Anda di halaman 1dari 9

PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

SEBAGAI UPAYA MEMINIMALISASI KERUGIAN NEGARA

A. Latar Belakang

Tindak Pidana Korupsi semakin merajalela di tanah air selama ini tidak saja

merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, tetapi juga telah merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat

pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat

adil dan makmur. Tipikor tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi

telah menjadi kejahatan luar biasa. Metode konvensional yang selama ini digunakan

terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka

penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa. Di Indonesia, aktivitas

dari tindak pidana korupsi ini semakin tidak terkendali, perbuatan ini tidak saja akan

berdampak terhadap kehidupan nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan

bernegara pada umumnya. Praktik korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi, baik

legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, serta telah pula menjalar hingga ke dunia usaha.

Korupsi tidak saja akan menggerus struktur kenegaraan secara perlahan, akan tetapi

menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang terdapat dalam negara (Mulyadi,

2013). Kondisi tersebut apabila dibiarkan berlarut-larut akan menjadi salah satu faktor

penghambat utama pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Di mata internasional, tidak

dapat dipungkiri bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara terkorup di dunia

(Anwar & Adang, 2008).

Mengingat bahwa salah satu unsur Tipikor di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.

31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1
adalah adanya unsur kerugian keuangan negara, unsur tersebut memberi konsekuensi

bahwa pemberantasan Tipikor tidak hanya bertujuan untuk membuat jera para Koruptor

melalui penjatuhan pidana penjara yang berat, melainkan juga memulihkan keuangan

negara akibat korupsi sebagaimana ditegaskan dalam konsideran dan penjelasan umum

UU Tipikor. Kegagalan pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi ‗makna‘

penghukuman terhadap para koruptor (Syamsudin, 2011). Pada dasarnya pengembalian

aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban Tipikor untuk

mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil Tipikor dari pelaku Tipikor

melalui rangkaian proses dan mekanisme baik secara pidana dan perdata. Aset hasil

Tipikor baik yang ada di dalam maupun di Luar Negeri dilacak, dibekukan, dirampas,

disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara yang diakibatkan oleh Tipikor dan

untuk mencegah pelaku Tipikor menggunakan aset hasil Tipikor sebagai alat atau sarana

tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi pelaku atau calon pelaku.

Pengembalian aset Tipikor melalui jalur perdata terdapat pada ketentuan-ketentuan pada

Pasal 32 ayat (1), Pasal 34, Pasal 38B ayat (2) dan (3) UU Tipikor. Pertama, Ketentuan

Pasal 32 ayat (1) mengatur bahwa dalam hal penyidik berpendapat tidak terdapat cukup

bukti pada satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi sedangkan secara nyata telah ada

kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil

penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara.

B. Pembahasan

Dalam hukum positif, penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana,

menemukan pelaku, serta memasukkan pelakunya ke dalam penjara (follow the suspect)

semata belum efektif dalam menekan terjadinya kejahatan jika tidak dibarengi dengan

upaya menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana. Keadaan tersebut

semakin menemukan kebenarannya jika dihubungkan dengan kejahatan yang bermodus

2
ekonomi seperti korupsi. Dalam tindak pidana korupsi keuntungan materiil merupakan

salah satu karakteristik tindak pidananya. Hal itu secara gamblang terlihat dari rumusan-

rumusan pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti

memperkaya, menguntungkan, menerima pemberian, menggelapkan uang atau surat

berharga serta beberapa terminologi lain yang menunjukkan karakteristik modus

ekonominya. Maka, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi juga harus

berfokus pada sisi keuntungan ekonomi sehingga dapat memulihkan kerugian yang

dialami negara akibat korupsi. Upaya menyita dan merampas hasil serta instrumen tindak

pidana yang khususnya dalam tindak pidana korupsi sebelumnya sudah diinisiasi dalam

beberapa peraturan perundang-undangan. Antara lain dalam Peraturan Penguasa Perang

Pusat Nomor: PRT.PEPERPU/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntuan, dan

Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda yang mengatur bahwa

terdapat kekuasaan bagi pemilik harta benda untuk menyita harta benda seseorang atau

suatu badan apabila setelah mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan

keadaan tertentu dan bukti-bukti lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta

benda itu termasuk dalam harta yang dapat disita dan dirampas. Selain itu, pengaturan

yang mendasarinya juga termuat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana

Korupsi.

Dalam perppu tersebut mengatur bahwa segala harta benda yang diperoleh dari

korupsi di rampas, dan terdakwa dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang

jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menjadi salah

satu dasar untuk melakukan perampasan aset atas seseorang yang meninggal dunia,

sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi telah melakukan

3
tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan Penuntut Umum memutus perampasan

atas barang-barang yang telah disita melalui putusan pengadilan. Berlakunya Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 merupakan hukum positif sebagai landasan dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Undang-Undang ini telah mencakup

pula ketentuan-ketentuan terkait upaya pemulihan aset atas kerugian negara akibat tindak

pidana korupsi. Diantara upaya yang termuat dalam pengaturan tersebut selain melalui

penyitaan dan perampasan juga terdapat ketentuan pembalikan beban pembuktian

terhadap kekayaan pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam hukum positif adalah

sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara sebagai korban tindak pidana

korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana

korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan perdata, aset

hasil tindak pidana korupsi, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri dilacak,

dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara sebagai korban

tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang

diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana

korupsi menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk

melakukan tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon

pelaku tindak pidana korupsi. Pengembalian aset-aset atau dapat dikatakan dengan

pengembalian keuangan negara dari hasil tindak pidana korupsi menarik untuk dicermati.

Upaya yang telah termuat dalam peraturan perundang-undangan untuk menjamin

terpulihkannya kerugian negara antara lain melalui perampasan aset hasil tindak pidana

korupsi; pembuktian terbalik dalam rangka optimalisasi pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi; pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata;

4
dan pidana pembayaran uang pengganti dalam rangka pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi.

Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak

melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam

undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan

pengadilan (Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor). Kedua ketentuan ini menjadi celah yang

sangat mudah disiasati oleh koruptor untuk tidak mengembalikan atau membayar uang

pengganti. Pidana uang pengganti tidak memiliki pidana alternatif seperti pidana denda

yang dapat disubsider dengan pidana kurungan, dan karenanya menurut Nur Syarifah

adalah bukan menjadi kesempatan bagi terpidana untuk memilih pidana mana yang akan

dijalankannya. Parahnya, rumusan tersebut oleh Kejaksaan justru dimaknai sebagai

sebuah pilihan. Hal ini sebagaimana diakui oleh Direktur Upaya Hukum dan Eksekusi

Kejaksaan Agung Puji Basuki yang menegaskan bahwa penggunaan kata subsider pada

pidana penjara pengganti dimaknai Jaksa Penuntut Umum sebagai sebuah pilihan.

Pendapat sejalan juga diadopsi dalam peraturan internal Kejaksaan yaitu dalam

Keputusan Jaksa Agung (Kepja) Nomor KEP-518/J.A/11/2001. Dalam Kepja tersebut

disebutkan bahwa salah satu tahapan eksekusi uang pengganti adalah menanyakan

sanggup tidaknya terpidana membayar uang pengganti. Kalimat menanyakan sanggup

tidaknya terpidana membayar uang pengganti‖ tersebut jelas menegaskan bahwa

terpidana dapat memilih antara menyatakan sanggup atau tidak sanggup membayar uang

pengganti. Pemilihan ini jelas telah menyimpang dari arti subsider yang sebenarnya,

yaitu dari sebuah pengganti apabila hal pokok tidak terjadi, menjadi sebuah pilihan.

