Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

‘’ PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SEJARAH PEMBERANTASAN


KORUPSI’’

Di

Oleh :

KELOMPOK 1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul  ‘’PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN
SEJARAH PEMBERANTASAN KORUPS’ Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah
‘’PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI’’. Selain itu, makalah ini bertujuan Untuk menambah
wawasan bagi pembaca .

Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak pihak yang membantu kami dalam menyusun
makala ini ..

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Ambon 15 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

(PENDAHULUAN)

 LATAR BELAKANG

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merajalela di tanah air selama ini tidak saja merugikan
Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tipikor
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi kejahatan luar biasa.
Metode konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan
korupsi yang ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan cara-
cara luar biasa

Mengingat bahwa salah satu unsur Tipikor di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) adalah adanya unsur kerugian keuangan negara, unsur tersebut memberi
konsekuensi bahwa pemberantasan Tipikor tidak hanya bertujuan untuk membuat jera para
Koruptor melalui penjatuhan pidana penjara yang berat, melainkan juga memulihkan keuangan
negara akibat korupsi sebagaimana ditegaskan dalam konsideran dan penjelasan umum UU
Tipikor. Kegagalan pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi makna‘ penghukuman
terhadap para koruptor.

Korupsi berasal dari bahasa Latin “Corruptio” atau “Corruptus”, yang kemudian diadopsi oleh
banyak bahasa di Eropa, misalnya di Inggris dan Perancis “Corruption” serta Belanda
“Corruptie”, dan selanjutnya dipakai pula dalam bahasa Indonesia “Korupsi”. Secara
harfiah/bahasa sehari-hari korupsi berarti : kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap.
Dalam kaidah bahasa menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta
“korupsi” diartikan sebagai : “perbuatan yang buruk seperti : penggelapan uang, penerimaan
uang sogok, dan sebagainya”. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia “korupsi”
diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara untuk keuntungan pribadi
atau orang lain.1
Sejarah korupsi di Indonesia terjadi sejak zaman Hindia Belanda, pada masa pemerintahan
Orde Lama, Pemerintahan rezim Orde Baru dan Orde Reformasi.Pemerintahan rezim Orde
Baru yang tidak demokratis dan militerisme menumbuhsuburkan terjadinya korupsi di semua
aspek kehidupan dan seolah-olah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Jika pada masa Orde
Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka
pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara Negara sudah terjangkit “virus
korupsi” yang sangat ganas

Istilah Korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan
Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi.
Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 29 Maret
1971 digantikan oleh Undang-undang No.3 tahun 1971 karena Undang-undang No. 24 Prp.
tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil
yang diharapkan, dan oleh karenanya Undang-undang tersebut perlu diganti, yang kemudian
sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 karena
undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum, karena itu perlu diganti dengan undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif
dalam mencegah dan membrantas tindak pidana korupsi dan kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001 Perubahan atas Undang-
undang No. 30 tahun 1999 tentang pembrantasan tindak pidana korupsi, karena untuk
menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan
perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil
dalam pembrantasan tindak pidana korupsi.

Selanjutnya korupsi terus menerus menunjukkan perkembangannya, sebagai respon akan


hal tersebut pemerintah kemudian membentuk suatu komisi untuk mengatasi,
menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia
 RUM USAN MASALAH

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam
hukum positif?

2. Bagaimanakah kendala dalam pelaksanaan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
selama ini?

3. Bagaimanakah urgensi dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam
ius constituendum?
BAB II

(PEMBAHASAN)

2.1 SEJARAH PANJANG PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam pemerintahan sebuah


negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara tak luput dari kesungguhan
meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon kepala negara untuk memberantas
korupsi. Tak pelak ini terjadi karena korupsi terus terjadi menggerus hak rakyat atas kekayaan
negara. Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat.

Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong dengan para koruptor.
Komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya tarik pemilih untuk mencari calon
kepala negara yang memiliki komitmen nyata dan memberikan secercah harapan bahwa setiap
orang yang berbuat curang pada negara layak diusut sampai penghabisan.

Komitmen kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu masih terngiang dalam
pendengaran kita, bahkan mungkin lengkap dengan cengkok gaya bahasa dalam pidatonya
yang disampaikan bahwa dirinya akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan negeri
ini. Rupanya komitmen yang disampaikan oleh SBY ini bukan barang baru. Pendahulunya,
Soeharto pernah menyatakan komitmen yang sama. Saat itu tahun 1970 bersamaa dengan
Peringatan Hari Kemerdekaan RI, Soeharto-Presiden saat itu-mencoba meyakinkan rakyat
bahwa komitemn memberantas korupsi dalam pemerintahannya sangat besar dan ia juga
menegaskan bahwa dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi. “Seharusnya
tidak ada keraguan, saya sendiri yang akan memimpin.”

Tak semudah diucapkan, komitmen pemberantasan korupsi memang berat untuk dilakukan.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap periode pemerintahan negara
ini. Beberapa referensi menyatakan bahwa pemberantasan korupsi secara yuridis baru dimulai
pada tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957.
Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh
penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang
Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan
pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi.
Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan
puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas
menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk
mengatasinya.

Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta memunculkan
wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah
menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini masih
begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa
yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita
negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas.
Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”

BANJIR PERATURAN PEMBERANTASAN KORUPSI

Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde Baru yang
cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku efektif dan
membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung pidatonya di Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971
tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara
maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang
dikategorikan korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Besar Haluan Negara
(GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Namun
pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan
kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.

Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah.
Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi. Lembaga
yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka da kekuatan yang tersisa
untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat sipil
dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan
melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.

Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan pemberantasan
korupsi :

 GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam
Pengelolaan Negara;
 GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban
Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan
Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk
Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
 Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
 Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
 Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

REFORMASI : PERJUANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI MASIH BERLANGSUNG

Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan koruptor dari
Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi
pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus
Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan
korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi
Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan Gus
Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian
menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret
penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan
tersangka pada saat itu.

Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan
berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai meragukan
komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang
ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.

Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang
seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk Komisi
Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan
terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang
kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.

KPK LAHIR, PEMBERANTASAN KORUPSI TAK PERNAH TERHENTI

Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika muncul
sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas untuk memberantas
korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag dari agenda yang diamanatkan oleh
ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
20 Tahun 2001, pembahasan RUU KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan
pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan
pembahasan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi
uang berimpilkasi pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan legislative
heavy pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan RUU KPK
salah satunya juga disebabkan oleh persolan internal yang melanda system politik di Indonesia
pada era reformasi.

Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang
dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian
dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang
disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009.
Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono
diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum,
dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara
hukum nasional dan hukum internasional.

Pemerintahan boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat Indonesia menginginkan
pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar dalam pemberantasan korupsi. Harapan dan
keinginan kuat untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi telah disandarkan di
pundak pemimpin baru negara ini yang akan memulai perjalanan panjangnya pada bulan
Oktober mendatang. Kemauan politik kuat yang ditunjukkan untuk mendukung lembaga
pemberantas korupsi di negeri ini yang nantinya akan dicatat sebagai sejarah baik atas
panjangnya upaya pemberantasan korupsi yang selama ini sudah dilakukan. Semoga!

Bibliografi:

 Wijayanto ; Zachrie, Ridwan [ed.]. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
 Muslim, Mahmuddin ; Mahbub, Agus Sahlan ; Erwin, Ahmad Yulden [ed.]. 2004. Jalan Panjang
Menuju KPTK. Jakarta: Gerak Indonesia dan Yayasan Tifa.
 Chalid, Hamid ; Johan, Abdi Kurnia. 2010. Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga Zaman :
Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia.
 Wawancara dan berbagai sumber lain

2.2 TINDAK PIDANA KORUPSI


Menurut Ensiklopedia Antikorupsi Indonesia, “Korupsi” (dari bahasa Latin: corruption =
penyuap; corruptore = merusak) merupakan gejala dimana pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenangnya dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta
ketidakberesan lainnya Korupsi merupakan penyelewengan atau penggelapan uang negara
atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain7.

Menurut Lubis dan Scott, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri
sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar
batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut8. Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu
yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan
menemukan kenyataan seperti itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan
keadaan yang buruk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan
keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya

Unsur tindak pidana korupsi tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang
bunyinya “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
dirisendiri

 Tindak pidana korupsi (Tipikor) merupakan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, baik
ekonomi maupun sosial. Tindak pidana korupsi pun tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan
biasa (ordinary crimes), melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes).
Akibat dari korupsi, penderitaan selalu dialami oleh masyarakat, terutama yang berada dibawah
garis kemiskinan. Adapun unsur-unsur dominan yang melekat pada tindakan korupsi tersebut
adalah sebagai berikut :

1. Setiap korupsi bersumber pada kekuasaan yang didelegasikan (delegated power, derived
power). Pelaku-pelaku korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau
wewenang dari perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk kepentingan-
kepentingan lain.

2. Korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari pejabat-pejabat yang melakukannya.

3. Korupsi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, link, atau kelompok. Oleh karena
itu, korupsi akan senantiasa bertentangan dengan keuntungan organisasi, kepentingan negara
atau kepentingan umum.

4. Orang-orang yang mempraktikkan korupsi, biasanya berusaha untuk merahasiakan


perbuatannya. Ini disebabkan karena setiap tindakan korupsi pada hakikatnya mengandung
unsur penipuan dan bertentangan dengan hukum

5. Korupsi dilakukan secara sadar dan disengaja oleh para pelakunya. Dalam hal ini tidak ada
keterkaitan antara tindakan korup dengan kapasitas rasional pelakunya. Dengan demikian,
korupsi jelas dapat diberkan dari mal-administrasi atau salah urus
2.3 PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
“Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua
unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsurunsur tersebut dirumuskan di dalam undang-
undang menurut KUHP32”.
Pelaku tindak pidana korupsi adalah perilaku tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh Pegawai
Neger atau penyelenggara Negara dan setiap orang adalah orang perseorangan termasuk
korporasi keputusan dibuat.

Tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor dirumuskan dalam Pasal:


2,3,5,6,7,8,9,11,12,12B,13,15,16,21,22,23,dan Pasal 24. Dari pasal-pasal tersebut ada 44
rumusan tindak pidana korupsi yang atas dasar-dasar tertentu dapat juga dibedakan dan
dikelompokkan sebagai berikut:

1. Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi


Atas dasar substansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis :
 Tindak Pidana Korupsi Murni
Tindak pidana korupsi yang substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan
perlindungan hukum terhadap kepentingan umum yang menyangkut keuangan negara,
perekonomian negara, dan kelancara pelaksanaan tugas/ pekerjaan pegawai negara atau
pelaksanaan pekerjaan yang bersifat publik. Kelompok ini dirumuskan dalam Pasal 2, 3,
4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 , 11, 12, 12B, 13, 15, 16, dan Pasal 23 (yang mengadopsi norma di
dalam Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP). Diantara pasal-pasal tersebut ada 20
(dua puluh) pasal yang memuat 38 (tiga puluh delapan) rumusan tindak pidana korupsi
murni. Tindak pidana kelompok ini merupakan kejahatan jabatan, artinya subjek
hukumnya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri (disamakan dengan
pegawai negeri) yang menjalankan tugas-tugas pekerjaan yang menyangkut kepentingan
publik dengan menyalahgunakan kedudukannya.

 Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni


Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak pidana yang substansi objeknya mengenai
perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-
tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana
yang dimaksud disini hanya diatur dalam tiga pasal, yakni Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal
24 UU TIPIKOR.
2. Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subjek hukum si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu :
 Tindak Pidana Korupsi Umum
Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-
orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang
termasuk korporasi. Rumusan norma ini berlaku untuk semua orang. Yang termasuk dalam
kelompok tindak pidana korupsi umum ini terdapat dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22,
24 UU Tipikor, Pasal 220 dan Pasal 231 KUHP jo Pasal 23 UU Tipikor.

 Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggara Negara


Tindak pidana korupsi pegawai negeri dan atau penyelenggara negara adalah tindak pidana
korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau
penyelenggara negara. Artinya, tindak pidana yang dirumuskan itu semata-mata dibentuk
untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara. Rumusan tindak pidana pegawai negeri ini
terdapat dalam Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 12B, dan Pasal 23 UU Tipikor (yang mengadopsi Pasal
421, 422, 429, dan Pasal 430 KUHP). Tindak pidana korupsi ini merupakan bagian dari
kejahatan jabatan atau dapat disebut sebagai kejahatan jabatan khusus

3. Atas Dasar Sumbernya


Atas dasar sumbernya, korupsi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok sebagai berikut :
a. Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP
Dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu sebagai berikut:

 Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam UU Tipikor, rumusan tersebut
berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP. Formula rumusannya
agak berbeda dengan rumusan aslinya dalam Pasal KUHP yang bersangkutan, tetapi
substansinya sama. Kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan Pasal 12 UU Tipikor.
 Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada pasal-pasal tertentu dalam KUHP dan ditarik
menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah ancaman dan sistem pemidanaannya.
Kelompok ini antara: Pasal 23 UU Tipikor yang merupakan hasil saduran dari Pasal 220,
231, 421, 422, 429 dan Pasal 430 KUHP menjadi tindak pidana korupsi.

