Anda di halaman 1dari 5

UJIAN AKHIR SEMESTER

Nama : Cesylia Anggita Fitri


NIM : 170200097
Hari/Tanggal : Jumat/22 Januari 2021
Dosen : Prof.Syafruddin Kalo,S.H.,M.Hum M. Din Al-Fajar,S.H.,M.H

1. Pasal 3 UU No.7 drt 1995 merupakan perluasan berlakunya ketentuan pidana dalam
ekstra teritorial , jelaskan!
Jawab:
Asas teritorial juga diperluas dalam ketentuan Pasal 3 yang berbunyi “Ketentuan-ketentuan
pidana menurut Undang-undang Indonesia itu dapat diberlakukan terhadap setiap orang yang
di luar negara Indonesia telah bersalah melakukan suatu tindak pidana (tertentu) di atas alat
pelayaran Indonesia.”
Tentang apa yang dimaksud dengan “alat pelayaran Indonesia”, undang-undang sendiri tidak
memberikan penjelasannya. Akan tetapi perkataan “alat pelayaran itu sendiri dapat kita jumpai
dalam Pasal 94 KUHP yang berbunyi: termasuk ke dalam pengertian kapal Indonesia adalah
alat-alat pelayaran yang menurut Undang-undang Indonesia mengatur masalah pemberian
surat-surat laut dan pemberian izin mempergunakan bendera Indonesia.
Dengan demikian, maka Undang-undang pidana Indonesia itu juga dapat diberlakukan
terhadap setiap orang di atas kapal-kapal negara asing yang berada di wilayah perairan negara
kita, yang diketahui telah melakukan suatu perbuatan terlarang, di mana menurut Undang-
undang pidana yang berlaku di negara kita, pelaku tersebut dinyatakan dapat dihukum.

2. Hukum pidana ekonomi mengatur badan-badan dan pegawai penghubung, jelaskan


mengapa itu diatur!
Jawab: Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana, dan dalam
hukum pidana ekonomi, diperlukan badan-badan pegawai penghubung maksudnya yaitu badan
atau pegawai yang ahli dalam perekonomian.

3. Terhadap perkara tindak pidana ekonomi menurut UU No. 21/prp 1959 dikenakan
sanksi pidana yang sifat kumulatif, jelaskan tujuan pidana sifat kumulatif!
Jawab:
Hukuman kumulatif adalah hukuman yang sanksi hukumannya hukuman berganda, hukuman
penjara kurungan dan pidana denda. Hukuman kumulatif adalah jika satu orang melakukan
beberapa tindak pidana pada waktu yang bersamaan. Hukuman maksimum baru dapat
ditambah dengan sepertiga, jika seseorang melakukan kejahatan. Jadi sesudah tahun 1959,
dengan dikeluarkangya UU No 5/PNPS/1959, maka yang dipakai hanya sistem penjatuhan
pidana, ialah sistem kumulatif, artinya hakim harus menjatuhkan pidana pokok lebih dari 1
(satu) macam. Misalnya pidana penjara dan pidana denda. Dengan demikian, maka sejak tahun
1959, dengan keluarnya peraturan tersebut di atas, maka hakim dalam putusannya harus
menjatuhkan pidana kumulatif, dimana tidak dimungkinkan lagi penjatuhan pidana penjara
saja atau pidana denda saja.

4. Jelaskan secara teoritis bagaimana agar tujuan UU No.31 Tahun 1999 Jo UU.20 Tahun
2001 dapat tercapai dari sistem pemidanaan!
Jawab:
Agar tujuan UU No 31 tahun 1999 jo UU 2o Tahun 2001 dapat tercapai maka dapat
dilaksanakan melalui dua cara. Pertama, secara langsung melalui pembenahan sistem tata
kelola kekuasaan dan Keuangan Negara, seperti kontrol ketat aliran dana-dana ke daerah,
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Keuangan Negara, meningkatkan efisiensi negara
(state-efficiency), memperkuat peran KPK di bidang pencegahan korupsi, pengawasan
terhadap kinerja badan-badan penegak hukum dan keadilan seperti kepolisian, kejaksaan, dan
kehakiman serta memutus mata rantai aturan berbelit-belit yang membuka ruang bagi praktek
korupsi; kedua, secara tidak langsung antara lain pendidikan kebiasaan (habitus) tidak korup,
hidup sederhana, jujur, disiplin, dan tanggung jawab.

5. Penyalahgunaan wewenang dikenal dalam hukum administrasi berarti


penyalahgunaan wewenang bukan tindak pidana , jelaskan secara teoritis apa tolak ukur
telah terjadi dalam penyalahgunaan wewenang merupakan tindak pidana korupsi!
Jawab:
Yang dimaksud adalah apakah tindakan “menyalahgunakan wewenang” itu harus berupa
keputusan yang bertentangan atau menyalahi suatu aturan yang ia keluarkan karena jabatan
atau kedudukan yang dimilikinya atau tidak. tindakan menyalahgunakan wewenang dalam
melakukan tindak pidana korupsi tidak harus selalu berupa dikeluarkannya keputusan yang
bertentangan atau menyalahi suatu aturan. Cukup perbuatan itu melanggar aturan tertulis
sebagai dasar kewenangannya, memiliki maksud yang menyimpang, dan berpotensi merugikan
negara, maka perbuatan tersebut sudah dikatakan sebagai menyalahgunakan wewenang. Di
samping itu, jika dilihat dari perspektif HAN, apabila tindakan yang ia lakukan itu melampaui
batas kekuasaannya atau secara sewenang-wenang, maka tindakan tersebut juga dikategorikan
sebagai penyalahgunaan wewenang.

Teori lain soal penyalahgunaan wewenang juga disebutkan dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 977 K/PID/2004. Dalam putusan tersebut dikatakan bahwa pengertian
"menyalahgunakan kewenangan" tidak ditemukan eksplisitasnya dalam Hukum Pidana, maka
Hukum Pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau
berasal dari cabang hukum lainnya. Hal ini berangkat dari hukum pidana mempunyai otonomi
untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang
ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika Hukum Pidana tidak menentukan lain, maka
dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya
6. Jelaskan secara sistematis asas rekroaktif dalam UU Terorisme tidak bertentangan
dengan asas legalitas!
Jawab:
Pemberlakuan asas retroaktif pada tindak pidana terorisme didasarkan pada pemikiran
bahwa terorisme kini tidak lagi dipandang sebagai kejahatan biasa, namun sudah
masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), atau bahkan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crime againts humanity). Maka ini tidak bertentangan dengan asas
legalitas yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

7. Kebijakan legislatif dan eksekutif sudah banyak dikeluarkan untuk memberantas


tindak pidana korupsi , jelaskan kebijakan dihubungkan dengan sistem pemidanaan
dalam UU No. 31/1999 dan UU No. 20/2001!
Jawab:
Dilihat dari sudut “strafmaat”(ukuran jumlah/lamanya pidana), aturan pemidanaan dalam
KUHP berorientasi pada sistem minimal umum, maksimal khusus dan maksimal umum, tidak
berorientasi pada sistem minimal khusus. Jika dalam UU khusus membuat ancaman pidana
minimal khusus, maka harus disertai juga dengan aturan/pedoman penerapannya. Selain itu
juga perlu diperhatikan untuk rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999. Masalah
perbandingan antara minimal khusus dan maksimal khususnya. Sebaiknya ada pola khusus
yang seharusnya diikuti dalam rumusan-rumusan Pasal lainnya. Misalnya dalam Pasal 2 ayat
(1) perbandingannnya adalah 1:4 sementara dalam Pasal 3 perbandingannya adala 1:20.
Sebaiknya ada pola yang sama yang diterapkan dalam setiap Pasal dalam perumusan ketentuan
tentang minimal khusus. Selain itu harus tetap memperhatikan azas umum tentang
pertanggungjawabab pidana adalah “Asas geen straf zonder Schuld” tiada pidana tanpa
kesalahan. Perumusan suatu aturan perundang-undangan harus memenuhi syarat tentang
perumusan norma secara tertulis(lex Scripta), jelas(lex Certa). perumusan sanksi antara Pasal
2 dan Pasal 3 Undang-undang ini bertentangan dengan ketentuan umum tentang sanksi yang
diatur dalam KUHP. Dalam KUHP menentukan jika suatu perbuatan dilakukan karena jabatan
dan menyalahi wewenang maka merupakan pemberatan pidana, sementara dalam undang-
undang ini pada Pasal 3 yang merupakan perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2
tetapi dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan tetapi ancamannya lebih ringan dibandingkan pada
Pasal 2.

8. Jelaskan fungsi dan wewenang PPATK, serta dasar hukumnya!


Jawab:
• Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang, PPATK berwenang:
1. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau
lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari
instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi
tertentu;
2. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan;
mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi
terkait;
3. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak
pidana Pencucian Uang;
4. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional
yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;
5. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan
menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian
Uang.
6. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang;
7. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang.
• Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan
informasi, PPATK dapat:
1. meminta dan menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor;
meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;
2. meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis
PPATK;
3. meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan permintaan dari instansi
penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri;
4. meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam
maupun di luar negeri;
5. menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak
pidana Pencucian Uang;
6. meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan
tindak pidana Pencucian Uang;
7. merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan
intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian
Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;
8. meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang;
9. mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan
10. meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.

• Dasar hukum PPATK


1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 91 Tahun 1999 Tentang Jaringan
Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional sebagaimana telah dicabut dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 33 Tahun 2012 Jaringan Dokumentasi dan
Jaringan Informasi Hukum Nasional;
2. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 02 Tahun 2013 tentang
Standardisasi Teknis Pengelolaan JDIHN.
3. Pasal 52 Peraturan Kepala PPATK Nomor PER-07/1.01/PPATK/08/12 tentang
Organisasi dan Tata Kerja PPATK, pelaksanaan sistem jaringan dokumentasi hukum
menjadi tugas Kelompok Legislasi pada Direktorat Hukum PPATK.

Anda mungkin juga menyukai