Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF


PANCASILA

Disusun Oleh :
DUWI ROISATUL MAULIDIYAH (3215162197)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Perbincangan mengenai korupsi dari dulu hingga sekarang masih saja hangat dibicarakan
orang. Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat
kesungguhan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Pemerintah masih bersifat tebang
pilih dalam menegakkan hukum untuk kasus tindak pidana korupsi. Pemerintah seolah melindungi
para pelaku tindak pidana korupsi dengan alasan kekerabatan atau masih anggota kroni dari
partainya. Pejabat-pejabat dipemerintahan yang terjerat kasus korupsi seolah malah balik
berlindung dibawah hukum dengan memanfaatkan celah kelemahan hukum.(Indonesian
Coruption watch, Mengutip Republika , rabu 10 september 2003)

Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis,
endemic, dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi social yang khas di
lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau masyarakat luas.
Lalu di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam sistem
terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai pada tahap
sistemik.(Ermansjah Djaja,2010:12). Abdullah Hehamahua dalam Ermansjah Djaja
mengemukakan bahwa “korupsi di Indonesia sudah tergolong extra-ordinary crimes karena telah
merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah
meluluhlantakkan pilar-pilar sosial budaya, moral, politik, dan tatanan hukum dan keamanan
nasional. Oleh karena itu, pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan tidak
bisa juga dengan pendekatan parsial. Ia harus dilakukan secara komprehensif dan bersama-sama,
oleh penegak hukum, lembaga masyarakat, dan individu anggota masyarakat. Untuk maksud itu,
kita harus mengetahui secara persis peta korupsi di Indonesia dan apa penyebab utamanya.

Pada masa kini, korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai
prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya memamerkan hasil
korupsinya secara demonstratif. Perbuatan kejahatan korupsi merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga kejahatan korupsi tidak dapat lagi
digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar
biasa (extra- ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tampak masih
memerlukan perjuangan berat dan tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi dibutuhkan
“cara-cara yang luar biasa”. Dengan adanya tindakan oleh aparat penegak hukum, diharapkan
kejahatan korupsi tidak semakin meluas. Bilamana penegakan hukum kurang baik seperti sekarang
ini maka kejahatan semakin berkembang, korupsi semakin marak, kasus suap terjadi dimana-
mana, penyalah gunaan narkotika, dan sebagainya hanya dapat dikendalikan dari lembaga
pemasyarakatan. Akhirnya, sebaik apapun peraturan perundang-undangan yang ada pada akhirnya
tergantung pada aparat penegak hukumnya.

Bahkan, korupsi di Indonesia berkembang secara sistematik. Bagi banyak orang korupsi
bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam
seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati paling rendah.
Perkembangan korupsi di Indonesia mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun
hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat
Indonesia dalam perbandingan korupsi antar Negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan
dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.

Pancasila sumber nilai anti Korupsi ini dibenarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
yang menegaskan bahwa Pancasila sesungguhnya merupakan sumber nilai anti korupsi.
Persoalannya arah idiologi kita sekarang seperti di persimpangan jalan. Nilai-nilai lain yang kita
anut menjadikan tindak korupsi merebak kemana-mana. Korupsi itu terjadi ketika ada pertemuan
saat dan kesempatan. Akan tetapi, karena nilai-nilai kearifan lokal semakin ditinggalkan, yang ada
nilai-nilai kapitalis, sehingga terdoronglah seseorang untuk bertindak korupsi.

Saatnya pancasila kembali direvitalisasi sebagai dasar filsafat Negara dan menjadi “Prinsip
prima” bersama-sama norma agama. Sebagai prinsip prima, maka nilai- nilai pancasila dan norma-
norma agama merupakan dasar untuk seluruh masyarakat Indonesia berbuat baik. Sehingga,
Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bersifat universal karena dalam Pancasila ada nilai-nilai
sosialis religius dan nilai-nilai etis. Sayang seribu sayang, nilai-nilai itu tampaknya belum
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Pancasila kerap kali ditafsirkan sepihak,
dan cenderung diselewengkan sejumlah oknum dan pejabat negara. Nurani sebagian pejabat di
Indonesia tidak lagi berjiwa Pancasilais. Tak heran, jika korupsi merajalela dan merebak di mana
mana.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan korupsi ?
2. Apa yang melatarbelakangi tindak pidana korupsi di Indonesia?
3. Mengapa penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia masih bersifat tebang pilih?
4. Apa pandangan Pancasila terhadap Korupsi?
5. Bagaimana upaya pemerintah Indonesia dalam mencegah dan memberantas tindak pindana
korupsi?
6. Apakah dengan konsepsi pancasila korupsi bisa di berantas ?
1.3 TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai dalam tulisan ini
dirumuskan dalam pernyataan sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian korupsi
2. Mengetahui faktor apa saja yang melatarbelakangi korupsi di Indonesia
3. Mengetahui mengapa penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia masih bersifat
tebang pilih
4. Mengetahui pandangan Pancasila terhadap Korupsi
5. Mengetahui upaya pemerintah Indonesia dalam mencegah dan memberantas tindak
pindana korupsi
6. Mengetahui apakah dengan konsepsi pancasila korupsi bisa di berantas
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 PENGERTIAN KORUPSI

Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio - Corrumpere yang artinya busuk.
Rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Dr. Kartini Kartono, Korupsi
adalah tingkah lakuindividu yang menggunkaan kewenangan jabatan guna mengenduk
keuntungan, dan merugikan kepentingan umum Banyak para ahli yang mencoba merumuskan
korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada
hakekatnya mempunyai makna yang sama
Sementara, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada , “Pemanfaatan
kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini merupakan definisiyang sangat luas dan
mencakuptiga unsur korupsi yang digambarkan dalam akronim KKN (Korupsi, Kolusi,
Nepotisme).1
Hafidhuddin mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran Islam. Ia
menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak
tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) harus di kenai
sanksi dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan kakinya dengan caa menyilang (tangan kanan
dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir. Dalam konteks ajaran islam yang
lebih luas, korupsi merupakan tindakan yg bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah),
akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnyayang
menimbulkan berbagai distorsi berbagai kehidupan negara dan masyarakat dapat di kategorikan
termasuk perbuaan fasad, kerusakan di muka bumi, yang sekali-kali amat dikutuk Alloh SWT.
Johnston mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas
resmi dalam peran peran sebagai sebagai pegawai pemerintah (yang dipilih atau diangkat) karena
kekayaan yang di anggap milik sendiri (pribadi, keluarga dekat atau kelompok sendiri) atau
perolehan status atau pelanggaran peraturan terhadap pelaksanaan jenis-jenis tertentu dari
pengaruh yang dianggap milik sendiri. Korupsi Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1993),
hlm 152-156
Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan
pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang
dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk
memperkaya diri sendiri.
Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga

1
(N. Kisima dan Fitria Agustina, Gelombang Perlawanan Rakyat; Kasus- kasus Gerakan Sosial di
Indonesia(Yogyakarta: INSIST Press, 2003), hal 12 dan The Word Bank, Memerangi Korupsi di
Indonesia; Memperkuat Akuntabilitas Untuk Kemajuan(Jakarta; Word Bank Office Jakarta, 2003),
hlm 20.
termasuk dalam korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di
dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan
pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisahan keuangan pribadi dg masyarakat.

1.2 FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI TINDAK


PIDANA KORUPSI INDONESIA

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus, yang selanjutnya
disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa
latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu
corruption, corrupt; Belanda, yaitu corruptive (korruptie), dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu
“korupsi”, yang mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. (Ermansjah Djaja, 2010 : 23).
Dalam The Lexion Webster Dictionary kata korupsi berarti : kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata–kata atau ucapan
yang menghina atau memfitnah. Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,
bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste
dalam Suyanto, korupsi didefinisikan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan
dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah
praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
2. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa
atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
3. Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. (Ermansjah Djaja, 2010:22)

Tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 serta Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2001 disimpulakan ada 33 tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi
yang telah dikelompokkan menjadi 7 sebagai berikut.
1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara.
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap.
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan.
4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan.
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan.
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.

Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang
faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor
Internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap
atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat
mendorong seseorang untuk berperilaku korup. Faktor Eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi
misalnya pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas
politik, kepentingan politis, aspek managemen dan organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan
transparansi, aspek hukum meliputi buruknya wujud perundang – undangan dan lemahnya
penegakkan hukum, serta aspek sosial seperti lingkungan atau masyarakat yang kurang medukung
tindakan anti korup.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku
atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku materialistik dan
konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan” materi maka dapat
“memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi (Ansari Yamamah : 2009) “Dengan kondisi
seperti itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian 'terpaksa' korupsi kalau sudah
menjabat”. Nur Syam (2000) mengemukakan pandangannya bahwa penyebab seseorang
melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak
mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara ada
akses kekayaan dapat diperoleh dengan cara korupsi, maka jadilah seseorang melakukan tindakan
korupsi.

Pandangan lain dikemukakan Arifin (2000) yang mengidentifikasi faktor – faktor


penyebab terjadinya korupsi antara lain : (1) aspek perilaku individu (2) aspek organisasi (3) aspek
masyarakat tempat individudan organisasi berada. Tehadap aspek individu Isa Wahyudi (2007)
berpendapat bahwa dorongan dari dalam individu antara lain : sifat tamak manusia, moral yang
kurang kuat menghadapi godaan, gaya hidup konsumtif, tidak mau bekerja keras. Tidak jauh
berbeda dari pendapat – pendapat sebelumnya, Erry Riyana Hardjapamekas (2008)
mengemukakan bahwa tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya: (1) Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa (2) Rendahnya gaji Pegawai
Negeri Sipil (3) Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan
perundangan (4) Rendahnya integritas dan profesionalisme (5) Mekanisme pengawasan internal
di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan (6) Kondisi lingkungan kerja,
tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat (7) Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral,
dan etika.

Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum, dan
ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW :
2000) yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum,
faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional.
1. Faktor Politik
Politik merupakan salah satu penyebab terjadiya korupsi. Hal ini dapat dilihat
ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan
ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku korup seperti penyuapan,
politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terrence Gomes (2000)
memberikan gambaran bahwa politik uang (money politik) sebagai use of money and
material benefits in the persuit of political influence. “Politik uang merupakan tingkah
laku negatif karena uang digunakan untuk membeli suara atau menyogok para pemilih
atau anggota – anggota partai supaya memenangkan pemilu si pemberi uang. Selain itu,
penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara
pengusaha dan pengusaha, kasus – kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri pada
bidang ekonomi pada rezim lalu merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek
politik yang dapat menyebabkan korupsi”. (Handoyo : 2009)

