Anda di halaman 1dari 9

SUBURNYA PERILAKU KORUPTIF DALAM BIROKRASI DI INDONESIA

Nama : Atifah Hanum A


NIM : 500897869

I. PENDAHULUAN
Dalam pengertian Wikipedia Indonesia, Korupsi atau rasuah (bahasa Latin:
corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun
pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak
wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dalam Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 2
ayat 1 korupsi diartikan sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Masyarakat pada umumnya menggunakan istilah korupsi untuk merujuk
kepada serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum dalam rangka
mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain. Hal yang paling
mengidentikkan perilaku korupsi bagi masyarakat umum adalah penekanan pada
penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Praktek
korupsi yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai warisan dari pemerintahan orde
baru dan korupsi dianggap sudah berurat berakar dalam penyelenggaraan birokrasi
di Indonesia.

II. TUJUAN PENGAMATAN


Tujuan dari observasi ini adalah :
1. Untuk mengetahui penyebab suburnya perilaku koruptif dalam birokrasi di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan dalam rangka pemberantasan
korupsi.

1
III. KONSEP YANG DIGUNAKAN
Menurut Selo Sumardjan korupsi adalah suatu penyakit ganas yang
menggerogoti kesehatan masyarakat seperti halnya penyakit kanker yang setapak
demi setapak menghabisi daya hidup manusia. Ungkapan tersebut terasa tepat
untuk menggambarkan kondisi yang tengah dihadapi Bangsa Indonesia saat ini.
Korupsi ibarat penyakit yang terlampau sulit untuk disembuhkan. Korupsi telah
menjalar disetiap sendi kehidupan dan seakan telah menjadi budaya dalam
kehidupan sehari-hari.
Secara normatif korupsi diartikan sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara ( Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dalam pengertian lain, korupsi diartikan
juga sebagai perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999).
Definisi lengkap korupsi menurut Asian Development Bank (ADB) adalah
korupsi melibatkan perilaku sebagian pegawai sektor publik dan swasta, dimana
mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri
dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau membujuk orang lain untuk
melakukan hal-hal tersebut, dengan menyalahgunakan jabatan dimana mereka
ditempatkan.
Merujuk dari beberapa defini korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa
korupsi secara implisit adalah penyalahgunaan kewenangan, jabatan, kekuasaan,
atau amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat
pribadi atau kelompok tertentu dengan merugikan orang lain.

IV. HASIL OBSERVASI DAN ANALISIS HASIL


Berdasarkan hasil observasi terhadap kondisi yang ada di Indonesia saat ini,
korupsi merupakan suatu permasalahan yang terjadi di hampir setiap lini

2
pemerintahan. Mulai dari pemerintahan yang ada di pusat, provinsi,
kabupaten/kota, hingga di tingkat kelurahan/desa bahkan rukun tetangga. Bukan
hanya dalam tubuh birokrasi, korupsi bahkan juga melibatkan pejabat yang ada di
parlemen, penegak hukum bahkan para pengusaha. Tidak sedikit pelaku korupsi
yang telah ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga
saat ini. Namun seiring gencarnya pemberantasan korupsi, praktek korupsi tetap
masih tumbuh subur di Indonesia.
Untuk mengetahui faktor penyebab suburnya korupsi dalam birokrasi di
Indonesia, terlebih dahulu perlu digali sejarah perkembangan korupsi di Indonesia.

Korupsi sebagai Warisan Masa Lampau


Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, permasalahan korupsi memang
merupakan suatu hal yang dapat dikatakan sudah mengakar dan menjadi budaya
bangsa. Dari perilaku yang dikatakan menyimpang, lalu lambat laun menjadi suatu
hal yang lumrah dan biasa dilakukan bahkan menjadi candu bagi sebagaian
pelakunya yang kebanyakan malah adalah pejabat negara. Dengan semakin
suburnya perilaku koruptif di kalangan birokrasi pada akhirnya menyebabkan
masyarakat menjadi putus asa dan pesimis terhadap upaya pengentasan korupsi di
negara kita ini.
Jika melihat sejarah di Indonesia, perkembangan budaya korupsi sebenarnya
sudah ada sejak dulu. Mulai dari jaman kerajaan, pada masa penjajahan hingga saat
sekarang. Karena itulah banyak yang mengatakan bahwa perilaku koruptif di
Indonesia adalah merupakan warisan nenek moyang.
Masa kerajaan di Indonesia diwarnai dengan adanya konflik-konflik yang
terjadi yang pada umumnya dilatarbelakangi oleh perebutan kekuasaan. Sejarah
mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk
memperkaya diri, telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan di
Indonesia. Yang menarik dalam kehidupan kerajaan kala itu adalah adanya orang-
orang suruhan keluarga kerajaan atau biasa disebut sebagai abdi Dalem. Abdi
Dalem pada masa itu cenderung memiliki tipe yang sangat loyal terhadap keluarga
kerajaan, sikap seperti itu selain sebagai bentuk pengabdian kepada keluarga

