Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sering kita mendengar kata yang satu ini, yaitu “KORUPSI”, korupsi ada di
sekeliling kita, mungkin terkadang kita tidak menyadari itu. Korupsi bisa terjadi
dirumah, sekolah, masyarakat, maupun diintansi tertinggi dan dalam
pemerintahan. Mereka yang melakukan korupsi terkadang mengangap remeh hal
yang dilakukan itu. Hal ini sangat menghawatirkan, sebab bagaimana pun, apabila
suatu organisasi dibangun dari korupsi akan dapat merusaknya Korupsi saat sudah
mulai menjadi budaya dan hamper di semua lapisan masyarakat ada yang
melakukan korupsi baik dalam skala kecil maupun besar. Tetapi tidak hanya saat
ini saja , dahulu pada masa orde baru penyakit korupsi ini sudah menjangkit
bangsa Indonesia. Saat itu sangat memperihatikan karena berkembangnya budaya
krupsi.kolusi dan nepotisme (KKN) yang mengakar dan menjangkit ada pejaat
pemerintah Negara, sehingga konsekuensinya idenitas nasional saat itu di kenal
dengan bangsa yang “korup”.
Pancasila yang seharusnya sebagai sumber nilai,dasar moral dan etika bagi
negara dan aparat pelaksana Negara dalam kenyataannya digunaka sebagai alat
legitimasi politik . Semua kebijakan dan tindakan penguasa mengatasnamakan
pancasila bahkan kebijakan yang bertentangan sekalipun di istilahkan sebagai
pelaksanaan pancasila yang murni dan konsekuen. Sehingga kebijakan yang ada
saat itu terlihat berpihk pada rakyat tetapi sebenarnya hanya untuk mendpatkan
keuntungan pribadi oknum tertentu saja tanpa memikirkan nasib para rakyat.
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik
hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan
pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana
korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan
pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi
akhir-akhir ini. Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh
untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih,
anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah,
mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan
mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar,
booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap
korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti
Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi
untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto,
contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian.
Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat
Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus
korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya
akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.
Sehubungan dengan banyaknya tindak korupsi di Indonesia, penulis akan
membahas makalah ini tentang “ Sejarah Korupsi di Indonesia”.
B. Rumusan masalah
a. Bagaimanakah sejarah korupsi sejak dahulu sampai sekarang ?
b. Kapan dan bagaimana berdirinya lembaga penegak hokum, pemberantasan dan
pencegahan korupsi ?
C. Tujuan
a. Mengetahu sejarah korupsi sejak dahulu sampai sekarang.
b. Mengetahui Kapan dan bagaimana berdirinya lembaga penegak hokum,
pemberantasan dan pencegahan korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak


orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan
sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar
negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Perkembangan korupsi
di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun
hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang
melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap
rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di
Indonesia. korupsi yang sudah di tangani di Indonesia. Secara garis besar,
budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase
sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti
sekarang ini.

Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada


prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan
kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman
kerajaan-kerajaan kuno. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang
memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas
dendam berebut kekuasaan. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan
persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan
Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya
sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi
Indonesia- Analis Informasi LIPI). Hal menarik lainnya pada fase zaman
kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia.
Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang
lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini,
cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal
tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada
akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan
pemerintahan kita dikemudian har.

Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi


telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita.
Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh
Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-
tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk
menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung
(setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene
merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan
mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan
oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh
penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan
rakyat Indonesia. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang
mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia
juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-
nya.

Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di


zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa
Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh
penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang
tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut
tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai
di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh
subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Indonesia tak ayal
pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup,
bahkan hingga saat ini. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum
positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa
masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang-
undangan. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif indonesia
sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang
hukum pidana 1 januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi
berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan
diundangkan dalam Staatblad 1915 nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.

Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di


Indonesia sebagai berikut :

1. Masa Peraturan Penguasa Militer

Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa


Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat.
Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap
perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri,
untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang
langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau
perekonomian. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

2. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387),
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan
undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150),
tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember
2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137.
TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika
ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan
perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi.
Diantaranya ada KUHP dan KPK. Secara substansi Undang- undang Nomor 31
Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat
berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam
Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak
pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak
didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi
yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang
tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan
pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim
yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah
diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang-
undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta
masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui
kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara
menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang
untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri.

Hukum pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP
dinilai masih sangat lemah. Memang tidak perlu sampai diberlakukan hukuman
mati bagi koruptor seperti yang di berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak
pidana korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar seharusnya diberi
hukuman seumur hidup dan tanpa remisi ataupun grasi. Agar terjadi efek jera
dan juga sebagai pelajaran bagi pejabat-pejabat baru.

Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di Indonesia juga


didukung dengan aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,
hingga Pengadilan. Kepolisian bisa menghentikan penyelidikan bila koruptor
mampu menyuapnya. Hal ini menyebabkan mudahnya para pejabat yang terjerat
kasus korupsi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum dengan jalan
menyuap dari hasil uang korupsi. Sehingga sebanyak apapun Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan kasus korupsi ke pihak kepolisian
akan menjadi percuma. Bahkan beberapa waktu lalu ada upaya pelemahan KPK
oleh institusi hukum lain yang takut diselidiki mengenai kasus korupsi di
dalamnya

1. Orde Lama
a. Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan
pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-
Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling
Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan
dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan
Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan
data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang
disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup
pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan
doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir
itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden.
Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan
akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet
Djuanda.
b. Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963,
pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal
dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni
menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti
Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya
menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang
efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil
menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi
Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh
Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada
tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke
jalur lambat, bahkan macet.
2. Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16
Agustus1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak
mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang
terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan
dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa
Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan
berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti
Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas
utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus
korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.
Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi
Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom
up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung
semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang
seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana
Orde Baru.
B. Lembaga Penegak Hukum Pemberantasan Korupsi
Sejarah pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi sesungguhnya sudah
dimulai sejak tahun 1960 dengan munculnya Perpu tentang pengusutan,
penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan
menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melancarkan
“Operasi Budhi”, khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang
dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan
dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain
mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya
dibebaskan dari dakwaan.
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan
dasar hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap
jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima
ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9 orang yang
diindikasikan “koruptor”.
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970,
untuk memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil
pemerintah, dan memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih
efektif untuk memberantas korupsi”. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat
sebagai penasihat Komisi Empat. Anggota-anggotanya adalah mantan perdana
menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan Anwar Tjokroaminoto dan
Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.\
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara
karena korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8
tahun). Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala
Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis penjara seumur hidup (grasi
Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Selain Komisi Empat, dimasa
pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi Anti Korupsi (KAK) pada
tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti
Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil
yang telah dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua
bulan sejak terbentuk.
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah
Jaksa Agung Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara
sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat
UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi. Sayang, TGPTPK yang
beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat tidak mendapat
dukungan. Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri. Permintaan TGPTPK untuk
mengusut kasus BLBI yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung.
Akhirnya, TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga
orang Hakim Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh
Mahkamah Agung.
Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggaran Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan
memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun
2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29
wewenang yang luar biasa ini dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin
Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak Hatorang.
Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima 1.452 laporan masyarakat
mengenai praktek korupsi. Sepuluh kasus diantaranya ditindaklanjuti dalam
proses penyidikan dan sudah dua kasus korupsi yang berhasil dilimpahkan ke
Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah
divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi yang
terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan
KPK berhasil menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai
Setjen KPU ke penjara. Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai
kalangan namun apa yang telah dilakukan oleh KPK sedikit banyak memberikan
harapan bagi upaya penuntasan beberapa kasus korupsi di Indonesia.
Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan
pembentukan Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa
Agung , Basrief Arief dibawah koordinasi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang
terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas memburu terpidana dan tersangka
kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri. Meskipun belum terlihat hasil
yang telah dicapai, namun Tim Pemburu koruptor diberitakan sudah
menurunkan tim ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong,
Cina dan Australia. Selain itu Tim pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi
jumlah aset yang terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun.
Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang
dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. Ada dua tugas utama
yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman
Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau
indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang
diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka
pengembalian keuangan secara optimal

1. Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J.
Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti
Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di
tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota
tim ini, melalui suatu judicial reviewMahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999.
Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam
KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah
lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Daftar Ketua KPK

No Nama Mulai Jabatan Akhir Jabatan


1 Taufiequrachman Ruki 2010 2007
2 Antasari Azhar 2007 2009
3 Tumpak Hatorangan Panggabean 2009 2010
4 Busyro Muqoddas 2010 2011
5 Abraham Samad 2011 2015

2. KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2010-2007)


Pada tanggal 16 Desember 2010, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni
Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah
kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya
sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya
jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan
bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI
dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten
mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih
pemberantasan korupsi.
Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan
integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga
dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan
institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar
sebagai Ketua KPK. Sekarang sejak Desember 2011, KPK diketuai oleh
Abraham Samad
3. KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009)
Kontroversi Antasari Azhar saat menjabat sebagai Kepala Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan (2000-2007)yang gagal mengeksekusi Tommy
Soeharto tidak menghalangi pengangkatannya menjadi Ketua KPK setelah
berhasil mengungguli calon lainnya yaitu Chandra M. Hamzah dengan
memperoleh 41 suara dalam pemungutan suara yang dilangsungkan Komisi
III DPR. Kiprahnya sebagai Ketua KPK antara lain menangkap Jaksa Urip
Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kaitan penyuapan kasus
BLBISyamsul Nursalim. Kemudian juga penangkapan Al Amin Nur
Nasution dalam kasus persetujuan pelepasan kawasan Hutan lindung
Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan. Antasari juga berjasa menyeret
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Tantowi Pohan yang juga
merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke penjara atas
kasus korupsi aliran dana BI. Statusnya sebagai tersangka dalam kasus
pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen membuat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal 4 Mei 2009 memberhentikan dari jabatannya
sebagai ketua KPK.
4. KPK di bawah Tumpak Hatorangan Panggabean (Pelaksana Tugas)
(2009-2010)
Mantan Komisaris PT Pos Indonesia, Tumpak Hatorangan Panggabean
terpilih menjadi pelaksana tugas sementara Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)dan dilantik pada 6 Oktober 2009 oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.Serta ditetapkan berdasarkan Perppu nomor 4 tahun
2009 yang diterbitkan pada 21 September 2009.Pengangkatannya dilakukan
untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK setelah ketua KPK Antasari Azhar
dinonaktifkan dan diberhentikan akibat tersangkut kasus pembunuhan
Nasrudin Zulkarnaen.Dibawah masanya memang KPK berhasil menetapkan
bekas Menteri Sosial (Mensos) Bachtiar Chamsyah sebagai tersangka dalam
kasus dugaan korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi. Selain itu, KPK
juga berhasil menetapkan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Ismet Abdullah
sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan mobil kebakaran. Tapi
beberapa kasus masih mandek penanganannya, misalnya saja, kasus Bank
Century, membuat penilaian bahwa lembaga itu mulai melempem.Pada
tranggal 15 Maret 2010 beliau diberhentikan dengan Keppres No. 33/P/2010
karena perpu ditolak oleh DPR.
5. KPK di bawah Busyro Muqoddas (2010-2011)
M. Busyro Muqoddas, S.H, M.Hum dilantik dan diambil sumpah oleh
Presiden RI pada 20 Desember 2010 sebagai ketua KPK menggantikan
Antasari Azhar. Sebelumnya, Busyro merupakan ketua merangkap anggota
Komisi Yudisial RI periode 2005-2010. Pada saat sebagai ketua sangat sering
mengkritik DPR , yang terakhir terkait hedonisme para anggota DPR. Pada
pemilihan pimpinan KPK tanggal 2 Desember 2011 beliau "turun pangkat"
menjadi waki ketua KPK. Busyro hanya memperoleh 5 suara dibandingan
Abraham Samad yang memperoleh 43 suara. Serah terima jabatan dan
pelantikan akan dilaksanakan pada 17 Desember 2011.
C. Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak
korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
a. Upaya pencegahan (preventif).
b. Upaya penindakan (kuratif).
c. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
d. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
e. Peran serta masyarakat
1. Upaya Pencegahan (Preventif)
a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan
mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui
pendidikan formal, informal dan agama.
b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan
teknis.
c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan
memiliki tang-gung jawab yang tinggi.
d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan
ada jaminan masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja
yang tinggi.
f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki
tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang
efisien.
g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang
mencolok.
h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi
pemerintahan mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta
jawatan di bawahnya.
2. Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti
melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak
terhormat dan dihukum pidana.Beberapa contoh penindakan yang dilakukan
oleh KPK :
a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple
Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).
b. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia
diduga melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen
keimigrasian.
c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada
Pemda DKI Jakarta (2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang
merugikan keuang-an negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment
dan placementdeposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui
BNI (2004).
f. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK
(2005).
g. Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h. Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i. Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka
dalam kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan
merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
j. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol
sosial terkait dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan
desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan
peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan
aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat
luas.

4. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)


a. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah
yang meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi
di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen
untuk memberantas korupsi me-lalui usaha pemberdayaan rakyat untuk
terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd tgl 21 Juni
1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki
pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
b. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang
bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai
organisasi nirlaba se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang
bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI
yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang
membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan
bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya,
Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, In-
donesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia
adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan
Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan,
Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti dan Myanmar.
Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
5. Peran Serta Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari strategi pemberantasan
tindak pidana korupsi merupakan langkah yang jitu memiliki tingkat
keberhasilan di negara-negara lain. Masyarakat dan aparat penegak hukum
merupakan ujung tombak yang keberadaannya saling melengkapi satu sama
lain. Masyarakat yang berdaya atau berperan dapat mengontrol, bahkan jika
proses penegakan hukum lemah dam tidak dapat menghadapi kejahatan ini
(korupsi), maka masyarakat dapat tampil ke depan untuk sementara
mengambil alih tugas-tugas aparat penegak hukum, syaratnya masyarakat
harus diberi ruang dan kesempatan luas untuk berpartisipasi melalui sistem
dan tatanan yang demokratis dan transparan.
Meskipun aspek pemberdayaan itu sangat penting dalam proses dan
strategi pemberantasan tindak pidana korupsi, namun itu semua harus
dilakukan dalam batas-batas dan koridor hukum yang berlaku. Bentuk dan
sifat partisipasi masyarakat dalam proses tersebut harus diselenggarakan
secara demokratis dalam susunan yang menghargai nilai-nilai (norma) dan
rasa kepatuhan serta keadilan, tanpa harus mengabaikan perlindungan dan
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia.
Meskipun upaya pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan bagian
dari upaya menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance),
namun tidak berarti upaya penegakan hukumnya disubordinasi oleh aspek
politik dan kepemerintahan. Meskipun pemberdayaan masyarakat itu sangat
penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, namun titik tekannya
harus terfokus pada penegakkan hukum berikut dengan lembaga-lembaga
yang bertugas menangani masalah korupsi.
Semua pilar-pilar yang terkait dengan upaya dan proses penegakan
hukum harus menopang dan memperkuat sehingga korupsi dapat ditekan
ketitik yang dapat dikendalikan. Dengan demikian proses penegakan hukum
merupakan rangkaian panjang dan saling terkait antar aspek yang saling
mempengaruhi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pemerintah jangan sampai kehilangan dukungan dari masyarakat akibat
ketidak seriusannya memberantas tindak pidana korupsi. Dengan alasan
apapun pemerintah tidak boleh mengulur waktu untuk memberantas tindak
pidana korupsi kelas kakap. Apabila pemerintah takut berhadapan dengan
koruptor kelas kakap dan hanya mengadili atau memproses koruptor kelas
teri, maka resikonya adalah kehilangan kepercayaan masyarakat dan
menumbuhkan rasa ketidakpercayaan kepada pemerintah bahkan masyarakat
akan berpikir bahwa pemerintah melindungi para koruptor kelas kakap.
Untuk melakukan sesuatu kita harus mengetahui terlebih dahulu apa
sebab dan jenisnya. Begitu juga untuk memberantas tindak pidana korupsi,
kita harus memahami dan mengerti apa saja jenis-jenis korupsi dan
penyebabnya.
Korupsi dapat berakibat sangat besar baik secara ekonomi, politik,
maupun sosial budaya dan hukum. Masyarakat banyak tidak menyadari
bahwa perbuatan korupsi berakibat sangat buruk bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara, tetapi masyarakat jarang dapat langsung merasakannya.
Masyarakat hanya berasumsi yang dirugikan oleh perbuatan korupsi
adalah keuangan dan perekonomian negara, pada hal secara tidak langsung
yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari teori yang telah kami sajikan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a.Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau
perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta
selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dishonest (ketidakjujuran).
b. Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an
bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia
semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik,
sosial, kepemim-pinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi.
c.Rakyat kecil umumnya bersikap apatis dan acuh tak acuh. Kelompok mahasiswa
sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan demonstrasi.
d. Fenomena umum yang biasanya terjadi di Indonesia ialah selalu muncul
kelom-pok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di
antara mereka yang tidak mampu. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi
dan kepentingan pri-badinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.
e.Peran serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi ditunjukkan dengan KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang
ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korupsi.
f. Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dlam memberantas tindak korupsi
diIndonesia, antara lain :upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan
(kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa, upaya edukasi LSM
(Lembaga Swada-ya Masyarakat), dan peran serta masyarakat.
g. Masyarakat-pun sangat berperan penting dalam upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia.
B. Saran
Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini. Dan
pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://andsbarcaboy 2018/10/sejarah-korupsi-di-indonesia.html.
[2] http://polmas.wordpress.com/2018/10/10/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-
pidana-korupsi-di-indonesia.
[3] http://makalahsekolah.com/2018/10/10/makalah-upaya-pemberantasan-
korupsi-di-indonesia.
[4] http://fikriarahman-smkwadaya. /2018/10/peran-pemerintah-dalam-
memberantas.html.
[5] http://nurulsolikha./ 2018/10/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html.

Anda mungkin juga menyukai