Anda di halaman 1dari 29

SURAT PERNYATAAN

TIDAK MEMILIKI PACKLARING/KETERANGAN KERJA ASLI

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Tempat dan tanggal Lahir :

No Kartu Peserta :

No Identitas diri (KTP) :

Alamat Lengkap :

No HP :

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan apabila dikemudian hari ternyata tidak
benar maka saya bersedia dituntut seusai hukum yang berlaku.

Jakarta, 01 Desember 2020

Yudi Darmawan

ATURAN KORUPSI
1. UU No. 3 tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang ini dikeluarkan di masa Orde Baru pada kepemimpinan Presiden Soeharto. UU
No. 3 tahun 1971 mengatur pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimal Rp
30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.

Walau UU telah menjabarkan dengan jelas tentang definisi korupsi, yaitu perbuatan merugikan
keuangan negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, namun
kenyataannya korupsi, kolusi, dan nepotisme masih marak terjadi di masa itu. Sehingga pada
pemerintahan-pemerintahan berikutnya, undang-undang antikorupsi bermunculan dengan
berbagai macam perbaikan di sana-sini.

UU No. 3 tahun 1971 ini dinyatakan tidak berlaku lagi setelah digantikan oleh Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan


Bebas KKN

Usai rezim Orde Baru tumbang diganti masa Reformasi, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sejalan dengan TAP MPR
tersebut, pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid membentuk badan-badan negara untuk
mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara
dan beberapa lainnya.

Dalam TAP MPR itu ditekankan soal tuntutan hati nurani rakyat agar reformasi pembangunan
dapat berhasil, salah satunya dengan menjalankan fungsi dan tugas penyelenggara negara
dengan baik dan penuh tanggung jawab, tanpa korupsi. TAP MPR itu juga memerintahkan
pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara, untuk menciptakan kepercayaan publik.
3. UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN

Undang-undang ini dibentuk di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai komitmen
pemberantasan korupsi pasca tergulingnya rezim Orde Baru. Dalam UU no 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN ini dijelaskan definisi soal
korupsi, kolusi dan nepotisme, yang kesemuanya adalah tindakan tercela bagi penyelenggara
negara.

Dalam UU juga diatur pembentukan Komisi Pemeriksa, lembaga independen yang bertugas
memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan penyelenggara negara untuk
mencegah praktik korupsi. Bersamaan pula ketika itu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) dan Ombudsman.

4. UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi
Undang-undang di atas telah menjadi landasan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di
tanah air. UU ini menjelaskan bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau yang berakibat merugikan negara atau perekonomian
negara

Definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU ini. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan lagi menjadi 7 jenis, yaitu
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, suap menyuap, benturan kepentingan
dalam pengadaan, perbuatan curang, dan kerugian keuangan negara.
5. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi

Melalui peraturan ini, pemerintah ingin mengajak masyarakat turut membantu pemberantasan
tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat yang diatur dalam peraturan ini adalah mencari,
memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi. Masyarakat juga
didorong untuk menyampaikan saran dan pendapat untuk mencegah dan memberantas
korupsi.

Hak-hak masyarakat tersebut dilindungi dan ditindaklanjuti dalam penyelidikan perkara oleh
penegak hukum. Atas peran sertanya, masyarakat juga akan mendapatkan penghargaan dari
pemerintah yang juga diatur dalam PP ini.

6. UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


menjadi pencetus lahirnya KPK di masa Kepresidenan Megawati Soekarno Putri. Ketika itu,
Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak efektif memberantas tindak pidana korupsi sehingga
dianggap pelu adanya lembaga khusus untuk melakukannya.

Sesuai amanat UU tersebut, KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

UU ini kemudian disempurnakan dengan revisi UU KPK pada 2019 dgn terbitnya Undang-
Undang No 19 Tahun 2019. Dalam UU 2019 diatur soal peningkatan sinergitas antara KPK,
kepolisian dan kejaksaan untuk penanganan perkara tindak pidana korupsi.

7. UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang menjadi salah satu cara koruptor menyembunyikan atau menghilangkan bukti
tindak pidana korupsi. Dalam UU ini diatur soal penanganan perkara dan pelaporan pencucian
uang dan transaksi keuangan yang mencurigakan sebagai salah satu bentuk upaya
pemberantasan korupsi.

Dalam UU ini juga pertama kali diperkenalkan lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) yang mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

8. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan


Korupsi (Stranas PK)

Perpres ini merupakan pengganti dari Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka
Menengah Tahun 2012-2014 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan pencegahan korupsi.

Stranas PK yang tercantum dalam Perpres ini adalah arah kebijakan nasional yang memuat
fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga,
pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan
korupsi di Indonesia. Sementara itu, Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) adalah penjabaran
fokus dan sasaran Stranas PK dalam bentuk program dan kegiatan.

Ada tiga fokus dalam Stranas PK, yaitu Perizinan dan Tata Niaga, Keuangan Negara, dan
Penegakan Hukum dan Demokrasi Birokrasi.

9. Peraturan Presiden No.102/2020 tentang tentang Pelaksanaan Supervisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Diterbitkan Presiden Joko Widodo, Perpres ini mengatur supervisi KPK terhadap instansi yang
berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia.

Perpres ini juga mengatur wewenang KPK untuk mengambil alih perkara tindak pidana korupsi
yang sedang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan. Perpres ini disebut sebagai bagian dari upaya
untuk memperkuat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

10. Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan


Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi

Pemberantasan korupsi bukan sekadar penindakan, namun juga pendidikan dan pencegahan.
Oleh karena itu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan peraturan untuk
menyelenggarakan pendidikan antikorupsi (PAK) di perguruan tinggi.
Melalui Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan
Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi, perguruan tinggi negeri dan swasta harus
menyelenggarakan mata kuliah pendidikan antikorupsi di setiap jenjang, baik diploma maupun
sarjana. Selain dalam bentuk mata kuliah, PAK juga bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan
Kemahasiswaan atau pengkajian, seperti kokurikuler, ekstrakurikuler, atau di unit
kemahasiswaan. Adapun untuk Kegiatan Pengkajian, bisa dalam bentuk Pusat Kajian dan
Pusat Studi

Kegiatan pengajaran PAK ini harus dilaporkan secara berkala ke Kementerian melalui Direktur
Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan.

 2. Pengertian, Faktor-Faktor, dan Teori Penyebab


Korupsi

Kenapa Masih Banyak yang Korupsi? Ini Penyebabnya!


Pemberitaan tentang korupsi seakan tak pernah berhenti mewarnai layar kaca. Para pelaku
korupsi adalah para pegawai atau pejabat pemerintahan yang menempati posisi strategis.
Lantas kita jadi bertanya, hidup mereka sudah enak, gaji pastilah besar, semuanya sudah
dimiliki, lalu kenapa masih saja korupsi?

Alasan seseorang korupsi bisa beragam, namun secara singkat dikenal teori GONE untuk
menjelaskan faktor penyebab korupsi. Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack
Bologna adalah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need
(Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).

Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tak
pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan
ditimpali dengan kesempatan, maka akan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi.
Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan korupsi jika ada gaya
hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku yang tidak mampu
menimbulkan efek jera.

Jika dijabarkan lagi, faktor penyebab korupsi meliputi dua faktor, yaitu internal dan eksternal.
Mengutip buku Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi yang bisa diunduh di sini, faktor
internal merupakan penyebab korupsi dari diri pribadi, sedang faktor eksternal karena sebab-
sebab dari luar.

Mari kita bahas penyebab korupsi faktor internal dan eksternal ini:
Faktor Penyebab Internal

1. Sifat serakah/tamak/rakus manusia


Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa cukup atas
apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat tamak, seseorang menjadi berlebihan
mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak atau jabatannya sudah tinggi.
Dominannya sifat tamak membuat seseorang tidak lagi memperhitungkan halal dan haram
dalam mencari rezeki. Sifat ini menjadikan korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para
profesional, berjabatan tinggi, dan hidup berkecukupan.

2. Gaya hidup konsumtif


Sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong internal korupsi.
Gaya hidup konsumtif misalnya membeli barang-barang mewah dan mahal atau mengikuti tren
kehidupan perkotaan yang serba glamor. Korupsi bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya
hidup konsumtif namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai.