Menurut Susanto (2002) korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi
penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang – barang
publik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstelasi
politik. Sementara menurut De Asis, korupsi politik misalnya perilaku curang (politik
uang) pada pemilihan anggota legislatif atapun pejabat – pejabat eksekutif, dana ilegal
untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian parlemen dengan cara – cara ilegal dan
teknik lobi yang menyimpang (De Asis : 2000). Penelitian James Scott (Mochtar
Mas'oed : 1994) mendiskripsikan bahwa dalam masyarakat dengan ciri pelembagaan
politik eksklusif dimana kompetisi politik dibatasi pada lapisan tipis elit dan perbedaan
antar elit lebih didasarkan pada klik pribadi dan bukan pada isu kebijakan, yang terjadi
pada umumnya desakan kultural dan struktural untuk korupsi itu betul – betul terwujud
dalam tindakan korupsi para pejabatnya. Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa
proses terjadinya korupsi dengan formulasi M+D – A = C. Simbol M adalah monopoly,
D adalah discretionary (kewenangan), A adalah accountabillity (pertanggungjawaban).
Penjelasan atas simbol tersebut dapat dikatakan bahwa korupsi adalah hasil dari adanya
monopoli (kekuasan) ditambah dengan kewenangan yang begitu besar tanpa
keterbukaan dan pertanggungjawaban.

2. Faktor Hukum
Faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang –
undangan dan sisi lain lemahnya penegakkan hukum. Tidak baiknya substansi hukum,
mudah ditemukan dalam aturan – aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan
yang tidak jelas-tegas sehingga multi tafsir; kontradiksi dan overlapping dengan
peraturan lain. Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga
tidak tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang
berbeda – beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan
tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak
produktif dan mengalami resistensi. Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang
dominan adalah: (1) tawar-menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan
golongan di parlemen, sehingga memunculkan aturan yang bias dan diskriminatif. (2)
praktek politik uang dalam perbuatan hukum berupa suap menyuap, utamanya
menyangkut perundang – undangan di bidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul
peraturan yang elastis dan multi tafsir serta tumpang tindih dengan aturan lain sehingga
mudah dimanfaatkan untuk menyelamatkan pihak – pihak pemesan. Sering ula ancaman
sanksinya dirumuskan begitu ringan sehingga tidak memberatkan pihak yang
berkepentingan.

Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah : 2004) menyebutkan tindakan
korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang – undangan,
yang meliputi: (a) adanya peraturan perundang – undangan yang bermuatan kepentigan
pihak – pihak tertentu (b) kualitas perundang – undangan kurang memadai (c) peraturan
kurang disosialisasikan (d) sanksi yang terlalu ringan (e) penerapan sanksi yang tidak
konsisten dan pandang bulu (f) lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan
perundang – undangan. Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting
adalah budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan
mengerti akan konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Sementara itu Rahman Saleh
merinci ada empat faktor dominan penyebab korupsi di Indonesia, yakni faktor
penegakkan hukum, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah, dan
rendahnya “political will”. (Rahman Saleh : 2006)

3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab korupsi. Hal itu dapat
dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Namun pendapat
ini tidak mutlak benar karena dalam teori kebutuhan Maslow, sebagaimana dikutip
Sulistyantoro, korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua
kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas
masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup. Namun saat ini korupsi dilakukan oleh
orang kaya dan berpendidikan tinggi (Sulistyantoro : 2004). Schoorl berpendapat bahwa
di Indonesia pada awal tahun enampuluhan, situasinya begitu merosot, sehingga untuk
gologan terbesar dari pegawai gaji sebulan hanya cukup untuk makan dua minggu.
Dapat dipahami, bahwa dengan situasi demikian para pegawai terpaksa mencari
penghasilan tambahan dan bahwa banyak diantara mereka mendapatkannya dengan
meminta uang ekstra (Hamzah : 1995). Hal demikian juga diungkapka oleh KPK dalam
buku Tambahan Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah (KPK : 2006), bahwa
sistem penggajian kepegawaian sangat terkait dengan kinerja aparatur pemerintah.
Tingkat gaji yang tidak memenuhi standar hidup minimal pegawai merupakan masalah
sulit yang harus dituntaskan penyelesaiaannya. Aparatur pemerintah yang merasa
pengahsilan yan diterimanya tidak sesuai dengan kontribusi yang diberikannya dalam
menjalankan tugas pokoknya tidak akan dapat secara optimal melaksanakan tugas
pokoknya.

Selain rendahnya gaji pegawai, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi
penyebab terjadinya korupsi, diantaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi
dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka
dan kroninya. Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat
menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar permasalahan korupsi. Pernyataan
demikian tidak benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang dilakukan pemimpin Asia
dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan demikian korupsi tidak
disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh
korupsi (Pope : 2003). Menurut Henry Kissinger korupsi politisi membuat sepuluh
persen lainnya terlihat buruk. Dari keinginan pribadi untuk keuntungan yang tidak adil,
untuk ketidakpercayaan dalam sistem peradilan, untuk ketidakstabilan lengkap dalam
identitas bangsa, ada banyak faktor motivasi orang kekuasaan, anggota parlemen
termasuk warga biasa, untuk terlibat dalam perilaku korup.

