Anda di halaman 1dari 19

Inflasi Di Indonesia Periode 2000 – 2011

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang selalu menarik dibahas terutama berkaitan dengan
dampaknya yang luas terhadap ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan
eksternal, daya saing, tingkat bunga, bahkan distribusi pendapatan. (Susanti dkk, 1995:41).

Inflasi merupakan dilema yang menghantui perekonomian setiap negara. Perkembangannya yang
terus meningkat memberikan hambatan pada pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik.
Banyak kajian membahas inflasi, tidak hanya cakupan regional, nasional, namun juga
internasional. Inflasi cenderung terjadi pada negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia
dengan struktur perekonomian bercorak agraris. Kegagalan atau guncangan dalam negeri akan
menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik dan berakhir dengan inflasi pada perekonomian
(Baasir, 2003:265).

Krisis ekonomi yang dipicu oleh gejolak nilai tukar rupiah telah berdampak sangat luas pada
seluruh sendi perekonomian dan tatanan kehidupan (Anwar Nasution, 2001). Krisis ekonomi
yang telah terjadi, paling tidak dalam konteks ini, memberikan pelajaran yang berharga akan
pentingnya penciptaan kestabilan moneter (kestabilan nilai rupiah) sebagai prasyarat bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Achyar Ilyas, 1999).

Kesadaran untuk memetik hikmah dari pengalaman itu pula yang kemudian melahirkan
persetujuan DPR atas UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan
suatu perubahan yang sangat mendasar dalam hal pengelolaan moneter (Anwar Nasution, 2001).
Undang-Undang Bank Sentral Indonesia yang baru ini, memiliki muatan substansi yang berbeda
dalam hal penanganan kebijakan moneter di Indonesia dibandingkan dengan undang-undang
sebelumnya. Perbedaan tersebut salah satunya adalah pada sasaran akhir kebijakan moneter yang
lebih diarahkan untuk menjaga inflasi (Achyar Ilyas dalam Didik J Rachbini dkk, 2000).
Pemilihan inflasi sebagai sasaran akhir ini sejalan pula dengan kecenderungan perkembangan
terakhir bank-bank sentral di dunia, di mana banyak bank sentral yang telah beralih lebih
memfokuskan diri pada upaya pengendalian inflasi.

Dampak Dampak Inflasi


Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang selalu menarik untuk dibahas terutama berkaitan
dengan dampaknya yang luas terhadap agregat makro ekonomi, antara lain:
1. Pertama, inflasi domestik yang tinggi menyebabkan tingkat balas jasa riil terhadap aset
finansial domestik menjadi rendah (bahkan seringkali negatif), sehingga dapat
mengganggu mobilisasi dana domestik dan bahkan dapat mengurangi tabungan domestik
yang menjadi sumber dana investasi. 
2. Kedua, inflasi dapat menyebabkan daya saing barang ekspor berkurang dan dapat
menimbulkan defisit dalam transaksi berjalan dan sekaligus dapat meningkatkan utang
luar negeri. 
3. Ketiga, inflasi dapat memperburuk distribusi pendapatan dengan terjadinya transfer
sumber daya dari konsumen dan golongan berpenghasilan tetap kepada produsen. 
4. Keempat, inflasi yang tinggi dapat mendorong terjadinya pelarian modal ke luar negeri. 
5. Kelima, inflasi yang tinggi akan dapat menyebabkan kenaikan tingkat bunga nominal
yang dapat mengganggu tingkat investasi yang dibutuhkan untuk memacu tingkat
pertumbuhan ekonomi tertentu (Hera Susanti dkk, 1995).

Laju Inflasi di Indonesia Periode 1990-1997


Pada tabel laju inflasi berikut dapat dilihat bahwa sejak tahun 1990-an, laju inflasi di Indonesia
memang cukup tinggi, terlebih-lebih selama krisis moneter. Pada tahun 1997, tingginya tingkat
inflasi Indonesia disebabkan karena terjadinya krisis moneter yang melanda beberapa negara
Asia. Soedrajat Djiwandono dalam Agustinus Suryantoro (2000) menyatakan bahwa krisis nilai
tukar di Thailand menyebar cepat ke negara-negara Asia lain termasuk Indonesia. Hal ini terjadi
karena adanya contangion effect atau efek berantai sebagai akibat terintegrasinya pasar domestik
ke dalam pasar keuangan global Inflasi. Kondisi lebih buruk terjadi dalam perekonomian
Indonesia, dimana krisis tersebut berdampak pada perekonomian Indonesia, yakni penurunan
pertumbuhan ekonomi.
Laju Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1997 – 2011 (persen)
TAHU INFLASI PERTUMBUHAN EKONOMI
N (PERSEN) (PERSEN)
1997 11,05 4,65
1998 77,63 -13,10
1999 2,01 0,79
2000 9,35 4,92
2001 12,55 3,45
2002 10,03 3,69
2003 5,06 4,10
2004 6,40 5,10
2005 17,11 5,60
2006 6,60 6,10
2007 6,59 5,80
2008 11,06 5,30
2009 2,78 5,40
2010 6,96 6,90
2011 3,79 6,50
Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 1997-2011

Krisis ekonomi juga menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi negara disertai dengan
peningkatan inflasi. Munculnya inflasi tahun 1997 di Indonesia menyebabkan turunnya
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi secara signifikan. Imbas dari pada krisis ekonomi
1997 paling dirasakan dampaknya pada tahun 1998, dimana pertumbuhan ekonomi mencapai
kontraksi dengan pertumbuhan minus 13,3%, hyperinflasi juga terjadi di Indonesia dengan
tingkat inflasi 77, 63%. Selanjutnya pada tahun 1999, laju inflasi sudah dapat dikendalikan
seiring dengan membaiknya kondisi moneter di Indonesia menjadi sebesar 2,01%. Memasuki
tahun 2000 stabilitas moneter cukup terkendali dengan tingkat inflasi sebesar 9,35% dengan
pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8%. Dalam perkembangannya setiap tahun inflasi terus
berfluktuasi hingga mencapai angka tertinggi sebesar 17,11% pada tahun 2005 dan tingkat
pertumbuhan ekonomi 5,1%. Inflasi dalam perkembanganya menunjukkan angka yang
meningkat mencapai di atas 11% pada akhir 2008 dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di
angka sekitar 5,3%. Inflasi sempat menurun hingga kisaran 2-3% pada 2009, tetapi kemudian
meningkat lagi pada level 6,96% di akhir tahun 2010. Melanjutkan perkembangan di akhir tahun
2010, selama triwulan I 2011 inflasi masih berada di level yang tinggi, mendekati 7%, yang
antara lain dipicu oleh tingginya inflasi volatile food dan inflasi inti. Laju inflasi Indonesia
sepanjang tahun 2011 tercatat sebesar 3,79 persen dimana perekonomian tumbuh sebesar 6,5%.

Inflasi sering diartikan sebagai kecenderungan naiknya harga secara umum dan terus menerus,
dalam waktu dan tempat tertentu (Korteweg, 1973; Ackley, 1978; Nopirin, 1997; serta Boediono,
2001). Keberadaannya sering diartikan sebagai salah satu masalah utama dalam perekonomian
negara, selain pengangguran dan ketidakseimbangan neraca pembayaran. Inflasi akan
menyebabkan turunnya pendapatan riil masyarakat yang memiliki pendapatan tetap.
Karena dengan penghasilan yang relatif tetap, mereka tidak dapat menyesuaikan
pendapatannya dengan kenaikan harga yang disebabkan karena inflasi. Sebaliknya, bagi
mereka yang memiliki penghasilan yang dinamis (pedagang dan pengusaha misalnya),
seringkali mendapat manfaat dari adanya kenaikan harga tersebut, dengan cara
menyesuaikan harga jual produknya. Dengan demikian pendapatan yang mereka peroleh
secara otomatis akan tersesuaikan, dan tidak jarang dengan persentase yang lebih besar. Didalam
penjelasannya, Nopirin (2000: 32), menyebut dampak pertama ini dengan sebutan efek terhadap
pendapatan (Equity Effect).

Inflasi dapat menurunkan nilai tabungan masyarakat, sehingga masyarakat akan


cenderung memilih menginvestasikan dananya dalam aktiva yang lebih baik. Dengan
kecenderungan ini, dunia perbankan akan mengalami kesulitan likuiditas, dan sebagai
salah satu sumber perolehan dana bagi sektor riil, hal ini tentu tidak menguntungkan.
Inflasi akan menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi terhambat.
Misalnya, di sektor pedagangan luar negeri, komoditi ekspor Indonesia menjadi kurang dapat
bersaing dengan komoditi sejenis di pasar dunia. Dengan kata lain, kemerosotan produksi akan
terjadi, baik untuk produk yang berorientasi ekspor maupun produk untuk pasar domestik. Hal
ini sangat berbahaya karena dapat memicu meningkatnya pengangguran di suatu negara
(Khalwaty, 2000: 33), dan juga (Korteweg, 1973).

Di sisi kurs valuta asing, Rupiah akan semakin terdepresiasi terhadap mata uang asing,
yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah lain yang tidak kalah seriusnya, seperti
membengkaknya kewajiban pemerintah terhadap kreditur luar negeri. Menurut Harvey
(1988: 354) inflasi akan mempengaruhi kinerja perdagangan suatu negara yang tercermin
dalam neraca perdagangannya. Terakhir, inflasi yang tidak terkendali dapat mendorong
terjadinya capital outflow ke luar negeri. Pemilik modal akan lebih memilih
menginvestasikan dananya di negara yang lebih menguntungkan. Begitu pula akan terjadi
relokasi sektor manufaktur / riil ke negara yang memiliki cost production yang lebih
rendah.

Bank Indonesia, sebagai pemegang otoritas moneter tertinggi di Indonesia mempunyai tugas
yang tidak mudah, yaitu menjaga stabilitas ekonomi. Suatu perekonomian dapat dikatakan stabil
salah satunya indikatornya adalah apabila inflasi ini dapat dikendalikan dalam range yang
moderat. Dan bila hal itu tercapai maka hal itu merupakan kesuksesan dari sebuah lembaga
pemegang otoritas moneter tertinggi. Kestabilan ini sangat penting artinya bagi pembangunan
ekonomi di Indonesia. Perekonomian tidak dapat bertumbuh dan mencapai kemapanan apabila
kestabilan ekonomi tidak bisa diraih. Kita memang tidak bisa melimpahkan semua masalah
stabilisasi ekonomi ini kepada bank sentral, namun setidaknya dengan berbagai power dan
kewenangan yang dimilikinya, Bank Indonesia seyogyanya mampu berbuat banyak untuk
menjalankan fungsi stabilisasi yang amat krusial bagi pembangunan ini.

Penempatan inflasi sebagai sasaran akhir, tidak berarti Bank Indonesia mengabaikan sasaran
makro ekonomi lainnya, seperti pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja. Justru
pengendalian inflasi tersebut dimaksudkan untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi dan
penyediaan lapangan kerja pada tingkat kapasitas penuh. Disamping itu, mengingat adanya
trade-off jangka pendek antara inflasi dan pertumbuhan, mentargetkan inflasi secara otomatis
identik dengan mentargetkan pertumbuhan, dengan kata lain, dalam menetapkan target inflasi,
Bank Indonesia sudah mempertimbangkan seberapa tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi yang
akan dicapai dengan tingkat inflasi tersebut.
Perbandingan Inflasi dengan Jumlah Uang Beredar
Pada tabel Perbandingan Inflasi dengan jumlah uang beredar (JUB) dapat dilihat bahwa jumlah
uang beredar M2 (broad money) terus mengalami peningkatan jumlah dari 1997 hingga 2006.
Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa perubahan jumlah uang beredar di Indonesia menyebabkan
perubahan yang proporsional terhadap inflasi. Dapat diartikan bahwa perubahan tingkat inflasi di
Indonesia sebagai akibat perubahan harga dalam periode tersebut cukup banyak dipengaruhi oleh
jumlah uang beredar.

Perbandingan Inflasi, Jumlah Uang Beredar (M2), dan Pertumbuhan JUB tahun 1997-
2006
TAHU INFLASI JUB (M2) PERTUMBUHAN JUB
N (PERSEN) (TRILYUN RUPIAH) (PERSEN)
1997 11,05 355,64 23,20
1998 77,63 577,38 62,40
1999 2,01 646,21 11,90
2000 9,35 747,03 15,60
2001 12,55 844,05 13,00
2002 10,03 883,91 4,70
2003 5,06 955,69 8,10
2004 6,40 1033,53 8,10
2005 17,11 1203,22 16,40
2006 6,60 1382,07 14,90
Sumber: Key Indicators 2006 dan 2007, ADB

 
Perbandingan Inflasi dan Nilai Tukar tahun 1997-2011
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan dipicu oleh
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika telah mengarahkan pada diadopsinya
sistem nilai tukar mengambang atau free floating exchange rate (Suryanto, 2003). Indonesia telah
beberapa kali menerapkan kebijakan tentang nilai tukar rupiah dan terakhir pada 14 Agustus
1997, Indonesia menerapkan nilai tukar mengambang bebas ( free floating exchange rate ) yang
artinya nilai tukar Rupiah sepenuhnya ditentukan oleh interaksi permintaan dan penawaran valas
di pasar valas. Setelah melepaskan BI band intervensi pada Agustus 1997, kurs rupiah terus
terkoreksi dengan terdepresiasinya kurs rupiah hampir 100 persen terhadap Dollar Amerika.
Dalam rentang waktu satu dekade semenjak diberlakukanya free floating exchange rate posisi
terendah (depresiasi rupiah) kurs rata-rata tahunan adalah pada tahun 2001, dengan rata-rata Rp
10.400,00/USD, seperti terlihat dalam tabel 1.3 berikut:

Perbandingan Inflasi dan Nilai Tukar tahun 1997-2011


TAHU INFLASI NILAI TUKAR
N (PERSEN) (RUPIAH/US DOLLAR)
1997 11,05 4.650
1998 77,63 8.025
1999 2,01 7.085
2000 9,35 9.595
2001 12,55 10.400
2002 10,03 8.940
2003 5,06 8.465
2004 6,40 9.290
2005 17,11 9.830
2006 6,60 9.020
2007 6,59 9.416
2008 11,06 10.950
2009 2,78 9.400
2010 6,96 8.991
2011 3,79 9.068
Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 1997-2011

Perbandingan Tingkat Bunga di Indonesia Periode 2000-2008


Berdasarkan grafik Perbandingan Tingkat Bunga Indonesia dan Dunia dibawah, dapat dilihat
bahwa tingkat bunga Indonesia (tingkat bunga SBI 1 bulanan) dalam grafik di simbolkan dengan
RI dan tingkat bunga dunia (suku bunga LIBOR 1 bulanan) dalam grafik disimbolkan dengan
RA terlihat perbedaan fluktuasinya. Tingkat bunga Indonesia (RI) cenderung tinggi dengan rata-
rata 11,05394 persen dan tingkat bunga dunia cenderung berfluktuasi pada kisaran yang lebih
rendah dengan rata-rata 3,625758 persen. Perbedaan tingkat bunga Indonesia dan luar negeri
juga dapat diketahui dengan melakukan uji beda varian, dimana varian untuk tingkat bunga dunia
sebesar 11,50736 dan varian tingkat bunga dunia sebesar 9,4178 (Sumber: Bank Indonesia,
diolah).

Perbandingan Tingkat Bunga Indonesia dan Tingkat Bunga Dunia Periode 2000.2 – 2008.3

Perbandingan Tingkat Bunga Indonesia dan Tingkat Bunga Dunia Periode 2000.2 – 2008.3

Menurut Mankiw (2007), perbedaan tingkat bunga internasional dan domestik disebabkan oleh
dua alasan, pertama: Resiko negara yang dicerminkan oleh resiko politik karena memberi
pinjaman disebuah Negara, dan kedua: perubahan yang diharapkan dalam kurs riil. Ekspektasi
bahwa mata uang akan kehilangan nilainya di masa depan akan menyebabkan mata uang itu
kehilangan nilainya saat ini. Sehingga tingkat bunga domestik ditentukan oleh tingkat bunga
dunia ditambah dengan resiko politik. ( r = r* + ? ).

Perkembangan inflasi pada masa sebelum terjadinya krisis moneter cukup berimbang dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi. Pada masa ini peningkatan pada jumlah uang beredar diakibatkan
defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang dan pinjaman luar negeri yang
semakin besar sehingga dapat dikatakan sektor moneter merupakan penyebab munculnya inflasi.
Faktor penyebab inflasi disebabkan ekspansi yang cepat dalam jumlah uang beredar diakibatkan
besarnya defisit anggaran pemerintah secara terus menerus guna membiayai pembangunan
padahal penerimaan pajak tidak mencukupi. Namun setelah terjadinya krisis moneter inflasi yang
terjadi lebih disebabkan oleh imported inflation yaitu naiknya biaya produksi dimana sebagian
besar proses produksi memiliki kandungan impor yang cukup tinggi seperti mesin-mesin
produksi dan terpuruknya rupiah makin memicu tingginya inflasi di Indonesia.

Berfluktuasinya tingkat inflasi di Indonesia dengan beragam faktor yang mempengaruhi


mengakibatkan semakin sulitnya pengendalian inflasi, sehingga dalam pengendaliannya
pemerintah harus mengetahui faktor-faktor pembentuk inflasi. Inflasi di Indonesia bukan saja
merupakan fenomena jangka pendek, seperti dalam teori kuantitas dan teori inflasi Keynes, tetapi
juga merupakan fenomena jangka panjang (Baasir, 2003:267).

Sumber:
Nugroho, (2012). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia Periode 2000
– 2011. Skripsi S1, Program Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
Tahun 2012

TINGKAT INFLASI DI INDONESIA


PERIODE TAHUN 2010 SERTA SUMBER-
SUMBER PENYEBAB TERJADINYA DAN
CARA PENGENDALIANNYA
Desember 28, 2011

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Krisis moneter yang melanda negara-negara anggota ASEAN, telah memporakporandakan


struktur perekonomian negara-negara tersebut. Bahkan bagi Indonesia, akibat dari terjadinya
krisis moneter yang kemudian berlanjut pada krisis ekonomi dan politik ini, telah menyebabkan
kerusakan yang cukup signifikan terhadap sendisendi perekonomian nasional.

Krisis moneter yang melanda Indonesia diawali dengan terdepresiasinya secara tajam nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing (terutama dolar Amerika), akibat adanya domino effect dari
terdepresiasinya mata uang Thailand (bath), salah satunya telah mengakibatkan terjadinya
lonjakan harga barang-barang yang diimpor Indonesia dari luar negeri. Lonjakan harga barang-
barang impor ini, menyebabkan harga hampir semua barang yang dijual di dalam negeri
meningkat baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terutama pada barang yang
memiliki kandungan barang impor yang tinggi.

Karena gagal mengatasi krisis moneter dalam jangka waktu yang pendek, bahkan cenderung
berlarut-larut, menyebabkan kenaikan tingkat harga terjadi secara umum dan semakin berlarut-
larut. Akibatnya, angka inflasi nasional melonjak cukup tajam.

Lonjakan yang cukup tajam terhadap angka inflasi nasional yang tanpa diimbangi oleh
peningkatan pendapatan nominal masyarakat, telah menyebabkan pendapatan riil rakyat semakin
merosot. Juga, pendapatan per kapita penduduk merosot relatif sangat cepat, yang
mengakibatkan Indonesia kembali masuk dalam golongan negara miskin. Hal ini telah
menyebabkan semakin beratnya beban hidup masyarakat, khususnya pada masyarakat strata
ekonomi bawah.

Jika melihat begitu dasyatnya pengaruh lonjakan angka inflasi di Indonesia (akibat dari imported
inflation yang dipicu oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing) terhadap
perekonomian nasional, maka dirasa perlu untuk memberikan perhatian ekstra terhadap masalah
inflasi ini dengan cara mencermati kembali teori-teori yang membahas tentang inflasi; faktor-
faktor yang menjadi sumber penyebab timbulnya inflasi di Indonesia; serta langkah-langkah
apakah yang sebaiknya diambil untuk dapat keluar dari perangkap inflasi ini.

B. Perumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan inflasi?


2. Apa saja jenis-jenis inflasi menurut sifat, derajat, penyebab dan asalnya?
3. Bagaimana perkembangan inflasi di Indonesia?
4. Apa saja sumber-sumber yang menyebabkan terjadinya inflasi di Indonesia?
5. Apa saja dampak dari terjadinya inflasi bagi perekonomian?
6. Bagaimana cara-cara pengendalian inflasi yang dilakukan oleh pemerintah agar inflasi
bisa tetap stabil?

C. Maksud dan Tujuan


Tujuan saya menulis makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui definisi dari inflasi.


2. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis inflasi menurut sifat, derajat, penyebab dan
asalnya.
3. Untuk melihat bagaimana perkembangan inflasi di Indonesia.
4. Untuk mengetahui sumber-sumber yang menyebabkan terjadinya inflasi di Indonesia.
5. Untuk mengetahui apa saja dampak dari inflasi bagi perekonomian.
6. Untuk mengetahui bagaimana cara-cara pengendalian inflasi yang dilakukan oleh
pemerintah agar inflasi bisa tetap stabil.

D. Metode Penelitian

Metode pencarian data atau bahan materi yang saya gunakan dalam penulisan makalah ini adalah
dengan mencari di internet dan dengan melakukan studi pustaka.

BAB II

PEMBAHASAN

Inflasi merupakan kecenderungan kenaikan harga-harga secara umum dan terus-menerus. Dari
definisi ini dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga satu atau beberapa barang pada suatu saat
tertentu dan hanya sementara, belum tentu menimbulkan inflasi. Disamping itu perlu diamati
berapa besar peranan harga barang-barang tersebut dalam perhitungan inflasi (Insukindro, 1987 :
157).

Nopirin (1988 : 25) mengemukakan bahwa inflasi adalah proses kenaikan harga-harga barang
secara umum dan secara terus-menerus.

Boediono (1990 : 161) mengatakan bahwa inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk
menaik secara umum dan terus-menerus.

Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila
kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari
inflasi disebut deflasi. (www.bi.go.id).

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen
(IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang
dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang
IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang
dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern
terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:

1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu
komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama
dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas
suatu komoditas. [Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat dilihat pada web site
Badan Pusat Statistik www.bps.go.id]
2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga
barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri).
Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB
atas dasar harga konstan.

1. Jenis Inflasi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan
tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat bergantung pada tujuan yang
hendak dicapai. Berikut adalah jenis inflasi :

1.1.Menurut Sifatnya

Laju inflasi dapat berbeda antara satu negara dengan negara lain atau dalam satu negara untuk
waktu yang berbeda. Atas dasar besarnya laju inflasi ; inflasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori,
yakni : merayap (creeping inflation), inflasi menengah (galloping inflation) serta inflasi tinggi
(hyper inflation). (Nopirin, 1988 : 27)

Biasanya creeping inflation ditandai dengan laju inflasi yang rendah (>10% per tahun). Kenaikan
berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama.

Inflasi menengah (galloping inflation) ditandai dengan kenaikan hargayang cukup besar
(biasanya double digit atau bahkan triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu yang
relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi.

Inflasi tinggi (hyper inflation) merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik
sampai 5 atau 6 kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang
merosot dengan tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang. Perputaran uang makin cepat,
harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit
anggaran belanja yang ditutup dengan mencetak uang.

1.2.Menurut Derajatnya

 Inflasi ringan di bawah 10% (single digit)


 Inflasi sedang 10% – 30%.
 Inflasi tinggi 30% – 100%.
 Hyperinflasion di atas 100%.

Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah
tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat
bergantung pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang
menderita ) dari inflasi yang sedang terjadi.

1.3.Menurut Penyebabnya

Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya peningkatan
aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang.
Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi
excess demand, yang merupakan inflationary gap. Dan dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan
harga-harga barang biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan output (GNP riil) dengan
asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi full-employment. Pengertian
kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda oleh para ahli ekonomi. Golongan
moneterist menganggap aggregate demand mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah
uang yang beredar di masyarakat. Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan
aggregate demand dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi; investasi;
government expenditures; atau net export, walaupun tidak terjadi ekspansi jumlah uang beredar.

Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya aggregate supply curve ke arah
kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan aggregate supply curve bergeser tersebut adalah
meningkatnya harga faktor-faktor produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari
luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar
komoditi. Dalam kasus cost push inflation kenaikan harga seringkali diikuti oleh kelesuan usaha.

1.4.Menurut Asalnya

Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan
perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di dalam negeri oleh para pelaku
ekonomi dan masyarakat.

Imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga komoditi di
luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang
bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi pada negara yang menganut sistem perekonomian
terbuka (open economy system). Dan, inflasi ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-
barang impor maupun harga barang-barang ekspor.

Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di


suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu
macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini
dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar
memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh :
imported inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan
demand pull inflation, dsb.

1. 2.      Perkembangan Inflasi di Indonesia

Seperti halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya, fenomena inflasi di
Indonesia masih menjadi satu dari berbagai “penyakit” ekonomi makro yang meresahkan
pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang akhir pemerintahan Orde Baru
(sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat ditekan sampai pada single digit, tetapi
secara umum masih mengandung kerawanan jika dilihat dari seberapa besar prosentase
kelompok masyarakat golongan miskin yang menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah
semakin berlanjutnya krisis moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi
salah satu dari penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung meningkat
pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan diperparah dengan semakin besarnya
presentase golongan masyarakat miskin. Sehingga bisa dikatakan, bahwa meskipun angka inflasi
di Indonesia termasuk dalam katagori tinggi, tetapi dengan meninjau presentase golongan
masyarakat ekonomi bawah yang menderita akibat inflasi cukup besar, maka sebenarnya dapat
dikatakan bahwa inflasi di Indonesia telah masuk dalam stadium awal dari hyperinflation.

Di era reformasi sendiri walaupun inflasi sudah bisa dikendalikan akan tetapi pemerintah harus
tetap waspada terhadap goncangan-goncangan ekonomi yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu
yang nantinya akan mempengaruhi keadaan perekonomian dan mempengaruhi tingkat inflasi.
Pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan inflasi
karena jika salah langkah akan mengakibatkan tingkat inflasi yang tinggi. Hal tersebut tentu akan
berbahaya bagi kondisi perekonomian Indonesia. Untuk periode tahun 2010 sendiri tingkat
inflasi cukup stabil dan masih bisa  dikendalikan dengan baik oleh pemerintah.

*Penetapan Target Inflasi

Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia,
berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank
Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank
Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri
Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.143/PMK.011/2010 sasaran inflasi yang ditetapkan
oleh Pemerintah untuk periode 2010 – 2012, masing-masing sebesar 5,0%, 5,0%, dan 4,5%
dengan deviasi ±1%.

Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat
dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan pada
tingkat yang rendah dan stabil. Pemerintah dan Bank Indonesia akan senantiasa berkomitmen
untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut melalui koordinasi kebijakan yang
konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Salah satu upaya pengendalian inflasi menuju inflasi
yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi
masyarakat agar mengacu (anchor) pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Lihat Peraturan
Menteri Keuangan tentang sasaran inflasi 2010-2012)

Angka target atau sasaran inflasi dapat dilihat pada web site Bank Indonesia atau web site
instansi Pemerintah lainnya seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Perekonomian, atau
Bappenas. Sebelum UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Sementara setelah UU tersebut, dalam rangka meningkatkan kredibilitas
Bank Indonesia maka sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah.

Tabel perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi

Inflasi Aktual
Tahun Target Inflasi
(%, yoy)
2001 4% – 6% 12,55
2002 9% – 10% 10,03
2003 9 +1% 5,06
2004 5,5 +1% 6,40
2005 6 +1% 17,11
2006 8 +1% 6,60
2007 6 +1% 6,59
2008 5 +1% 11,06
2009 4,5 +1% 2,78
2010* 5+1% –
2011* 5+1% –
2012* 4.5+1% –

*) berdasarkan PMK No.143/PMK.011/2010 tanggal 24 Agustus 2010

Tabel diatas menunjukkan perbandingan target inflasi dan aktual inflasi dari tahun 2001-2012.
Dan dibawah ini kita akan melihat Laporan Inflasi yang berdasarkan Indeks Harga Konsumen
(IHK) periode April 2009 sampai November 2010.

LAPORAN INFLASI (Indeks Harga Konsumen)


Berdasarkan perhitungan inflasi tahunan
Bulan Tahun Tingkat Inflasi
November 2010 6.33 %
Oktober 2010 5.67 %
September 2010 5.80 %
Agustus 2010 6.44 %
Juli 2010 6.22 %
Juni 2010 5.05 %
Mei 2010 4.16 %
April 2010 3.91 %
Maret 2010 3.43 %
Februari 2010 3.81 %
Januari 2010 3.72 %
Desember 2009 2.78 %
November 2009 2.41 %
Oktober 2009 2.57 %
September 2009 2.83 %
Agustus 2009 2.75 %
Juli 2009 2.71 %
Juni 2009 3.65 %
Mei 2009 6.04 %
April 2009 7.31 %

Sumber : http://www.bi.go.id

1. 3.      Sumber-sumber Inflasi di Indonesia

Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya
inflasi di Indonesia, yaitu :

3.1.Jumlah uang beredar

Menurut sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah faktor utama yang dituding
sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia
jumlah uang beredar ini lebih banyak diterjemahkan dalam konsep narrow money (M1). Hal ini
terjadi karena masih adanya anggapan, bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas
perbankan.

Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase
jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses
modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses
pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam
kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju
inflasi.

Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-
rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan, tingkat inflasi Indonesia juga relatif
tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah
uang beredar di Indonesia pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh
pertumbuhan kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat
merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sektor keuangan (terutama
dalam hal penurunan reserve requirement).

3.2.Defisit Anggaran Belanja Pemerintah

Seperti halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah
Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip anggaran
berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh hal-hal yang
menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali menimbulkan kesenjangan
antara kemauan dan kemampuan untuk membangun.

 
Selama pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja ini acapkali dibiayai dari dalam negeri
dengan cara melakukan pencetakan uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan
ekonomi yang inward looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi
sejak era Orde Baru, defisit anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar negeri yang
nampaknya relatif aman terhadap tekanan inflasi.

Dalam era pemerintahan Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi yang
telah dicanangkan sejak Pembangunan Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk
melakukan pembangunan sangat besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana
pembangunan dari masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak)
di dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga kemampuan sektor
swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan, menyebabkan pemerintah harus berperan
sebagai motor pembangunan. Hal ini menyebabkan pos pengeluaran APBN menjadi lebih besar
daripada penerimaan rutin. Artinya, peran pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak dapat
diimbangi dengan penerimaan, sehingga menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan
penerimaan negara, atau dapat dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam keuangan negara.

Pada saat terjadinya oil booming, era tahun 1970-an, pendapatan pemerintah di sektor migas
meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan
kemampuan pemerintah untuk berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat.
Dengan kondisi tingkat pertumbuhan produksi domestik yang relatif lebih lambat, akibat
kapasitas produksi nasional yang masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan
permintaan (investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari masyarakat
ke pemerintah., seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang inflasi. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya tekanan inflasi.

Tetapi, sejak berubahnya orientasi ekspor Indonesia ke komoditi non migas, sejalan dengan
merosotnya harga minyak bumi di pasar ekspor (sejak tahun 1982), menyebabkan kemampuan
pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional semakin berkurang pula, sehingga
pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan posisinya sebagai penggerak (motor)
pembangunan. Dengan kondisi seperti ini, menyebabkan secara bertahap peran sebagai
penggerak utama pembangunan nasional beralih ke pihak swasta nasional, dengan demikian
sumber tekanan inflasi pun beralih dari pemerintah beralih ke non pemerintah (swasta).

Tekanan inflasi pada periode ini lebih disebabkan oleh meningkatnya tingkat agresifitas sektor
swasta dalam melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh perkembangan sektor perbankan
yang semakin ekspansif pula. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang masih saja
relatif terbatas, maka pinjaman luar negeri yang sifatnya non komersial maupun komersial pun
semakin meningkat.

Akibatnya, tetap saja terjadi defisit anggaran belanja negara dan neraca pembayaran, salah satu
sebabnya karena pemerintah tetap saja harus menyediakan infrastruktur dan suprastruktur
pembangunan ekonomi yang kebutuhannya semakin meningkat. Peran pemerintah ini dapat
dimaklumi karena kemampuan swasta nasional dalam pembangunan infrastruktur ekonomi
masih sangat terbatas.

3.3.Faktor-faktor dalam Penawaran Agregat dan Luar Negeri

Kelambanan penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan


agregat ini lebih banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan struktural (structural
bottleneck) yang ada di Indonesia. Harga bahan pangan merupakan salah satu penyumbang
terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketegaran
struktural yang terjadi di sektor pertanian sehingga menyebabkan inelastisnya penawaran bahan
pangan. Ketergantungan perekonomian Indonesia yang besar terhadap sektor pertanian, yang
tercermin oleh peranan nilai tambahnya yang relatif besar dan daya serap tenaga kerjanya yang
sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup tinggi, mengakibatkan harga bahan pangan
meningkat pesat. Umumnya, laju penawaran bahan pangan tidak dapat mengimbangi laju
permintaannya, sehingga sering terjadi excess demand yang selanjutnya dapat memunculkan
inflationary gap.

Timbulnya excess demand ini disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk yang
membutuhkan bahan pangan tidak dapat diimbangi dengan pertambahan output pertanian,
khususnya pangan. Di sisi lain, kelambanan produksi bahan pangan disebabkan oleh berbagai
hal, diantaranya adalah tingkat modernisasi teknologi dan metode pertanian yang kurang
maksimal; adanya faktor-faktor eksternal dalam pertanian seperti, perubahan iklim dan bencana
alam; perpindahan tenaga kerja pertanian ke sektor non pertanian akibat industrialisasi; juga
semakin sempitnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin
banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan
pengembangan kota.

Lebih lanjut, menurut hasil study empiris yang pernah dilakukan oleh Sri Mulyani Indrawati
(1996), selain harga bahan pangan, kontributor inflasi di Indonesia lainnya dari sisi penawaran
agregat adalah imported inflation, administrated goods, output gap, dan interest rate.

Pertama, imported inflation ini terjadi akibat tingginya derajat ketergantungan sektor riil di
Indonesia terhadap barang-barang impor, baik capital goods; intermediated good; maupun row
material. Transmisi imported inflation di Indonesia ini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi
rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan harga barang impor di negara asalnya. Bila suatu
ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing, maka akan
menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh produsen, baik itu
untuk pembayaran bahan baku dan barang perantara ataupun beban hutang luar negeri akibat
ekspansi usaha yang telah dilakukan. Hal ini menyebabkan harga jual output di dalam negeri
(khususnya untuk industri subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga potensial
meningkatkan derajat inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri yang bersifat promosi
ekspor, depresiasi tersebut tidak akan membawa dampak buruk yang signifikan. Berkaitan
dengan posisi hutang luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990-an, telah membengkak
dengan tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu lebih dari 40 %, dan presentase
tingkat hutang yang bersifat komersial telah melampaui hutang non komersial. Menyebabkan,
timbulnya hal yang sangat membahayakan ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor
finansial, apabila terjadi fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs), disamping dapat
mengakibatkan tekanan inflasi yang berat, khususnya imported inflation.

Kedua, administrated goods adalah barang-barang yang harganya diatur dan ditetapkan oleh
pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara langsung sangat kecil dalam mempengaruhi tingkat
inflasi, tetapi secara situasional dan tidak langsung pengaruhnya dapat menjadi signifikan.
Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM, maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang
atau tarif jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut dinaikan oleh masyarakat. Akibatnya,
dapat memperberat tekanan inflasi.

Ketiga, output gap adalah perbedaan antara actual output (output yang diproduksi) dengan
potential output (output yang seharusnya dapat diproduksi dalam keadaan full employment).
Adanya kesenjangan (gap) ini terjadi karena faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses
produksi belum maksimal dan atau efisien.

Keempat, interest rate juga merupakan faktor penting yang menyumbang angka inflasi di
Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang cukup membingungkan dalam
menentukan manakah yang menjadi independent variable atau dependent, antara inflasi dan suku
bunga. Tetapi, bila ditilik dari sisi biaya produksi dan investasi (sisi penawaran), maka jelaslah
bahwa suku bunga dapat dikatagorikan dalam komponen biaya-biaya tersebut. Dengan relatif
tingginya tingkat suku bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan biaya produksi dan investasi
di Indonesia, yang dibiayai melalui kredit perbankan, akan tinggi juga. Jadi, apabila tingkat suku
bunga meningkat, maka biaya produksi akan meningkat, selanjutnya akan meningkatkan pula
harga output di pasar, akibatnya terjadi tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat suku
bunga dan inflasi ini bisa menjadi interest rate-price spiral.

1. 4.      Dampak Inflasi Bagi Perekonomian

Inflasi berdasarkan dampaknya bagi perekonomian dapat dibagi menjadi dua, yaitu berdampak
positif dan negatif. Berikut merupakan penjelasan dari kedua dampak inflasi tersebut :

a)      Dampak Positif Inflasi

Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi.
Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong
perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah
untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Orang yang mengandalkan pendapatan
berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi.
Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat
inflasi.

Bagi orang yang meminjam uang kepada bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada
saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat
meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian
karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.

Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi
daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk
melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi
menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka
produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya
untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen
tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).

b)     Dampak Negatif Inflasi

Dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi),
keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak
bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat
dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta
kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka
menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh
seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli
uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.

Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin
menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai
uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit
berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang
diperoleh dari tabungan masyarakat.

Tetapi secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara,
mendorong tingkat bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan
pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya
tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

1. 5.      Pengendalian Inflasi di Indonesia

Sebagaimana halnya yang umum terjadi pada negara – negara berkembang, inflasi di Indonesia
relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural ekonomi bila dibandingkan
dengan hal-hal yang bersifat monetary policies. Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari
cosh push inflation lebih besar dari pada demand pull inflation.

Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil booming, tekanan
inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut tidak
dapat mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab pada periode
tersebut, masih terjadi kesenjangan antara penawaran agregat dengan permintaan agregat,
contohnya di sub sektor pertanian, yang dapat meningkatkan derajat inflasi.

Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan moneter dalam
upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia lebih senang menggunakan
instrumen moneter sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya dengan open market
mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa pendekatan moneter lebih
banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan peda
negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih
memiliki structural bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama
dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan
problem inflasi di negara berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka panjang.

Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter yang selanjutnya menjadi krisis
ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor (imported inflation)
dan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika dan mata uang asing lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi,
maka terlebih dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
khususnya dolar Amerika.

Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak memainkan
instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy yang diharapkan selain
dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk menginvestasikan modalnya ke
Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan tingkat harga umum.

Tight money policy yang dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui
open market mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi money
suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk sektor riil. Akibatnya, akan
menyebabkan timbulnya cost push inflation karena adanya interest rate-price spiral. Apabila
tingkat suku bunga (deposito) perbankan sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana
untuk berproduksi atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan
dapat menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi nasional (disebut
dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread pada dunia perbankan
nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada sektor riil, tetapi juga kerusakan pada
industri perbankan nasional (sektor moneter). Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh
pemerintah dalam jangka waktu menengah atau panjang, maka akan terjadi depresi ekonomi,
akibatnya struktur perekonomian nasional akan rusak.

Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya
dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan memperhatikan cara pandang
kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya mengatasi hambatan-hambatan struktural
yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai hambatan dalam pembangunan perekonomian Indonesia
yang telah disebutkan di atas, maka perlu berbagai upaya pembenahan, yaitu :

5.1.Meningkatkan Supply Bahan Pangan

Meningkatkan supply bahan pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada
pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi
dan metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan pertanian perlu dilakukan untuk
meningkatkan laju produksi bahan pangan agar tercipta swasembada pangan.

5.2.Mengurangi Defisit APBN

Mungkin dalam masa krisis ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapat dilaksanakan, tetapi
dalam jangka panjang (setelah krisis berlalu) perlu dilakukan. Untuk mengurangi defisit
anggaran belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan penerimaan rutinnya, terutama dari
sektor pajak dengan benar dan tepat karena hal ini juga dapat menekan excess demand. Dengan
semakin naiknya penerimaan dalam negeri, diharapkan pemerintah dapat mengurangi
ketergantungannya terhadap pinjaman dana dari luar negeri. Dengan demikian anggaran belanja
pemerintah nantinya akan lebih mencerminkan sifat yang relative independent.

5.3.Meningkatkan Cadangan Devisa

Pertama, perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri (current account), terutama
pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan demikian diharapkan cadangan
devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Juga, diusahakan untuk meningkatkan kinerja ekspor,
sehingga net export harus semakin meningkat.

Kedua, diusahakan agar dapat mengurangi ketergantungan industri domestik terhadap barang-
barang luar negeri, misalnya dengan lebih banyak memfokuskan pembangunan pada industri
hulu yang mengolah sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri untuk dipakai sebagai
bahan baku bagi industri hilir. Selain itu juga perlu dikembangkan industri yang mampu
memproduksi barang-barang modal untuk industri di dalam negeri.

Ketiga, mengubah sifat industri dari yang bersifat substitusi impor kepada yang lebih bersifat
promosi ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net export. Keempat,
membangun industri yang mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan memiliki
kandungan komponen lokal yang relatif tinggi pula.

5.4.            Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat

Pertama, mengurangi kesenjangan output (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas
sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri manufaktur
nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua, memperlancar jalur distribusi barang nasional,
supaya tidak terjadi kesenjangan penawaran dan permintaan di tingkat regional (daerah). Ketiga,
menstabilkan tingkat suku bunga dan menyehatkan perbankan nasional, tujuannya untuk
mendukung laju proses industrialisasi nasional. Keempat, menciptakan kondisi yang sehat dalam
perekonomian agar market mechanism dapat berjalan dengan benar, dan mengurangi atau bahkan
menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat menyebabkan distorsi pasar. Kelima, melakukan
program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil karena acapkali birokrasi yang berbelit dapat
menyebabkan high cost economy.

Dengan menggunakan dua pendekatan (moneterist dan strukturalist) pada komposisi yang tepat,
maka diharapkan bukan saja dalam jangka pendek inflasi dapat dikendalikan, tetapi juga dalam
jangka panjang. Dan, bila ada upaya yang serius untuk memperkecil atau bahkan menghilangkan
hambatan-hambatan struktural yang ada, maka akan berakibat pada membaiknya fundamental
ekonomi Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masalah inflasi di Indonesia ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka pendek, tetapi juga
merupakan fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa inflasi di Indonesia bukan semata-mata
hanya disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijaksanaan di sektor moneter oleh pemerintah,
yang seringkali dilakukan untuk tujuan menstabilkan fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka
pendek, tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan-hambatan struktural dalam
perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Apabila mengacu pada usaha
pengeliminasian hambatan-hambatan struktural tersebut, maka mau tidak mau harus
memperhatikan dengan seksama pembangunan ekonomi di sektor riil. Dengan melakukan
pembenahan di sektor riil secara tepat, bahkan mungkin sampai pada tahap messo dan micro
ekonomi, maka kemantapan fundamental ekonomi Indonesia dapat diperkokoh.

Defisit APBN, peningkatan cadangan devisa, pembenahan sektor pertanian khususnya pada sub
sektor pangan, pembenahan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi posisi penawaran agregat
merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan penanganan yang serius untuk dapat menekan inflasi
ke tingkat yang serendah mungkin di Indonesia, disamping tentunya pengelolaan tepat dan
pembenahan di sektor moneter.

B. Implikasi Kebijakan

Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan tersebut
maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan BI
melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi naik dari kebijakan fiskal, moneter maupun
sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan
(shocks) dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan
tersebut.

Dalam tataran teknis, koordinasi antara pemerintah dan BI perlu diwujudkan dengan membentuk
Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat.
Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis terkait di Pemerintah seperti
Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut,
pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan
BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah
sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Antara News. BI: Inflasi 2010 Kearah 5
Persen. Available :
http://m.antaranews.com/[2010, 11 Juni],
2010.
Bank Indonesia. Inflasi. Available : http://www.bi.go.id/%5B2010, 5 November], 2010.

Boediono.  Seri Sinopsis Pengantar Ilmu ekonomi No : 5 ; Ekonomi Moneter, edisi 3.


Yogyakarta : BPFE. 1990.

Detik Finance. Penguatan Rupiah Tahan Laju Inflasi 2010. Available :


http//m.detik.com/[2010, 10 Desember], 2010.

Insukindro. Pengantar Ekonomi Moneter : Teori, Soal dan Penyelesaiannya. Yogyakarta :


BPFE. 1987.

Indrawati, Sri Mulyani (1996), Sumber-Sumber Inflasi di Indonesia, Makalah dalam Seminar
ISEI dan PERHEPI, Jakarta.

Kumpul Bloger. Inflasi dan Dampaknya Terhadap Perekonomian. Available :


http://id.wikipedia.org/wiki/Inflasi/[ 2009, 1 Mei], 2010.

Nopirin. Ekonomi Moneter. Yogyakarta : BPFE. 1988.

Anda mungkin juga menyukai