Kondisi ini pun pada akhirnya dimanfaatkan oleh para terpidana yang didukung dengan

kondisi dan keterbatasan penanganan perkara korupsi untuk dapat dengan mudahnya

5
mengaku tidak lagi mempunyai harta untuk membayar uang pengganti, dan memilih

pidana penjara pengganti sebagai yang lebih menguntungkan baginya, terlebih didukung

dengan adanya kemungkinan terpidana bebas lebih cepat karena pemberian remisi pada

waktu-waktu tertentu. Jika penjatuhan uang pengganti dianggap sebagai sebuah pilihan,

maka upaya memulihkan keuangan Negara sebagai tujuan penegakan tindak pidana

korupsi tidak akan tercapai.

Adapun masalah lain daripada dalam menerapkan pidana pembayaran uang

pengganti, yaitu dihadapi oleh Jaksa dalam hal gugatan perdata. Pasal 32 ayat (1) UU

Tipikor mengatur bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu

atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara

nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas

perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan

gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan

gugatan. Meskipun sudah ada landasan yang demikian, akan tetapi Jaksa selaku

pengacara negara dalam melakukan penuntutan pertanggung-jawaban perdata terhadap

pelaku tindak pidana korupsi dan ahli warisnya sering kali terkendala oleh 2 (dua) faktor,

antara lain: faktor yuridis tindak pidana korupsi, yaitu tidak adanya surat kuasa dari

negara c.q. instansi yang dirugikan kepada Jaksa pengacara negara karena kesulitan

dalam pembuktian, terpidana pelaku korupsi mempergunakan upaya hukum dan grasi,

dan jaksa penyidik tidak melakukan penyitaan terhadap harta benda pelaku tindak pidana

korupsi; dan faktor non yuridis tindak pidana korupsi, terdiri dari harta terpidana tidak

mencukupi untuk membayar uang pengganti kerugian negara, tidak tersedianya anggaran

biaya untuk mengajukan gugatan dan kurangnya sumber daya manusia yang potensial.

Kendala kepada Jaksa lainnya yaitu dalam hal pelacakan aset hasil tindak pidana

korupsi. Fungsi asset tracing adalah melacak dan mengidentifikasi harta kekayaan

6
tersangka maupun pihak yang terkait dalam tindak pidana korupsi, serta memberikan

dukungan data kepada penyidik dalam upaya penyiapan pembayaran uang pengganti.

Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor bahwa

pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta

benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. kegiatan pelacakan aset ini diarahkan

untuk mendeteksi sejak awal (sejak tahap penyidikan) seluruh harta kekayaan tersangka

dan atau keluarga yang mencurigakan dan tidak sesuai dengan profilnya yang diduga

sebagai hasil tindak pidana korupsi.

C. Kesimpulan

Penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana, menemukan pelaku,

serta memasukkan pelakunya ke dalam penjara semata belum efektif menekan terjadinya

tindak pidana korupsi jika tidak dibarengi dengan upaya menyita dan merampas hasil dan

instrumen kejahatannya. Selain itu, penanganan tindak pidana korupsi tidak semata untuk

memidana pelaku namun juga harus memulihkan keuangan negara. Upaya yang telah

termuat dalam peraturan perundang-undangan untuk menjamin terpulihkannya kerugian

negara antara lain melalui: perampasan aset hasil tindak pidana korupsi; pembuktian

terbalik dalam rangka optimalisasi pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi;

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata; dan pidana

pembayaran uang pengganti dalam rangka pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi.

Upaya-upaya yang telah diakomodir dalam peraturan perundang-undangan

untuk memaksimalkan pemulihan kerugian negara terkendala beberapa aspek baik dari

sisi personal penegak hukum maupun pengaturan. Dari sisi regulasi, aturan terkait

perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang mengacu kepada KUHP, KUHAP, dan

7
UU Tipikor belum dirasa memadai untuk memberikan dasar pijakan dalam melakukan

perampasan dan pengembalian aset. Sehingga pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi dalam sistem hukum di Indonesia belum dapat diberlakukan dan dilakukan

secara efektif.

8
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Anwar, Y., & Adang, A. (2008). Pembaharuan Hukum Pidana (Reformasi Hukum di

Indonesia). Jakarta: Grasindo.

Mulyadi, L. (2013). Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT

Alumni.

Syamsudin, A. (2011). Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1960

tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Anda mungkin juga menyukai