4. Faktor Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti luas, termasuk
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau
dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka
peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal : 2000). Bilamana
organisasi tersebut tidak mebuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan
korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek – aspek penyebab terjadinya korupsi
dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan (b)
tidak adanya kultur organisasi yang benar (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah
kurang memadai (d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Terkait dengan hal itu Lyman W. Porter (1984) menyebut lima fungsi penting dalam
organizational goals: (1) focus attention (2) provide a source of legitimacy (3) affect
the structure of the organization (4) serve as a standard (5) provide clues about the
organization.
Focus attention, dapat dijadikan bagi para anggota sebagai semacam guideline
untuk memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan para anggota dan organisasi
sebagai kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para anggota dapat memiliki arah yang
jelas tentang segala kegiatan dan tentang apa yang tidak, serta apa yang harus dikerjakan
dalam kerangka organisasi. Tindak tanduk atas kegiatan dalam organisasi, oleh
karennya senantiasa berorientasi kepada tujuan organisasi, baik disadari maupun tidak.
Dalam fungsinya sebagai dasar legitimasi atau pembenaran tujuan oragnisasi dapat
dijadikan oleh para anggota sebagai dasar keabsahan dan kebenaran tindakan-tindakan
dan keputusannya. Tujuan organisasi juga berfungsi menyediakan pedoman-pedoman
bagi para anggotanya untuk menentukan cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan
melakukan suatu tindakan. Organisasi dapat berfungsi dengan baik , hanya bila
anggotanya bersedia mengintegrasikan diri di bawah sebuah pola tingkah laku atau
aturan yang telah ditentukan bersama. Di sinilah letak jika kurangnya keteladanan
pemimpin dapat memicu perilaku korup.