3
kerajaan, bagi sebagian abdi dalem juga dilakukan dalam rangka menarik simpati
raja untuk kepentingan kemudahan dan kenyamanan dalam kehidupan mereka.
Perilaku seperti itu merupakan perilaku para oportunis yang pandai memanfaatkan
situasi untuk kepentingan pribadinya.
Berlanjut pada masa penjajahan, perilaku koruptif semakin berkembang dan
merambah ke dalam sistem sosial budaya kita. Dalam kurun waktu 350 tahun
bangsa Indonesia dikuasai oleh penjajah kolonial Belanda. Pada masa itu banyak
kalangan tokoh-tokoh masyarakat yang dijadikan suruhan penjajah. Mereka diberi
jabatan dan kekuasaan oleh penjajah untuk menjalankan dan mengawasi daerah
administrasi tertentu seperti kademangan, kadipaten dan lain-lain. Tujuan bangsa
penjajah memberikan kekuasaan tersebut sebenarnya adalah untuk menjadikan
mereka sebagai alat penjajah untuk mendapatkan keuntungan dari masyarakat. Para
pejabat di jaman penjajahan kolonial ini dipekerjakan untuk menarik upeti dan
pajak dari rakyat dalam rangka memperkaya bangsa penjajah. Tidak jarang dari
mereka menindas bangsa sendiri untuk memenuhi kepentingan penjajah dan juga
untuk kepentingan mereka sendiri. Perilaku koruptif itulah yang kemudian seolah
menjadi budaya di kalangan penguasa di Indonesia sejak masa orde lama, dan
semakin subur di masa orde baru hingga di masa reformasi saat ini.

Faktor Penyebab Suburnya Korupsi dalam Birokrasi


Perilaku koruptif ada, akibat faktor-faktor yang sifatnya kompleks. Faktor
pendorong perilaku koruptif dapat bersumber dari dalam diri pelaku korupsi sendiri
dan dapat juga berupa dorongan dari luar. Sebagian masyarakat meyakini bahwa
korupsi merupakan masalah yang berakar dari moralitas seseorang. Masalah
rendahnya moralitas seseorang memang merupakan salah satu faktor penyebab
korupsi, namun stuktur politik kekuasaan di Indonesia juga memiliki peran yang
tidak kalah penting dibanding rendahnya moralitas sebagai penyebab suburnya
praktek korupsi di Indonesia.
Kita dapat melihat praktek korupsi yang dilakukan di Indonesia kebanyakan
dilakukan oleh birokrat yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan. Adanya
sentralisme kekuasaan dalam struktur pemerintahan yang telah berlangsung sekian

4
lama di masa orde baru, merupakan salah satu faktor yang memiliki peran penting
terhadap tumbuh suburnya praktek korupsi di negara kita. Selama masa orde baru
tersebut, negara telah membangun pemerintahan yang memusatkan kekuasaannya
di tangan segelintir elit, Pemerintahan yang sentralistik membangun pemimpin-
pemimpin yang otoriter yang dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat
memaksakan tujuan politiknya kepada masyarakat.
Hingga saat ini birokrasi di Indonesia sendiri masih sangat dipengaruhi oleh
kepentingan politik. Birokrasi yang seharusnya memiliki kedudukan setara dengan
politik, hingga saat ini masih menjadi sub order dari politik. Dimana kekuatan
birokrasi oleh sebagian elit dan kalangan politisi dijadikan sebagai modal untuk
dapat menguasai masyarakat. Birokrasi yang semestinya “melayani” menjadi
birokrasi yang “menguasai” karena paradigma politik adalah paradigma menguasai.
Sejatinya kekuasaan pada setiap masyarakat, merupakan gejala yang wajar. Bahkan
menurut Ibnu Khaldun, sejarawan muslim dari Tunisia, kelanjutan eksistensi
manusia di atas bumi tergantung pada kekuasaan, karena kekuasaan itulah yang
menjadi katalisator bagi manusia untuk bekerjasama dan tolong menolong dalam
memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Namun kekuasaan juga akan menunjukkan
segi-segi negatifnya apabila berada di tangan-tangan orang-orang yang lupa akan
keluhuran budi pekerti yang menjadi dasar dari kekuasaan itu. Di Indonesia,
kebanyakan birokrat menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki untuk
memperkaya diri sendiri. Hal yang demikian itulah yang menjadi faktor penyebab
suburnya korupsi di dalam tubuh birokrasi di Indonesia.
Keadaan birokrasi yang tidak sehat, dengan kecenderungan praktek korupsi
yang telah berlangsung sedemikian lama menyebabkan masyarakat menjadi
terbiasa dengan kondisi yang demikian. Masyarakat menjadi lebih terkesan diam
ketimbang melakukan protes terhadap keadaan yang terjadi. Budaya politik yang
cenderung prematur dan prakmatis pun terbentuk di tengah masyarakat, sehingga
banyak orang kemudian berlomba-lomba untuk mencalonkan diri menjadi pejabat
politis dan wakil rakyat di parlemen, meski harus mengeluarkan modal yang tidak
sedikit dengan harapan apa yang dikeluarkan pada akhirnya akan tergantikan pada