3. Moral yang lemah


Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Aspek lemah
moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu melakukan tindakan korupsi.
Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi yang datang akan sulit ditepis. Godaan
korupsi bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi
kesempatan untuk melakukannya.

Faktor Penyebab Eksternal

1. Aspek Sosial
Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama
keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga malah justru mendukung
seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka. Aspek sosial lainnya adalah nilai dan
budaya di masyarakat yang mendukung korupsi. Misalnya, masyarakat hanya menghargai
seseorang karena kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada
pejabat.

Dalam means-ends scheme yang diperkenalkan Robert Merton, korupsi merupakan perilaku
manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-
norma. Menurut teori Merton, kondisi sosial di suatu tempat terlalu menekan sukses ekonomi
tapi membatasi kesempatan-kesempatan untuk mencapainya, menyebabkan tingkat korupsi
yang tinggi.

Teori korupsi akibat faktor sosial lainnya disampaikan oleh Edward Banfeld. Melalui teori
partikularisme, Banfeld mengaitkan korupsi dengan tekanan keluarga. Sikap partikularisme
merupakan perasaan kewajiban untuk membantu dan membagi sumber pendapatan kepada
pribadi yang dekat dengan seseorang, seperti keluarga, sahabat, kerabat atau kelompoknya.
Akhirnya terjadilah nepotisme yang bisa berujung pada korupsi.

2. Aspek Politik
Keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi faktor eksternal
penyebab korupsi. Tujuan politik untuk memperkaya diri pada akhirnya menciptakan money
politics. Dengan money politics, seseorang bisa memenangkan kontestasi dengan membeli
suara atau menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai politiknya.

Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta, menggerus
kewajiban utamanya yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan untung-rugi, pemimpin
hasil money politics tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya, yang terpenting baginya
adalah bagaimana ongkos politiknya bisa kembali dan berlipat ganda.

Balas jasa politik seperti jual beli suara di DPR atau dukungan partai politik juga mendorong
pejabat untuk korupsi. Dukungan partai politik yang mengharuskan imbal jasa akhirnya
memunculkan upeti politik. Secara rutin, pejabat yang terpilih membayar upeti ke partai dalam
jumlah besar, memaksa korupsi.
3. Aspek Hukum

Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-undangan dan
lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di perundang-undangan untuk bisa
melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan
membuat koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi.

Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya,
pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak-
pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak
tepat sasaran, juga membuat para pelaku korupsi tidak segan-segan menilap uang negara.

4. Aspek Ekonomi
Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya tingkat
pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta juga menunjukkan
bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan. Korupsi dalam jumlah
besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi.

Banyak kita lihat pemimpin daerah atau anggota DPR yang ditangkap karena korupsi. Mereka
korupsi bukan karena kekurangan harta, tapi karena sifat serakah dan moral yang buruk.

Di negara dengan sistem ekonomi monopolistik, kekuasaan negara dirangkai sedemikian rupa
agar menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi pegawai pemerintah untuk
meningkatkan kepentingan mereka dan sekutunya. Kebijakan ekonomi dikembangkan dengan
cara yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel.

5. Aspek Organisasi

Faktor eksternal penyebab korupsi lainnya adalah organisasi tempat koruptor berada. Biasanya,
organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang atau kesempatan.
Misalnya tidak adanya teladan integritas dari pemimpin, kultur yang benar, kurang memadainya
sistem akuntabilitas, atau lemahnya sistem pengendalian manajemen.
Mengutip buku Pendidikan Antikorupsi oleh Eko Handoyo, organisasi bisa mendapatkan
keuntungan dari korupsi para anggotanya yang menjadi birokrat dan bermain di antara celah-
celah peraturan. Partai politik misalnya, menggunakan cara ini untuk membiayai organisasi
mereka. Pencalonan pejabat daerah juga menjadi sarana bagi partai politik untuk mencari dana
bagi kelancaran roda organisasi, pada akhirnya terjadi money politics dan lingkaran korupsi
kembali terjadi.
Teori Fraud Triangle (TFT)

Teori lainnya soal penyebab korupsi disampaikan oleh peneliti Donald R Cressey yang dikenal
sebagai Teori Fraud Tiangle (TFT). Teori ini muncul setelah Cressey mewawancarai 250 orang
terpidana kasus korupsi dalam waktu 5 bulan.

Dalam teori tersebut, ada tiga tahapan penting yang mempengaruhi seseorang untuk
melakukan korupsi, yaitu pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization
(rasionalisasi).

Seseorang memiliki motivasi untuk korupsi karena tekanan, misalnya motif ekonomi yang
menjadi pelatuknya. Namun menurut Cressey tekanan ini terkadang tidak benar-benar ada.
Seseorang cukup berpikir bahwa dia tertekan atau tergoda pada bayangan insentif, maka
pelatuk pertama ini telah terpenuhi.

Kedua adalah kesempatan. Contoh yang paling mudah ditemui adalah lemahnya sistem
pengawasan sehingga memunculkan kesempatan untuk korupsi. Menurut Cressey, jika dia
tidak melihat adanya kesempatan maka korupsi tidak bisa dilakukan.

Ketiga adalah rasionalisasi. Cressey menemukan bahwa para pelaku selalu memiliki
rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisasi ini setidaknya
menipiskan rasa bersalah pelaku, contohnya "saya korupsi karena tidak digaji dengan layak"
atau "keuntungan perusahaan sangat besar dan tidak dibagi dengan adil".

3. Delik Tindak Pidana Korupsi dan Pengelompokannya


Ke-30 jenis korupsi ini sangat beragam, mulai dari korupsi kecil atau petty corruption sampai
korupsi kelas kakap atau grand corruption. Berikut adalah daftar 30 jenis tindak pidana korupsi
tersebut:

1. Menyuap pegawai negeri;


2. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya;
3. Pegawai negeri menerima suap;
4. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya;
5. Menyuap hakim;
6. Menyuap advokat;
7. Hakim dan advokat menerima suap;
8. Hakim menerima suap;
9. Advokat menerima suap;
10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan;
11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi;
12. Pegawai negeri merusakan bukti;
13. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti;
14. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti;
15. Pegawai negeri memeras;
16. Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain;
17. Pemborong membuat curang;
18. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang;
19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang;
20. Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang;
21. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang;
22. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain;
23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya;
24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melaporkan ke KPK;
25. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaan;
27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
28. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu;
29. Seseorang yang memegang rahasia jabatan, namun tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan palsu;
30. Saksi yang membuka identitas pelapor.

Dari ke-30 jenis korupsi tersebut, diklasifikasikan lagi menjadi tujuh kelompok tindak pidana
korupsi, yaitu:

1. Kerugian Keuangan Negara


Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi. Pelakunya memiliki tujuan menguntungkan diri sendiri serta menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada. Misalnya, seorang pegawai pemerintah
melakukan mark up anggaran agar mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut.
Tindakan ini merugikan keuangan negara karena anggaran bisa membengkak dari yang
seharusnya.

2. Suap Menyuap
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Aparatur Sipil Negara, penyelenggara negara,
hakim, atau advokat dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya. Suap menyuap bisa terjadi antarpegawai maupun pegawai dengan pihak luar.
Suap antarpegawai misalnya dilakukan untuk memudahkan kenaikan pangkat atau jabatan.
Sementara suap dengan pihak luar misalnya ketika pihak swasta memberikan suap kepada
pegawai pemerintah agar dimenangkan dalam proses tender.

3. Penggelapan dalam Jabatan


Tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga, atau melakukan
pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Contoh
penggelapan dalam jabatan, penegak hukum merobek dan menghancurkan barang bukti suap
untuk melindungi pemberi suap.
4. Pemerasan
Pegawai negeri atau penyelenggara negara menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Misalnya, seorang pegawai negeri menyatakan
bahwa tarif pengurusan dokumen adalah Rp50 ribu, padahal seharusnya hanya Rp15 ribu atau
malah gratis. Pegawai itu memaksa masyarakat untuk membayar di luar ketentuan resmi
dengan ancaman dokumen mereka tidak diurus.

5. Perbuatan Curang
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat
membahayakan orang lain. Misalnya, pemborong pada waktu membuat bangunan atau penjual
bahan bangunan melakukan perbuatan curang yang membahayakan keamanan orang atau
barang. Contoh lain, kecurangan pada pengadaan barang TNI dan Kepolisian Negara RI yang
bisa membahayakan keselamatan negara saat berperang.

6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan


Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan
sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan padahal dia ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya. Misalnya, dalam pengadaan alat tulis kantor seorang
pegawai pemerintahan menyertakan perusahaan keluarganya untuk proses tender dan
mengupayakan kemenangannya.

7. Gratifikasi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
tugasnya. Misalnya, seorang pengusaha memberikan hadiah mahal kepada pejabat dengan
harapan mendapatkan proyek dari instansi pemerintahan. Jika tidak dilaporkan kepada KPK,
maka gratifikasi ini akan dianggap suap.
Setelah mengenal jenis-jenis korupsi tersebut, kita harus melakukan berbagai langkah untuk
mencegah agar tidak melakukan perbuatan buruk tersebut. Caranya adalah dengan
memperkuat nilai-nilai integritas di dalam diri kita.

Ada 9 nilai integritas yang dirumuskan KPK, yaitu jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung
jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil. Untuk mempertahankan nilai-nilai integritas
tersebut, kita bisa melayangkan pertanyaan-pertanyaan reflektif kepada diri sendiri apakah kita
benar-benar sudah antikorupsi. Soal cermin integritas bisa kita pahami di artikel ini.

Dengan memegang teguh nilai integritas, kita juga bisa menghindari perilaku koruptif lainnya di
keseharian. Walau tidak termasuk tindak pidana, namun perilaku koruptif di keseharian harus
dihindari agar tidak menjadi sebuah kebiasaan. Jangan sampai, tindakan koruptif yang sudah
menjadi tabiat mendorong seseorang korupsi di pekerjaannya.
Perilaku koruptif di keseharian ini bisa terjadi pada anak usia dini. Misalnya berbohong kepada
orang tua, bolos sekolah, mencontek, atau mencuri, yang jika didiamkan akan terbawa ketika
dia dewasa. Perilaku koruptif keseharian juga bisa dilakukan oleh karyawan, misalnya
menggunakan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi, pulang kantor sebelum waktunya, atau
tidak melakukan pekerjaan dengan baik.

Siapapun kita, sikap antikorupsi harus ditanamkan dalam diri dan keseharian. Karena
memberantas korupsi adalah keniscayaan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia
yang pada akhirnya akan membawa kesejahteraan pada kita semua.

Ini Beda Gratifikasi, Suap, Pemerasan,


dan Uang Pelicin
Edukasi soal antikorupsi telah gencar dilakukan KPK sebagai bagian dari trisula pemberantasan
korupsi. Namun masih banyak istilah yang belum dipahami oleh masyarakat terkait korupsi. Di
antara istilah-istilah yang sering tertukar adalah suap, gratifikasi, pemerasan, dan uang pelicin.

Sebelum berbicara soal perbedaannya, kita bahas persamaan keempat istilah tersebut. Walau
berbeda, namun keempat istilah ini sama-sama bentuk korupsi yang diatur hukumannya dalam
undang-undang. Apapun bentuknya, korupsi adalah sebuah kejahatan yang bisa merugikan
negara dan masyarakat.

Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk. Dari 30 bentuk tersebut, korupsi dapat
dikelompokkan menjadi tujuh kategori, yaitu yang berkaitan dengan keuangan negara, suap
menyuap, penggelapan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam
pengadaan, dan gratifikasi.

Dari ketujuh jenis itu, kita tahu bahwa suap, pemerasan, dan gratifikasi berada di kategori
berbeda dengan pengertian yang berbeda pula. Uang pelicin masuk dalam kategori suap
menyuap.
Sekarang mari kita bahas soal perbedaannya. Perbedaan istilah-istilah tersebut bisa dilihat dari
waktu, tujuan, pelaku, dan intensinya. Perbedaan dari sisi pelaku bisa dilihat pada istilah suap
dan pemerasan.

Suap terjadi jika pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas layanan
dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur. Sebaliknya,
pemerasan terjadi jika petugas layanan yang secara aktif menawarkan jasa atau meminta
imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur.
Uang pelicin bisa menjadi gabungan dari suap dan pemerasan.

Suap dan pemerasan akan terjadi jika terjadi transaksi atau deal antara kedua belah pihak.
Berbeda dengan gratifikasi, yang tidak ada kesepakatan di antara keduanya.
Gratifikasi terjadi jika pihak pengguna layanan memberi sesuatu kepada pemberi layanan tanpa
adanya penawaran atau transaksi apapun. Pemberian ini terkesan tanpa maksud apa-apa.
Namun di balik itu, gratifikasi diberikan untuk menggugah hati petugas layanan, agar di
kemudian hari tujuan pengguna jasa dapat dimudahkan. Istilahnya "tanam budi", yang suatu
saat bisa ditagih.

Gratifikasi menurut Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor yaitu Pemberian dalam
arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya.

Penyuapan dan pemerasan memiliki unsur janji atau bertujuan menginginkan sesuatu dari
pemberian tersebut. Sedangkan gratifikasi adalah pemberian yang tidak memiliki unsur janji,
tetapi gratifikasi juga dapat disebut suap jika pihak yang bersangkutan memiliki hubungan
dengan jabatan yang berlawanan dengan kewajiban dan hak yang bersangkutan.
Hukuman Pidana

UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memuat hukuman pidana untuk keempat tindakan
korupsi tersebut. Suap, Uang Pelicin, dan Pemerasan terkait jabatan diatur dalam Pasal 5 ayat
(1) dengan pidana maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal Rp250.000.000.

Sementara gratifikasi memiliki hukuman lebih berat. Dalam Pasal 12, hukuman bagi pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan
pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

5. Bahaya dan Dampak Korupsi dalam Berbagai Sektor

Kenali Bahayanya Dampak Korupsi di


Berbagai Bidang Ini
Korupsi dianggap sebuah kejahatan luar biasa karena memiliki dampak yang masif dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Tidak hanya merugikan negara, korupsi
menyengsarakan rakyat di dalamnya. Berbagai dampak korupsi di berbagai bidang bisa
dirasakan sendiri oleh kita semua.

Cerminan dampak korupsi bisa dilihat dari mahalnya harga jasa dan pelayanan publik,
masyarakat yang semakin miskin, atau terbatasnya fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Perkembangan ekonomi mandek dan berbagai rencana pembangunan terhambat akibat
korupsi. Belum lagi dari sisi budaya, korupsi semakin menggerus kearifan lokal dan
menggantinya dengan tabiat yang buruk.
Semangat melawan korupsi akan semakin kuat jika kita memahami dampak-dampak tersebut.
Berikut adalah dampak-dampak korupsi di berbagai bidang, agar bisa kita kenali dan cegah:
1. Dampak Korupsi di Bidang Ekonomi

Korupsi berdampak buruk pada perekonomian sebuah negara. Salah satunya pertumbuhan
ekonomi yang lambat akibat dari multiplier effect rendahnya tingkat investasi. Hal ini terjadi
akibat investor enggan masuk ke negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Ada banyak cara
orang untuk tahu tingkat korupsi sebuah negara, salah satunya lewat Indeks Persepsi Korupsi
(IPK).

Dikutip dari buku Modul Integritas Bisnis Seri 3: Dampak Sosial Korupsi, korupsi juga
menambah beban dalan transaksi ekonomi dan menciptakan sistem kelembagaan yang buruk.
Adanya suap dan pungli dalam sebuah perekonomian menyebabkan biaya transaksi ekonomi
menjadi semakin tinggi. Hal ini menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian.

Melambatnya perekonomian membuat kesenjangan sosial semakin lebar. Orang kaya dengan
kekuasaan, mampu melakukan suap, akan semakin kaya. Sementara orang miskin akan
semakin terpuruk dalam kemelaratan.

Tindakan korupsi juga mampu memindahkan sumber daya publik ke tangan para koruptor,
akibatnya uang pembelanjaan pemerintah menjadi lebih sedikit. Ujung-ujungnya rakyat miskin
tidak akan mendapatkan kehidupan yang layak, pendidikan yang baik, atau fasilitas kesehatan
yang mencukupi.

2. Dampak Korupsi di Bidang Kesehatan

Di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang, korupsi di bidang kesehatan akan semakin
terasa dampaknya. Korupsi proyek dan anggaran kesehatan kerap terjadi di antara pejabat
pemerintah, bahkan menteri. Sudah dua mantan dua mantan menteri kesehatan Indonesia
yang ditahan karena korupsi, yaitu Achmad Suyudi dan Siti Fadilah Supari.

Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), korupsi jadi biang keladi buruknya
pelayanan kesehatan, dua masalah utama adalah peralatan yang tidak memadai dan
kekurangan obat. Korupsi juga membuat masyarakat sulit mengakses pelayanan kesehatan
yang berkualitas.

Dampak dari korupsi bidang kesehatan adalah secara langsung mengancam nyawa
masyarakat. ICW mencatat, pengadaan alat kesehatan dan obat merupakan dua sektor paling
rawan korupsi. Perangkat medis yang dibeli dalam proses korupsi berkualitas buruk, pelayanan
purnajualnya juga jelek, serta tidak presisi. Begitu juga dengan obat yang pembeliannya
mengandung unsur korupsi, pasti keampuhannya dipertanyakan.
3. Dampak Korupsi Terhadap Pembangunan

Salah satu sektor yang paling banyak dikorupsi adalah pembangunan dan infrastruktur. Salah
satu modus korupsi di sektor ini, menurut Studi World Bank, adalah mark up yang sangat tinggi
mencapai 40 persen. KPK mencatat, dalam sebuah kasus korupsi infrastruktur, dari nilai
kontrak 100 persen, ternyata nilai riil infrastruktur hanya tinggal 50 persen, karena sisanya
dibagi-bagi dalam proyek bancakan para koruptor.

Dampak dari korupsi ini tentu saja kualitas bangunan yang buruk sehingga dapat mengancam
keselamatan publik. Proyek infrastruktur yang sarat korupsi juga tidak akan bertahan lama,
cepat rusak, sehingga harus dibuka proyek baru yang sama untuk dikorupsi lagi.

KPK mencatat, korupsi di sektor ini terjadi dari tahapan perencanaan, proses pengadaan,
hingga pelaksanaan. Di tahap perencanaan, koruptor sudah mencari celah terkait kepastian
anggaran, fee proyek, atau cara mengatur pemenang tender. Pada pelaksanaan, terjadi
manipulasi laporan pekerjaan atau pekerjaan fiktif, menggerogoti uang negara.
4. Korupsi Meningkatkan Kemiskinan

Kemiskinan berdasarkan klasifikasi Badan Pusat Statistik dibagi menjadi empat kategori, yaitu:

1. Kemiskinan absolut
Warga dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup memenuhi kebutuhan
pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang dibutuhkan untuk dapat
hidup dan bekerja dengan layak.

2. Kemiskinan relatif
Merupakan kemiskinan yang terjadi karena pengaruh kebijakan yang dapat menyebabkan
ketimpangan pendapatan. Standar kemiskinan relatif ditentukan dan ditetapkan secara
subyektif oleh masyarakat.

3. Kemiskinan kultural
Merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor adat atau budaya yang membelenggu
sehingga tetap berada dalam kondisi miskin.

4. Kemiskinan struktural
Merupakan kemiskinan yang terjadi akibat ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok
masyarakat tertentu terhadap sistem yang tidak adil sehingga mereka tetap terjebak dalam
kemiskinan.
Korupsi yang berdampak pada perekonomian menyumbang banyak untuk meningkatnya
kemiskinan masyarakat di sebuah negara. Dampak korupsi melalui pertumbuhan ekonomi
adalah kemiskinan absolut. Sementara dampak korupsi terhadap ketimpangan pendapatan
memunculkan kemiskinan relatif.

Alur korupsi yang terus menerus akan semakin memunculkan kemiskinan masyarakat. Korupsi
akan membuat masyarakat miskin semakin menderita, dengan mahalnya harga pelayanan
publik dan kesehatan. Pendidikan yang buruk akibat korupsi juga tidak akan mampu membawa
masyarakat miskin lepas dari jerat korupsi.

5. Dampak Korupsi Terhadap Budaya


Korupsi juga berdampak buruk terhadap budaya dan norma masyarakat. Ketika korupsi telah
menjadi kebiasaan, maka masyarakat akan menganggapnya sebagai hal lumrah dan bukan
sesuatu yang berbahaya. Hal ini akan membuat korupsi mengakar di tengah masyarakat
sehingga menjadi norma dan budaya.

Beberapa dampak korupsi terhadap budaya pernah diteliti oleh Fisman dan Miguel (2008), Barr
dan Serra (2010). Hasil penelitian Fisman dan Miguel (2008) menunjukkan bahwa diplomat di
New York dari negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung lebih banyak melakukan
pelanggaran parkir dibanding diplomat dari negara dengan tingkat korupsi
rendah. Perilaku ini dianggap sebagai indikasi budaya.

Sementara hasil penelitian Barr dan Serra (2010) menunjukkan bahwa data di Inggris
memberikan hasil serupa yaitu adanya hubungan positif antara tingkat korupsi di negara asal
dengan kecenderungan para imigran melakukan penyogokan. Ketika masyarakat permisif
terhadap korupsi, maka semakin banyak individu yang melanggar norma antikorupsi atau
melakukan korupsi dan semakin rendah rasa bersalah.

Memahami Biaya Sosial Korupsi yang


Merugikan Negara
Korupsi oleh seorang pejabat pemerintahan ternyata tidak hanya merugikan negara karena ada
anggaran yang ditilap, berujung pada penurunan kualitas pelayanan publik. Korupsi ternyata
juga merugikan rakyat secara langsung, dengan penggunaan pajak negara untuk penanganan
kasus tindak pidana korupsi. Kerugian yang disebut “biaya sosial korupsi” ini tidak setimpal
dengan hukuman dan denda yang dibebankan kepada pelaku korupsi.

Biaya sosial korupsi bisa diartikan sebagai dampak kerugian dari perilaku korupsi yang
membebani keuangan negara. Dampak ini timbul bukan hanya sebatas nominal uang yang
dikorupsi, tapi segala biaya yang harus dibayar negara karena perilaku korupsi tersebut. Biaya
ini termasuk ongkos pencegahan korupsi, proses hukum pelaku korupsi mulai dari penyelidikan,
penyidikan, hingga pengadilan, bahkan biaya untuk menghidupi koruptor di penjara.
Dalam buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi yang dirilis KPK, biaya sosial
korupsi dapat dihitung dengan melihat komponen di dalamnya. Dalam metodologi Brand and
Price, penghitungan biaya sosial dapat diukur dari tiga unsur, yaitu biaya antisipasi, biaya
akibat, dan biaya reaksi.
Biaya Antisipasi terhadap Korupsi adalah besaran biaya yang dikeluarkan negara untuk
mengantisipasi dan mencegah korupsi. Contohnya, ketika korupsi telah menjadi endemik di
sebuah negara, maka pemerintahan negara itu akan mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi
hal tersebut, dan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Biaya akibat Korupsi adalah biaya dari kerugian yang ditanggung masyarakat akibat korupsi,
contohnya dampak sosial ekonomi, dampak investasi, dan yang lainnya. Biaya ini dibagi
menjadi dua, yaitu eksplisit dan implisit. Biaya eksplisit adalah kerugian akibat korupsi yang
dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), sedangkan implisit adalah nilai kerugian yang dihitung akibat efek
domino dari korupsi tersebut. Termasuk dalam biaya implisit adalah berapa banyak
pengaruhnya terhadap investasi sampai ekonomi makro.

Sedangkan Biaya Reaksi muncul sepanjang proses penyelesaian perkara. Mulai dari proses
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai si koruptor masuk ke penjara.

Harga yang harus dibayar koruptor atas kejahatan mereka ternyata tidak setimpal dengan nilai
kerugian yang dialami oleh masyarakat. Catatan KPK, dalam rentang 2001-2012 kerugian
eksplisit akibat korupsi oleh 1.842 koruptor mencapai Rp168 triliun. Sementara hukuman final
terhadap para koruptor hanya menghasilkan jumlah tuntutan Rp15 triliun. Lantas, siapa yang
menanggung selisih Rp153 triliun? Tentu saja rakyat.

Biaya sosial yang muncul dalam kasus korupsi adalah tanggungan negara, yang sudah pasti
uangnya berasal dari pajak rakyat. Pajak yang seharusnya bisa untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat malah digunakan untuk mengurusi korupsi dan mensubsidi kerugian
akibat korupsi. Hukuman yang diberikan kepada koruptor juga kerap dianggap tidak setimpal
dan tidak memberi efek jera, di sinilah ketidakadilan dirasakan oleh rakyat.

