Anda di halaman 1dari 22

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam

pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala

negara tak luput dari kesungguhan meneropong apa komitmen yang diberikan

oleh calon kepala negara untuk memberantas korupsi. Tak pelak ini terjadi

karena korupsi terus terjadi menggerus hak rakyat atas kekayaan negara.

Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan

masyarakat.29

Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong

dengan para koruptor. Komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya

tarik pemilih untuk mencari calon kepala negara yang memiliki komitmen

nyata dan memberikan secercah harapan bahwa setiap orang yang berbuat

curang pada negara layak diusut sampai penghabisan.

Komitmen kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

tentu masih terngiang dalam pendengaran kita, bahkan mungkin lengkap

dengan cengkok gaya bahasa dalam pidatonya yang disampaikan bahwa

dirinya akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan negeri ini.

Rupanya komitmen yang disampaikan oleh SBY ini bukan barang baru.

29
https://acch.kpk.go.id/id/component/content/article?id=144:sejarah-panjang-
pemberantasan-korupsi-di-indonesia Di akses pada 28 Agustus 2020.
20

Pendahulunya, Soeharto pernah menyatakan komitmen yang sama. Saat itu

tahun 1970 bersama dengan Peringatan Hari Kemerdekaan RI, Soeharto-

Presiden saat itu-mencoba meyakinkan rakyat bahwa komitmen memberantas

korupsi dalam pemerintahannya sangat besar dan ia juga menegaskan bahwa

dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi. “Seharusnya tidak

ada keraguan, saya sendiri yang akan memimpin.”

Komitmen kepemerintahan sejak era Presiden Soekarno hingga

Presiden Joko Widodo seakan tak semudah diucapkan, karena komitmen

pemberantasan korupsi memang berat untuk dilakukan. Berbagai upaya

pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap periode pemerintahan negara ini.

Beberapa referensi menyatakan bahwa pemberantasan korupsi secara yuridis

baru dimulai pada tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer

Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang

Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu

Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.30

Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28

Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam

pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara

maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini

malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969

dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya

30
http://indonesiabaik.id/infografis/sejarah-komitmen-pemberantasan-korupsi-di-
indonesia Diakses pada 16 Agustus 2020
21

Komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan

mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.

Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung

Hatta memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia.

Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru

yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta

seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa

yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu

merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu

justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun

dengan korupsi.”31

Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena

masa Orde Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak

peraturan yang dibuat itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit

berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan

RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun

1971 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan

pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta

bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis

Besar Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan

31
Ibid.,
22

rakyat untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor

karena pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran

anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.32

Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi

pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah

sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi. Lembaga yudikatif pun dibuat serupa

oleh rezim Orde Baru, sehingga tak ada kekuatan yang tersisa untuk bisa

mengadili kasus-kasus korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat sipil

dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak

masyarakat dan melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.

Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru

berkaitan dengan pemberantasan korupsi :

 GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan

Bersih dalam Pengelolaan Negara;

 GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam

rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi,

Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan

Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk

Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;

 Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;

32
Ibid.,
23

 Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan

PNS;

 Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;

 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa

mengenyahkan koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul

pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa

pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998

tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus

Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya

pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak

Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan

Pejabat Negara dan beberapa lainnya.33

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan

oleh pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa

sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan

Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum

korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka

pada saat itu.

Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus

korupsi menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan

33
Ibid.,
24

masyarakat. Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi

pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak

korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.34

Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap

lembaga negara yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati

kemudia membentuk Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK).

Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya

pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal

Komisi Pemberantasan Korupsi.

Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin

segar ketika muncul sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan

kewenangan yang jelas untuk memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya, ini

dibilang terlambat dari agenda yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 UU

KPK, pembahasan RUU KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan

pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi.

Keterlambatan pembahasan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab.

Pertama, perubahan konstitusi uang berimpilkasi pada perubahan peta

ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan legislative heavy pada DPR. Ketiga,

kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan RUU KPK salah

satunya juga disebabkan oleh persolan internal yang melanda system politik di

Indonesia pada era reformasi.

