan negara dan kerugian

perekonomian negara menurut hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimana penegakkan konsep kerugian perekonomian negara akibat

tindak pidana korupsi di Indonesia?

3. TUJUAN PENELITIAN

Dari rumusan masalah diatas, penulisan penelitian ini dilakukan dengan tujuan

sebagai berikut :

1. Menganalisa konsep kerugian keuangan negara dan kerugian

perekonomian negara kaitannya dengan penegakkan hukum tindak pidana

korupsi di Indonesia.

6
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 387), Penjelasan
Umum.
2. Mengusulkan pemaknaan secara holistik kerugian keuangan negara dan

perekonomian negara dalam penegakkan hukum tindak pidana orupsi di

Indonesia.

4. MANFAAT PENELITIAN

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

beberapa aspek, yaitu :

1. Aspek teoritis, dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah

khazanah keilmuan dan wawasan mengenai pemahaman konsep kerugian

negara yang terdiri dari kerugian keuangan negara dan perekonomian

negara yang dilakukan secara holistik dalam rangka menciptakan

harmonisasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi

di Indonesia.

2. Aspek praktis, hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat

sebagai masukan untuk rekomendasi dan pedoman bagi pemerintah

maupun aparat penegak hukum dalam hal pemahaman konsep kerugian

negara yang terdiri dari kerugian keuangan negara dan perekonomian

negara yang dilakukan secara holistik agar penegakkan hukum tindak

pidana korupsi dapat berjalan efektif dan sesuai dengan ketentuan hukum

yang berlaku.
5. METODE PENELITIAN

5.1 Tipe Penelitian

Penulisan penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif.

Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk

menganalisa suatu permasalahan hukum terhadap norma-norma atau kaidah-

kaidah hukum positif yang berlaku. Penelitian yuridis normatif dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar

untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-

peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti.7

5.2 Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah Pendekatan

Perundang-undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Konseptual

(Conceptual Approach).

- Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) adalah pendekatan

yang dilakukan dengan mengkaji semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 8 Dalam hal ini,

pengkajian dilakukan terhadap semua peraturan perundang-undangan yang

7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 13-14.

8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi,Prenadamedia Group, Jakarta, 2016,
hal.133.
ada serta masih berlaku saat ini terkait penegakkan hukum tindak pidana

korupsi.

- Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) adalah pendekatan yang

dilakukan dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pemahaman akan pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan acuan bagi peneliti

dalam membangun suatu argumentasi hukum untuk memecahkan

permasalahan yang dikaji.9

5.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari

peraturan perundang-undangan yang masih berlaku serta berkaitan dengan

judul dan permasalahan yang dibahas yaitu :

1. Undang-Undang Nomor 31 Tahunn 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi;

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi;

3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa

Keuangan;

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara;

9
Ibid, hal. 135-136.
5. Undang-Undang Nomr 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi;

6. Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016;

7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012.

Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah

buku-buku/literatur hukum, jurnal hukum, tesis, skripsi, pendapat para ahli

hukum dan ditunjang juga oleh artikel-artikel yang bersumber dari internet.

5.4 Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Prosedur pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan

metode studi kepustakaan (library research) yang menggunakan bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum tersebut

dikumpulkan sesuai dengan relevansinya terhadap permasalahan hukum yang

dibahas pada tulisan ini. Kemudian, dilakukan pengkajian dan telaah terhadap

bahan-bahan hukum yang ada untuk mencari penjelasan maupun solusi atas

isu hukum yang diteliti.

5.5 Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum dalam penulisan ini menggunakan analisis secara

deskriptif-analisis yang mengacu pada suatu masalah tertentu dan dikaitkan

dengan peraturan perundang-undangan yang ada serta bahan hukum sekunder

yang tersedia dan keduanya berkaitan dengan isu hukum, lalu dikumpulkan

secara sistematis dengan maksud agar mendapat suatu kesimpulan.


Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan penelitian, maka metode yang

digunakan dalam analisis bahan hukum yaitu, metode interpretasi atau

penafsiran hukum. Metode tersebut merupakan salah satu metode penemuan

hukum yang dilakukan untuk memberikan penjelasan yang jelas dan terang

atas ketentuan Pasal dalam undang-undang, agar ruang lingkup kaedah dalam

undang-undang tersebut dapat diterapkan dalam peristiwa hukum konrit.

Tujuan interpretasi adalah untuk menjelaskan maksud sesungguhnya dari

ketentuan pasal-pasal dalam suatu undang-undang sehingga dapat diterapkan

dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang akan dibahas.10

10
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993, hal. 13.

Anda mungkin juga menyukai