Atas kondisi ini, muncullah ide untuk memasukkan pembebanan biaya sosial korupsi tersebut
sebagai bagian pemidanaan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Bentuknya, melalui revisi
Pasal 2 dan 3 yakni mengenai Pemidanaan pada UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU No.20
tahun 2001.

Cara lainnya adalah mengambil semua aset dan harta hasil korupsi untuk "memiskinkan para
koruptor". Cara ini digunakan selain membayar biaya sosial korupsi, juga dianggap lebih
memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dibanding dipenjara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo dalam sebuah wawancara
media mengatakan ada dua landasan hukum untuk memiskinkan koruptor, yaitu UU Pencucian
Uang dan RUU Perampasan Aset. Pemiskinan koruptor ini, kata Adnan, adalah aspirasi rakyat
yang seharusnya ditindaklanjuti dengan serius oleh penegak hukum. Tapi pada kenyataannya,
kata dia, berbagai alasan muncul sehingga cara ini tidak dilakukan.

Trisula Strategi Pemberantasan Korupsi


KPK untuk Visi Indonesia Bebas dari
Korupsi
Memberantas korupsi di Indonesia bukan pekerjaan mudah dan perlu kerja berkelanjutan yang
melibatkan semua pihak. Ada tiga strategi pemberantasan korupsi yang tengah dijalankan di
Indonesia, KPK menyebutnya: Trisula Pemberantasan Korupsi.

Layaknya trisula yang memiliki tiga ujung tajam, Trisula Pemberantasan Korupsi memiliki tiga
strategi utama, yaitu Penindakan, Pencegahan, dan Pendidikan.

Sula Penindakan menyasar peristiwa hukum yang secara aktual telah memenuhi unsur tindak
pidana korupsi sesuai undang-undang. Sula ini tidak hanya mengganjar hukuman penjara dan
denda bagi para pelaku korupsi, tapi juga memberikan efek jera bagi para korupsi dan
masyarakat. Sementara Sula Pencegahan adalah perbaikan sistem untuk menutup celah-celah
korupsi, dilengkapi oleh sosialisasi dan kampanye antikorupsi melalui Sula Pendidikan.

Trisula Pemberantasan Korupsi ini selalu digaungkan oleh para Pimpinan KPK dalam berbagai
kesempatan. Harapannya, Trisula akan membantu menyukseskan Visi Indonesia 2045 —yaitu
negara dengan PDB terbesar ke-5 (PDB $ 7 triliun dan pendapatan per kapita $ 23.199) dan
mengurangi kemiskinan hingga mendekati nol.

Mari kita bahas satu per satu Trisula Pemberantasan Korupsi KPK:
1. Sula Penindakan

Sula Penindakan adalah strategi represif KPK dalam menyeret koruptor ke meja hijau,
membacakan tuntutan, serta menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang menguatkan.
Strategi ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penanganan laporan aduan masyarakat,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi.
Pengaduan masyarakat merupakan sumber informasi yang sangat penting bagi upaya
pemberantasan korupsi. Karena itulah, KPK memperkuat whistleblowing system yang
mendorong masyarakat mengadukan tindak pidana korupsi. Pengaduan masyarakat atas
dugaan tindak pidana korupsi bisa dilakukan di situs KPK.

KPK akan melakukan proses verifikasi dan penelaahan untuk memastikan apakah sebuah
aduan bisa ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan. Di tahap penyelidikan, KPK akan mencari
sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk melanjutkan kasus ke proses penyidikan. Pada tahap
ini, salah satunya ditandai dengan ditetapkannya seseorang menjadi tersangka.

Selanjutnya adalah tahap penuntutan dan pelimpahan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Tahapan berikutnya adalah pelaksanaan putusan pengadilan. Eksekusi yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dilakukan oleh jaksa.
2. Sula Pencegahan

Harus diakui masih banyak sistem di Indonesia yang membuka peluang terjadinya korupsi.
Misalnya, rumitnya prosedur pelayanan publik atau berbelitnya proses perizinan sehingga
memicu terjadinya penyuapan dan penyalahgunaan kekuasaan. Sistem dengan celah korupsi
juga kerap terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa yang sarat konflik kepentingan.

Sula Pencegahan mencakup perbaikan pada sistem sehingga meminimalisasi terjadinya tindak
pidana korupsi. Pada strategi ini, KPK akan melakukan berbagai kajian untuk kemudian
memberikan rekomendasi kepada kementerian atau lembaga terkait untuk melakukan langkah
perbaikan.

Di antara perbaikan yang bisa dilakukan misalnya, pelayanan publik yang dibuat transparan
melalui sistem berbasis online atau sistem pengawasan terintegrasi. KPK juga mendorong
penataan layanan publik melalui koordinasi dan supervisi pencegahan (korsupgah), serta
transparansi penyelenggara negara (PN).

Untuk transparansi PN, KPK menerima laporan atas Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) dan gratifikasi. Penyerahan LHKPN wajib dilakukan semua penyelenggara
negara. Sedangkan untuk gratifikasi, penerima wajib melaporkan kepada KPK dalam jangka
waktu 30 hari sejak menerimanya. Jika tidak melaporkannya, maka pegawai negeri tersebut
dianggap menerima suap.
3. Sula Pendidikan

Sula Pendidikan digalakkan dengan kampanye dan edukasi untuk menyamakan pemahaman
dan persepsi masyarakat tentang tindak pidana korupsi, bahwa korupsi berdampak buruk dan
harus diperangi bersama.
Harus diakui, masyarakat tidak memiliki pemahaman yang sama mengenai korupsi. Contoh
paling mudah adalah soal memberi "uang terima kasih" kepada aparat pelayan publik yang
masih dianggap hal lumrah. Padahal uang terima kasih adalah gratifikasi yang dapat mengarah
kepada korupsi.

Melalui Sula Pendidikan, KPK ingin membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai dampak
korupsi, mengajak masyarakat terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi, serta
membangun perilaku dan budaya antikorupsi.

Salah satu bentuk konkret edukasi anti korupsi adalah diterbitkannya Permenristekdikti Nomor
33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di
Perguruan Tinggi. Melalui Peraturan Menteri ini, perguruan tinggi negeri atau swasta wajib
mengadakan mata kuliah pendidikan antikorupsi untuk para mahasiswanya.

Tidak hanya bagi mahasiswa dan masyarakat umum, pendidikan antikorupsi juga disampaikan
kepada anak-anak usia dini, sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Salah satu
bentuknya dengan berbagai permainan dan tontonan anak yang bertemakan integritas. Dengan
sasaran usia yang luas tersebut, KPK berharap, pada saatnya nanti di negeri ini akan dikelola
oleh generasi antikorupsi.
Semua Pihak Berperan

Tentunya Trisula Pemberantasan Korupsi tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh KPK.
Membutuhkan peran serta semua pihak untuk bisa mewujudkan negara yang bebas dari
korupsi, dari pemerintah hingga masyarakat.

Butuh komitmen dan political will dari pemerintah dan publik untuk menuntut standar etis dan
norma yang lebih tinggi, bahwa korupsi bukan hanya soal melawan hukum tapi juga merusak
sendi-sendi kebangsaan.

Pihak swasta yang kerap juga terlibat dalam kasus korupsi harus juga berperan dalam strategi
ini. Karena itulah, Trisula Pemberantasan Korupsi juga diarahkan ke sektor swasta secara
proporsional.

Masyarakat sipil yang bersemangat antikorupsi dan media massa yang independen juga
menjadi salah satu kunci memberantas korupsi di tanah air. Sinergitas KPK dengan aparat
penegak hukum lainnya, kementerian atau lembaga, organisasi pemerintah dan non pemerintah
mesti ditingkatkan untuk mendeteksi dan menindak para pelaku korupsi.

Tiga Indikator Keberhasilan


Pemberantasan Korupsi
Upaya pemberantasan korupsi di sebuah negara mesti terus dipantau perkembangannya, untuk
mengetahui apakah strategi yang digunakan sudah tepat atau belum. Setidaknya ada tiga
indikator keberhasilan pemberantasan korupsi yang digunakan sebagai alat pengukuran di
Indonesia, yaitu Survei Penilaian Integritas (SPI), Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK), dan
Indeks Persepsi Korupsi (IPK).

Ketiga indikator ini menunjukkan tingkat korupsi di sebuah daerah atau negara yang laporannya
dirilis setiap tahun. Dari perbandingan dari tahun ke tahun dari indikator tersebut, kita jadi bisa
tahu apakah ada peningkatan atau penurunan tindak pidana korupsi. Selain itu, kita juga bisa
tahu perubahan perilaku masyarakat dalam menanggapi korupsi.

Mari kita bahas satu per satu indikator tersebut:

Foto ilustrasi (Freepik)

Survei Penilaian Integritas (SPI)

SPI dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI setiap tahun. Survei yang
dikembangkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK ini bertujuan untuk
memetakan risiko korupsi dan tingkat integritas, serta mengukur capaian upaya pencegahan
korupsi di kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah. Hasil dari survei akan menjadi dasar
menyusun rekomendasi peningkatan upaya pencegahan korupsi melalui rencana aksi.

Penilaian didasarkan pada persepsi dan pengalaman para pemangku kepentingan instansi
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD), yang terdiri dari pegawai, pengguna
layanan atau mitra kerja sama, dan para ahli dari berbagai kalangan. Dimensi Pengukuran
survei penilaian integritas adalah budaya organisasi, pengelolaan SDM, pengelolaan anggaran,
dan sistem antikorupsi. Dimensi budaya organisasi menilai Informasi terkait institusi,
keberadaan calo, nepotisme tugas, prosedur layanan, dan kejadian suap/gratifikasi.

Hasil survei adalah skala 1 hinga 100 yang menunjukkan level integritas instansi, semakin tinggi
angkanya maka semakin baik tingkat antikorupsinya. Survei pada 2021 melibatkan 640
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah dengan rincian yaitu 98 Kementerian/Lembaga, 34
Pemerintah Provinsi, dan 508 Pemerintah Kabupaten/Kota dan diikuti oleh 255.010 responden
di seluruh Indonesia. Pada rilis KPK pada Desember 2021, hasil SPI di tahun 2021 adalah
angka 72,4 atau melebihi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Adapun rekomendasi dari hasil SPI 2021 adalah: • Meminimalisir perdagangan pengaruh dalam
pengambilan keputusan (misal: optimalisasi, teknologi, pengelolaan konflik kepentingan/CoI) •
Memaksimalkan kemampuan sistem serta sumber daya internal untuk mendeteksi kejadian
korupsi • Optimalisasi pengawasan internal dan eksternal • Penguatan sosialisasi, kampanye
dan pelatihan antikorupsi terhadap pegawai/pejabat dan pengguna layanan • Peningkatan
kualitas sistem merit dan pengaturan pengelolaan CoI • Pengembangan sistem pengaduan
masyarakat terkait korupsi

Foto ilustrasi (Freepik)

Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK)

Indikator lainnya yang digunakan adalah Indeks Perilaku Antikorupsi atau IPAK. IPAK
dikeluarkan setiap tahunnya oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) untuk mengukur
tingkat perilaku antikorupsi sehari-hari di masyarakat.

IPAK mengukur tingkat permisifitas masyarakat terhadap perilaku antikorupsi dan mencakup
tiga fenomena utama korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme
(nepotism). Nilai IPAK berkisar pada skala 0 sampai 5. Semakin mendekati 5 berarti
masyarakat semakin antikorupsi.

IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu Dimensi Persepsi dan Dimensi Pengalaman.
Dimensi Persepsi berupa penilaian atau pendapat terhadap kebiasaan perilaku anti korupsi di
masyarakat. Sementara itu, Dimensi Pengalaman berupa pengalaman anti korupsi yang terjadi
di masyarakat.

Pada rilis IPAK 2021, BPS mencatatkan nilai 3,88, meningkat dari tahun 2020 yaitu 3,84.
Peningkatan ini disebabkan adanya peningkatan pemahaman dan penilaian masyarakat terkait
perilaku antikorupsi, terutama di lingkup keluarga dan komunitas.

Dari hasil IPAK ini, BPS memberikan beberapa rekomendasi untuk upaya pemberantasan
korupsi dan edukasi antikorupsi. Pada 2021, BPS menekankan pentingnya penanaman budaya
integritas dan nilai antikorupsi mulai dari lingkup keluarga sedari dini. Peningkatan penyebaran
informasi antikorupsi juga perlu dilakukan secara langsung kepada tokoh masyarakat dan
agama, pemerintah, ormas, dan yang lainnya.

Foto ilustrasi (Freepik)

Indeks Persepsi Korupsi (IPK)

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions Index (CPI) adalah pengukuran
korupsi sektor publik sebuah negara yang digunakan secara internasional. IPK dianggap sangat
kredibel dan diakui dunia sehingga menjadi kebanggaan bagi negara jika menempati deretan
ranking puncak. Sebaliknya, jadi aib dan memalukan jika sebuah negara berada di deretan
terbawah.

IPK diterbitkan setiap tahunnya oleh organisasi non-pemerintahan asal Jerman, Transparency
International sejak 1995. Hasil IPK dikeluarkan berdasarkan asesmen dan survei opini yang
dikumpulkan oleh 12 institusi terkemuka, di antaranya Bank Dunia dan Forum Ekonomi Dunia.

Hasil survei diwujudkan dalam bentuk ranking dan skor dengan skala 1-100. Semakin tinggi
skornya, maka semakin bersih negara tersebut dari korupsi. Jika skornya semakin mendekati
nol, maka semakin korup negara tersebut.

Pada IPK 2021 yang dirilis Januari 2022, survei dilakukan terhadap 180 negara di dunia. Lima
negara dengan ranking teratas adalah langganan juara pada IPK, yaitu Denmark, Selandia
Baru, Finlandia, Singapura, dan Swedia. Kelima negara ini mendapatkan skor 85-88, yang
artinya "hampir" bersih dari korupsi. Kesamaan di antara kelima negara ini adalah transparansi
keuangan dan tingkat integritas yang tinggi.

Sementara lima negara terbawah dalam ranking IPK adalah Venezuela, Yaman, Suriah,
Somalia, dan Sudan Selatan dengan skor 12-15, yang artinya korupsi sudah merajalela. Kelima
negara memiliki kesamaan, yaitu tengah dalam kondisi krisis keuangan parah dan konflik
bersenjata.

Di mana posisi Indonesia? Indonesia berada di ranking 96 bersama dengan Brasil, Lesotho,
dan Turki dengan skor 38. Skornya memang naik satu poin dibanding IPK 2020, namn tetap
saja ini angka yang bisa membuat kita membusungkan dada.

Foto ilustrasi (Freepik)


------------

Di mata internasional Indonesia memang masih jauh dari kata bebas dari korupsi, berdasarkan
skor IPK terbaru. Namun kita tidak boleh berputus asa, masih ada harapan terbentang di
depan. Harapan ini mesti terus dijaga, salah satunya dengan terus meningkatkan nilai-nilai
integritas di dalam diri sendiri dan lingkungan.

Pemerintah Indonesia tidak hanya berpangku tangan melihat negaranya digerogoti oleh para
koruptor. Upaya-upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi masih terus digalakkan tanpa
lelah oleh para pemangku kepentingan, disokong secara langsung KPK.

Harapannya ke depan, indikator-indikator ini akan memberikan angka yang baik bagi Indonesia.
Tentu saja tidak sekadar angka, namun juga diwujudkan pada berbagai kemajuan yang dapat
dirasakan masyarakat. Karena penurunan tingkat korupsi, berarti juga akan berdampak pada
meningkatnya layanan kesehatan, pendidikan, pembangunan, dan pengentasan kemiskinan.

Memahami 9 Nilai Prinsip Antikorupsi


Berbicara soal sikap antikorupsi tidak terlepas dari kata "integritas". Seseorang yang menjaga
integritas akan memiliki sikap yang mencegahnya untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Karena itulah, nilai-nilai integritas menjadi salah satu hal penting dalam pencegahan korupsi.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi RI, integritas adalah bertindak dengan cara yang
konsisten dengan apa yang dikatakan. Nilai integritas merupakan kesatuan antara pola pikir,
perasaan, ucapan, dan perilaku yang selaras dengan hati nurani dan norma yang berlaku.