2.4 UNSUR UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI


Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana
korupsi, maka ditemukan beberapa unsur sebagai berikut:
1. Secara melawan hukum.
2. Memperkara diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Penjelasan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang dimaksud dengan secara melawan
hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Memperhatikan perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dapat diketahui bahwa unsur melawan hukum dari
ketentuan tindak pidana korupsi tersebut merupakan sarana untuk melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Sedangkan yang dimaksud dengan
merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan
demikian yang dimaksudkan dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya
dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.
Sebagai akibat dari perumusan ketentuan tersebut, meskipun suatu perbuatan telah merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi jika dilakukan tidak secara melawan
hukum, perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi tersebut bukan
merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2001.
Adapun apa yang dimaksud dengan keuangan negara di dalam Penjelasan Umum Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di
dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
1. Berada dalam penguasaam, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara,
baiktingkatPusat maupun di Daerah.
2 Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.

2.6 SEBAB SEBAB TINDAK PIDANA KORUPSI


Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai
hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi,
juga berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
Menurut Sarlito W. Sarwono dalam berita yang ditulis oleh Masyarakat Transparansi Indonesia,
tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni :
1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),
2. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya.
Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni :
a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
b.Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau
sebabmeluasnya korupsi;
c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan
peluang orang untuk korupsi;
d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan dampak bagi
rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi. Pemiskinan koruptor
dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus tindak pidana korupsi. Konsep
pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan
penggantian kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan
koruptor ini dinilai mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak
pidana korupsi.

2. Pemiskinan koruptor di Indonesia belum dilaksanakan secara tegas. Para penegak hukum
yang dalam penelitian ini yaitu jaksa dan hakim tidak menjalankan sanksi pidana pemiskinan
koruptor dalam memberantas tindak pidana korupsi. Jaksa dalam menjatuhkan tuntutan pidana
berpegang teguh pada undang-undang begitu juga dengan hakim tipikor dalam menjatuhkan
vonis berpegang teguh pada undang-undang. Pelaksanaan sanksi pidana pemiskinan koruptor
hanya dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang besarnya disesuaikan dengan
kerugian keuangan negara. Hal tersebut tidak dapat dikatakan memiskinkan koruptor karena
hanya asset yang berasal dari tindak pidana korupsi saja yang dirampas dan belum tentu si
koruptor akan menjadi miskin. Pemiskinan koruptor dilakukan dengan

B. Saran
Pemiskinan koruptor memang mendapat sambutan positif dari banyak kalangan. Namun perlu
dipertimbangkan lagi mengenai pelaksanaannya. Saran yang dapat penulis sumbangkan, yaitu:
1. Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan koruptor. Rekonseptualisasi
dengan memberikan arahan yang jelas bagi penegak hukum mengenai konsep pemiskinan
koruptor, sehingga pelaksanaan pemiskinan koruptor dapat dijalankan sebagai suatu terobosan
hukum yang memberikan efek jera dalam tindak pidana korupsi.
2. Perlu adanya suatu gerakan yang mendorong pelaksanaan pemiskinan koruptor. Contohnya
seperti pendidikan, pemahaman, penjelasan, integritas dari para penegak hukum agar para
penegak hukum di Indonesia melaksanakan sanksi pidana pemiskinan koruptor dalam upaya
pembera ntasan tindak pidana korupsi
DAFTAR ISI

Website :
Indonesia Corruption Watch, Basa-basi Berantas Korupsi,
http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=13&
artid=9426 , diakses pada Selasa 5 Maret 2013.
http://www.hariansumutpos.com/2012/04/30770/pemiskinan-koruptor-sudahkah
solusi#ixzz2eq5PgkW5, diakses pada Rabu 18 September 2013

file:///C:/Users/Satellite/Documents/Downloads/
01__Buku_Laplit_2017__Urgensi_&_Mekanisme_Pengembalian_Aset_Hasil_Tindak_Pidana_K
orupsi__ISI__TSu_&_TSa_(1)%20(1).pdf.

, http://swaramuslim. net/siyasah/more.php (11.30) https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/denda

, http://repository.unpas.ac.id/14711/3/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai