Anda di halaman 1dari 13

“PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI”

Dosen Pengampu : Drs.H Kamaruddin, SE.,ME

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Mata Kuliah : PANCASILA DAN ANTI KORUPSI

OLEH :

YUNDA
ANYSA ZAHRA
DEWI SUSANTI
IMAM NURACHMAN

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) NATUNA
T/A 2021-2022

i
2
PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Korupsi di Indonesia saat ini sudah sampai pada titik yang tidak dapat ditolelir. Begitu
mengakat (membudaya) dan sistematis. Kerugian Negara atas menjamurnya praktek korupsi
sudah tidak terhitung lagi. Jika tahun 1993 Soemitro Dojohadikusumo menyebutkan bahwa
kebocoran dana pembangunan antara tahun 1989-1993 sekitar 30 % dan hasil penelitian
World Bank bahwa kebocoran dana pembangunan mencapai 45 %, maka saat ini sepertinya
jumlah tersebut sudah meningkat drastic. Hal tersebut menyebabkan munculnya istilah bahwa
korupsi sudah menjadi extra ordinary crime.

Tingkat korupsi di Negara Indonesia sudah teramat parah bahkan menurut hasil
penelitian Transparancy International, selama 5 (lima) tahun berturut-turut mulai Tahun
1995 sampai dengan Tahun 2000, Indonesia selalu menduduki posisi 10 (sepuluh) besar
negara paling korup di dunia. Berdasarkan penelitian Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) Tahun 1997, Indonesia menempati posisi negara terkorup di Asia. Dan
pada Tahun 2001 peringkat Indonesia menjadi negara terkorup ke-2 di Asia setelah Vietnam.

Padahal perangkat undang-undang yang bekaitan dengan tindak pidana korupsi yang
dugunakan oleh negara sudah termaktub dalam tiga undang yaitu Undang-Undang No.3
tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-Undang No.31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, serta Undang-Undang No.20 tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 1999. Kemudian sejumlah isi hukum
(contents law) atau produk hukum terkait dengan masalah korupsi telah dimunculkan,
setidaknya antara tahun 1999-2005 antara lain, Kepres No.127 tahun 1999 tentang
pembentukan komisi KPKN dan sekretariat Jenderal komisi pemeriksaan kekayaan
penyelenggara negara, Kepres No.81 tahun 1999 tentang pembentukan KPKPN, Tap MPR
No.XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, PP No.
65 tahun 1999 tentang tata cara pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara, PP No. 97
tahun 1999 tentang tata cara pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang
komisi pemeriksa, PP No.68 tahun 1999 Tentang tata cara pelaksanaan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan negara, PP No.19 tahun 2000 tentang tim gabungan
pemberantasan tindak pidana korupsi, Kepres No.73 tahun 2003 tentang pembentukan panitia
seleksi calon pimpinan komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, Inpres No.5 tahun 2004
tentang percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi, Kepres No.45 tahun 2004 tentang

3
pengalihan organisasi, administrasi dan finansial sekjen KPKPN ke-komisi pemberantasan
tindak pidana korupsi, Kepres No.59 tahun 2004 tentang pembentukan pengadilan tindak
pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta Instruksi Presiden (Inpres) No. 5
tahun 2005 tentang percepatan pemberantasan korupsi.[5]

Namun dalam kesempatan ini Peneliti hanya memfokuskan untuk menganalisis


subtansi yang diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971 dan Undang-Undang No.20
tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Korupsi guna memperoleh suatu temuan yang nantinya dapat bermanfaat bagi
penegak hokum, sehingga pada akhirnya tercipta suatu pembangunan hokum ke arah yang
dicita-citakan guna demi tercapainya berkeadilan dalam masyarakat Indonesia.

Selanjutnya Untuk menunjang Penelitian lanjutan Peneliti akan menguraikan secara


singkat perkembangan terbaru mengenai pengaturan Tindak Pidana Korupsi dan lembaga-
lembaga yang berkaitan dalam Penegakan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

Batasan mengenai Perekonomian Negara menurut UU tersebut sebagai berikut:


kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik
ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan
kepada seluruh kehidupan rakyat. (sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 )

Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau


perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana
korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi
perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara
melawan hukum.

Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi
dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan
masyarakat harus dituntut dan dipidana.

Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai

4
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1.

Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan secara tegas
sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan
formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan
tetap dipidana sesuai dengan Pasal 4 Yang berbunyi “Pengembalian kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.

Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi,
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur -unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian
kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana
si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara
tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.

Dalam undang-undang ini juga diatur perihal korporasi sebagai subyek tindak pidana
korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana dimana hal ini tidak diatur sebelumnya yakni
dalam undang-undang tindak pidana korupsi yaitu undang-undang no. 3 Tahun 1971.

Undang-undang ini bertujuan dalam memberantas tindak pidana korupsi memuat


ketentuan-ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu
menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman
pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu undang-undang ini memuat juga
pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan
berupa uang pengganti kerugian negara sesuai dengan Pasal 18.

Pengertian Pegawai Negeri dalam undang-undang ini juga disebutkan yaitu orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara
atau masyarakat. Fasilitas yang dimaksud adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam
berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar,
pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1
ayat 2 ).

5
Kemudian apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka
dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung RI. sedangkan proses
penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu
penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari
tersangka atau terdakwa. (sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27).

Dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak


pidana korupsi, undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik ,penuntut umum, atau
hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada Bank dengan mengajukan hal
tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia dapat dibaca pada Pasal 29 tentang rahasia Bank).

Pembuktian Terbalik

Undang-undang ini juga mengatur penerapan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas
atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa apabila
terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan
dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. (sesuai dengan pasal 28
dan Pasal 37)

Peran Serta Masyarakat

Undang-undang ini juga memberikan peran serta masyarakat dan kesempatan yang
seluas-luasnya dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta diberikan perlindungan hukum
dan penghargaan setinggi-tingginya oleh Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 41 UU ini dan
Pasal 102, 103 KUHAP).

Dari uraian tersebut di atas dapat disampaikan bahwa dalam rangka mencapai tujuan
yang lebih efektif sebagai wahana pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,

6
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 ini dilengkapi berbagai macam ketentuan pidana yang
perbeda dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1971.

Aturan Peralihan

Di samping mengandung banyak kelebihan, ternyata dalam undang-undang No.31


Tahun 1999 terdapat pula kekurangan-kekurangan dimana pembuat undang-undang tidak
melengkapi aturan peralihan. Hal ini berbeda pada waktu UU No. 3 Tahun 1971
menggantikan UU No. 24 Prp. Tahun 1960, Pembuat Undang-undang mencantumkan Pasal
36 (UU No. 3 Tahun 1971) sebagai Aturan Peralihan yang berbunyi sebagai berikut :

Terhadap segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan saat UU. Ini berlaku, tetapi
diperiksa dan diadili setelah UU ini berlaku, maka diberlakukan UU yang berlaku pada saat
tindak pidana dilakukan.

Peranan Aturan Peralihan ini adalah mengatur keadaan yang terjadi, namun belum
dituntaskan penanganannya hingga lahirnya UU baru. Tidak dilengkapinya UU. No.31 Tahun
1999 dengan Aturan Peralihan, terkesan telah terjadi kekosongan hukum sehingga tidak
mustahil menimbulkan suatu pertanyaan dasar hukum yang akan bisa dipergunakan oleh
aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus perbuatan korupsi dalam era UU 3
tahun 1971, namun penanganannya pada era UU No. 31 Tahun 1999.

Sedangkan dalam Pasal 44 UU No.31 Tahun 1999 menyatakan :

Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka Undang- undang Nomor 3 tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971
Nomor 19 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dalam Pasal 45 UU No.31 Tahun 1999 menyatakan bahwa :

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan menempatkannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Dari uraian tersebut di atas, secara sepintas nampak kesan UU No. 3 Tahun 1971 tidak
bisa digunakan lagi sejak tanggal diundangkannya UU 31 Tahun 1999, yaitu tanggal 16
Agustus 1999, sebab UU 31 tahun 1999 tidak dilengkapi Aturan Peralihan, juga dengan
merujuk asas umum dalam pasal 1 KUH Pidana UU Pidana hanya berjalan ke depan dan

7
tidak berlaku surut, maka UU No. 31 Tahun 1999 hanya dapat digunakan terhadap perbuatan
korupsi yang terjadi setelah tanggal 16 Agustus 1999.

Untuk mengatasi dilema demikian maka, aparat penegak hukum seyogianya merujuk
pada Pasal 1 KUHPidana, Pasal 1 ayat (1) KUHPidana menegaskan UU Pidana hanya
berjalan ke depan dan tidak berlaku surut, perbuatan pidana diadili berdasarkan UU Pidana
yang sudah ada sebelum perbuatan pidana itu terjadi, dan bukan berdasarkan UU Pidana yang
baru.

Komisi Pemberantasan Korupsi

Berdasarkanm ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK) yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal 43 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa tugas dan


wewenang KPK adalah melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Selanjutnya sebagai dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana


diamantkan Pasal 43 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dikeluarkanlah Undang-Undang
No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tugas KPK diatur secara rinci dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 30 tahun 2002,
yaitu: 19

koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana


korupsi

supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana


korupsi

8
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Mengacu pada pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK memiliki kewenangan yang
juga dapat dilakukan oleh pihak penyidik, yaitu diantaranya, menyadap dan merekam
pembicaraan, memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri, meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa, memerintahkan
kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil
dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait, meminta data kekayaan
dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait. Dan sebagai
sebuah lembaga yang memiliki kewenangan super, KPK sebenarnya punya senjata untuk
memangkas jalur birokrasi untuk mengusut pejabat negara yang diduga ‘makan uang haram’
itu. Dalam Pasal 12 huruf e Undang-undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK mempunyai kewenangan untuk memerintahkan
kepada pimpinan atau atasan tersangka korupsi agar tersangka diberhentikan sementara dari
jabatannya.[11]

Atas tugas yang diemban oleh KPK, maka KPK diberikan wewenang[12]:

Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan,


penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya
yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik.

Dalam melaksanakan wewenang tersebut maka KPK berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan
oleh kepolisian atau kejaksaan.

Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan
wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain
yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal
diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

9
Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian
atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK
dapat dilihat dengan jelas dalam penjabaran Pasal 6 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
seperti telah disebut di atas. Dalam pasal tersebut terlihat betapa besar peran, tugas dan
wewenang dari KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, mengenai hal
ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, KPK:

dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi
yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi
dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif

tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism)

berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

Dari penjelasan umum ini, maka disimpulkan bahwa komisi harus menjadikan
Kepolisian maupun Kejaksaan sebagai ‘counter partner’ yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Hal ini dapat dipahami
mengingat keberadaan KPK tidak sampai pada daerah-daerah terutama Kabupaten dan
Kotamadya. Apabila KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sendiri akan
mengakibatkan timbulnya berbagai kesulitan serta pembengkakan pembiayaan yang sangat
besar. Sehingga untuk penyidikan dan penuntutan dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri atau
Kejaksaan Tinggi secara teknis dan praktis dengan tetap di bekerjasama dan supervisi oleh
KPK.[13]

Demikian pula tentang fungsi KPK untuk tidak memonopoli penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan serta fungsi lainnya, yaitu sebagai pemicu dan pemberdaya institusi dan
fungsi melakukan supervisi dan memantau instansi yang telah ada, menandakan bahwa dalam
hubungan fungsional antara KPK dengan Kejaksaan dan/atau Kepolisian akan tetap

10
memberikan peran yang besar kepada kedua lembaga terdahulu itu untuk melaksanakan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Selain itu dalam Undang-undang juga diberikan persyaratan terhadap perkara yang
dapat diambil alih oleh KPK, yaitu[14] :

Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti

proses penaganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan

penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana
korupsi yang sesungguhnya

penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi

hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif,
yudikatif, atau legislatif; atau

keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak
pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak


pidana korupsi, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang[15] :

melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara

mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pembatasan lain bagi KPK adalah selama menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK
tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam
perkara tindak pidana korupsi. Proses peradilan terhadap perkara tindak pidana korupsi
dilaksanakan dengan menggunakan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 30 tahun 2002 Tentang

11
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 8 tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang No. 30 tahun 2002 merupakan
ketentuan khusus mengenai hukum acara pengadilan tindak pidana korupsi. Sedangkan
KUHAP merupakan ketentuan yang bersifat umum dalam hukum acara pidana di peradilan
umum. Dalam pelaksanaannya, ketiga undang-undang tersebut saling melengkapi. Hal ini
dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 26 Undnag-Undang No. 31 Tahun 1999, Pasal 38 ayat
(1) Undang-undang No. 30 tahun 2002 dan dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 62 Undang-
undang No. 30 tahun 2002.

Ketentuan di atas menandakan berlakunya asas hukum lex specialis derogat legi
generalis, karena ketentuan yang tidak ditentukan lain dalam undang-undang yang bersifat
khusus ini (Undang-undang No.31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 30 Tahun 2002)
akan tetap menggunakan ketentuan dalam undang-undang yang bersifat umum (KUHAP).
Untuk itu dalam hal ditentukan lain oleh Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-
undang No. 30 Tahun 2002, maka hal yang sama yang diatur dalam Undang No. 8 tahun
1981 tidak berlaku. Akan tetapi apabila hal tersebut tidak ditentukan lain maka yang berlaku
adalah ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981. Pengecualian atas
ketentuan tertentu melalui penggunaan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.

Analisis Hukum Pengaturan Tindak Pidana Korupsi diI Indonesia

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sekarang, yaitu


UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh UU No 20 tahun 2001, dianggap belum
mengakomodir ketentuan yang terdapat dalam United Nation Convention Againts Corruption
(UNCAC, Konvensi PBB tentang Anti Korupsi). UNCAC yang ditandatangani di Merida,
Mexico, pada tahun 2003 lalu, telah diratifikasi Indonesia ke dalam UU No. 7 tahun 2006
pada tanggal 18 April 2006.

Salah satu hal baru yang perlu diatur adalah mengenai penyuapan terhadap pejabat
publik asing, karena sampai saat ini belum ada satu pun peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Hal tersebut dikarenakan Indonesia telah meratifikasi UNCAC.

Hal lain adalah tumpang tindihnya definisi Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara
yang terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001.

12
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka untuk pemberantasan
korupsi baik pemerintah dan DPR telah banyak mengeluarkan Produk Perundang-undangan
ada mulai dari Undang-Undang No. 3 tahun 1971, Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dan
Undang-Undang No. 20 tahun 2001, namun korupsi masih subur di Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan perangkat hukum yang ada masih terdapat adanya cela-cela hukum yang
memungkinkan terjadinya Tindak Pidana Korupsi. Selain itu tidak ada koordinasi yang baik
antara Lembaga-lembaga yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi seperti Mahkamah
Agung, Kepolisian, Kejaksaan, Badan Pemeriksaan Keuangan dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta adanya
dualisme Pengadilan Korupsi..

13

Anda mungkin juga menyukai