34
Ibid.,
25

Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari

langkah awal yang dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden

Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana

Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas.

RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan

menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang

Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan internasional

(structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara hukum

nasional dan hukum internasional.35

Pemerintahan boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat

Indonesia menginginkan pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar

dalam pemberantasan korupsi. Harapan dan keinginan kuat untuk mewujudkan

Indonesia yang bebas dari korupsi telah disandarkan di pundak pemimpin baru

negara ini yang telah memulai perjalanan panjangnya sejak tahun lalu hingga

tahun mendatang. Kemauan politik kuat yang ditunjukkan untuk mendukung

lembaga pemberantas korupsi di negeri ini yang nantinya akan dicatat sebagai

sejarah baik atas panjangnya upaya pemberantasan korupsi yang selama ini

sudah dilakukan.

35
Ibid.,
26

Di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, fakta-fakta berbicara

bahwa para koruptor juga telah menyiapkan dan menggunakan berbagai cara

untuk terbebas dari tuduhan korupsi. Bahkan tidak hanya sampai di situ, juga

sekaligus menghancurkan pemberantasan korupsi itu sendiri. Ada banyak cara,

bunuh UU anti korupsi atau lembaga anti korupsi. Cara yang seringkali ampuh.

Cukup membawa ke sidang Mahkamah Konstitusi (MK), tatkala pemihakan

hakim sedang lemah serta cognitive talent para hakim konstitusi yang pasti

punya keterbatasan, sangat mungkin UU tersebut melemah dalam pukulan palu

putusan hakim. Lain cara, pukul para komisioner pemberantasan korupsi.

Ancam mereka dengan berbagai kejahatan bahkan pelanggaran sekecil apapun.

Cara ini berkali-kali cukup efektif. Mengganggu KPK dalam kerja-kerja

pemberantasan korupsi. Ada banyak nama yang sangat mungkin disebutkan

untuk mengurai kembali ingatan kita akan upaya membunuh komisioner

KPK.36

Taktik lain lemahkan subsistem pemberantasan korupsi.

Pemberantasan korupsi yang baik ditopang oleh setidaknya tiga pilar besar,

dukungan negara, dukungan publik dan sistem pendukung yang baik.

Dukungan negara, tanpa perlu kita analisi lagi, mudah untuk menyimpulkan:

lemah! Tak pernah berhenti rasanya negara mencoba mengutak atik peraturan

36
Denny Indrayana, Op.Cit., hlm. xv
27

pemberantasan korupsi. Tentu “utak atik” dalam konteks negatif. Mau merusak

UU-nya, bahasa lebih tepatnya.37

Dukungan publik juga dibunuh dengan langkah taktis yang sederhana.

Takut-takuti publik. Bikin segregasi yang jelas, pendukung KPK adalah orang

yang tidak mendukung Kejaksaan dan Kepolisian misalnya. Teror ala aparat ini

menyebar cepat bahkan menjadi semacam alat pemusnah massal bagi semangat

dan gairah publik membela pemberantasan korupsi. Aktivisnya diancam

dengan berbagai pelanggaran dan kesalahan kecil yang bisa dipakai untuk

memukul balik.

Sistem pendukung yang baik juga dirusak. KPK adalah trisula

pemberantasan korupsi bersama Kepolisian dan Kejaksaan. Bahkan, hidupnya

KPK punya keterkaitan erat dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Sederhananya,

tak perlu lansung membunuh KPK-nya, cukup dengan merusak Kejaksaan dan

Kepolisian imbasnya akan terkena pada KPK. Makanya, mustahil rasanya

penguatan pemberantasan korupsi tanpa menguatkan Kejaksaan dan

Kepolisian. Masih dalam sistem, halangi penguatan KPK. KPK yang punya

potensi membuat KPK perwakilan di daerah pun “dihalan-halangi” dalam

berbagai dalih.