5
saat mereka terpilih. Kenyataan tersebut sungguh merupakan suatu ironi ditengah
gaung upaya pemerintah untuk memberantas korupsi dan mereformasi birokrasi.
Berbicara mengenai perilaku korupsi di Indonesia, Arismunandar (2014)
dalam ceramah budaya dengan tema “Menggali Potensi Budaya Malu dan Budaya
Kebersalahan dalam Upaya Mengatasi Perilaku Korupsi di Indonesia: Perspektif
Strategi Kebudayaan” mengatakan bahwa di Indonesia budaya malu lebih kuat
dibandingkan dengan budaya kebersalahan. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa
budaya malu (shame culture) adalah segala emosi yang melibatkan orang lain dan
sanksi yang dikenakan adalah sanksi eksternal, dimana ketika seseorang tahu
dirinya bersalah, tetapi orang lain tidak ada yang mengetahuinya, maka seseorang
tersebut akan merasa baik-baik saja karena ia tidak perlu merasa malu kepada orang
lain. Sedangkan budaya kebersalahan (guilty culture) adalah emosi yang ada pada
diri sendiri dengan sanksi internal, dimana seseorang yang melakukan kesalahan,
akan merasa bersalah terhadap dirinya, terlepas dari ada atau tidaknya orang lain
yang mengetahui.
Jika dikaitkan dengan perilaku korupsi, kondisi di Indonesia dimana budaya
malu lebih kuat daripada budaya kebersalahan juga dapat menjadi faktor suburnya
praktek korupsi di Indonesia. Dimana seseorang yang korupsi akan tetap merasa
bahwa ia tidak korupsi jika tidak diketahui oleh orang lain. Selain itu, jika
seseorang melakukan korupsi, tetapi lingkungannya tidak memberikan sanksi
sosial, ia juga akan tetap baik-baik saja tanpa merasa bersalah.

Upaya Pemberantasan Korupsi


Soemodihardjo (2012) dalam bukunya “Memberantas Korupsi di Indonesia”
mengatakan bahwa jika korupsi di Indonesia tidak diberantas dengan benar dan
sungguh-sungguh, maka bencana korupsi bisa menimbulkan penderitaan yang lebih
parah daripada bencana alam.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka pemberantasan
korupsi, antara lain dengan menerbitkan aturan-aturan terkait percepatan
pemberantasan korupsi, gerakan reformasi birokrasi yang dicanangkan pada masa
pemerintahan Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono, pembentukan KPK sebagai

6
komisi yang independen dalam melakukan pemberantasan korupsi, penetapan
Undang-undang Nomor 5 sebagai salah satu bentuk reformasi birokrasi,
pencanangan gerakan revolusi mental di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo
dan berbagai upaya lainnya. Meskipun perkembangan pemberantasan korupsi
belum bisa disebut berhasil dengan gemilang, namun segala upaya yang dilakukan
harus tetap didukung penuh oleh seluruh lini di negara kita.
Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi, Soemodihardjo menyampaikan
bahwa diperlukan satu komitmen yang kuat dari segenap institusi penegak hukum,
yakni kepolisian, kejaksanaan, dan lembaga pengadilan, termasuk KPK untuk :
1. Secara bersama dan bekerjasama dalam mengerjakan, menjalankan, dan
melakukan pemberantasan korupsi dengan penuh tanggungjawab, serta
menjadikan pemberantasan korupsi sebagai suatu gerakan bersama untuk
menyejahterakan masyarakat.
2. Melakukan pemberantasan korupsi dengan satu semangat yang sama, yaitu
untuk menyejahterakan rakyat dan memfokuskan tindakannya terhadapkasus-
kasus yang menyangkut kegiatan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
3. Secara konsisten menolak segala bentuk intervensi, intimidasi, takanan, dan
pengaruh dari pihak manapun, sehingga tidak terjadi tebang piih dan
ketidakadilan dalam menanggapi kasus korupsi.
4. Melakukan pembenahan internal institusi masing-masing dengan melakukan
pembersihan terhadap aparatnya yang terlibat korupsi.
5. Dengan tegas danberani menuntaskan segera kasus-kasus penting yang menjadi
perhatian serius dari masyarakat, baik yang melibatkan pejabat tinggi eksekutif,
anggota legislatif, politisi, pimpinan partai berkuasa, maupun pihak swasta yang
terkait.

Selain komitmen institusi penegak hukum tersebut, juga perlu adanya


komitmen segenap lembaga masyarakat dan komponen masyarakat antikorupsi
untuk mendukung, mengawasi dan mengawal pelaksanaan pemberantasan korupsi
agar tidak menyimpang dari arah tujuan yang telah ditetapkan. Namun demikian,

7
komitmen-komitmen tersebut tidak akan berpengaruh besar tanpa didukung oleh
komitmen dari pemimpin negeri yang tegas dan berani membasmi korupsi.

V. KESIMPULAN
Jika mellihat sejarah bangsa Indonesia, praktek korupsi di Indonesia sudah
berlangsung sejak dahulu, mulai dari masa kerajaan, jaman penjajahan kolonial,
masa orde baru hingga saat sekarang ini. Korupsi merupakan suatu permasalahan
yang terjadi di hampir setiap lini pemerintahan di Indonesia. Mulai dari
pemerintahan yang ada di pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga di tingkat
kelurahan/desa bahkan rukun tetangga. Bukan hanya dalam tubuh birokrasi, korupsi
bahkan juga melibatkan pejabat yang ada di parlemen, penegak hukum bahkan para
pengusaha.
Faktor pendorong perilaku koruptif dapat bersumber dari dalam diri pelaku
korupsi sendiri dan dapat juga berupa dorongan dari luar. Selain faktor rendahnya
moralitas seseorang, perilaku koruptif juga dapat muncul akibat struktur politik
kekuasaan yang ada di pemerintahan, ketidaksetaraan birokrasi dan politik serta
budaya yang ada dalam masyarakat yang telah terbentuk sejak jaman orde baru.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain dengan
menerbitkan aturan-aturan terkait percepatan pemberantasan korupsi, gerakan
reformasi birokrasi yang dicanangkan pada masa pemerintahan Presiden Susiolo
Bambang Yudhoyono, pembentukan KPK sebagai komisi yang independen dalam
melakukan pemberantasan korupsi, penetapan Undang-undang Nomor 5 sebagai
salah satu bentuk reformasi birokrasi, pencanangan gerakan revolusi mental di
masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan berbagai upaya lainnya. Dalam
rangka mensukseskan gerakan pemberantasan korupsi di negara ini, maka penegak
hukum, KPK, penguasa, pejabat, penyelenggara negara, anggota parlemen,
masyarakat, dan tidak terkecuali pemimpin bangsa harus bersatu padu dan
berkomitmen untuk mendukung, mengawasi dan mengawal pelaksanaan
pemberantasan korupsi agar tidak menyimpang dari arah tujuan yang telah
ditetapkan, yaitu mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi dan rakyat yang
sejahtera.

8
VI. DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Efriza. (2016). Kekuasaan Politik Perkembangan Konsep, Analisa dan Kritik.
Malang: Intrans Publishing
Soemodihardjo, R. Dyatmiko. (2012). Memberantas Korupsi di Indonesia. Sleman:
Shira Media

B. Sumber Lain

Suryanto. Pemberantasan Korupsi : Tantangan Besar Presiden Republik Indonesia


2009-2014. Jurnal Borneo Administrator, Nomor 3, Volume 5, 2009 Hal.
1764-1779
Hamzah Herdiansyah. Jejak Sejarah Budaya Korupsi di Indonesia. diakses dari
http://www.herdi.web.id/jejak-budaya-korupsi-di-indonesia/
Redaksi. Mengatasi Perilaku Korupsi di Indonesia. Diakses dari https://
www.ui.ac.id/.../mengatasi-perilaku-korupsi-di-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai