Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH EKONOMI MONETER 1

INFLASI

Disusun oleh : Kelompok 2


1.Ranip Fahmi
2. Rasidah Rizki
3. Ranti Nurramdayani
4. Rahmawati
5. Nurkhalisa
6. Nurmaya Khaerani
7. Nurul Faizah

ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MATARAM
2019/2020
Kata Pengantar

Puji dan syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatnya makalah
ini Ekonomi Moneter 1 “Inflasi” ini bisa diselesaikan dalam rangka pemenuhan tugas kuliah.
Banyak proses yang dilalui dalam peneyelesaian makalah ini, kami sangat berterimaskasih
kepada pihak yang ikut serta membantu kami.
Adapun makalah ini jauh dari kata sempurna apabila ada saran dan kritik yang
membangun kami dengan besar hati menerima segala masukan untuk meningkatkan kemampuan
menulis kami. Semoga dengan makalah ini dapat menambah wawasan tentang inflasiyang terjadi
di Indonesia..
DAFTAR ISI

COVER.............................................................................................................................................i
KATA PENGATAR........................................................................................................................ii
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 5
1.3 Tujuan ................................................................................................................................... 5
BAB II............................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 6
2.1 Definisi Inflasi ...................................................................................................................... 6
2.3 Sebab-Sebab Terjadinya Inflasi ........................................................................................... 8
2.4 Dampak Terjadinya Inflasi ................................................................................................ 10
2.5 Teori-teori Inflasi ................................................................................................................ 11
2.6 Inflasi yang pernah terjadi di Indonesia ............................................................................. 16
2.7 Kebijakan Pemerintah Mengatasi Krisis Akibat Inflasi..................................................... 18
BAB III ......................................................................................................................................... 21
PENUTUP..................................................................................................................................... 21
3.1 Kesimpuan .......................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inflasi merupakan suatu fenomena ekonomi yang sangat menarik untuk dibahas terutama
yang berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap agregat makro ekonomi. Pertama,
inflasi domestik yang tinggi menyebabkan tingkat balas jasa yang riil terhadap asset finansial
domestik semakin rendah ( bahkan seringkali negatif ), sehingga dapat mengganggu
mobilisasi dana domestik dan bahkan dapat mengurangi tabungan domestik yang menjadi
sumber dana investasi. Kedua, dapat menyebabkan daya saing barang ekspor berkurang dan
dapat menimbulkan defesit dalam transaksi berjalan dan sekaligus dapat meningkatkan
hutang luar negeri. Ketiga, inflasi dapat memperburuk distribusi pendapatan dengan
terjadinya transfer sumberdaya dari konsumen dan golongan berpenghasilan tetap kepada
produsen. Keempat, inflasi yang tinggi dapat mendorong terjadinya pelarian modal keluar
negeri. Kelima, inflasi yang tinggi akan dapat mennyebabkan kenaikan tingkat bunga
nominal yang dapat mengganggu tingkat investasi yang dibutuhkan untuk memacu tingkat
pertumbuhan ekonomi tertentu (Hera Susanti et all,1995).
Inflasi juga merupakan masalah yang dihadapi setiap perekonomian. Sampai dimana
buruknya masalah ini berbeda di antara 2 satu waktu ke waktu yang lain, dan berbeda pula
dari satu Negara ke Negara lain. Tingkat inflasi yaitu presentasi kenaikan harga – harga
dalam suatu tahun tertentu, biasanya digunakan sebagai ukuran untuk menunjukkan sampai
dimana buruknya masalah ekonomi yang dihadapi. Dalam perekonomian yang pesat
berkembang inflasi yang rendah tingkatannya yang dinamakan inflasi merayap yaitu inflasi
yang kurang dari sepuluh persen setahun. Seringkali inflasi yang lebih serius atau berat, yaitu
inflasi yang tingkatnya mencapai diatas seratus persen setahun. Pada waktu peperangan atau
ketidak setabilan politik, inflasi dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi yang kenaikan
tersebut dinamakan hiperinflasi (Sukirno,2004). Inflasi merupakan salah satu peristiwa
moneter yang sangat penting dan dijumpai di hampir semua Negara di dunia.
Inflasi adalah kecenderungan dari harga – harga untuk menaik secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali
bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari
barang – barang lain. (Boediono.1995). Brodjonegoro (2008) menyatakan bahwa
permasalahan pertama yang paling kritis dalam kebijakan moneter adalah kesulitan
pengambil kebijakan dalam mengendalikan laju inflasi. Dalam pengertian, memang laju
inflasi Indonesia relative rendah, lebih banyak dibawah dua digit, tetapi selalu membutuhkan
kerja ekstra keras.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari inflasi?
2. Apa jenis-jenis inflasi?
3. Apa sebab-sebab terjadinya inflasi?
4. Bagaimana dampak terjadinya inflasi?
5. Apa saja Teori-teori Inflasi?
6. Jelaskan tentang inflasi yang pernah terjadi di Indonesia?
7. Bagaimana kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi inflasi ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi-definisi inflasi.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis inflasi.
3. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya inflasi.
4. Untuk mengetahui dampak terjadinya inflasi.
5. Untuk mengetahui teori-teori inflasi.
6. Untuk mengetahui tentang inflasi yang pernah terjadi di Indonesia.
7. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi
inflasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Inflasi
Pada awalnya inflasi diartikan sebagai kenaikan jumlah uang beredar atau kenaikan
likuiditas dalam suatu perekonomian. Pengertian tersebut mengacu pada gejala umum yang
ditimbulkan oleh adanya kenaikan jumlah uang beredar yang diduga telah menyebabkan
adanya kenaikan harga-harga.
Dalam perkembangan lebih lanjut, inflasi secara singkat dapat diartikan sebagai suatu
kecenderungan meningkatnya harga-harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus.
Dalam pengertian tersebut, terdapat dua pengertian penting yang merupakan kunci dalam
memahami inflasi. Yang pertama adalah kenaikan harga secara umum dan yang kedua adalah
terus-menerus.
Dalam inflasi harus terkandung unsur kenaikan harga, dan selanjutnya kenaikan harga
tersebut adalah harga secara umum. Hanya kenaikan harga yang terjadi secara umum yang
dapat disebut sebagai inflasi. Hal ini penting untuk membedakan kenaikan harga atas barang
dan jasa tertentu. Misalnya, meningkatnya harga beras atau harga cabe merah saja belum
dapat dikatakan sebagai inflasi. Inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum, artinya
inflasi harus menggambarkan kenaikan harga sejumlah besar barang dan jasa yang
dipergunakan (atau dikonsumsi) dalam suatu perekonomian.
Kata kunci kedua adalah terus menerus, kenaikan harga yang terjadi karena faktor
musiman, misalnya, menjelang hari-hari besar atau kenaikan harga sekali saja dan tidak
mempunyai pengaruh lanjutan juga tidak dapat disebut inflasi karena kenaikan harga tersebut
bukan masalah kronis ekonomi. Berhubung inflasi merupakan kenaikan harga barang dan
jasa secara umum, maka untuk mengukur perubahan inflasi dari waktu ke waktu pada
umumnya dipergunakan suatu angka indeks. Angka indeks tersebut disusun dengan
memperhitungkan sejumlah barang dan jasa yang akan dipergunakan untuk menghitung
besarnya angka inflasi. Perubahan angka indeks dari satu waktu ke waktu yang lain, yang
dinyatakan dalam angka persentase, adalah besarnya angka inflasi dalam periode tersebut.
Contoh : apabila angka indeks harga konsumen pada Juni 2007 sebesar 99.14 dan angka
indeks tersebut pada Juni 2008 menjadi 110.08, maka inflasi tahunan pada bulan Juni 2008
adalah 11.03%2. Perkembangan kenaikan harga sejumlah barang dan jasa secara umum dalam
suatu periode waktu ke waktu tersebut disebut sebagai laju inflasi (inflation rate) .
2.2 Jenis-Jenis Inflasi
Berdasarkan tingkat keparahannya, inflasi dibagi menjadi 4 yaitu:
 Inflasi Ringan, yaitu inflasi yang mudah untuk dikendalikan dan belum begitu
menganggu perekonomian suatu negara. Terjadi kenaikan harga barang/ jasa secara
umum, yaitu di bawah 10% per tahun dan dapat dikendalikan.
 Inflasi Sedang, yaitu inflasi yang dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat
berpengahsilan tetap, namun belum membahayakan aktivitas perekonomian suatu
negara. Inflasi ini berada di kisaran 10% – 30% per tahun.
 Inflasi Berat, yaitu inflasi yang mengakibatkan kekacauan perekonomian di suatu
negara. Pada kondisi ini umumnya masyarakat lebih memilih menyimpan barang dan
tidak mau menabung karena bunganya jauh lebih rendah ketimbang nilai inflasi. Inflasi
ini berada di kisaran 30% – 100% per tahun.
 Inflasi Sangat Berat(Hyperinflation), yaitu inflasi yang telah mengacaukan
perekonomian suatu negara dan sangat sulit untuk dikendalikan meskipun dilakukan
kebijakan moneter dan fiskal. Inflasi ini berada di kisaran 100% ke atas per tahun.

Berdasarkan penyebabnya, inflasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:


 Demand pull inflation, yaitu inflasi yang terjadi karena permintaan akan barang/ jasa
lebih tinggi dari yang bisa dipenuhi oleh produsen.
 Cost push inflation, yaitu inflasi yang terjadi karena terjadi kenaikan biaya produksi
sehingga harga penawaran barang naik.
 Bottle neck inflation, yaitu inflasi campuran yang disebabkan oleh faktor penawaran atau
faktor permintaan.

Berdasarkan sumbernya, inflasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

 Domestic inflation, yaitu inflasi yang bersumber dari dalam negeri. Inflasi ini terjadi
karena jumlah uang di masyarakat lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Inflasi jenis ini
juga dapat terjadi ketika jumlah barang/ jasa tertentu berkurang sedangkan permintaan
tetap sehingga harga-harga naik.
 Imported inflation, yaitu inflasi yang bersumber dari luar negeri. Inflasi ini terjadi pada
negara yang melakukan perdagangan bebas dimana ada kenaikan harga di luar negeri.
Contoh, Indonesia melakukan impor barang modal dari negara lain. Ternyata harga
barang-barang modal di negara tersebut naik, kenaikan harga tersebut berdampak bagi
Indonesia sehingga mengakibatkan inflasi.

2.3 Sebab-Sebab Terjadinya Inflasi


1. Inflasi karena permintaan (DemandPullinflation)
DemandPullInflation atau infalsi karena permintaan disebabkan karena permintaan atau
daya tarik masyarakat yang kuat terhadap suatu barang. Inflasi tarikan permintaan juga
dikenal dengan nama Philips CurveInflation. Secara umum inflasi ini disebabkan karena
penawaran dan permintaan terhadap jasa atau barang di dalam negeri untuk jangka panjang
yang di butuhkan masyarakat dengan jumlah besar.
Secara umum inflasi ini sering terjadi pada perekonomian negara yang memiliki
pertumbuhan pesat. Kesempatan kerja yang tinggi di negara tersebut menyebabkan tingkat
pendapatan masyarakat yang tinggi. Hal ini pengeluaran yang melebihi kemampuan
produksi suatu jasa atau barang. Kemampuan daya beli msyarakat yang berlebih ini
kemudian menyebabkan inflasi.
Di Indonesia, inflasi penarikan permintaan bisa terjadi karena permintaan terhadap barang
atau jasa yang reltif tinggi dibanding dengan ketersediaannya. Dalam pengertian ekonomi
makro inflasi jenis ini digambarkan sebagai aggregatedemand yang lebih besar atau
melebihi kapasitas perekonomian.
2. Inflasi karena bertambahnya uang yang beredar
Teori inflasi disebabkan karena bertambahnya uang yang beredar dikemukakan oleh
kaum klasik yang menyatakan bahwa ada keterkaitan antara jumlah uang yang beredar
dengan harga-harga. Apabila jumlah barang tetap namun jumlah uang uang yang beredar
lebih besar dua kali lipat maka harga barang pun menjadi lebih mahal dua kali lipat.
Jumlah uang yang beredar di masyarakat bisa bertambah apabila suatu negara
menggunakan sistem anggaran defisit. Sehingga untuk menutup kekurangan anggaran
tersebut, negara mencetak uang baru yang menyebabkan harga naik.
3. Inflasi karena kenaikan biaya produksi (Costpushinflation)
Inflasi kenaikan biaya produksi atau costpushinflation disebabkan karena adanya dorongan
kenaikan biaya produksi dalam jangka waktu tertentu secara terus menerus. Secara umum
inflasi kenaikan biaya produksi ini disebabkan karena desakan biaya faktor produksi yang
terus naik. Kenaikan Biaya faktor produksi biasanya diakibatkan oleh beberapa hal:

 Turunnya nilai tukar mata uang dalam negeri dengan mata uang asing atau depresiasi.
Kenaikan nilai tukar mata uang juga menyebabkan bahan baku atau barang dari luar
negeri menjadi semakin mahal.
 Inflasi di luar negeri khususnya negara partner dagang menyebabkan barang dan produk
dari luar negeri juga semakin mahal.
 Ketidakseimbangan antara jumlah tenaga kerja dan permintaan barang produksi
membuat pemerintah akan menaikkan harga produksi. Salah satu cara menikkan harga
produksi adalah dengan menaikkan upah atau gaji karyawan serta merekrut karyawan
baru dengan tawaran gaji atau upah yang lebih tinggi. Kebijakan yang seperti ini
menyebabkan biaya produksi meningkat, sehingga harga barang produksi juga menjadi
naik.
Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi biasanya terjadi di negara dengan
pertumbuhan ekonomi yang sedang berkembang atau tumbuh pesat namun dengan angka
pengangguran yang cukup rendah. Di negara yang seperti ini, supply tenaga kerja terbatas
namun permintaan akan suatu barang produksi tinggi.
Selain itu inflasi karena guncangan penawaran juga dapat terjadi karena faktor lain seperti
bencana alam dan lain sebagainya. Namun juga bisa terjadi karena pemerintah menaikkan
harga suatu barang tertentu.
4. Inflasi campuran (Mixedinflation)
Inflasi campuran atau mixedinflation terjadi karena adanya kenaikan penawaran dan
permintaan. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan
permintaan. Ketika permintaan terhadap suatu barang atau jasa bertambah, kemudia
mengakibatkan penyediaan barang dan faktor produksi menjadi turun. Sementara itu,
pengganti atau substitusi untuk barang dan jasa tersebut terbatas atau tidak ada. Keadaan
yang tidak seimbang ini akan menyebabkan harga barang dan jasa menjadi naik. Inflasi jenis
ini akan sangat sulit diatasi atau dikendalikan ketika kenaikan supply akan suatu barang atau
jasa lebih tinggi atau setidaknya setara dengan permintaan.
5. Inflasi ekspektasi (Expectedinflation)
Expectedinflation atau inflasi inspektasi terjadi sebagai akibat dari perilaku masyarakat
yang berpendapat bahwa kondisi ekonomi di masa yang akan datang akan menjadi lebih
baik lagi. Harapan masyarakat akan kondisi ekonomi di masa yang akan datang juga bisa
menyebabkan terjadinya inflasi permintaan atau juga inflasi biaya produksi. Inflasi jenis ini
tergolong sulit untuk dideteksi karena kejadiannya tidak terlalu signifikan.
6. Kekacauan ekonomi dan politik
Situasi ekonomi dan politik di suatu negara juga mempengaruhi adanya inflasi. Bila
suatu negara dalam kondisi yang tidak aman, harga-harga barang di negara tersebut
cenderung mahal. Hal ini juga pernah terjadi di Indonesia ketika ada kekacauan politik dan
ekonomi pada tahun 1998. Pada masa tersebut, level inflasi di Indonesia mencapai 70%
padalah level inflasi yang normal berkisar antara 3 hingga 4%.

Penyebab terjadinya inflasi dibagi menjadi banyak faktor dan beberapa diantaranya juga
terjadi di Indonesia. Secara umum, inflasi merupakan kejadian atau gejala ekonomi yang
tidak bisa dihilangkan secara tuntas. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah biasanya
hanya pada sebatas mengendalikan atau mengurangi inflasi.

2.4 Dampak Terjadinya Inflasi


Dampak terjadinya inflasi terhadap suatu perekonomian diantaranya sebagai berikut:
a. Nilai suatu mata uang akan mengalami penurunan dan daya beli mata uang tersebut
menjadi semakin rendah. Penurunan daya beli mata uang selanjutnya akan berdampak
pada individu, dan dunia usaha. Dengan kata lain, laju inflasi yang tinggi dapat berdampak
buruk terhadap perekonomian secara keseluruhan.
b. Inflasi mendorong redistribusi pendapatan diantara anggota masyarakat, hal inilah yang
disebut dengan efek redistribusi dari inflasi. Inflasi akan mempengaruhi kesejahteraan
anggota masyarakat, sebab redistribusi pendapatan yang terjadi akibat inflasi akan
mengakibatkan pendapatan riil satu orang meningkat, sedangkan pendapatan yang lain
akan jatuh. Umumnya bagi mereka yang berpendapatan tetap akan memperoleh dampak
negatif dari adanya inflasi, karena nilai inflasi yang tinggi sehingga pendapatan riil mereka
turun.
c. Inflasi menyebabkan perubahan-perubahan dalam output dan kesempatan kerja. Hal ini
terjadi karena inflasi memotivasi perusahaan untuk memproduksi lebih atau kurang dari
yang telah dilakukan selama ini.
d. Inflasi menyebabkan sebuah lingkungan yang tidak stabilbagi kondisi ekonomi. Jika
konsumen memperkirakan tingkat inflasi di masa mendatang akan naik, maka akan
mendorong mereka untuk melakukan pembelian barang-barang dan jasa-jasa secara besar-
besaran saat sekarangdaripada mereka menunggu tingkat harga sudah meningkat lagi.
e. Inflasi cenderung memperoleh tingkat bunga riil dan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan di pasar modal. Hal tersebut menyebabkan penawaran dana untuk
investasi menurun, dan sebagai akibatnya, investor pihak swasta berkurang sampai ke
bawah tingkat keseimbangannya.

2.5 Teori-teori Inflasi


Teori-teori ekonomi mengenai inflasi lebih memusatkan pada dalil-dalil umum yang
diharapkan berlaku secara umum. Ini tidak berarti bahwa ahli ekonomi seharusnya tidak
perlu menyelidiki secara lebih mendalam faktor-faktor sosio politik dari inflasi. Kalau ia
ingin berguna, dalam arti bisa menentukan kebijaksanaan yang tepat untuk menanggulangi
masalah inflasi dari suatu Negara, maka ia harus bisa mencapai “akar” dari permasalahan
tersebut, yamg belum tetntu bersifat ekonomis-obyektif, namaun teori-teori ekonomi
mengenai inflasi berguna sebagai titik tolak dari setiap analisa mengenai inflasi.
Secara garis besar 3 kelompok teori mengenai inflasi, masing-masing menyoroti aspek-
aspek tertentu dari proses inflasi, dan masing-masing bukan teori inflasi yg lengkap yg
mencakup semua aspek penting dari proses kenaikan harga ini. Untuk menerapkannya kita
harus menentuksn aspek-aspek mana yg dalam kenyataan penting didalam proses inflasi
disuatu Negara, dan dengan demikian teori mana (atau kombinasi teori-teori mana) yang
lebih cocok.
1. Teori kuantitas
Adalah teori yang paling tua mengenai inflasi. Namun teori ini (yang akhir-akhir ini
mengalami penyempurnaan-penyempurnaan oleh kelompok ahli ekonomi Universitas
Chicago) masih sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern ini,
terutama di Negara-negara yang sedang berkembang. Teori menyoroti peranan dalam
proses inflasi dari (a) jumlah uang yang beredar, dan (b) psikologi (harapan) masyarakat
mengenai kenaikan harga-harga (expectionary). Inti dari teori ini adalah sebagai berikut:
(a) Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar (apakah
berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak menjadi soal).
Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti, misalnya: kegagalan
panen, hanya akan menaikkan harga-harga untuk sementara waktu saja. Penambahan
jumlah uang ibarat ”bahan bakar” bagi api inflasi. Bila jumlah uang tidak ditambah,
inflasi akan berhenti dengan sendirinya, apapun sebab-musabnya awal dari kenaikan
harga tersebut.
(b) Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh
psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang.
Ada 3 kemungkinan keadaan. Keadaan yang pertama adalah bila masyarakat tidak
(atau belum) mengharapkan harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang.
Dalam hal ini, sebagian besar penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima
oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya (yaitu, memperbesar pos kas dalam
buku neraca para anggota masyarakat). Ini berarti bahwa sebagian besar dari kenaikan
jumlah tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang, jadi tidak ada kenaikan
harga barang-barang (atau harga mungkin akan naik sedikit sekali). Dalam keadaan
seperti ini, kenaikan jumlah uang yang beredar sebesar 10% diikuti oleh kenaikan
harga-harga sebesar, misalnya 1%. Keadaan ini biasanya dijumpai pada waktu inflasi
masih baru mulai dan masyarakat masih belum sadar bahwa inflasi sedang
berlangsung. Keadaan yang kedua adalah dimana masyarakat (memperbesar pos
aktiva Barang-Barang di dalam neraca). Hal ini dilakukan karena orang-orang
berusaha untuk menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka memegang
uang tunai. Kenaikan harga (inflasi) tidak lain adalah suatu “pajak” atas saldo kas
yang dipegang masyarakat, karena uang makin tidak berharga. Dan orang-orang
berusaha menghindari “pajak” ini dengan mengubah saldo kasnya menjadi barang.
Orang secara perseorangan bisa melakukan penyesuaian dalam neracanya seperti ini,
yaitu dengan jalan membelanjakan uang kasnya untuk membeli barang-barang. Dari
segi masyarakat secara keseluruhan hal ini berarti adanya kenaikan permintaan akan
barang-barang. Akibat selanjutnya adalah naiknya harga barang-barang tersebut. Bila
masyarakat mengharapkan harga-harga untuk naik dimasa mendatang sebesar laju
inflasi di bulan-bulang yang lalu, maka kenaikan jumlah uang yang beredar akan
sepenuhnya diterjemahkan menjadi kenaikan permintaan akan barang-barang. Dalam
hal ini kenaikan jumlah uang sebesar misalnya 10% akan diikuti dengan kenaikan
harga barang-barang mungkin sebesar 10% pula. Keadaan seperti ini biasanya
dijumpai pada waktu inflasi sudah berjalan cukup lama, dan orang-orang mempunyai
cukup waktu untuk menyesuaikan sikapnya terhadap situasi yang baru. Keadaan
ketiga terjadi pada tahap inflasi yang lebih parah yaitu tahap hiperinflasi. Dalam
keadaan ini orang-orang sudah hilang kepercayaannya terhadap nilai mata uang.
Keengganan untuk memegang uang kas tersebut diterima di tangan menjadi semakin
meluas di kalangan masyarakat. Orang cenderung mengharapkan keadaan semakin
memburuk: laju inflasi untuk bulan-bulan mendatang diharapkan menjadi semakin
besar dibanding dengan laju inflasi di bulan sebelumya. Keadaan ini ditandai makin
cepatnya peredaran uang (velocity of circulation yang menaik). Dalam keadaan ini
kenaikan jumlah uang yang beredar sebesar, misalnya 20% akan mengakibatkan
kenaikan kenaikan harga barang-barang lebih besar dari 20%. Inflasi semacam ini
pernah terjadi di Indonesia selama periode tahun 1961- 1966. Hiperinflasi
menghancurkan bukan hanya sendi-sendi ekonomi moneter tetapi juga sendi-sendi
social politik dari suatu masyarakat. Struktur masyarakat yang baru akan timbul
menggantikan struktur yang lama.
2. Teori Keynes
Mengenai inflasi didasarkan atas teori makronya, dan menyoroti aspek lain dari inflasi.
Menurut teori ini, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup diluar batas
kemampuan ekonominya. Proses inflasi, menurut pandangan ini, tidak lain adalah proses
perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok social yang menginginkan bagian
yang lebih besar daripada yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses
perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan masyarakat
akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (timbulnya
inflationary gap).
Inflationary gap ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil
menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif akan barang-barang.
Dengan kata lain, mereka berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya
menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan
masyarakat seperti ini mungkin adalah permintaan sendiri, yang berusaha memperoleh
bagian yang lebih besar dari output masyarakat dengan jalan menjalankan deficit dalam
anggaran belanjanya yang dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan tersebut
mungkin juga pengusaha-pegusaha swasta yang menginginkan untuk melakukan
investasi-investasi baru dan memperoleh dana pembiayaanya dari kredit dari bank.
Golongan tersebut bisa pula serikat buruh yang berusaha memperoleh kenaikan gaji bagi
anggota-anggotanya melebihi kenaikan produktivitas buruh.
Bila jumlah dari permintaan-permintaan efektif dari semua golongan masyarakat
tersebut, pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah yang berlaku, melebihi jumlah
maksimum dari barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary
gap timbul karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka harga-
harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga berarti bahwa sebagian dari rencana –
rencana pembelian barang dari golongan-golongan tersebut tidak bisa terpenuhi. Pada
periode selanjutnya golongan-golongan tersebut akan berusaha memperoleh dana yang
lebih besar lagi (dari pencetakan uang baru atau kredit dari bank yang lebih besar atau
dari kenaikan gaji yang lebih besar).
Tentunya tidak semua golongan tersebut berhasil memperoleh tambahan dana yang
diinginkan. Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak bisa memperoleh
bagian dari output yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh bagian dari
output yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh dana akan mendapat
bagian output yang lebih kecil. Yang termasuk golongan yang “kalah” dalam proses
perebutan ini adalah golongan-golongan yang berpenghasilan tetap atau yang
penghasilannya tidak naik secepat laju inflasi (golongan-golongan ini antara lain
termasuk kaum pensiunan, pegawai negeri, para petani yang harus menjual hasilnya pada
harga yang dikenakan stabilisasi harga, para karyawan perusahaan yang tidak mempunyai
serikat buruh atau yang tidak mempunyai saluran yang aktif untuk memperjuangkan
perbaikan nasib mereka). Proses inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan
efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan oleh
masyarakat. Inflasi akan berhenti bila permintaan efektif total tidak melebihi, pada
tingkat harga yang berlaku, jumlah output yang tersedia.
3. Teori Strukturalis
Adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di Negara-negara
Amerika Latin. Teori ini memberikan tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur
perekonomian Negara-negara sedang berkembang karena inflasi dikaitkan dengan faktor-
faktor stuktural dari perekonomian (yang menurut definisi faktor-faktor ini hanya bisa
berubah secara gradual dan dalam jangka panjang), maka teori ini bisa disebut teori
inflasi “jangka panjang”. Dengan kata lain, yang dicari disini adalah : faktor-faktor
jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan inflasi (yang berlangsung lama)?
Menurut teori ini, ada 2 ketegaran utam dalam perekonomian Negara-negra sedang
berkembang yang bisa menimbulkan inflasi.
1) Ketegaran yang pertama berupa “ketidak-elastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu
nilai ekspor yang tumbuh secara lamban disbanding dengan pertumbuhan sector-
sektor lain. Kelambanan ini disebabkan karena:
(a) harga dipasar dunia dari barang-barang ekspor Negara tersebut makin tidak
menguntungkan (dibanding dengan harga barang-barang impor yang harus
dibayar), ataua sering disebut dengan istilah bahwa dasar penukaran (terms of
trade) makin memburuk. Sering dianggap bahwa harga barang-barang hasil alam,
yang merupakan ekspor dari Negara-negara sedang berkembang, dalam jangka
panjang naik lebih lambat daripada harga barang-barang industry, yang
merupakan impor oleh Negara-negara sedang berkembang.
(b) Supply atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsive terhadap
kenaikan harga (supply barang-barang ekspor yang tidak elastic). Kelambanan
pertumbuhan penerimaan ekspor ini berarti kelambanan pertumbuhan
kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan (untuk konsumsi
maupun untuk investasi). Akibatnya, Negara tersebut (yang berusaha, sesuai
dengan rencana pembangunannya , untuk mencapai target pertumbuhan tertentu)
terpaksa mengambil kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada
penggalakkan produksi dalam negeri ini mempunyai biaya produksi yang lebih
tinggi (dan sering pula dengan kualitas yang lebih rendah) daripada barang-barang
sejenis yang diimpor. Biaya produksi yang lebih tinggi ini mengakibatkan harga
yang lebih tinggi. Dan bila proses substitusi impor ini makin meluas, kenaikan
biaya produksi juga makin meluas ke berbagai barang (yang tadinya di impor),
sehingga makin banyak harga-harga barang yang naik. Dengan demikian inflasi
terjadi.
2) Ketegaran yang kedua berkaitan dengan “ketidakelastisan” dari supply atau produksi
bahan makanan didalam negeri. Dikatakan bahwa produksi bahan makanan dalam
negeri tidak tumbuh secepat pertambahan penduduk dan penghasilan per kapita,
sehingga harga bahan makanan didalam negeri cenderung untuk menaik melebihi
kenaikan harga barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbulnya tuntutan dari
para karyawan ( di sector industry) untuk memperoleh kenaikan upah /gaji. Kenaikan
upah berarti kenaikan ongkos produksi, yang berarti pula kenaikan harga dari barang-
barang tersebut. Kenaikan harga barang-barang seterusnya mengakibatkan timbulnya
tuntutan kenaikan upah lagi. Kenaikan upah kemudian diikuti oleh kenaikan harga-
harga. Demikian seterusnya, proses ini akan berhenti dengan sendirinya seandainya
harga bahan makanan tidak terus menaik. Tetapi oleh karena faktor structural tadi,
harga bahan makanan akan terus menaik, sehingga proses saling dorong-mendorong
atau proses “spiral” antara harga dan upah tersebut terus selalu mendapat “umpan”
baru dan tidak berhenti.
Proses inflasi yang timbul karena kedua ketegaran tersebut dalam praktek jelas tidak berdiri
sendiri-sendiri. Umumnya kedua proses tersebut saling berkaitan dan seringkali memperkuat
satu sama lainnya. Misalnya, produksi bahan makanan dalam negeri yang tidak bisa
mengikuti kenaikan kebutuhan didalam negeri akan menimbulkan tekanan untuk mengimpor
bahan makanan dan selanjutnya membuat masalah neraca pembayaran semakin parah, dan
selanjutnya mendorong proses substitusi impor yang berlebihan, dan selanjutnya kenaikan
harga-harga.

2.6 Inflasi yang pernah terjadi di Indonesia


Di pengujung 1950-an, Republik Indonesia kembali diguncang krisis keuangan. Pada
awal dekade itu, krisis serupa juga pernah menyerang. Tapi kali ini, keguncangan finansial
tampaknya lebih fatal. Presiden Sukarno beserta perangkat pemerintahannya pun
memberlakukan kebijakan darurat agar perekonomian negara tidak sekarat.
Sanering (pemotongan nilai mata uang) hingga redenominasi (penyederhanaan nilai mata
uang tanpa mengurangi nilai tukar) diterapkan. Namun, kian rumit dan panasnya situasi
politik membuat upaya perbaikan moneter menjadi kurang maksimal, ditambah lagi dengan
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang akhirnya menumbangkan
rezim Orde Lama.
Sukarno gagal mengulangi keberhasilan menjinakkan krisis ekonomi sebelumnya.
Kala itu, strategi gunting uang yang diterapkan pemerintah membuahkan hasil gemilang.
Tapi, kali ini tidak. Pemerintahan Sukarno menerapkan sistem ekonomi terpimpin yang
merupakan turunan dari sistem politik yang digunakan di Indonesia menjelang dekade 1960-
an itu, yakni Demokrasi Terpimpin.
Boediono dalam buku Ekonomi Indonesia (2017) menjelaskan, sistem ekonomi terpimpin
mendalilkan bahwa negara harus berperan untuk “memimpin" ekonomi nasional melalui
dibentuknya jalur-jalur pengaturan dan komando yang tegas terhadap sektor-sektor utama.
Dan, semuanya itu didasarkan pada satu rencana nasional yang komprehensif (hlm. 95).
Dengan kata lain, pemerintah pusat mengontrol penuh jalannya perekonomian negara.
Semasa penerapan sistem ekonomi terpimpin, kata Mohammad Hatta, “Rakyat tidak lagi
berekonomi, melainkan mengerjakan ekonomi menurut perintah dan disiplin."
Sistem ekonomi terpimpin dianut negara-negara Blok Timur, macam Rusia atau Cina.
Sukarno kala itu juga cenderung mendekat kepada Blok Timur ketimbang negara-negara
Blok Barat yang liberal. Ia menolak mentah-mentah bantuan dari Amerika Serikat. Bahkan,
atas perintah presiden, Indonesia menarik diri dari keanggotaan IMF dan Bank Dunia.
Emil Salim melalui buku Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam
Setengah Abad Terakhir: 1966-1982 (2005) suntingan Hadi Soesastro dan kawan-kawan
menuliskan, sistem ekonomi terpimpin sangat bergantung kepada orientasi politik otoritas
penguasa (hlm. 67). Pembangunan tidak sepenuhnya berkembang karena uang negara lebih
banyak ditujukan bukan untuk kepentingan ekonomi.
Urusan ganyang Malaysia dan upaya perebutan Irian Barat yang digalakkan Bung Karno
pada awal-awal dekade 1960-an mengakibatkan anggaran keuangan negara tersedot untuk
kepentingan non-ekonomi itu, yang kemudian memantik guncang perekonomian negara.
Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras potensi ekonomi Indonesia karena
digunakan untuk membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Menurut data Bank Indonesia
(BI) dalam “History of Monetary Period 1959-1966", sepanjang periode 1960-1965,
pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PBD) sangat rendah. Laju inflasi teramat tinggi
hingga mencapai 635 persen pada 1966. Investasi pun merosot tajam.

2.7 Kebijakan Pemerintah Mengatasi Krisis Akibat Inflasi


Pemerintah segera melakukan kebijakan pengetatan moneter agar negara tidak semakin
terbenam dalam krisis. Sanering atau pemotongan nilai mata uang mulai diterapkan terhitung
sejak 25 Agustus 1959. Uang pecahan 500 dan 1.000 rupiah diturunkan nilainya 10 persen,
menjadi 50 rupiah dan 100 rupiah. Dengan kata lain, nilai uang dipangkas hingga 90 persen.
Sanering—yang oleh pemerintah disebut dengan istilah “penyehatan uang"—ditempuh
untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang,
dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan.
Intinya, tulis Hariyono dalam Penerapan Status Bahaya di Indonesia: Sejak Pemerintah
Kolonial Belanda hingga Pemerintah Orde Baru (2008), sanering dilakukan juga untuk
mengurangi jumlah persediaan dan peredaran uang, dari 34 miliar rupiah menjadi 21 miliar
rupiah (hlm. 271).
Namun, sebagian kalangan ternyata belum siap dengan kebijakan yang terbilang ekstrem
ini. Disebutkan Anna Fauziah Diponegoro dalam Harta Bumi Indonesia (2007), banyak
orang yang pingsan, bahkan meninggal mendadak karena syok, akibat penerapan sanering
(hlm. 110).
Sanering juga menyebabkan daya beli masyarakat menurun drastis karena pemotongan
nilai uang tidak diikuti dengan penurunan harga-harga barang. Artinya, nilai uang terhadap
barang berubah menjadi lebih kecil lantaran yang dipotong adalah nilainya.
Perilaku para spekulan dan profitur membuat keadaan semakin runyam. Sehari sebelum
kebijakan diterapkan, mereka memborong aset-aset milik masyarakat yang belum paham soal
sanering. Setelah sanering diterapkan, uang yang diterima sudah turun nilainya.
Langkah lainnya, pemerintah membekukan 90 persen giro dan deposito di bank di atas
25.000 rupiah dan menukarnya dengan surat utang. Bersamaan dengan itu, dilakukan
devaluasi dari 11,4 rupiah menjadi 45 rupiah per dolar AS. Boediono dalam bukunya
menilai, ini langkah “tanggung" karena di pasar bebas waktu itu kurs sudah mencapai sekitar
150 rupiah per dolar AS (hlm. 100).
Beberapa kebijakan moneter penting pemerintah yang amat krusial itu ternyata sama
sekali tidak melibatkan pihak Bank Indonesia (BI). Merasa dilangkahi, Gubernur BI saat itu,
Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Sukarno.
Begitulah sistem ekonomi terpimpin. Pemerintah memegang penuh kendali
perekonomian negara. Bahkan, terkesan ada tekanan cukup kuat untuk membatasi
kewenangan BI sebagai bank sirkulasi dan penjaga stabilitas moneter.
Ternyata, sanering dan kebijakan moneter lainnya yang diterapkan pemerintahan Sukarno
menjelang berakhirnya tahun 1959 itu tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Perekonomian masih limbung, laju inflasi kurang bisa dibendung, harga-harga barang pun
kian melambung.
Ditambah lagi, memasuki dekade 1960-an, Presiden Sukarno gencar melakukan gebrakan
yang justru semakin membuat situasi politik tidak menentu, yakni kampanye ganyang
Malaysia dan pembebasan Irian Barat (Papua). Keuangan negara pun kian guncang karena
tersedot untuk membiayai misi-misi politik itu.
Pada 1961, kondisi moneter nasional semakin parah. Terjadilah hiperinflasi yang ditandai
dengan laju inflasi yang sangat tinggi, bisa di kisaran 100 persen atau bahkan lebih.
Berdasarkan data yang tertulis dalam The Indonesian Economy: Facing a New Era?
(1966) karya J. Panglaykim & H.W. Arndt, sejak 1961, tingkat persentase inflasi lebih tinggi
daripada jumlah uang yang beredar.
Tahun 1961, peredaran uang meningkat 41 persen, sementara laju inflasi 156 persen.
Situasi ini semakin parah dari tahun ke tahun. Puncaknya terjadi pada 1965, tingkat edar
uang naik hingga 161 persen dengan inflasi yang menembus angka 592 persen (hlm. 60).
Pemerintah bahkan mengalami defisit anggaran, dari 29,7 persen pada 1961,
kemudian berturut-turut 38,7 persen (1962), 50,8 persen (1963), 58,4 persen (1964), hingga
63,4 persen (1965).
Indonesia berada di titik nadir. Di tengah situasi ekonomi dan politik yang amat buruk,
pemerintah akhirnya menerapkan kebijakan redenominasi atau penyederhanaan nilai mata
uang tanpa mengurangi nilai tukar. Pada 13 Desember 1965, diterbitkan pecahan uang baru 1
rupiah yang memiliki daya beli setara dengan 1.000 rupiah.
Berbeda dengan sanering, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang tersebut
sehingga tidak mempengaruhi harga barang. Tujuan redenominasi pada intinya adalah untuk
menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam bertransaksi.
Namun, tetap saja timbul kebingungan di masyarakat. Redenominasi juga punya
kelemahan, apalagi jika diterapkan di negara luas seperti Indonesia dengan masyarakat yang
memiliki tingkat pemahaman berbeda-beda.
Harga barang-barang menjadi simpang-siur karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah
ihwal redenominasi. Adaptasi harga barang di daerah-daerah sangat lambat. Beredarnya dua
jenis uang pada saat yang bersamaan, uang lama dan uang baru, memicu munculnya masalah
baru.
Situasi bertambah pelik karena saat itu Indonesia sedang dilanda keguncangan setelah
peristiwa G30S 1965. Kecemasan masyarakat atas gejolak politik dan situasi ekonomi yang
kian memburuk menambah krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Gelombang demonstrasi
pun dilakukan sejak awal 1966.
Untuk keduakalinya dalam waktu kurang dari 7 tahun, rezim Orde Lama gagal mengatasi
krisis. Kuatnya sentimen dan pertarungan kepentingan politik kian meluruhkan pengaruh
Sukarno, hingga akhirnya sang presiden pun terjungkal dari takhtanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpuan
Pada awalnya inflasi diartikan sebagai kenaikan jumlah uang beredar atau kenaikan
likuiditas dalam suatu perekonomian. Pengertian tersebut mengacu pada gejala umum yang
ditimbulkan oleh adanya kenaikan jumlah uang beredar yang diduga telah menyebabkan
adanya kenaikan harga-harga.
Berdasarkan tingkat keparahannya, inflasi dibagi menjadi 4 yaitu: inflasi ringan,
Inflasi Sedang, Inflasi Berat, dan Inflasi Sangat berat. Berdasarkan penyebabnya, inflasi
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: Demand pull inflation, Cost push inflation, dan Bottle neck
inflation. Berdasarkan sumbernya, inflasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:Domestic
inflation, yaitu inflasi yang bersumber dari dalam negeri dan Imported inflation, yaitu inflasi
yang bersumber dari luar negeri
Dampak terjadinya inflasi terhadap suatu perekonomian diantaranya, nilai suatu mata
uang akan mengalami penurunan dan daya beli mata uang tersebut menjadi semakin rendah,
inflasi mendorong redistribusi pendapatan diantara anggota masyarakat, inflasi menyebabkan
perubahan-perubahan dalam output dan kesempatan kerja, hal ini terjadi karena inflasi
memotivasi perusahaan untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang telah dilakukan
selama ini, inflasi menyebabkan sebuah lingkungan yang tidak stabilbagi kondisi ekonomi,
inflasi cenderung memperoleh tingkat bunga riil dan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan di pasar modal.
Teori-teori inflasi diantaranya: Teori kuantitas dengan inti teori (a)Inflasi hanya bisa
terjadi kalau ada penambahan volume uang yang bereda, (b) laju inflasi ditentukan oleh laju
pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi (harapan) masyarakat mengenai
kenaikan harga-harga di masa mendatang. Teori Keynes mengenai inflasi didasarkan atas teori
makronya, dan menyoroti aspek lain dari inflasi. Menurut teori ini, inflasi terjadi karena suatu
masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Ada juga teori strukturalis
adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di Negara-negara Amerika
Latin. Teori ini memberikan tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur perekonomian
Negara-negara sedang berkembang karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor stuktural
dari perekonomian
DAFTAR PUSTAKA

Putong, Iskandar.2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: Ghalia Indonesia
Rahardja Prathama.2008.Teori Ekonomi Makro.Jakarta:Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
Boediono.1987.Sinopsisi Pengatar Ilmu Ekonomi No.5.EKONOMI
MONETER.Yogyakarta:BPFE-Yogyakarta
https://tirto.id/krisis-ekonomi-1960-an-sanering-gagal-sukarno-dilengserkan-cXZi

Anda mungkin juga menyukai