Menguatkan program antikorupsi seperti semangat Klitgaard (1991) di

dalam “Controlling Corruption”, semacam kerja-kerja membangun sistem dan

lembaga antikorupsi yang kuat menjadi keniscayaan di dalamnya. Dalam

37
Ibid., hlm. xvi
28

berbagai perspektif pemberantasan korupsi yang dianalisis oleh Gillespie dan

Okruhlik (1991), setidaknya ada empat strategi pemberantasan korupsi yang

dapat di lakukan, yakni (1) strategi terkait masyarakat; (2) strategi terkait

hukum; (3) strategi terkait pasar; serta (4) strategi terkait politik.38

Sama dengan konsep perlawanan para koruptor, strategi menguatkan

antikorupsi juga bisa dan sangat mungkin diperpanjang dengan berbagai

analisis yang mungkin dapat menjadi penawar atas banal korupsi. Satu hal

yang paling membedakan adalah niat dan ghirah yang kuat untuk melawan

korupsi. Rasanya ini yang lelet di republik ini. Dalam konsep kemampuan

(ability) kita rasanya cukup mampu. Banyak yang bisa membangun sistem dan

menguatkan upaya pemberantasan korupsi. Tapi yang lemah adalah kemauan

(willingness). Tatkala unable dan unwilling bertemu, biasanya petaka akan

tercipta. Yang dibutuhkan adalah sosok-sosok kuat yang mau dan mampu

membangun perlawanan. Yang dibutuhkan orang yang paham dengan

kemampuan membaca kemungkinan serangan.39

Pembentukan KPK di tahun 2003 menjadi jawaban atas kegelisahan

masyarakat sejak dulu terhadap korupsi. Seperti diutarakan Direktur Jaringan

dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri

Nursyamsi, sudah sejak lama semangat untuk memberantas korupsi sangat

tinggi. Suara bulat menginginkan hadirnya lembaga antikorupsi dengan tugas

dan wewenang yang jelas. Di tengah pemahaman itu dibentuklah lembaga yang

38
Ibid., hlm. xvii
39
Ibid., hlm. xviii
29

salah satu tugasnya bukan hanya memberantas korupsi secara normatif, secara

umum, tetapi justru dikhususkan secara birokrasi.40

Fajri menilai karakteristik tindak pidana korupsi cukup kompleks. Ada

rangkaian kegiatan, satu, dia pasti berkelompok, kedua tersistematis, ketiga ini

sulit dibongkar karena sifatnya rahasia. Karena itu, Fajri menambahkan segala

aturan dibuat dengan satu tujuan yakni memberikan kewenangan yang dapat

memperkuat KPK. Satu di antaranya soal penyadapan. Kalau korupsi tidak

begitu. Buktinya sulit didapat. Oleh karena itu, KPK dibekali sebuah sistem

yang pertama tidak boleh mundur, kedua dia dibekali teknik-teknik

pengambilan bukti yaitu penyadapan.

Dengan kriteria korupsi dan kewenangan yang diberikan, KPK

dituntut untuk berhati-hati dalam menentukan status tersangka seseorang.

Maka dari itu, KPK tidak memiliki penghentian penanganan perkara atau SP3.

Karena dibebankan dengan pembuktian yang tidak main-main karena jika tak

kuat bisa dipatahkan, maka ketiadaan SP3 di KPK untuk menjaga kualitas dari

penyelidikan dan penyidikan.

Paradigma atau cara berpikir tentang pemberantasan korupsi sejak

pertama berdiri mengalami pergeseran. Kewenangan KPK justru malah

dipangkas. Menurut Fajri, tidak sulit untuk mengatakan telah terjadi pelemahan

pada KPK sekarang ini, lantaran banyaknya penyelenggara negara yang telah

menjadi tersangka, ditahan, diadili lalu menjadi terpidana kasus korupsi. Fajri

40
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190919082153-12-431792/jalan-
berlubang-sejarah-pemberantasan-korupsi-di-indonesia Diakses pada 10 September 2020.
30

menilai, dulu pembentuk UU itu risih dengan tipikor karena merugikan

mereka, merasa itu harus dibersihkan dan lain-lain.Tapi, kalau kita lihat yang

sekarang, karena sudah banyak tersangka atau terpidana yang diperkarakan

oleh KPK dan itu ada di ring kekuasaan legislatif, itu justru memengaruhi

bentuk kebijakan yang akhirnya menjadikan RUU KPK kemarin (disahkan).41

B. Pengertian Dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

Istilah kebijakan dapat diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau

“politiek” (Belanda).42 Menurut Barda Nawawi Arif, istilah “kebijakan hukum

pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”, yang dalam

kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan

berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy”

atau“strafrechtspolitiek”.43 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana

dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto

politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik

sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.44

Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan

untuk mencapai apa yang dicita-citakan.45 Selanjutnya, Sudarto menyatakan

41
Ibid.,
42
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Edisi Pertama, Cetakan ke-2, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2010, hlm.26
43
Ibid.,
44
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1981, hlm.159
45
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,
1983, hlm. 20
31

bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna.46

Melakukan “politik hukum pidana” berarti usaha mewujudkan

peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi

pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.47 Usaha

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga

merupakan bagian dari usaha penegakkan hukum (khususnya penegakkan

hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau

kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakkan

hukum (law enforcement policy).48

Masalah penanggulangan kejahatan di masyarakat, tentunya tidak

dapat dipisahkan dari konteks pembicaraan mengenai politik kriminal. Arti

atau definisi dari politik kriminal itu sendiri menurut Sudarto, adalah usaha

rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Usaha

penanggulangan kejahatan ini, dapat bersifat penal dan nonpenal. Usaha

penanggulangan kejahatan secara penal, yang dilakukan melalui langkah-

langkah perumusan norma-norma hukum pidana, yang didalamnya terkandung

unsur-unsur substantif, struktural dan kultural masyarakat tempat sistem

hukum pidana itu diberlakukan.

46
Sudarto,“Hukum dan......”,Op.cit., hlm.161
47
Ibid., hlm.109
48
Barda Nawawi Arif, “Bunga Rampai......”,Op.cit., hlm.28
32

Usaha penanggulangan kejahatan melalui sarana penal tersebut dalam

operasionalisasinya dijalankan melalui suatu sistem yakni sistem peradilan

pidana yang di dalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem

pendukungnya yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Koreksi

(Lembaga Pemasyarakatan) yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan

(totalitas) berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran

(output) yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana yaitu berupa resosialisasi

pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka

menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang).

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam

menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana)

menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada

hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal

(criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) sehingga

termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).49

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu

upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan

hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum inipun

termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang

49
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber
Crime Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 20
33

termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya

tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang

kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan

pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam

alternatif.50

Hal ini berarti bahwa dalam menanggulangi suatu kejahatan tidak ada

suatu keharusan yang mewajibkan untuk menanggulangi kejahatan tersebut

dengan sarana hukum pidana (penal), mengingat penanggulangan kejahatan

dengan menggunakan kebijakan hukum pidana berupa pemberian pidana

memberikan dampak buruk seperti yang dikemukakan oleh Herman Bianchi

bahwa lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selama-

lamanya dan secara menyeluruh. Tidak sedikitpun (bekas) yang patut diambil

dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini.51

Kebijakan penal yang bersifat represif, namun sebenarnya juga

mengandung unsur prefentif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan

pidana terhadap delik diharapkan ada efek pencegahan/penangkal (“deterrent

effect”) nya. Di samping itu, kebijakan penal tetap diperlukan dalam

penanggulangan kejahatan, karena hukum pidana merupakan salah satu sarana

kebijakan sosial untuk menyalurkan “ketidaksukaan masyarakat (“social

dislike”) atau pencelaan/kebencian sosial (“social disapproval social

50
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hlm. 17-18
51
Herman Bianchi dalam Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 37
34

abhorrence”) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana “perlindungan

sosial” (“social defence”). Oleh karena itulah sering dikatakan, bahwa “penal

policy” merupakan bagian integral dari “social defence policy”.52

Hal senada juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh, beliau

mengemukakan tiga alasan yang cukup panjang mengenai masih diperlukannya

pidana dan hukum pidana, adapun intinya sebagai berikut:53

a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan

yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk

mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak

pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil

itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama

sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas

pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat

dibiarkan begitu saja.

c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si

penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga

masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief dan

Roeslan Saleh, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan hukum pidana

52
Barda Nawawi Arief, “Masalah......”, Op.cit, hlm. 182.
53
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, PT Alumni,
Bandung, 2010, hlm. 153
35

dalam menanggulangi kejahatan masih sangat diperlukan pada saat ini,

mengingat bahwa hukum pidana selain memiliki sisi represif juga memiliki sisi

preventif untuk mencegah agar masyarakat yang taat pada hukum tidak ikut

melakukan atau akan berfikir dua kali jika ingin melakukan kejahatan.

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal”

merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang

fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap:54

1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif);

3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif).

Dengan adanya tahap formulasi maka upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum,

tetapi juga aparat pembuat hukum; bahkan kebijakan legislative merupakan

tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan

kebijakan legislative merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi

penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap

aplikasi dan eksekusi.

54
Barda Nawawi Arief, “Masalah......”,Op.cit, hlm. 77
36

C. Tugas Dan Kewenangan Badan Pengawas KPK

Dewan Pengawas KPK adalah struktur baru dalam tubuh KPK

berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi. Dalam pasal 37A UU KPK, Dewan Pengawas dipilih oleh Presiden

dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi

Pemberantasan Korupsi. Anggota Dewan Pengawas berjumlah 5 (lima) orang

yang memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali dalam

jabatan yang sama hanya untuk 1 kali masa jabatan. Lima anggota Dewan

Pengawas KPK itu yakni Syamsuddin Haris, Artidjo Alkostar, Albertina Ho,

Harjono dan Tumpak Hatorangan Panggabean yang telah di lantik oleh

Presiden RI untuk masa jabatan 2010-2023.55

Dalam pasal 37B UU KPK disebut selain (1) Mengawasi pelaksanaan

tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi, Dewan Pengawas KPK

bertugas (2) Memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan,

penggeledahan, atau penyitaan. Misalnya dalam proses penyidikan, penyidik

dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan

Pengawas. Sehingga sebelum penggeledahan atau penyitaan, diperlukan

pengajuan izin kepada Dewan Pengawas. Selanjutnya Dewan Pengawas akan

memberi izin tertulis atau tidak memberi izin dalam periode 1 x 24 jam sejak

permintaan izin penggeledahan atau penyitaan diajukan.

55
https://tirto.id/daftar-tugas-dewan-pengawas-kpk-yang-baru-dilantik-jokowi-en75
Diakses pada 10 Agustus 2020.
37

Dewan Pengawas KPK juga bertugas (3) Menyusun dan menetapkan

kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. (4)

Selanjutnya menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai

adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi

Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam UU Nomor 19

Tahun 2019. Dewan Pengawas KPK juga bertugas (5) Menyelenggarakan

sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan

dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan UU, Dewan

Pengawas akan (6) Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai KPK

secara berkala 1 kali dalam 1 tahun.56

Setiap tahun Dewan Pengawas akan membuat laporan pelaksanaan

tugas dan dilaporkan kepada Presiden dan DPR. Hal ini dilakukan satu kali

dalam setahun. Dari lima orang yang dilantik menjadi Dewan Pengawas KPK,

presiden akan memilih satu orang untuk ditetapkan sebagai ketua Dewan

Pengawas KPK. Berdasarkan UU KPK tersebut, ketua dan anggota Dewan

Pengawas KPK ini akan diberhentikan, apabila: Meninggal dunia; Berakhir

masa jabatannya; Melakukan perbuatan tercela; Dipidana penjara berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena

melakukan tindak pidana kejahatan; Mengundurkan diri atas permintaan

sendiri secara tertulis; dan/atau Tidak dapat melaksanakan tugas selama 3

bulan secara berturut-turut.

56
Ibid.,
38

Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan

berbagai kegiatan dalam rangka pelaksanaan tugas. Pelaksanaan kegiatan ini

sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diamanatkan dalam Pasal 37B UU

No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean memaparkan

serangkaian pelaksanaan tugas sejak dilantik pada 20 Desember 2019, hingga

awal Mei tahun ini melakukan kegiatan dengan tiga poin besar, yakni

penyiapan sarana dan pra sarana, melakukan kegiatan operasional, dan

melaksanakan tugas pengawasan dan evaluasi kinerja Pimpinan KPK.57

Terkait dengan tugas penetapan kode etik dan penegakannya, selama

kurang lebih 4 bulan, Dewan Pengawas KPK telah menyelesaikan 3 peraturan

terkait kode etik, yakni: Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 01 Tahun

2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan

Korupsi; Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 02 Tahun 2020 tentang

Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi;

dan Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 03 Tahun 2020 tentang Tata Cara

Pemeriksaan dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Komisi Pemberantasan Korupsi. Guna mengefektifkan tugas Dewas sesuai UU,

selama periode yang sama, Dewan Pengawas telah menyelesaikan 36 Standar

Operasional Prosedur (SOP). Pelaksanaan tugas lain adalah terkait dengan

pemberian izin atau tidak memberikan izin penindakan. Hingga awal Mei 2020

57
https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/1641-pelaksaaan-tugas-dewan-
pengawas-kpk-kuartal-pertama-tahun-2020 Diakses pada 9 Agustus 2020.
39

ini, Dewan Pengawas telah menerima permintaan dan menindaklanjuti

pemberian 183 izin. Izin tersebut terdiri dari 34 izin penyadapan, 15 izin

penggeledahan, dan 134 izin penyitaan.58

Dalam rangka penerimaan laporan masyarakat terkait adanya dugaan

pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK, dan pengawasan atas

pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, Dewan Pengawas KPK telah

menerima dan menindaklanjuti sebanyak 92 surat pengaduan. Dalam

pemaparannya Ketua Dewan Pengawas KPK berterima kasih kepada

partisipasi masyarakat yang terus membantu dalam melakukan pengawasan

terhadap tugas dan kewenangan KPK. Sementara itu terkait pelaksanaan

pengawasan atas tugas dan kewenangan KPK, Dewan Pengawas telah

melakukan Rapat Koordinasi Pengawasan (Rakorwas) Triwulan I dengan

Pimpinan KPK pada tanggal 27 April 2020 yang meliputi 18 (delapan belas)

isu/permasalahan. Secara garis besar, sebanyak 18 permasalahan itu terdiri dari

empat bidang.

Pertama, Bidang Penindakan dalam rangka mempercepat penanganan

perkara sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi dalam upaya

optimalisasi asset recovery serta kepastian hukum. Kemudian Bidang

Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat dalam rangka penguatan fungsi

Pengawasan Internal serta harmonisasi pelaksanaan tugas pengawasan oleh

Dewas dan Pengawasan Internal (PI). Selanjutnya Bidang Pencegahan dalam

rangka optimalisasi fungsi pencegahan khususnya dalam upaya pengamanan

58
Ibid.,
40

aset kementerian/lembaga dan/atau Pemda. Terakhir adalah bidang Kesekjenan

dalam rangka pembenahan manajemen SDM KPK. Selain Rakorwas, Dewan

Pengawas juga telah melakukan Rapat Evaluasi Kinerja Pimpinan KPK

Triwulan I pada 27 April siang dan 5 Mei 2020 dengan fokus melakukan

evaluasi terhadap capaian kinerja pimpinan selama 3 bulan pertama 2020.59

Tumpak Panggabean mengatakan Dewan Pengawas akan terus

melakukan tugas dan wewenangnya secara transparan, profesional, dan

akuntabel. Hal ini dilakukan supaya masyarakat bisa ikut berpartisipasi

mengawasi dan mengawal kerja KPK, sehingga masyarakat diharapkan akan

terus mendukung kerja-kerja pemberantasan korupsi demi Indonesia yang

bersih dari korupsi.

59
Ibid.,

Anda mungkin juga menyukai