Anda di halaman 1dari 12

" PENDIDIKAN ANTI KORUPSI "

DOSEN : Dr. Drs Simon Suddin. M.Si

MAHASISWA : MARIA LASMINI

NIM :(1706090056)

KELAS :B

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
2020
A. MENANGGAPI UU/PERPRES TENTANG KORUPSI
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya
terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah
kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan
semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan
masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak
saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan
karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam
upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara
yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan
metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus
yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan
secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan
landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai
kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain
dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi,
termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai
pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan
wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang
tersebut di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah
dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan
lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu
pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini
dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan
berbagai instansi tersebut.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang :
1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1. dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang
telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2. tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
3. berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
4. berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan.
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung
oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:
1. ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta
ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;
2. ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan
tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa
ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;
3. ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik
dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
4. ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan
5. ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan
Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.

Mungkin korupsi sudah tak asing lagi bagi bangsa kita yaitu Indonesia, Indonesia
menjadi salah satu negara didunia sebagai negara yang tingkat korupsinya termasuk
besar. Dari pejabat tinggi negara sampai bawahanya pun banyak yang telah menjadi
pelaku korupsi atau koruptor.
Di Indonesia sebenarnya memeiliki sebuah lembaga pemberantasan korupsi atau yang
lebih umum disebut dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), mereka merupakan
kumpulan orang-orang yang terhormat yang diberi kepercayaan untuk mengidentifikasi
dan mencari siapa-siapa saja yang terlibat dalam kasus korupsi. para Koruptor memang
sudah seharusnya dihukum benar? Indonesia juga sudah memiliki perundang-undangan
yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, berikut beberapa peraturanperundang-
undangan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi :
1. Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
2. Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.

3. Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001


Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya.

4. Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001


Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau.
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan
dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

5. Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001


Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya.
6. Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan.

7. Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999


Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undangundang ini.

Oleh karena itu untuk mencapai suatu tujuan pembangunan yang nasional maka korupsi
harus dan wajib untuk di berantas. Dalam penanganan suatu kasus korupsi, hukuman
yang diberikan harus memiliki efek yang jera agar para koruptor yang melakukan korupsi
tidak mengulanginya lagi. Kita sebagai warga negara Indonesia wajib memiliki sikap dan
sifat budaya malu yang tinggi agar tindakan korupsi yang dapat merugikan negara
Indonesia ini dapat di minimalisir. Negara Indonesia merupakan negara hukum. Jadi,
semua warga negara Indonesia juga memiliki derajat dan perlakuan yang sama di mata
hukum. Oleh karena itu, penindakan hukum bagi pelaku korupsi harus di lakukan kepada
siapapun orangnya, tidaklah boleh pilih kasih, baik itu pejabat maupun masyarakat kecil
(Rakyat). Jadi, korupsi yang terjadi di Indonesia benar - benar harus di berantas agar
Indonesia bersih seutuhnya dari tindakan korupsi, agar kehidupan masyarakat indonesia
menjadi sejahtera dan damai.

B. SISTEM BERNEGARA DI INDONESIA YANG MENYEBABKAN TERJADINYA


KORUPSI

Indonesia ada;ah sebuah Negara kesatuan. Akan tetapi sistem pemerintahan di Indonesia
belumlah baik. Proses penyusunan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban
anggaran belum sepenuhnya dilakukan dengan baik. Proses dalam pemerintahan yang tidak kuat
akan memberikan celah kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Dalam
kapitalisme perkoncoan di Indonesia, kolusi pengusaha dan pejabat dapat juga dilakukan untuk
mengakali sistem pemerintahan yang belum kuat ini. Dengan mengakali peraturan maka
pengusaha akan bebas dalam mencari keuntungan melalui proyek pemerintah. Hubungan antara
faktor kesempatan dan kapitalisme tidak hanya dalam bentuk untuk mendapatkan proyek. Yang
paling celaka adalah ketika melakukan penyusunan UU. Dalam penyusunan UU, korporasi akan
melakukan suap kepada pihak pembuat UU sehingga korporasi dapat bebas mencari keuntungan.

Kasus korupsi di Indonesia yang sering ditemui adalah kasus suap dan gratifikasi.
Dengan meninjau kasus korupsi tersebut dengan faktor eksternal penyebab korupsi maka dapat
dipahami korelasinya dengan kapitalisme. Dalam kapitalisme, yang dipentingkan adalah
mendapatkan keuntungan. Sedangkan cara yang paling mudah mendapatkan keuntungan adalah
dengan memberikan suap atau gratifikasi kepada pejabat sehingga suatu korporasi memenangkan
suatu proyek. Mendapatkan suatu proyek berarti mendapakan keuntungan. Dalam sistem
kapitalisme, terdapat dorongan dari sistem untuk terjadinya korupsi karena korporasi didorong
untuk mencari keuntungan.

Faktor terakhir yang menyebabkan adanya korupsi adalah pembenaran sikap. Akibat dari
sistem yang tidak benar yang berakumulasi bertahun-tahun akan menyebabkan faktor ini menjadi
nyata. Celakanya, di Indonesia faktor pembenaran sikap ini sudah nampak. Terdapat
kecenderungan untuk melakukan korupsi dikarenakan seseorang tersebut menganggap bahwa
tidak hanya dirinya saja yang melakukuan. Kecenderungan ini sayangnya tidak hanya dialami
oleh satu orang saja sehingga menyebabkan efek berganda yang menyebabkan pembenaran
untuk melakukan korupsi di suatu lingkungan. Dalam kapitalime, korporasi-korporasi juga
berpikiran demikian. Mereka menganggap bahwa tidak hanya dirinya saja yang melakukan suap
kepada pejabat. Sehingga, lama-kelamaan akan terbentuk suatu pemikiran bahwa menyuap
pejabat untuk mendapatkan proyek adalah hal yang wajar.

Untuk memahami bagaimanakah korupsi telah merasuk dalam kehidupan di Indonesia


perlu dilakukan telaah terhadap kasus-kasus korupsi yang ada. Di Indonesia, sistem
pemerintahan masih sangat lemah dan buruk. Hal ini menyebabkan orang baik yang masuk
dalam sistem akan dapat ikut melakukan korupsi. Di Indonesia, korupsi sudah menjalar ke
berbagai institusi. Korupsi tidak hanya dilakukan dari pemerintah daerah tetapi juga sampai ke
pemerintah pusat. Korupsi tidak hanya terjadi pada eksekutif dan legislatif tapi juga pada
yudikatif. Selain itu, bahkan korupsi pun juga ada di dalam dunia pendidikan.

C. JENIS KORUPSI DAN DEFENISI KORUPSI

 Defenisi Korupsi

Definisi Korupsi dan Jenis Korupsi.

Korupsi berasal dari perkataan bahasa latin “corruptio” yang berarti kerusakan atau
kebrobokan. Di samping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau
perbuatan yang buruk. Korupsi juga banyak yang disangkutkan pada ketidakjujuran
seseorang dalam bidang keuangan.

Soedjono D mengemukakan bahwa menurut “New World Dictionary of The American


Language”, bahwa sejak abad pertengahan Inggris menggunakan kata “corruption” dan
Perancis “corruption”. Kata korupsi mengandung arti :

- Perbuatan atau kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk;

- Perilaku yang jahat yang tercela atau kebejatan moral;

- Kebusukan atau tengik;

- Sesuatu yang dikorup, seperti yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu
kalimat;

- Pengaruh-pengaruh yang korup.

J.E. Sahetapy mengemukakan banyak istilah tentang korupsi di beberapa negara seperti
di Muangthai “ginmoung”, yang berarti “makan bangsa”; “tanwu” istilah bahasa Cina yang
berarti “keserakahan bernoda”. Jepang menamakannya “oshoku” yang berarti “kerja kotor”.
Menurut A.S. Hornby c.s., “corruption” ialah “the offering and accepting ”of bribes”,
(pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap) di samping diartikan juga “decay”
yaitu kebusukan atau kerusakan. Yang dimaksudkan dengan busuk atau rusak itu ialah moral
atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi, sebab seseorang yang bermoral baik,
tentu tidak akan melakukan korupsi.

Dari segi istilah, Hermien Hadiati mengemukakan bahwa “korupsi” berasal dari kata
“corrupteia” yang dalam bahasa Inggris berarti “bribery” atau “seduction”, yang diartikan
“corrupter” atau “seducer”. Dari kata “bribery” tersebut kemudian dapat diartikan sebagai
memberikan/ menyerahkan kepada seorang agar orang tadi berbuat untuk/guna keuntungan
(dari) pemberi. Sedangkan yang diartikan dengan “seduction” ialah sesuatu yang menarik
untuk membuat seseorang menyeleweng.

Seduction ialah very attractive and charming, likely to lead a person astray (but often with no
implication of immorality). Sedang “bribery” ialah promised to subject in order to get him to
do something (often something wrong) in favour of the giver.

Hermien Hadiati Koeswadji menyimpulkan : dari dua kata terhadap arti “corrupteia”
tersebut menunjuk kepada sesuatu yang bersangkut paut dengan ketidakjujuran seseorang
dalam hubungannya dengan sifatnya yang menarik, atau demi untuk keuntungan yang
memberi (in favour, charming) bahkan yang bisa membuat seseorang menyeleweng (likely to
lead a person astray).

Menurut Soedjono D, John A. Gardiner dan David J. Olson dalam bukunya berjudul :
“Theft of The City” Readings an Corruption in Urban America, berusaha memberi arti umum
tentang korupsi dari berbagai sumber dengan pengelompokan sebagai berikut :

1. Yang dijelaskan dalam Oxford English Dictionary untuk menjelaskan makna korupsi
mengkategorikan dalam tiga kelompok sebagai berikut :

a. Secara fisik, misalnya perbuatan pengrusakan atau dengan sengaja menimbulkan


pembusukan dengan tindakan yang tidak masuk akal serta menjijikkan;

b. Secara moral, bersifat praktis yaitu membuat korup moral seseorang atau bisa berarti
fakta kondisi korup dan kemerosotan yang terjadi dalam masyarakat;
c. Penyelewengan terhadap kemurnian, seperti misalnya penyelewengan dari norma sebuah
lembaga sosial tertentu, adat istiadat dan seterusnya. Perbuatan ini tidak cocok atau
menyimpang dari nilai kepatutan kelompok pergaulan. Penggunaan istilah korupsi dalam
hubungannya dengan politik diwarnai oleh pengertian yang termasuk kategori moral.

2. Rumusan menurut perkembangan ilmu-ilmu sosial; kelompok terbesar penulis ilmu-ilmu


sosial mengikuti rumusan-rumusan di atas atau mengambil salah satu bentuk kategori dasar
yang telah disebut. Dalam arti fisik, moral penyelewengan atau salah satu daripadanya. Para
ilmuwan sosial pada umumnya mengaitkan definisi mereka tentang korupsi terutama
ditujukan pada kantor pemerintahan (instansi atau aparatur). Sedangkan kelompok yang lebih
kecil mengembangkan definisi yang berhubungan dengan permintaan dan penawaran serta
menekankan pada konsep-konsep yang mengambil dari teori-teori ekonomi. Dan sebagian
lagi membahas korupsi dengan pendekatan kepentingan masyarakat;

3. Rumusan yang menekankan pada jabatan dalam pemerintahan.

Definisi korupsi yang berkaitan dengan konsep jabatan dalam pemerintahan dan
penyimpangan terhadap kaedah hukum dan etika pemegang jabatan yang bersangkutan,
dituliskan Baycley sebagai berikut : Perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan
penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai
akibat adanya perkembangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.

 Jenis dan Bentuk Korupsi

Ada banyak sekali bentuk dan contoh tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat, mulai
dari pegawai rendah hingga pejabat negara. Mengacu pada pengertian korupsi, adapun beberapa
jenis dan bentuk korupsi adalah sebagai berikut:

1. Bribery (Penyuapan)
Bribery atau penyuapan adalah suatu tindakan memberikan uang/ imbalan kepada pihak lain
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan apa yang
diinginkan. Bentuk penyuapan tersebut misalnya;

 Memberikan atau menjanjikan sesuatu (uang atau lainnya) kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara.

2. Embezzlement (Penggelapan)

Embezzlement atau penggelapan adalah suatu tindakan kecurangan dalam bentuk


penggelapan sumber daya orang lain atau organisasi untuk kepentingan pribadi. Bentuk
penggelapan tersebut misalnya;

 Membuat faktur tagihan fiktif.


 Menggunakan kas kecil untuk kepentingan pribadi.
 Penggelembungan biaya perjalanan dinas.

3. Fraud (Kecurangan)

Fraud atau kecurangan adalah suatu tindakan kejahatan ekonomi yang disengaja dimana
seseorang melakukan penipuan, kecurangan, dan kebohongan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi. Bentuk fraud tersebut misalnya;

 Penggelapan uang kas dengan cara mengundur-undur waktu pencatatan penerimaan kas.
 Memanipulasi atau mendistorsi inform

4. Extortion (Pemerasan)

Extortion atau pemerasan adalah suatu tindakan koruptif dimana seseorang atau kelompok
melakukan ancaman secara lalim kepada pihak lain untuk memperoleh uang, barang dan jasa,
atau perilaku yang diinginkan dari pihak yang diancam. Bentuk pemerasan tersebut misalnya;

 Ancaman perusakan properti bila tidak memberikan uang keamanan.


 Pemerasan dengan cara ancaman merusak reputasi seseorang.
5. Favouritism (Favoritisme)

Favouritism/ favoritisme atau tindakan pilih kasih adalah suatu mekanisme koruptif dimana
seseorang atau kelompok menyalahgunakan kekuasaannya yang berimplikasi pada tindakan
privatisasi sumber daya.

Anda mungkin juga menyukai