Contohnya, jika seseorang telah mengakui bahwa dia jujur, maka hal itu juga akan tercermin
dari tindakan, perasaan, dan perilakunya. Integritas akan menjaga orang itu tetap jujur, walau
tidak ada orang lain di sekitar yang melihat kejujurannya.

Integritas merupakan salah satu nilai-nilai dasar pribadi yang harus dimiliki masyarakat. Nilai-
nilai ini dapat berasal dari nilai kode etik di tempat dia bekerja, nilai masyarakat atau nilai moral
pribadi.

KPK merilis sembilan nilai integritas yang bisa mencegah terjadinya tindak korupsi. Kesembilan
nilai itu adalah jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani,
dan adil. Secara singkat, mari kita pahami kesembilan nilai integritas ini.
Jujur
Jujur adalah sikap lurus hati, tidak berbohong, tidak curang dan tulus-ikhlas. Seseorang dengan
nilai kejujuran di hatinya tidak akan pernah korupsi, karena tahu tindakan tersebut adalah
bentuk kebohongan dan kejahatan. Orang dengan berintegritas jujur akan selalu berpegang
pada prinsip yang diyakininya benar.

Orang dengan nilai kejujuran juga harus menolak ketidakjujuran. Dia harus berani menegur
atau melaporkan tindak ketidakjujuran seperti korupsi atau yang lainnya. Pelaporan masyarakat
ini menjadi salah satu yang sarana efektif untuk memberantas korupsi. Maka dari itu,
masyarakat yang berintegritas akan menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi.

Tanggung jawab
Seseorang yang bertanggung jawab berani mengakui kesalahan yang dilakukan, mereka juga
amanah dan dapat diandalkan. Tanggung jawab akan membuat seseorang memenuhi tuntutan
pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Orang yang bertanggung jawab tidak akan korupsi,
karena yakin segala tindakan buruknya akan dibayar dengan setimpal pula.

Rasa tanggung jawab tidak begitu saja muncul, akan tetapi terjadinya melalui sebuah proses.
Dimulai dari hal-hal kecil, seperti jika mengambil sesuatu harus mengembalikan pada
tempatnya. Jika berjanji, janji tersebut harus ditepati. Hal itu dilakukan secara terus-menerus
sehingga menjadi kebiasaan. Kebiasaan dibentuk oleh latihan. Seseorang dapat bertanggung
jawab karena telah terbiasa dengan hal-hal yang memerlukan tanggung jawab.

Disiplin
Disiplin adalah sikap mental untuk melakukan hal-hal yang seharusnya pada saat yang tepat
dan benar-benar menghargai waktu. Sikap mental tersebut perlu dilatih agar segala
perbuatannya tepat sesuai aturan yang ada.

Komitmen adalah salah satu kunci terbentuknya disiplin. Komitmen adalah sikap mental pada
diri seseorang untuk melakukan segala sesuatu yang telah ditetapkan. Hal itu terbentuk dengan
pembiasaan. Seseorang yang komitmen tinggi akan selalu melakukan segala sesuatu sesuai
yang telah ditetapkannya.

Disiplin sangat diperlukan oleh seorang pemimpin, apa yang dilakukan akan dicontoh anak
buahnya. Jika pemimpin tidak disiplin, maka bisa menularkan perilaku yang buruk tersebut ke
sekelilingnya.
Mandiri
Menurut KBBI, kata mandiri dimaknai dalam keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung
pada orang lain. Adapun kemandirian merupakan hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa
bergantung pada orang lain. Pribadi yang mandiri tentunya berani menata diri dan menjaga diri.
Ia terus berlatih untuk menjadi berkepribadian yang terpuji.

Pribadi yang mandiri berani menetapkan gambaran hidup yang ia inginkan. Dia berani
mengarahkan kegiatan hidupnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Ia
memiliki langkah-langkah, kegiatan atau tingkah laku yang efektif untuk mencapai gambaran
kehidupan yang diidealkannya. Misalnya seseorang yang bercita-cita menjadi ekonom mulai
sekarang belajar dengan sungguh-sungguh mengenai masalah ekonomi, tidak berleha-leha.

Kerja Keras
Kerja keras adalah kegiatan yang dikerjakan secara sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah
atau berhenti sebelum target kerja tercapai dan selalu mengutamakan atau memperhatikan
kepuasan hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan. Mereka dapat memanfaatkan waktu
optimal sehingga kadang-kadang tidak mengenal waktu, jarak, dan kesulitan yang
dihadapainya. Mereka sangat bersemangat dan berusaha keras untuk meraih hasil yang baik
dan maksimal.
Seseorang yang bekerja keras tidak bersifat malas dan mengeluh terhadap suatu pekerjaan
karena akan mempengaruhi etos kerja yang sudah dibangun. Dia juga tidak suka menunda-
nunda pekerjaan yang dapat dilakukan dengan cepat dan tepat

Sederhana
Menurut KBBI, sederhana memiliki pengertian bersahaja; tidak berlebih-lebihan atau dapat
dinyatakan sedang, dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah, dan sebagainya.
Berbeda dengan kemiskinan, kesederhanaan adalah sebuah pilihan, keputusan untuk
menjalani hidup yang berfokus pada apa yang benar-benar berarti. Seorang yang sederhana
membebaskan dirinya dari segala ikatan yang tidak diperlukan.

Sederhana juga berarti hidup secara wajar. Artinya, seseorang mampu menggunakan hartanya
sesuai kebutuhan yang ada, tidak menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak penting.
Korupsi salah satunya dipicu oleh hidup mewah yang berlebihan dan tidak sesuai dengan
besaran gajinya. Kesederhanaan akan membuat seseorang menjauhi korupsi.
Berani
Berani adalah tidak takut menghadapi bahaya atau kesulitan. Orang yang berani memiliki hati
yang mantap dan rasa percaya diri yang besar, pantang mundur dan tidak gentar. Keberanian
diperlukan untuk mencegah korupsi dan melaporkan tindak pidana korupsi ke aparat.

Keberanian tentu saja mesti dilandasi dengan kebenaran. Berani karena benar. Seseorang
yang berani melaporkan tindak pidana korupsi karena dia yakin bahwa itu adalah tindakan yang
benar dan korupsi adalah kejahatan. Nilai keberanian perlu dimiliki oleh masyarakat untuk
mencegah terjadinya korupsi.

Peduli
Makna peduli menurut KBBI adalah mengindahkan, memperhatikan, dan menghiraukan. Jadi
kepedulian berarti sikap memperhatikan kondisi sekitar dan orang lain. Pendapat lain
menyebut, peduli adalah sikap keberpihakan kita untuk melibatkan diri dalam persoalan,
keadaan, atau kondisi di sekitar kita.

Orang yang peduli adalah mereka yang terpanggil melakukan sesuatu dalam rangka memberi
inspirasi, perubahan, dan kebaikan. Peduli berarti kita mengasihi dan memperlakukan orang
lain sebagaimana kita ingin dikasihi atau diperlakukan. Dengan kepedulian, kita menjadikan
dunia ini sebagai tempat tinggal yang nyaman dan damai bagi semua makhluk.

Adil
Adil berasal dari bahasa Arab yang berarti berada di tengah-tengah, jujur, lurus, dan tulus.
Menurut KBBI, adil memiliki arti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak. Adil juga bisa
diartikan berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran. Secara terminologis adil
bermakna suatu sikap yang bebas dari diskriminasi dan ketidakjujuran.

Seseorang yang adil selalu bersikap imparsial, tidak memihak kecuali kepada kebenaran.
Bukan berpihak karena pertemanan, persamaan suku, bangsa maupun agama. Sehingga
penilaian, kesaksian dan keputusan hukum hendaknya berdasar pada kebenaran walaupun
kepada diri sendiri. Sikap ini pada akhirnya akan mencegah konflik kepentingan yang menjadi
salah satu cikal bakal korupsi.
Demikian sembilan nilai integritas yang harus dimiliki oleh semua orang untuk mencegah
korupsi. Penerapan nilai-nilai ini tidak hanya baik bagi diri sendiri, namun juga untuk masa
depan bangsa ke depannya. Maka dari itu, nilai-nilai integritas mesti ditanamkan dan dilatih
semenjak dini untuk melahirkan generasi baru yang lebih bersih dari korupsi.

Untuk pembahasan lebih mendalam soal sembilan nilai integritas bisa dibaca pada buku “Modul
Integritas untuk Umum” yang bisa diunduh gratis di situs ACLC.

Belajar dari Tiga Negara Paling


Antikorupsi di Dunia
Kemakmuran di sebuah negara dapat terwujud jika korupsi yang perlahan menggerus
kesejahteraan rakyat bisa dihapuskan. Terdengar klise? Tidak juga. Hal ini sudah terbukti di tiga
negara yang selalu menempati posisi pertama pada Indeks Persepsi Korupsi. Kondisi mereka
sejahtera, makmur, aman dan sentosa.

Ketiga negara ini adalah Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru. Ketiganya sama-sama berada
di ranking pertama dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021 yang dirilis pada Januari 2022
lalu dengan skor 88 dari 100.

IPK setiap tahunnya dikeluarkan oleh lembaga Transparency International untuk mengukur
tingkat korupsi sebuah negara. Skala yang digunakan adalah skor dari 100 (bersih dari korupsi)
hingga nol (sangat korup). Beberapa indikator penghitungan skor yang kredibel menjadikan IPK
sebagai basis pengukuran tingkat korupsi terpercaya di seluruh dunia.

Mari kita bahas ketiga negara yang selalu langganan di ranking satu antikorupsi ini:
Kota Kopenhagen di Denmark (Freepik)

Denmark

Posisi Denmark hampir tidak pernah bergeser di ranking pertama IPK setiap tahunnya. Di
negara skandinavia ini, korupsi seakan kata yang asing. Bisnis di Denmark bisa berjalan
dengan mulus tanpa hambatan korupsi, suap, atau pemerasan.

Undang-undang Kriminal Denmark soal larangan menerima suap dan jenis korupsi lainnya
benar-benar bekerja dengan baik dan dipatuhi. Tidak hanya untuk pegawai pemerintah atau
penyelenggara negara, penyuapan juga dilarang di Denmark untuk perusahaan swasta dan
pegawai negeri asing.
Hasilnya bisa ditebak, Denmark menjadi salah satu negara yang paling makmur. Kesenjangan
pendapatan di Denmark adalah salah satu yang paling kecil di dunia. Tingkat pengangguran
juga sangat kecil, dan mendapatkan pekerjaan di Denmark mudah.

Fasilitas kesehatan di negara berpenduduk 5,8 juta orang ini gratis, berkat pengelolaan pajak
penghasilan yang baik oleh pemerintah. Hal ini juga terjadi berkat sinergi antara pemerintah
pusat Kopenhagen dan pemerintah daerah: pusat membuat regulasi kesehatan dan alokasi
dana, daerah menerapkannya dengan layanan kesehatan yang baik tanpa dikorupsi.

Pendidikan di Denmark juga gratis untuk penduduk dan warga pendatang dari negara Uni
Eropa. Selain itu, para pelajar rutin mendapatkan bantuan langsung tunai per bulannya DKK
950 (sekitar Rp 2 juta) bagi yang masih tinggal dengan orang tua, atau DKK 5.486 (sekitar Rp
12 juta) bagi pelajar yang tinggal jauh dari orang tua.

Kondisi di kota Helsinki, Finlandia. (Freepik)

Finlandia

Finlandia juga sangat membanggakan posisinya sebagai negara paling bebas korupsi di dunia.
Korupsi pemerintahan hampir nihil di Finlandia saat ini, tidak ada tradisi suap menyuap dan
gratifikasi. Perihal korupsi semuanya tercantum dalam UU Pidana Finlandia dan ditegakkan
dengan baik.

Bersihnya Finlandia dari korupsi juga berkat kultur keterbukaan dan transparansi dari
penyelenggara negara, sistem pengendalian internal dan eksternal yang luar biasa, hinga
keterlibatan masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi.

Korupsi yang hampir nol tentu saja berdampak pada pelayanan publik yang mengagumkan
untuk rakyatnya. Di Finlandia pendidikan gratis, mulai dari SD hingga universitas. Layanan
kesehatan hampir seluruhnya dibiayai oleh pajak, artinya rakyat bisa mendapatkan pengobatan
gratis.

Korupsi tidak dipungkiri berdampak pada tingginya angka kemiskinan yang kemudian merembet
pada meningkatnya kriminalitas. Hal ini tidak terjadi di Finlandia sebagai negara paling bersih
dari korupsi. Negara di utara Eropa ini dianggap sebagai yang paling aman di dunia,
berdasarkan laporan Forum Ekonomi Dunia pada 2017.

Kesejahteraan dan kemakmuran tersebut akhirnya menjadikan Finlandia selalu berada di


jajaran teratas negara paling bahagia di dunia dalam Laporan Kebahagiaan Dunia PBB setiap
tahunnya. Predikat ini tentu saja tidak akan diberikan jika 5,5 juta rakyatnya tidak puas dengan
jalannya pemerintahan dan kehidupan di Finlandia.
Pemandangan kota Auckland, Selandia Baru. (Freepik)

Selandia Baru

Dalam berbagai pengukuran korupsi di seluruh dunia, Selandia Baru selalu berada di urutan
teratas negara paling bersih dari korupsi. Negara di Pasifik ini dianggap memiliki regulasi yang
efektif untuk mencegah korupsi.

Di Selandia Baru, prinsip transparansi dikedepankan dan birokrasi dipangkas. Iklim usaha juga
sangat kondusif di negara ini, dengan pengurusan izin usaha yang bisa beres dalam waktu
sehari saja.

Selandia Baru juga sukses menegakkan hukum antikorupsi yang memiliki ancaman penjara
hingga 14 tahun. Pejabat publik dilarang menerima gratifikasi, yang semuanya diterapkan
dengan ketat di seluruh jajaran pemerintahan.

Kondisi ini memungkinkan Selandia Baru memiliki pelayanan kesehatan yang baik. Standar dan
pelayanan kesehatan Selandia Baru sangat tinggi, dan seluruh biayanya disubsidi pemerintah
alias gratis. Biaya hidup di Selandia Baru juga sangat rendah, namun kualitas hidup mereka
justru tinggi.

Selandia Baru juga menempati ranking 10 untuk pendidikan terbaik di dunia, berdasarkan World
Population View. Sistem pendidikan di Negeri Kiwi ini dianggap salah satu yang terbaik di
dunia. Tentu saja, biaya pendidikan gratis untuk seluruh penduduknya.

Indeks Perdamaian Global 2021 menempatkan Selandia Baru sebagai negra paling aman
kedua di dunia setelah Islandia. Jadi di negara ini biasa saja meninggalkan rumah atau
kendaraan tidak terkunci.

Tingkat keamanan hidup di negara ini dianggap semakin bertambah usai Perdana Menteri
Jacinda Ardern menerapkan aturan ketat soal kepemilikan senjata api, setelah penembakan di
masjid Christchurch oleh teroris sayap kanan yang menewaskan 51 orang.

Pemandangan kota Jakarta, Indonesia (Frepik)

Bagaimana dengan Indonesia?


Indonesia pada IPK menempati ranking 96 bersama dengan Brasil, Lesotho, dan Turki dari 180
negara di dunia. Skor Indonesia 38, naik satu poin dibanding tahun sebelumnya. Tentu saja, ini
bukan hal yang membanggakan.

Masih saja kita melihat berita para koruptor tertangkap, tidak ada habisnya. Penyuapan dan
gratifikasi masih kerap terjadi di negara ini. Akibatnya tentu saja, perekonomian yang melemah,
layanan publik dan kesehatan yang buruk, atau pembangunan yang terhambat. Korupsi juga
menyebabkan semakin lebarnya jurang ketimpangan pendapatan dan kesenjangan sosial.

Selama masih ada korupsi di negeri ini, rasanya akan sulit melihat Indonesia berhasil
mewujudkan cita-cita kemerdekaannya: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.

Tapi semua masih belum terlambat. Masa depan yang cerah menanti di hadapan kita. Upaya
pemberantasan korupsi masih terus digalakkan dibarengi dengan strategi pencegahan dan
pendidikan dalam Trisula Pemberantasan Korupsi KPK.

Cara pertama yang harus dilakukan adalah mulai dari sendiri, dengan memegang teguh nilai-
nilai integritas pribadi, lalu menularkannya ke orang lain. Tidak ada jalan lain, kita harus menjadi
memberantas korupsi untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai