PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sering kita mendengar kata yang satu ini, yaitu “KORUPSI”, korupsi ada di
sekeliling kita, mungkin terkadang kita tidak menyadari itu. Korupsi bisa terjadi
dirumah, sekolah, masyarakat, maupun diintansi tertinggi dan dalam
pemerintahan. Mereka yang melakukan korupsi terkadang mengangap remeh hal
yang dilakukan itu. Hal ini sangat menghawatirkan, sebab bagaimana pun, apabila
suatu organisasi dibangun dari korupsi akan dapat merusaknya Korupsi saat sudah
mulai menjadi budaya dan hamper di semua lapisan masyarakat ada yang
melakukan korupsi baik dalam skala kecil maupun besar. Tetapi tidak hanya saat
ini saja , dahulu pada masa orde baru penyakit korupsi ini sudah menjangkit
bangsa Indonesia. Saat itu sangat memperihatikan karena berkembangnya budaya
krupsi.kolusi dan nepotisme (KKN) yang mengakar dan menjangkit ada pejaat
pemerintah Negara, sehingga konsekuensinya idenitas nasional saat itu di kenal
dengan bangsa yang “korup”.
Pancasila yang seharusnya sebagai sumber nilai,dasar moral dan etika bagi
negara dan aparat pelaksana Negara dalam kenyataannya digunaka sebagai alat
legitimasi politik . Semua kebijakan dan tindakan penguasa mengatasnamakan
pancasila bahkan kebijakan yang bertentangan sekalipun di istilahkan sebagai
pelaksanaan pancasila yang murni dan konsekuen. Sehingga kebijakan yang ada
saat itu terlihat berpihk pada rakyat tetapi sebenarnya hanya untuk mendpatkan
keuntungan pribadi oknum tertentu saja tanpa memikirkan nasib para rakyat.
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik
hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan
pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana
korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan
pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi
akhir-akhir ini. Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh
untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih,
anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah,
mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan
mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar,
booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap
korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti
Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi
untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto,
contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian.
Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat
Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus
korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya
akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.
Sehubungan dengan banyaknya tindak korupsi di Indonesia, penulis akan
membahas makalah ini tentang “ Sejarah Korupsi di Indonesia”.
B. Rumusan masalah
a. Bagaimanakah sejarah korupsi sejak dahulu sampai sekarang ?
b. Kapan dan bagaimana berdirinya lembaga penegak hokum, pemberantasan dan
pencegahan korupsi ?
C. Tujuan
a. Mengetahu sejarah korupsi sejak dahulu sampai sekarang.
b. Mengetahui Kapan dan bagaimana berdirinya lembaga penegak hokum,
pemberantasan dan pencegahan korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387),
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan
undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150),
tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember
2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137.
TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika
ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan
perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi.
Diantaranya ada KUHP dan KPK. Secara substansi Undang- undang Nomor 31
Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat
berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam
Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak
pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak
didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi
yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang
tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan
pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim
yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah
diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang-
undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta
masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui
kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara
menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang
untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri.
Hukum pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP
dinilai masih sangat lemah. Memang tidak perlu sampai diberlakukan hukuman
mati bagi koruptor seperti yang di berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak
pidana korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar seharusnya diberi
hukuman seumur hidup dan tanpa remisi ataupun grasi. Agar terjadi efek jera
dan juga sebagai pelajaran bagi pejabat-pejabat baru.
1. Orde Lama
a. Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan
pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-
Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling
Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan
dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan
Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan
data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang
disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup
pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan
doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir
itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden.
Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan
akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet
Djuanda.
b. Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963,
pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal
dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni
menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti
Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya
menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang
efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil
menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi
Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh
Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada
tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke
jalur lambat, bahkan macet.
2. Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16
Agustus1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak
mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang
terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan
dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa
Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan
berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti
Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas
utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus
korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.
Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi
Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom
up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung
semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang
seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana
Orde Baru.
B. Lembaga Penegak Hukum Pemberantasan Korupsi
Sejarah pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi sesungguhnya sudah
dimulai sejak tahun 1960 dengan munculnya Perpu tentang pengusutan,
penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan
menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melancarkan
“Operasi Budhi”, khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang
dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan
dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain
mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya
dibebaskan dari dakwaan.
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan
dasar hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap
jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima
ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9 orang yang
diindikasikan “koruptor”.
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970,
untuk memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil
pemerintah, dan memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih
efektif untuk memberantas korupsi”. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat
sebagai penasihat Komisi Empat. Anggota-anggotanya adalah mantan perdana
menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan Anwar Tjokroaminoto dan
Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.\
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara
karena korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8
tahun). Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala
Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis penjara seumur hidup (grasi
Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Selain Komisi Empat, dimasa
pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi Anti Korupsi (KAK) pada
tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti
Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil
yang telah dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua
bulan sejak terbentuk.
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah
Jaksa Agung Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara
sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat
UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi. Sayang, TGPTPK yang
beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat tidak mendapat
dukungan. Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri. Permintaan TGPTPK untuk
mengusut kasus BLBI yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung.
Akhirnya, TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga
orang Hakim Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh
Mahkamah Agung.
Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggaran Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan
memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun
2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29
wewenang yang luar biasa ini dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin
Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak Hatorang.
Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima 1.452 laporan masyarakat
mengenai praktek korupsi. Sepuluh kasus diantaranya ditindaklanjuti dalam
proses penyidikan dan sudah dua kasus korupsi yang berhasil dilimpahkan ke
Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah
divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi yang
terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan
KPK berhasil menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai
Setjen KPU ke penjara. Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai
kalangan namun apa yang telah dilakukan oleh KPK sedikit banyak memberikan
harapan bagi upaya penuntasan beberapa kasus korupsi di Indonesia.
Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan
pembentukan Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa
Agung , Basrief Arief dibawah koordinasi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang
terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas memburu terpidana dan tersangka
kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri. Meskipun belum terlihat hasil
yang telah dicapai, namun Tim Pemburu koruptor diberitakan sudah
menurunkan tim ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong,
Cina dan Australia. Selain itu Tim pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi
jumlah aset yang terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun.
Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang
dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. Ada dua tugas utama
yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman
Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau
indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang
diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka
pengembalian keuangan secara optimal
1. Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J.
Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti
Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di
tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota
tim ini, melalui suatu judicial reviewMahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999.
Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam
KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah
lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.