1.3 ALASAN PENEGAKKAN HUKUM YANG MASIH BERSIFAT


TEBANG PILIH

Intitusi penegak hukum adalah salah satu pilar dalam penerapan rule of law di Indonesia.
Proses penegakan menjadi cermin dari entitas suatu nilai yang ada dalam masayarakat. Jika respon
masyarakat terhadap intitusi penegak hukum lemah maka apa yang tercantum dalam UUD NRI
1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum menjadi keniscayaan. Dalam
teori konfigurasi politik, hukum bersifat responsif karena hukum berasal dari masyarakat dan tidak
boleh represif karena akan menimbulkan kekacauan politik, namun dalam pelaksanaan penegakan
hukum, hukum tidak boleh dipolitisasi karena ranah penegakan hukum sudah menyangkut
pelaksanaan dari konstitusi. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Kemedekaan ini diartikan adalah merdeka dari siapapun tanpa adanya tebang pilih demi
menegakkan hukum dan keadilan. Keadilan untuk siapa keadilan yang sebesar-besarnya untuk
korban dan siapakah korban itu, orang yang patut diduga telah melakukan tindak pidana(dalam hal
ini semua kasus). Dalam Kasus Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto telah mengikutsertakan
institusi penegak hukum antara Komisi Pemberantasan Korupsi versus Kepolisian Republik
Indonesia tentang penetapan keduanya menjadi tersangka, ini menjadi sangat mengganggu
terhadap mekanisme proses pemberantasan korupsi di Indonesia dan ketanegaraan kita, dengan
keduanya ditetapkan menjadi tersangka maka reputasi dari institusi penegak hukum telah
dipertanyakan, keduanya dianggap telah memenuhi 2 (dua) alat bukti yang sah untuk ditetapkan
menjadi tersangka. Namun, demikian yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah kapan tindak
pidana itu dilakukan dan mekanisme prosedur penetapan menjadi tersangka menjadi pertanyaan
publik saat ini.
Standard Operating Procedure (SOP) yang jelas dalam penegakan hukum, baik yang
berkaitan dengan penangkapan, penggeledahan, dan penahanan, penuntutan sampai menuju proses
persidangan hingga berkhir pada putusan inkracht. Seseorang menjadi tersangka atau terdakwa
bahkan saksi sekali pun patut dilindungi hak dan kemerdekaannya di muka hukum agar peradilan
ini bersifat fairness tanpa memandang status kedudukan dan
jabatan. Siapa saja yang patut diduga telah melakukan tindak pidana hurus diproses dengan asas
cepat, sederhana dan biaya ringan.
Melihat kondisi saat ini kasus-kasus yang masuk dalam ranah pengadilan dinilai lambat
dan berbelit-belit, inipun akan menyalahi undang-undang, hal ini dapat dilihat dengan
menumpuknya perkara di pengadilan dan penyidikan yang berjalan lambat dan cenderung
menggunakan masa penahanan maksimal, padahal jika dilihat dari jenis pidana, jika seseorang
patut diduga telah melakukan tindak pidana dan unsur-unsur telah dipenuhi maka segera proses ke
pengadilan, selain menjamin kepastian hukum juga perlindungan terhadap martabat manusia. Hal
ini tidak terjadi di negara kita, perkara yang diajukan bisa memakan waktu yang lama dengan
alasan masih ada perpanjangan masa penahanan dan belum P21, ini sebenarnya diperbolehkan,
namun bertentangan dengan asas hukum pidana. Seharusnya mekanisme dan prosedur dalam
penyidikan harus lebih jelas dan tegas agar terjaga kualitas dan integritas dalam proses penyidikan
sehingga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum khususnya penyidik akan
menjadi pioneer utama dalam lini penegakan hukum yang efektif dan bermartabat baik penyidik
KPK maupun penyidik POLRI.
Mekanisme Integrated Criminal Justice System Tujuan hukum adalah untuk keadilan dan
orientasinya untuk daya guna bagi masyarakat banyak serta peningkatan martabat kemanusiaan.
Bukan sekedar sebagai instrumen kelestarian kekuasaan suatu rezim. Hal ini mengisyaratkan
bahwa pembentukan undang-undang secara prosedural tidak boleh melanggar kaidah konstitusi,
sehingga penyimpangan secara fundamental harus dihindarkan. Oleh sebab itu penjatuhan pidana
bukan semata-mata menghukum dengan seberat- beratnya namun demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dan rasa aman di masyarakat serta demi kesejahteraan rakyat
Indonesia. Hubungan koordinasi dari institusi penegak hukum sebagai penggerak dalam
meningkatkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat lebih dikedepankan sehingga akan menjamin
terhadap nilai keadilan dan kepastian hukum sendiri, bukan sebagai mata rantai yang panjang dan
berbelit-belit dalam urusan penegakan hukum, seharusnya institusi itu menjadi jembatan dalam
lahirnya pola pencarian keadilan dan kebenaran. Dengan adanya Integreted Criminal Justice
System dalam intitusi penegak hukum, di antaranya polisi/penyidik, jaksa, hakim, advokat sampai
Lembaga Pemasyarakatan, harus memiliki tugas dan fungsi yang jelas tanpa pandang bulu dan
tidak tebang pilih jika ada indikasi patut diduga melakukan tindak pidana maka segera lakukan
penyidikan dan penyelidikan, sehingga tidak ada kasus yang baru 5 atau 10 tahun kemudian baru
dilakukan penyidikan sehingga barang bukti dan alat bukti yang patut diduga sebagai hasil
kejahatan untuk dijadikan alat bukti masih ada dan tersimpan rapi atau bahkan sudah
musnah/hilang.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum tidak boleh disamakan dengan proses pembuatan
produk hukum hasil dari mekanisme politik, perkara muncul dan hilang sesuai pesanan politik.
Yang perlu dibenahi adalah memperjelas SOP dalam intitusi penegak hukum secara efektif dan
berkualitas sehingga input dan output yang dihasilkan jelas dan terukur, Seperti contoh jika perkara
yang sudah diproses dalam penyidikan membutuhkan waktu berapa lama untuk tiap-tiap perkara
dengan spesifik masalah sampai bukti dianggap lengkap, jangan sampai kasus pencurian ayam
misalkan disamakan dengan kasus korupsi atau narkoba atau sebaliknya memakan waktu yang
lama untuk kasus kasus tertentu, sehingga menjadi tebang pilih dalam penegakan hukum dan tidak
bisa diukur dengan prosedur kualitas dan kuantitas proses peradilan.
Dalam kerangka mendorong sistem peradilan pidana terpadu (integreted criminal justice
system) dengan terciptanya sistem peradilan pidana yang mampu menghadirkankeadilan dengan
peradilan yang adil dan tidak memihak sesuai dengan prinsip-prinsip fair trial maka diharapkan
institusi penegak hukum mampu menjadi penyeimbang dalam gerak dan langkah dalam proses
pidana baik itu pidana formil, pidana materiil maupun pelembagaan peradilan pidana, sejauhmana
efek dari tingkat pidana itu mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat selama ini sehigga tidak
terjadi penumpukan perkara di pengadilan dan lembaga pemasayarakatan yang over capacity serta
tingkat kejahatan yang tiap tahun semakin meningkat maka perlu kecermatan dan kehati-hatian
serta sikap bijak dalam menyikapi persoalan korban, saksi maupun terpidana dalam satu koridor
menegakkan kebenaran dan keadilan untuk menurunkan angka kriminalitas. Melakukan
komunikasi dan koordinasi antar intitusi penegak hukum secara baik, profesional, transparan dan
kredibel serta berintegritas juga perlu untuk dilakukan.
Mekanisme Diskresi Penegakan hukum nantinya juga tidak lepas dari diskresi dengan tiga
syarat yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak
melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB ). Diskesi dilakukan karena adanya
ketiga hal tersebut di atas salah satunya demi menyelamatkan kepentingan umum. Jika demi
kepentingan umum dianggap cocok dalam mengambil langkah untuk diskresi maka kebijakan
inipun harus dikonsultasikan dan dikomunikasikan dengan pimpinan tertinggi dalam memutuskan
perkara dan melalui uji publik terlebih dahulu sehingga tidak melanggar asas asas umum
pemerintahan yang baik. Perkara ini layak untuk dilakukan diskresi jika ini menyangkut nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat sehingga layak untuk memperoleh hak istimewa dan diskresi juga
dipergunakan bukan untuk memperoleh imbalan, hadiah atau jasa yang berakibat pada gratifikasi
tapi ini murni akan dikembalikan lagi kepada ranah hukum yang konstitusional. Diskresi juga
bukan menjadi alasan dalam tebang pilih perkara.
Jenis-jenis Penjatuhan Pidana yang Dapat dilakukan Hakim terhadap Terdakwa Tindak
Pidana Korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 serta Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 adalah berupa sebagai berikut.
1. Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi
 Pidana Mati
 Pidana Penjara
 Pidana Tambahan, berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak
berwujud atau barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, pembayaran uang
pengganti sebanyak yang telah diperoleh dari hasil korupsi, penutupan seluruh atau
sebagian perusahaan selama paling lama 1 tahun, pencabutan hak-hak tertentu,
penyitaan terhadap harta benda jika pelaku tidak membayar uang pengganti.
 Gugatan perdata Kepada Ahli Warisnya. Jika dalam pemeriksaan, terdakwa meninggal
dunia, dan secara penyelidikan dibenarkan telah melakukan tindak korupsi, penuntut
umum segera menyerahkan salinan berkas acara sidang kepada instansi yang dirugikan
untuk dilakukan gugatan kepada ahli waris pelaku korupsi tersebut.

2. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Korporasi
Tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dn atau pengurusnya.
Penjatuhan pidana ini melalui prosedur ketentuan pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.

Putusan Hakim terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dapat digolongkan menjadi 2
sebagai berikut.
1. Putusan Akhir
putusan yang dikeluarkan oleh hakim atau pengadilan terhadap terdakwa tindak pidana korupsi
yang hadir di persidangan , sampai dengan pokok perkaranya selesai diperiksa. Penjatuhan putusan
melalui proses-proses yang sesuai dengan prosedu pengadilan .
2. Putusan yang Bukan Putusan Akhir
Dalam prakteknya, putusan yang bukan merupakan putusan akhir dapat berupa penetapan atau
putusan sela atau sering disebut putusan tussen-vonnis dalam bahasa Belanda. Putusan ini masih
memungkinkan perkara tersebut dibuka kembali karena ada perlawan yang dibenarkan, juga
karena dalam hal ini materi pokok perkara atau pokok perkara yang sebenarnya yaitu dari
keterangan para saksi, terdakwa serta proses berikutnya belum diperiksa oleh majelis hakim.
Bentuk putusan Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi menurut Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta
Pasal 193 ayat (1) KUHP sebagai berikut.
1. Putusan bebas.
2. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum
3. Putusan pemidanaan.

(Fijnaut dan Huberts : 2002): “It is always necessary to relate anti-corruption strategies to
characteristics of the actors involved (and the environment they operate in). There is no single
concept and program of good governance for all countries and organizations, there is no ‘one
right way’. There are many initiatives and most are tailored to specifics contexts. Societies and
organizations will have to seek their own solutions.” Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa
sangat penting untuk menghubungkan strategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat
karakteristik dari berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau
beroperasi.

Tidak ada jawaban, konsep atau program tunggal untuk setiap negara atau organisasi. Ada
begitu banyak strategi, cara atau upaya yang kesemuanya harus disesuaikan dengan konteks,
masyarakat maupun organisasi yang dituju. Setiap negara, masyarakat mapun organisasi harus
mencari cara mereka sendiri untuk menemukan solusinya. Di muka telah dipaparkan bahwa upaya
yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah dengan memberikan pidana atau menghukum
seberat-beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian bidang hukum khususnya hukum pidana akan
dianggap sebagai jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi. Benarkah demikian?
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal atau
criminal policy oleh G.Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008).

1. Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application).


2. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment).
3. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment
/ mass media).

Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat
dibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum pidana) dan jalur
non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara kasar
menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih
menitikberatkan pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan
terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan).
Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif
dalam arti luas (Nawawi Arief : 2008). Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat
penegak hukum. Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas
dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya
terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.

Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’ dan mengandung beberapa
‘kelemahan’ (sisi negatif ) sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara ‘subsidair’.
Pertimbangan tersebut (Nawawi Arief : 1998) adalah :
1. Dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam
bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (obat yang terakhir
apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi).
2. Dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya
yang tinggi.
3. Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek
sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga
Pemasyarakatan.
4. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren
am symptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan pengobatan simptomatik
bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada
di luar jangkauan hukum pidana.
5. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial
lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang sangat kompleks.
6. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural
atau fungsional.
7. Efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering
diperdebatkan oleh para ahli.

Sejatinya Lembaga Pemasyarakatan adalah Lembaga yang bertujuan untuk merehabilitasi


dan meresosialisasi pelaku kejahatan. Namun dalam realita, tujuan ini sangat sulit untuk
diwujudkan. Berbagai kasus narapidana yang dengan memberi suap dapat menikmati perlakuan
istimewa saat berada di Lembaga Pemasyarakatan dapat memperlihatkan bahwa hukum telah
bersikap diskriminatif. Dengan ini justru daftar lembaga dan aparat hukum yang terlibat dan turut
menumbuhsuburkan korupsi bertambah panjang. Menurut Rubin pemidanaan (apakah
dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh
terhadap masalah kejahatan. Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan tidak
berhubungan dengan perubahan di dalam hukum atau kecenderungan dalam putusan pengadilan,
tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang
besar dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga yang
independen yang khusus menangani korupsi. Kita sudah memiliki Lembaga yang secara khusus
dibentuk untuk memberantas korupsi. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik dari
tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Pengadilan adalah
jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap imparsial (tidak memihak), jujur dan adil.
Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat oleh hukum karena kinerja lembaga peradilan yang
sangat buruk. Bila kinerjanya buruk karena tidak mampu (unable), mungkin masih dapat
dimaklumi. Ini berarti pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak hukum harus ditingkatkan.
Yang menjadi masalah adalah bila mereka tidak mau (unwilling) atau tidak memiliki keinginan
yang kuat (strong political will) untuk memberantas korupsi, atau justru terlibat dalam berbagai
perkara korupsi. Lembaga atau Komisi yang melakukan penanganan terhadap Tindak Pidana
Korupsi Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sesuai hukum positif di Indonesia
adalah sebagai berikut.
1. Lembaga Kepolisian
2. Lembaga Kejaksaan
3. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor)
4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
5. Lembaga Peradilan (Peradilan Umum dan Peradilan Ad-Hoc Tindak Pidana Korupsi)

1.4 KORUPSI DALAM PERSPEKTIF PANCASILA

Tindakan-tindakan korupsi merupakan bentuk penyelewengan dari butir-butir Pancasila,


dijelaskan sebagai berikut :
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini
jelas perilaku tindakan pidana korupsi ini tidak mencerminkann perilaku tersebut
karena perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang tidak percaya dan taqwa
kepada Tuhan. Dia menafikan bahwa Tuhan itu Maha Melihat lagi Maha Mendengar.
2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam sila ini perilaku tindak pidana korupsi sangat melanggar bahkan sama sekali
tidak mencerminkan perilaku ini, seperti mengakui persamaan derajat, saling
mencintai, sikap tenggang rasa, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan serta
membela kebenaran dan keadilan.
3. Sila Persatuan Indonesia.
Tindak pidana dan tipikor bila dilihat dalam sila ini, pelakunya itu
hanya mementingkan pribadi, tidak ada rasa rela berkorban untuk bangsa dan Negara,
bahkan bisa dibilang tidak cinta tanah air karena perilakunya cenderung
mementingkan nafsu, kepentingan pribadi atau kasarnya kepentingan perutnya saja.
4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyarawatan
/ Perwakilan.
Dalam sila ini perilaku yang mencerminkannya seperti, mengutamakan kepentingan
Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak, keputusan yang diambil harus
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menjunjung tinggi
harkat martabat manusia dan keadilannya. Sangat jelaslah bahwa tindak pidana
korupsi tidak pernah ada rasa dalam sila ini.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rata-rata bahkan sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi itu, tidak ada perbuatan
yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana gotong royong, adil, menghormati
hak-hak orang lain, suka memberi pertolongan, menjauhi sikap pemerasan terhadap
orang lain, tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, serta tidak
ada rasa bersama-sama untuk berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan
keadilan sosial.
Jadi semua perilaku tindak pidana dan tipikor itu semuanya melanggar dan tidak
mencerminkan sama sekali perilaku pancasila yang katanya ideologi bangsa ini. Selain bersifat
mengutamakan kepentingan pribadi, juga tidak adanya rasa kemanusiaan, keadilan, saling
menghormati, saling mencintai sesama manusia, dan yang paling riskan adalah tidak ada rasa
‘percaya dan taqwa’ kepada Tuhan Yang Maha Esa.

1.5 UPAYA YANG DAPAT DITEMPUH DALAM PEMBERANTASAN


KORUPSI

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-
sia, antara lain sebagai berikut :
1.5.1 Upaya Pencegahan (Preventif)
 Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
a. Salah satu cara mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik
melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum
dan sesudah menjabat. Masyarakat ikut memantau tingkat kewajaran
peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika
kekayaan yang didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan
kepemilikannya ke orang lain.
b. Pengadaan barang atau kontrak pekerjaan di pemerintahan pusat dan daerah
maupun militer sebaiknya melalui lelang atau penawaran secara terbuka.
Masyarakat diberi akses untuk dapat memantau dan memonitor hasil
pelelangan tersebut.
c. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekrutan pegawai negeri dan anggota TNI-
Polri baru. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sering terjadi dalam proses
rekrutmen tersebut. Sebuat sistem yang transparan dan akuntabel dalam hal
perekrutan perlu dikembangkan.
d. Sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang menitik-beratkan pada proses
(process oriented) dan hasil kerja akhir (result oriented) perlu dikembangkan.
Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerjanya, bagi pegawai negeri
yang berprestasi perlu diber insentif.

 Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat


a. Salah satu upaya memberantas korupsi adalah dengan memberi hak kepada
masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi. Perlu dibangun
sistem dimana masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala
informasi sehubungan dengan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
hajat hidup orang banyak.
b. Isu mengenai public awareness atau kesadaran dan kepedulian publik terhadap
bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu bagian
penting upaya pemberantasan korupsi. Salah satu cara meningkatkan public
awareness adalah dengan melakukan kampanye tentang bahaya korupsi.
c. Menyediakan sarana untuk melaporkan kasus korupsi. Misalnya melalui
telepon, surat, faksimili (fax), atau internet.
d. Di beberapa negara pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama baik’ tidak
dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi, dengan
pemikiran bahwa bahaya korupsi lebih besar daripada kepentingan individu.
e. Pers yang bebas adalah salah satu pilar demokrasi. Semakin banyak informasi
yang diterima masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi
f. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingkat lokal maupun
internasional juga memiliki peran penting untuk mencegah dan memberantas
korupsi. Sejak era Reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang Anti Korupsi
banyak bermunculan. LSM memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan atas
perilaku pejabat publik. Contoh LSM lokal adal ICS (Indonesian Corruption
Watch).
g. Cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan
menggunakan perangkat electronic surveillance. Alat ini digunakan untuk
mengetahui dan mengumpulkan data dengan menggunakan peralatan elektronik
yang dipasang di tempat-tempat tertentu. Misalnya kamera video (CCTV).
h. Melakukan tekanan sosial dengan menayangkan foto dan menyebarkan data
para buronan tindak pidana korupsi yang putusan perkaranya telah berkekuatan
hukum tetap.

1.5.2 Upaya Penindakan (Kuratif)


Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan
diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana.
Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
 Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia
milik Pemda NAD (2004).
 Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melakukan
pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
 Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI
Jakarta (2004).
 Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan
negara Rp 10 milyar lebih (2004).
 Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
 Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
 Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
 Menetapkan seorang Bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus
korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9
miliar (2004).
 Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).

1.5.3 Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa


1. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial
terkait dengan kepentingan publik.
2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan
pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam
setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

1.5.4 Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)


Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang
mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri
dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui
usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW lahir
di Jakarta pada tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki
pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba sekarang
menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik.
Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI
Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004 menyatakan
bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disusul Surabaya, Medan, Semarang
dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun,
Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan,
Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia
adalah negara terbebas dari korupsi.

Untuk mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya


mengandalkan satu instrumen hukum yakni Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu
dikembangkan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang harus ada untuk mendukung
pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau Pencucian
Uang. Untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana korupsi, perlu instrumen hukum berupa
UU Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan Pers, perlu UU yang mengatur
mengenai Pers yang bebas. Bagaimana mekanisme masyarakat yang akan melaporkan tindak
pidana korupsi dan penggunaan electronic surveillance juga perlu diatur supaya tidak melanggar
privacy seseorang. Selain itu hak warga negara untuk secara bebas menyatakan pendapatnya harus
pula diatur.
Pasal-pasal yang mengkriminalisasi perbuatan seseorang yang akan melaporkan tindak
pidana korupsi serta menghalang-halangi penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana
korupsi seperti pasal mengenai fitnah atau pencemaran nama baik perlu dikaji ulang dan bilamana
perlu diamandemen. Hal ini bertujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat. Masyarakat tidak
boleh takut melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya. Selain itu, untuk mendukung
pemerintahan yang bersih, perlu instrumen Kode Etik atau code of conduct yang ditujukan untuk
semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun code of conduct bagi aparat
lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan).

Ada satu hal penting lagi yang harus dilakukan dalam rangka mensukseskan
pemberantasan korupsi, yakni melakukan monitoring dan evaluasi. Tanpa melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap seluruh pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi, sulit mengetahui
capaian yang telah dilakukan. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi, dapat dilihat strategi
atau program yang sukses dan yang gagal. Untuk strategi atau program yang sukses, sebaiknya
dilanjutkan. Untuk yang gagal, harus dicari penyebabnya. Pengalaman negara-negara lain yang
sukses maupun yang gagal dapat dijadikan bahan pertimbangan ketika memilih cara, strategi,
upaya maupun program pemberantasan korupsi di negara kita. Namun mengingat ada begitu
banyak strategi, cara atau upaya yang dapat digunakan, kita tetap harus mencari cara kita sendiri
untuk menemukan solusi memberantas korupsi.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan pembahasan, dan hasil pembahasan di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pancasila sumber nilai anti Korupsi ini dibenarkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi yang menegaskan bahwa Pancasila sesungguhnya merupakan sumber nilai
anti korupsi.
2. Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari
diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena
sebab – sebab dari luar.
3. Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum, dan
ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi
Korupsi (ICW : 2000) yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu
faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional.
4. Penegakkan hukum di Indonesia ibarat pisau yang tajam ke bawah tapi tumpul ke
atas, yang artinya masih bersifat tebang pilih.
5. Penegakan hukum yang masih bersifat tebang pilih disebabkan oleh lemahnya
penegekan hukum dan perundang-undangan pada aparatur atau pejabat eksekutif
(hakim, kepolisian, penyidik) yang masih dapat disuap oleh tersangka kasus korupsi.
6. Pendirian lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah
satu cara memberantas korupsi.
7. Tindakan penjatuhan hukuman pidana belum tentu akan memberikan efek jera kepada
tersangka korupsi. Namun menjadi opsi terkhir.
8. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi seharusnya lebih diutamakan contohnya
dengan cara pendidikan anti korupsi dalam matakuliah Pancasila. Ini akan
memberikan pola pikir dan cara pandang yang mengarahkan agar korupsi dapat
dihentikan mulai dari bangku sekolah untuk kedepannya.

3.2 SARAN
1. Korupsi di indonesia telah merupakan kejahatan yang luar biasa yang menjangkau
semua lembaga negara, baik eksekutif, legislative dan juga yudikatif, karena pelaku
koruptif para oknum penjabatnya baik pusat maupun didaerah yang cenderung tidak
taat asas dan menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya. Untuk itu perunya
sosialisasi dan diseminasi yang meluas dan intensif kepada semua elemen bangsa untuk
senantiasa memahami dan mengamalkan secara nuata dan istiqomah. Nilai-nilai
pancasila baik melalui peningkatan kualitas, pengamalan ajaan agama, dan
kepercayaan yang di anutnya, memberikan contoh keteladan hidup yang baik.
2. Pola hidup sederhana yang peduli tehadap sesama berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan
yang univeral maka dapat dipastikan upaya penanggulangan korupsi secara permanen
dan berkelanjutan baik yang bersifat penjegahan pemberantasan denga penuh optimis
dapat diwujudkan secara optimal.
3. Memberantas dan membasmi korupsi ini bukan hanya sekedar menggiatkan
pemeriksaan, penyelidikan, dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan koruptor
juga bukan sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral
seseorang. Namun upaya pemberantasan korupsi harus secara mendalam menutup akar
dan penyebabnya. Semoga negara kita di masa mendatang dapat segera bebas dari
korupsi, Amiin.
DAFTAR PUSTAKA

 Andrisman, Tri, “Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Dalam Jurnal Studi Penegakkan dan Pengembangan
Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4. E-journal www.hukumpidana.com
 Bibit S. Rianto (BRS Wisnuwardhana) dan Nurlis E. Meuko, 2009. Koruptor Go To Hell
Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia. Jakarta. Hikmah (PT Mizan Publika)
 Dikti, 2014, Buku Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Kemendikbud,
Jakarta. dalam www.ipdn.com
 Dr. Mansyur Semma, 2008. Negara Dan Korupsi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
 Hasbullah, F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana
Korupsi, Kencana, Jakarta. dalam www.hukumpidana.com
 Klitgaard, Robert, 2005. Membasmi Korupsi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
 La, Sina, 2008, “Dampak dan Upaya Pemberantasan serta Pengawasan Korupsi di
Indonesia”. Dalam jurnal Hukum Pro Justitia Vol. 26 No. 1, Tahun 2008. E-journal
www.hukumpidana.com
 Mundzir, Hudriyah dkk,2013, Pendidikan Pancasila, UPT MKU Politeknik Negeri ,
Malang.

Anda mungkin juga menyukai