Anda di halaman 1dari 22

EKONOMI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (EKI 314)

KONSEP KEGAGALAN PASAR, BARANG PUBLIK,


DAN EKSTERNALITAS LINGKUNGAN

Disusun Oleh:
Novita Ramadhani Heriani Putri No. Absen 08
Novia Ramadhani Savitri No. Absen 09
Kadek Yuni Ariningsih No. Absen 10

Disampaikan Kepada:

Dr. Putu Ayu Pramitha Purwanti, S.E., M.Si

Dosen Pengampu Mata Kuliah Ekonomi Pembangunan Berkelanjutan

PROGRAM STUDI SARJANA EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN
BISNIS UNIVERSITAS
1
UDAYANA
TAHUN 2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
anugrah-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan paper yang berjudul
“Konsep Kegagalan Pasar, Barang Publik, dan Eksternalitas Lingkungan”
tepat pada waktunya. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan paper ini khususnya
kepada Ibu Dr. Putu Ayu Pramitha Purwanthi, S.E., M.Si, selaku dosen pengampu
mata kuliah Ekonomi Pembangunan Berkelanjutan kelas A2.
Besar harapan penulis, semoga dengan adanya paper ini dapat menambah
wawasan mengenai materi konsep kegagalan pasar, barang publik, dan
eksternalitas lingkungan bagi para pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman penulis, penulis menyadari bahwa dalam pembutan paper ini
masih terdapat kekurangan-kekurangan baik dari segi penulisan maupun substansi
materi, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang
membangun, yang dapat menyempurnakan kembali paper ini. Akhir kata, penulis
ucapkan terima kasih.

Jimbaran, 4 Maret 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 2

1.3. Tujuan Penulisan 2

1.4. Manfaat Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN 4

2.1. Pengertian Kegagalan Pasar 4

2.2. Indikator Barang Privat dan Barang Publik 6

2.3. Teori Eksternalitas 10

2.4. Teori Coase 12

2.5. Intervensi Pemerintah dalam Eksternalitas 14

2.6. Studi Kasus 15

BAB III PENUTUP 16

3.1. Kesimpulan 16

3.2. Saran 17

DAFTAR PUSTAKA iv

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Menurut Model Aliran Melingkar, para penjual bebas menyediakan barang dan jasa
yang dikehendaki oleh pembeli. Pasar itu sendiri, tanpa campur tangan pihak ketiga
memecahkan masalah kekurangan dan kelebihan dan menghilangkan ketidakefisienan
melalui mekanisme harga. Walaupun konsumen dan produsen bukan dimotivasi oleh
tujuan mulia, namun didorong oleh kepentingan mereka sendiri, proses pasar itu sendiri
memberikan hasil yang sangat menakjubkan, menuju ke keseimbangan pasar yang
memberikan kesejahteraan maksimum. Inilah sesungguhnya yang dirumuskan oleh
Adam Smith sebagai invisible hand, yang seolah-olah menuntun produsen dan konsumen
untuk mengambil keputusan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan yang dilakukan selama ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang ditunjukkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi. Dalam
kenyataannya peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak saja membawa dampak posistif
bagi sebuah perekonomian namun juga memberikan dampak negatif bagi lingkungan.
Proses produksi dan konsumsi telah menimbulkan adanya limbah yang kemudian
akhirnya dikembalikan ke lingkungan.
Masuknya sumber daya alam ke sistem perekonomian selalu menimbulkan residu
produksi yang mengotori alam dan akhirnya mungkin bisa merusak sumber daya alam itu
sendiri. Di aspek konsumsi pun muncul masalah yang sama, yakni adanya residu
konsumsi yanng mengotori alam dan mungkin dalam jangka panjang merusak sumber
daya itu sendiri. Keadaan masuknya sumber daya alam ke sistem ekonomi, ke proses
produksi, dan kemudian proses konsumsi itu sendiri memberikan residu konsumsi secara
terus menerus, nampaknya telah dan terus terjadi di semua aspek dari ekonomi terapan.
Hal tersebut dapat dikatakan sebagai akibat dari kegagalan pasar. Kalau kita sadar akan
implikasi dari pasar persaingan terhadap efisiensi dan kesejahteraan masyarakat, kita
akan dapat mengetahui apa yang harus dikerjakan apabila sesuatu yang menghalangi
berlakunya sistem pasar telah terjadi, atau dengan kata lain, telah dilanggarnya satu atau
lebih dari asumsi yang mendasar berfungsinya pasar secara penuh. Dalam paper ini akan
membahas adanya pelanggaran terhadap asumsi berlakunya sistem pasar atau kegagalan
pasar, yang kemudian diikuti oleh kegagalan pasar dengan fokus perhatian pada
4
eksternalitas, serta intervensi pemerintah.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penulisan paper ini, yakni
1.2.1. Bagaimana pengertian kegagalan pasar?
1.2.2. Apa saja yang menjadi indikator barang privat dan barang publik?
1.2.3. Apa yang dimaksud dengan teori eksternalitas?
1.2.4. Apa yang dimaksud dengan teori coase?
1.2.5. Bagaimana intervensi pemerintah dalam eksternalitas?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dalam penulisan paper ini, yakni
1.3.1. Mengetahui dan memahami konsep kegagalan pasar.
1.3.2. Mengetahui dan memahami hal yang menjadi indikator barang
privat dan barang publik.
1.3.3. Mengetahui dan memahami mengenai teori eksternalitas.
1.3.4. Mengetahui dan memahami mengenai teori coase.
1.3.5. Mengetahui dan memahami mengenai intervensi pemerintah dalam
eksternalitas.

1.4. Manfaat Penulisan


Adapun manfaat dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut.
1.4.1. Bagi Mahasiswa
Bagi mahasiswa, dapat mengetahui dan menambah wawasan
mengenai mata kuliah Ekonomi Pembangunan Berkelanjutan, khususnya
mendalami materi mengenai konsep kegagalan pasar, barang publik, dan
eksternalitas lingkungan.
1.4.2. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, dapat lebih memahami konsep mengenai konsep
kegagalan pasar, barang publik, dan eksternalitas lingkungan yang dapat
diimplementasikan dengan prekonomian saat ini dan mengetahui tindakan
yang seharusnya dilakukan masyarakat dalam mengatasi masalah seperti
eksternalitas lingkungan.

5
6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Kegagalan Pasar


Kegagalan pasar merupakan keadaan suatu kondisi dimana pasar mengalami
kegagalan dalam menyediakan kebutuhan pasar baik secara efesien maupun ketimpangan
antara produsen dan konsumen. Oleh karena itu, mekanisme dalam suatu pasar yang
tidak effisien akan menyebabkan kebutuhan dalam pasar yang dihasilkan menjadi terlalu
banyak atau bahkan sangat sedikit. Kenyataan ekstrim dari fenomena ini adalah tidak
seimbangnya pasar tersebut sehingga terjadi kelangkaan komoditas suatu barang terkait.
Frances M. Bator dalam artikelnya berjudul the Anatomy of Market Failure pada
the Quarterly Journal of Economics, Volume 72, No.3 (Agustus 19958) 351-379
membicarakan kegagalan pasar ini secara rinci yang pada dasarnya kalau terjadi
persaingan yang tidak sempurna baik pada pasar barang/jasa maupun pada pasar faktor,
informasi pasar tidak sempurna, barang yang diperdagangkan berupa barang publik, dan
kalau terjadi eksternalitas negatif atau positif. Dasgupta dan Pearce (dalam Nehen
1978:28) dalam bukunya yang terbit pada tahun 1972 merinci bahwa pasar disebut gagal
kalau terjadi:
1. Persaingan tidak sempurna pada pasar faktor
2. Pengangguran pada sumber daya alam dan manusia
3. Skala usaha yang makin meningkat pada industri yang sedang dibahas
4. Sistem perpajakan yang diterapkan oleh pemerintah
5. Efek ganda pada masalah yang sedang dibicarakan
6. Efek eksternal, dan
7. Barang yang dibicarakan adalah barang publik (public goods).
Kalau kita telaah satu per satu dari delapan butir ini, maka dalam ekonomi praktis
akan selalu terjadi kegagalan pasar, termasuk dan lebih-lebih pada ekonomi sumber daya
alam lingkungan. Misalnya dalam masalah sumber daya alam, asumsi yang dilanggarnya
antara lain adalah:

● Barang yang diperdagangkan bukan barang privat, karena hampir semua sumber

daya alam seperti minyak bumi, kehutanan, air dan yang lainnya di Indonesia
dikuasai oleh pemerintah atau dimiliki bersama oleh masyarakat atau pemerintah

7
dan sangat jarang kalau tidak dapat dikatakan tidak ada sumber daya alam yang
merupakan barang privat.

● Kalau sumber daya alam dikatakan sebagai faktor produksi, sudah pasti tidak

terjadi mobilitas pada pasar faktor. Atau dengan kata lain pasar faktor tidak
bersifat persaingan.

● Sumber daya alam belum digunakan secara penuh, sehingga masih terjadi

pengangguran dalam sumber daya alam.

● Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, biasanya pemerintah memberikan hak

pengelolaan hanya kepada beberapa pengusaha saja. Dalam hal ini bentuk pasar
produknya hanya terdiri dari beberapa perusahaan dan banyak perusahaan kecil-
kecil. Beberapa perusahaan itu bisa dipimpin oleh satu perusahaan saja, yakni
yang paling efisien, atau bergabung sedangkan perusahaan lain mengikuti
kebijakan harga perusahaan besar tersebut. Dalam hal ini pasar produknya dapat
dikatakan bersifat monopoli.
Dalam hal masalah lingkungan, asumsi pasar persaingan yang dilanggarnya antara lain
adalah:

● Asumsi mengenai barang privat. Limbah buangan dari produksi dan dari

konsumsi, kalau pasar limbah tersebut diadakan, bentuk pasarnya seperti pada
perdagangan karbon pada konferensi mengenai perubahan iklim beberapa tahun
yang lalu di Nusa Dua. Dalam hal ini karbon bukanlah barang privat.

● Limbah industri biasanya dianggap mempunyai efek eksternal yang tidak terdapat

pada asumsi pasar persaingan.

● Pajak (lingkungan) merupakan salah satu alat untuk memaksakan pengusaha agar

bersedia menanamkan modalnya untuk menangani masalah limbah yang


ditimbulkannya.

2.2. Indikator Barang Privat dan Barang Publik


2.2.1 Barang Privat
Barang privat adalah barang-barang yang memiliki sifat berkebalikan dengan
barang publik. Barang privat adalah barang yang diperoleh melalui mekanisme pasar,

8
dimana titik temu antara produsen dan konsumen adalah mekanisme harga. Oleh karena
itu, kepemilikan barang privat biasanya dapat teridentifikasi dengan baik.
Sebagian besar barang yang kita konsumsi adalah barang privat, yaitu barang
yang hanya dapat digunakan oleh satu konsumen pada satu waktu. Misalnya, ketika
seseorang sedang memakan kue miliknya, orang lain tidak dapat melakukan hal serupa.
Contoh barang privat lainnya adalah kemeja, celana, televisi, sepeda motor, mobil, dan
sebagainya. Eksklusivitas kepemilikan menjadi faktor pembeda utama barang privat
dengan barang publik. Penyediaan barang privat (private goods) tidak menghadapi
masalah, karena pasar akan dengan mudah menyediakannya sesuai dengan kebutuhan.
Konsumen membutuhkan barang, produsen akan dengan cepat menangkap sinyalnya dan
kemudian memproduksi serta mendistribusikannya kepada siapa pun yang membutuhkan
dengan tingkat harga pasar yang berlaku.
Sifat-sifat barang privat tersebut, antara lain:
a. Rivalrous consumption, dimana konsumsi oleh satu konsumen akan
mengurangi atau menghilangkan kesempatan pihak lain untuk melakukan hal
serupa. Terjadi rivalitas antar calon konsumen dalam mengkonsumsi barang
ini.
b. Excludable consumption, artinya apabila barang tersebut sudah dimiliki oleh
satu individu maka dapat menghalangi setiap individu lainnya untuk
menggunakannya. Excludable consumption juga dapat diartikan dimana
konsumsi suatu barang dapat dibatasi hanya pada mereka yang memenuhi
persyaratan tertentu (biasanya harga), dan mereka yang tidak membayar atau
tidak memenuhi syarat dapat dikecualikan dari akses untuk mendapatkan
barang tersebut (excludable). Contohnya, pakaian di toko hanya dapat
dinikmati oleh mereka yang membeli atau membayar, sementara mereka yang
tidak membayar tidak dapat menikmati pakaian tersebut.
c. Scarcity/depletability/finite, yaitu adanya kelangkaan dan keterbatasan akan
barang dan jasa tersebut. Kelangkaan dan ketersediaan dalam jumlah yang
diskrit atau terbatas inilah yang menimbulkan kedua sifat sebelumnya.
Barang privat biasanya memang diadakan untuk mencari profit atau laba. Karena
sifat-sifatnya tadi, barang privat dapat menjaga efisiensi pasar dalam pengadaannya.
Efisiensi inilah yang menarik minat sektor swasta dan menimbulkan pemahaman bahwa
barang privat adalah barang yang diproduksi oleh sektor swasta. Meskipun begitu,

9
pemerintah pun sebenarnya dapat berlaku sebagai sektor swasta dan menjadi bagian dari
pasar dalam penyediaan barang privat untuk tujuan-tujuan tertentu.
2.2.2 Barang Publik
Menurut Idris (2018), secara umum barang publik merupakan barang yang dapat
dinikmati kegunaanya tanpa adanya batasan atas penggunaanya dan sebisa mungkin
seseorang tidak mengeluarkan biaya sedikitpun untuk mendapatkan barang tersebut.
Barang publik adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan
mengurangi konsumsi individu lain akan barang tersebut. Contoh barang publik ini ialah
udara, cahaya matahari, jalan raya, siaran radio, kegiatan bantuan polisi dan ketentaraan,
jasa-jasa pengamat cuaca, dan lain sebagainya. Akan sulit untuk menentukan siapa saja
yang boleh menggunakan jalan raya misalnya, karena keberadaannya memang untuk
konsumsi semua orang. Karena setiap individu berhak mengkonsumsi barang publik
tanpa pengecualian, timbul permasalahan free rider. Free rider ini adalah mereka yang
ikut menikmati barang publik tanpa mengeluarkan kontribusi tertentu, sementara
sebenarnya ada pihak lain yang berkontribusi untuk mengadakan barang publik tersebut.
Masalah ini timbul karena masyarakat tidak ingin berkontribusi untuk barang tersebut,
namun masyarakat ingin mengkonsumsi barang tersebut secara cuma-cuma. Contohnya
adalah mereka yang tidak membayar pajak tadi, tapi ikut menikmati jasa-jasa atau
barang-barang yang diadakan atas biaya pajak. Contoh lain, sebuah jalan desa dibangun
dengan kerja bakti. Free rider adalah mereka yang tidak ikut kerja bakti, tetapi kemudian
ikut menggunakan jalan desa tersebut.
Barang publik memiliki dua sifat atau dua aspek yang terkait dengan penggunaanya
yaitu:
a. Non-rivalry
Artinya, non-rivalry mengekspresikan bahwa sebuah barang dapat dikonsumsi
secara bersamaan (waktu dan tempat yang sama) oleh beberapa pihak
tanpa mengurangi atau menghilangkan jumlah yang tersedia untuk dikonsumsi
bagi pihak lainnya (Cowen, 1992). Contohnya adalah udara, ketika kita sedang
menikmati udara segar di sore hari maka di saat yang bersamaan orang lain yang
berada di sekitar kita yang dapat turut merasakan udara segar tersebut tanpa harus
saling berebutan atau saling menghilangkan hak antara yang satu dengan lainnya
untuk sama menikmati udara segar di sore hari tersebut. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa udara segar merupakan barang publik murni. Berdasarkan

10
penjelasan di atas kita dapat menangkap bahwa secara tersirat non-rivalry
merujuk pada ketiadaan kompetisi (noncompetition) dalam mengonsumsi suatu
barang dan jasa
b. Non-excludable
Barang publik yang bersifat non-excludable artinya, tidak ada batasan atau
pelarangan untuk membatasi orang lain dalam mengonsumsi suatu barang dan
jasa meskipun mereka tidak membayar sesuatu apapun dalam mengonsumsi
barang tersebut. Contohnya seperti, tidak ada satu pun pihak yang dapat melarang
seseorang untuk menghirup udara segar dengan alasan orang tersebut tidak
membayar sejumlah uang untuk dapat turut merasakan udara segar tersebut
mengalir di saluran pernafasannya. Berangkat dari penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa tidak ada pengecualian atau diskriminaisi terhadap pihak
manapun dalam mengonsumsi barang publik. Artinya, setiap warga negara
diberikan kesempatan yang sama dalam mengakses barang publik. Singkatnya,
tidak ada yang dapat dikecualikan (excludable) dalam mengambil manfaat atas
barang publik tersebut.

❖ Campur Tangan Pemerintah dalam hal Barang Publik

Kekuatan pasar saja tidak dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif atau tidak
mampu mencapai kesejahteraan maksimum dalam hal barang publik. Ini merupakan
alasan penting untuk membenarkan masuknya pihak ketiga, terutama campur tangan
pemerintah. Namun sampai sejauh mana pemerintah campur tangan dalam proses pasar
dan tugas apa yang diemban pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
supaya mencapai maksimum, bukanlah hal yang mudah. Teori yang mendasari campur
tangan pemerintah ini adalah dengan mengetahui masalah barang publik akan memberi
petunjuk mengenai pemecahannya.
Dalam praktek, kebijakan umum yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi
dilema penumpang bebas dan preferensi yang nonrevelation, antara lain, adalah:

● Menyediakan sendiri barang publik secara langsung. Barang publik yang umum

disediakan oleh pemerintah misalnya pemadam (proteksi terhadap) kebakaran,


taman nasional, jalan raya, keamanan, penerangan di jalan, mercu suar, dan lain-
lain.

11
● Melaksanakan dan menjaga kualitas lingkungan, misalnya dengan menyediakan

pasukan baju kuning untuk membersihkan kota.

● Mengundangkan peraturan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan,

misalnya membuat aturan mengenai pedoman advertensi ekolabeling (yang


berkaitan dengan masalah lingkungan) sehingga advertensi dari perusahaan tidak
menipu masyarakat. Secara umum dikatakan mengeluarkan petunjuk mengenai
pemasaran hijau (green marketing).

● Melancarkan pendidikan dan penerangan kepada masyarakat mengenai

pelestarian lingkungan, misalnya memisahkan sampah organik dengan


nonorganik, menyarankan dan memelopori penanaman sejuta pohon, dan lain-
lainnya.

2.3. Teori Eksternalitas


Eksternalitas diartikan ketiga beberapa kegiatan dari produsen dan konsumen
memiliki pengaruh samping (tidak langsung) terhadap produsen dan atau konsumen lain
atau pihak ketiga di luar pasar. Eksternalitas dapat berupa eksternalitas positif maupun
negatif. Menurut teori ekonomi mikro harga merupakan mekanisme sinyal penting dalam
proses pasar. Harga keseimbangan menunjukkan nilai marjinal yang diberikan oleh
konsumen dari pemakaian barang dan biaya marjinal yang harus ditanggung oleh
perusahaan dalam memproduksikan barang dimaksud. Dalam keadaan biasa, teori ini
dapat memprediksi realitas pasar dengan baik. Namun terdapat banyak keadaan di mana
harga gagal merefleksikan semua manfaat dan biaya yang terkait dengan transaksi pasar.
Kegagalan pasar ini muncul ketika pihak ketiga dipengaruhi oleh produksi atau konsumsi
satu barang. Secara eksplisit eksternalitas memiliki ciri-ciri yaitu; 1) eksternalitas dapat
diproduksi oleh konsumen maupun produsen, 2) eksternalitas terjadi diluar mekanisme
pasar, 3) terdapat feedback dalam aspek eksternalitas, 4) eksternalitas dapat bersifat
positif maupun negatif, 5) peristiwa bersifat independen atau tidak ada hubungan antara
satu pihak dengan pihak yang lain, 6) peristiwa dapat terjadi baik secara kelembagaan
maupun individu.
Apabila pengaruh kepada pihak ketiga ini mengakibatkan timbulnya biaya, maka
12
pengaruh ini disebut eksternalitas negatif. Eksternalitas negatif contohnya seperti polusi.
Limbah perusahaan atas kegiatan pabrikan yang dibuang ke sungai di sekitar perusahaan
akan memberikan eksternalitas negatif. Penduduk sekitar sungai akan menanggung biaya
eksternal dari kegiatan ekonomi tersebut berupa masalah kesehatan dan berkurangnya
ketersediaan air bersih. Selain limbah pabrik, polusi air juga dapat ditimbulkan akibat
penggunaan pestisida dan pupuk dalam proses produksi pertanian. Sedangkan pengaruh
kepada pihak ketiga yang bermanfaat disebut eksternalitas positif. Eksternalitas positif
misalnya perbaikan pengetahuan di berbagai bidang, seperti ekonomi, kesehatan, kimia,
fisika. Ini dapat terjadi karena penemuan para ilmuwan tersebut tidak hanya memberikan
manfaat pada mereka, tapi juga terhadap ilmu pengetahuan dan lingkungan secara
keseluruhan.
Pada semua contoh di atas bahwa pengaruh samping yang terjadi di luar transaksi
pasar tidak direfeksikan pada harga barang yang diperdagangkan. Apabila harga tidak
merefleksikan semua manfaat dan biaya yang berkaitan dengan produksi dan konsumsi,
maka harga tersebut tidak dapat dipercaya sebagai mekanisme yang memberi sinyal, dan
oleh karenanya pasar dikatakan gagal. Akibat terpenting adalah terjadi alokasi sumber
daya yang salah (misallocation of resources). Apabila konsumsi menimbulkan
eksternalitas positif, harga pasar menilai barang terlalu rendah, dan terlalu sedikit barang
yang diproduksi. Apabila terjadi eksternalitas negatif, harga pasar tidak merefleksikan
baya eksternal, dan terlalu banyak barang yang diproduksi. Satu contoh khas mengenai
eksternalitas negatif yang timbul di hampir semua kota besar (termasuk Denpasar) di
mana makin banyak perusahaan mempraktekkan jasa antaran sehingga mengakibatkan
kemacetan terjadi di mana-mana, dan biaya tambahan yang diakibatkannya tidak
dimasukkan pada harga barang antarannya. Hal ini dikenal dengan efek samping dari
pemakaian prinsip manajemen just in time.
Eksternalitas lingkungan sendiri didefinisikan sebagai manfaat dan biaya yang
ditunjukkan oleh perubahan lingkungan secara fisik hayati (Owen, 2004). Polusi air yang
telah dijelaskan di atas termasuk ke dalam eksternalitas lingkungan, dimana polusi
tersebut telah merubah baik secara fisik maupun hayati sungai yang ada di sekitar
perusahaan tersebut. Selain polusi air perubahan lingkungan lain dapat dilihat dari
definisi lingkungan dalam The Environment (Protection) Act, 1986 sebagai berikut. The
Environment (Protection) Act, 1986 defines environment to include ‘water, air and land
and the interrelationship which exists among and between water, air and land, and

13
human beings, other living creatures, plants, microorganisms and property’. (Sankar,
2008). Adapun polusi atau pencemaran itu sendiri berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997
Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat 12, adalah sebagai berikut.
“Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”. Berdasarkan pengertian
lingkungan di atas, selain air, udara, dan juga tanah, serta hubungan timbal balik di
antara air, udara, dan tanah dapat berpotensi mengalami eksternalitas lingkungan.
Adanya eksternalitas menimbulkan perbedaan antara manfaat (biaya) sosial
dengan manfaat (biaya) individu, ini diakbatkan dari alokasi sumberdaya yang tidak
efisien. Pihak penyebab terjadinya eksternalitas tidak memiliki dorongan untuk
menanggung dampak dari kegiatannya terhadap pihak lain. Dalam perekonomian yang
berdasarkan pasar persaingan sempurna, output individu optimal terjadi saat biaya
individu marginal sama dengan harganya. Eksternalitas positif terjadi saat manfaat sosial
marginal lebih besar dari biaya individu marginal (harga), oleh karena itu output individu
optimal lebih kecil dari output sosial optimal. Adapun eksternalitas negatif terjadi, saat
biaya sosial marginal lebih besar dari biaya individu marginal, oleh karena itu tingkat
output individu optimal lebih besar dari output sosial optimal. (Sankar, 2008)

2.4. Teori Coase


Teorema Coase (Coase theorem) merupakan sebuah teori yang dicetuskan atau
dipopulerkan oleh seorang ekonom yang bernama Ronald Coase yang menyatakan
bahwa pemberian hak milik yang tepat terhadap suatu barang, meskipun ada
eksternalitas, akan menimbulkan tawar menawar antara pihak-pihak yang terkait
sedemikian rupa sehingga dapat dicapai solusi yang efisien, tanpa memandang kepada
pihak mana hak tersebut diberikan, kepada produsen atau konsumen. Teorema coase
memiliki relevansi pada masalah eksternalitas yang sangat menonjol, dalam hal ini
aturan hukum dan hak milik menjadi pusat dari teorema coase. Teorema coase juga
menunjukkan bahwa agen-agen ekonomi dapat mengatasi masalah eksternalitas sendiri
tanpa perlu intervensi pemerintah. Artinya jika pihak-pihak yang terkait dalam
melakukan tawar-menawar mengenai alokasi sumber-sumber daya tanpa harus
mengeluarkan biaya, mereka dapat menyelesaikan masalah eksternalitas mereka sendiri.

14
Ronald Coase mencotohkan teorinya pada kepemilikan perusahaan garmen.
Seumpamanya hak milik diberikan kepada perusahaan garmen. Dengan diberikannya hak
kepemilikan ini kepada perusahaan garmen itu artinya perusahaan garmen mempunyai
hak untuk mencemari air sungai sebagai bagian dari proses produksi. Perusahaan garmen
ingin berproduksi sampai dapat memaksimalkan laba. Pencemaran air sungai yang
dilakukan perusahaan garmen akan merugikan masyarakat karena nilai utilitas
masyarakat tersebut untuk menggunakan air sungai di pengaruhi secara negatif.
Masyarakat yang ada di sekitar perusahaan garmen juga memiliki tujuan untuk
memaksimalkan utilitasnya, mengingat perusahaan garmen memiliki hak kepemilikan
untuk mencemari air sungai maka masyarakat mempunyai inisiatif untuk melakukan
negoisasi kepada perusahaan garmen. Setiap satu unit pengurangan garmen yang
dihasilkan, masyarakat bersedia membayar kepada perusahaan garmen untuk
pencemarannya sampai sebesar nilai penurunan utilitas masyarakat. Pihak perusahaan
garmen akan menerima pembayaran untuk pencemarannya dari masyarakat asalkan
pembayaran tersebut lebih besar dari berkurangnya keuntungan karena mengurangi
produksi.
Tawar menawar antara perusahaan garmen dengan masyarakat akan berlanjut
selama pembayaran lebih besar dari pengorbanan keuntungan perusahaan garmen,
namun lebih kecil dari kerusakan yang menimpa masyarakat yang memakai sungai.
Karena pengurangan produksi garmen akan mengurangi keuntungan produksi
perusahaan garmen dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah
kesanggupan masyarakat untuk membayar sehingga tidak terjadi tawar menawar lebih
lanjut.
Teori Coase ini sangat menekankan pada pentingnya diberikannya hak milik pada
proses pasar tanpa memandang kepada siapa hak milik tersebut diberikan. Agar solusi
yang ditawarkan coase ini efisien maka perlu dipenuhinya dua asumsi yaitu asumsi yang
pertama adalah tidak adanya biaya transaksi dan asumsi kedua adalah kerusakan yang
terjadi dapat diukur. Jadi agar teori coase ini dapat diterapkan dalam praktek, kasusnya
haruslah menyangkut sedikit individu pada salah satu sisi pasar. Teorema Coase
menyatakan bahwa seandainya berbagai pihak yang berkepentingan dapat merundingkan
langkah-langkah tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber-
sumber daya, maka mereka dapat mengatasi sendiri masalah eksternalitas. Logika
teorema Coase memang menyakinkan, namun tidak selamanya sesuai dengan kenyataan

15
yang ada. Dalam prakteknya, kita tahu bahwa pelaku-pelaku ekonomi swasta atau pribadi
seringkali gagal memperoleh pemecahan yang efisien, atas suatu masalah yang
bersumber dari eksternalitas. Teorema Coase ternyata hanya berlaku, jika pihak-pihak
yang berkepentingan tidak dihadapkan pada kendala untuk mencapai dan melaksanakan
kesepakatan. Itu berarti, peluang kesepakatan memang selalu terbuka, namun hal itu
tidak selalu bisa diwujudkan.

2.5. Intervensi Pemerintah dalam Eksternalitas


Dari perspektif ekonomi, solusi umum terhadap eksternalitas, termasuk yang
mempengaruhi lingkungan, adalah menginternalisasi eksternalitas dengan memaksa
pasar untuk menanggung beban biaya eksternal atau menikmati manfaat eksternal. Salah
satu cara melaksanakannya adalah melalui pemberian hak milik. Sebagai contoh, ketika
perusahaan garmen diberikan hak mencemar, masyarakat Kepaon melakukan
internalisasi eksternalitas dengan cara menawarkan satu pembayaran. Sebaliknya, ketika
masyarakat Kepaon yang diberi hak atas air sungai yang bersih, maka perusahaan
garmen menginternalisasi biaya eksternal dengan cara menawarkan pembayaran atas hak
mencemar. Namun, sangat susah membayangkan bagaimana hak ini dapat diberikan.
Dalam praktek, pemerintah yang menentukannya dan menerapkan berbagai aturan atas
hak milik tersebut untuk kepentingan masyarakat luas. Pendekatan lain untuk
menginternalisasikan eksternalitas lingkungan adalah dengan kebijakan mengubah harga
efektif dari produksi sebesar nilai yang sama dengan biaya atau manfaat eksternal yang
diakibatkannya.
Sebagai contoh, harga garmen per ton dapat dipaksa naik dengan nilai MEC,
mungkin dengan mengenakan pajak. Pajak yang digunakan untuk memperbaiki efek-efek
dari eksternalitas negatife tersebut disebut pajak pigovian (Pigovian tax). Adanya
masalah informasi mengenai dampak marginal dan biaya sosial marginal, penentuan
output social optimal dan keunikannya dalam pelaksanaan pajak pigovian disoroti oleh
Baumol and Oates. Untuk memecahkan masalah tersebut mereka menyarankan
pendekatan dua tahap. Pertama, memutuskan standar lingkungan yang didasarkan pada
ketersediaan pengetahuan ilmiah dan pilihan social. Kedua, menentukan salah satu opsi,
yaitu pendekatan norma dan harga atau pendekatan norma dan ijin. Pendekatan norma
dan harga dapat diputuskan dengan pengetahuan mengenai fungsi biaya penyusutan
marginal. Alternalif lain, dengan norma dan informasi tentang garis dasar tingkat polusi,

16
jumlah yang boleh didistribusikan dan harga yang diperbolehkan oleh kekuatan pasar
(Sankar, 2008). Kebijakan yang lebih baru mengenai internalisasi eksternalitas
lingkungan adalah dengan menciptakan pasar dan harga pencemar. Pendekatan ini
semuanya berakar dari teori kegagalan pasar.

2.6. Studi Kasus Eksternalitas Kegiatan Produksi Coklat di Kecamatan Manyar


PT. Jebe Koko Indonesia adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang
pengolahan bahan baku biji kakao dengan produk yang dihasilkan berupa coklat cair
(liquor), coklat bubuk (powder), dan minyak nabati (butter) yang semuanya masih dalam
bentuk setengah jadi. Terletak di jalan raya Manyar 25 km, Kawasan Maspion Blok SE,
Roomo Gresik, Jawa Timur. PT. Jebe Koko Indonesia didirikan pada tahun 2012, dan
merupakan salah satu anak perusahaan PT. JB Foods yang berada di Singapura. PT. Jebe
Koko Indonesia sudah mendapatkan berbagai penghargaan dan sertifikasi antara lain ISO
9001 pada tahun 2014 dan sertifikasi halal dari MUI. Disisi lain terdapat juga dampak
negatif yang dihadapi yang ditimbulkan oleh kegiatan produksi PT. Jebe Koko tersebut
diantaranya adalah pencemaran udara, rusaknya jalan raya akibat transportasi yang
dimiliki oleh industri tersebut, dan kemacetan yang mengganggu pengendara. Ada dua
pelaku pembangunan dalam pernyataan di atas yaitu yang pertama masyarakat industri
dan yang kedua masyarakat sekitar industri tersebut.
Dalam suatu masyarakat jelas kegiatan dari suatu pelaku ekonomi tidak mungkin
dapat terlepas dari pelaku ekonomi yang lain, lebih-lebih dalam masyarakat yang terbuka
seperti di Indonesia ini. Tampaknya telah disadari oleh hampir semua pihak bahwa akan
selalu ada dampak baik positif maupun negatif, yang timbul dan diterima oleh pihak lain
sebagai akibat dari adanya kegiatan suatu pihak atau pelaku ekonomi.
EKSTERNALITAS POSITIF :
1. Penyerapan Tenaga Kerja
Tanggung jawab perusahaan tidak hanya pada kerusakan alam, tetapi juga pada
masyarakat. Salah satunya adalah kesejahteraan masyarakat. Upaya perusahaan
dalam sektor ini adalah dengan memberdayakan masyarakat setempat untuk bekerja
pada perusahaan, baik pada kantor maupun pada pabrik. Upaya ini tentu saja
diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.
2. Pembangunan Infrastruktur dan Bantuan Sosial
Infrastruktur dalam kamus besar bahasa Indonesia infrastruktur dapat diartikan

17
sebagai sarana dan prasarana umum. truktur di wilayah sekitar pabrik coklat itu.
Seperti contohnya yaitu jalan raya, infrastruktur jalan raya dimaksudkan agar proses
aktivitas pabrik coklat ini berjalan dengan baik guna untuk mengangkut baik bahan
baku maupun barang jadi yang siap didistribusikan ke pemasaran. Pembangunan
jalan raya ini memberikan eksternalitas positif kepada masyarakat terdekat PT. Jebe
Koko dengan ikut memanfaatkan jalan tersebut. Selain PT. Jebe Koko memberikan
CSR berupa bantuan secara materil berupa sembako yang bertujuan untuk
meringankan beban masyarakat yang kurang mampu sebagai bentuk kepedulian
sosial pabrik kepada masyarakat.

EKSTERNALITAS NEGATIF
Selain dampak eksternalitas positif yang dihasilkan akibat adanya kegiatan produksi
pabrik coklat PT. Jebe Koko. Pabrik ini juga menyumbangkan dampak eksternalitas
negatif di lingkungan sekitar dan yang menanggung adalah masyarakat sekitar.
1. Bau Limbah Pabrik
Eksternalitas lain yang ditanggung oleh penerima dampak dari adanya aktivitas
produksi PT. Jebe Koko adalah bau limbah pabrik. Bau limbah pabrik akibat dari
proses produksi coklat dari pengolahan bahan baku mentah menjadi bahan baku
yang siap diolah atau bahan baku yang siap untuk dikonsumsi untuk didistribusikan
lagi kepada produsen coklat ataupun langsung dijual kepada masyarakat ini
berdampak pada bau yang dirasakan sehingga masyarakat merasa terganggu, tidak
hanya itu saja masyarakat juga mengeluh karena merasa tidak nyaman dengan bau
tersebut.
2. Polusi Udara
Selain dampak bau limbah pabrik Jebe Koko juga memberikan dampak polusi udara
sehingga mengakibatkan kualitas udara menurun karena limbah yang pabrik
keluarkan terutama pada saat pengolahan kakao itu sendiri.
3. Dampak kesehatan
Salah satu dampak eksternalitas negatif dari adanya proses produksi PT. Jebe Koko
adalah dampak kesehatan. Aktivitas produksi pabrik coklat tentunya berdampak
pada kesehatan baik bagi karyawan maupun bagi masyarakat yang berada disekitar
pabrik. Aktivitas produksi pabrik menghasilkan limbah, emisi, debu, pencemaran
udara, dan lain-lain yang akan berdampak pada kesehatan. Bahkan ada kebanyakan

18
warga sekitar mengeluhkan hal tersebut, dengan asap yang dihirup setiap harinya
akan berdampak pada gangguan pernapasan hal tersebut sangat beresiko bagi
kesehatan masyarakat.
Selain dari dampak eksternalitas yang ditimbulkan seperti yang telah diuraikan
diatas ternyata PT. Jebe Koko dalam upaya mengurangi dampak negatif dari proses
produksi coklat kurang tepat sasaran dalam hal pembangunan berkelanjutan dan
pemeliharaan lingkungan, seperti kurangnya program penghijauan kurangnya perawatan
lingkungan serta kurang transparansinya perusahaan kepada masyarakat penerima
dampak langsung dari proses produksi coklat sebagai penerima akibat dampak baik
dampak positif maupun dampak negatif yang tercermin dan implementasi tanggung
jawab sosial perusahaan.
PT. Jebe Koko sebaiknya melibatkan semua pihak dalam mengkaji dampak
eksternalitas yang diterima oleh masyarakat dan dalam merumuskan program-program
apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga penyaluran tanggung jawab sosial
perusahaan beserta kompensasi tepat sasaran. Selain itu diharapkan PT. Jebe Koko agar
kedepannya programprogramnya lebih banyak mengarah kepada kepedulian lingkungan,
mendahulukan kepentingan lingkungan daripada kepentingan-kepentingan lainnya
termasuk profit perusahaan demi mewujudkan sustainable development. Serta sebaiknya
PT. Jebe Koko mengurangi eksternalitas negatif dan memperbanyak eksternalitas positif.

19
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Kegagalan pasar barang publik terjadi karena permintaan tidak dapat
didefinisikan. Kegagalan pasar terjadi karena preferensi yang tidak revelation
(tidak bisa diutarakan), yang ditimbulkan oleh adanya penunggang bebas.
2. Barang publik murni adalah barang yang bersifat tidak bersaing (nonrival) dan
tidak menolak (nonexcludable) dalam konsumsi. Permintaan pasar barang publik
diperoleh dengan penjumlahan kurva permintaan individu secara vertikal.
3. Pemerintah menangani masalah barang publik dengan menyediakan barang
publik secara langsung, membuat undang-undang dan peraturan mengenai
pelestarian lingkungan dan melalui pendidikan kepada masyarakat.
4. Eksternalitas diartikan ketika beberapa kegiatan dari produsen dan konsumen
memiliki pengaruh samping (tidak langsung) terhadap produsen dan atau
konsumen lain atau pihak ketiga di luar pasar. Eksternalitas dapat berupa
eksternalitas positif maupun negatif.
5. Adanya eksternalitas menimbulkan perbedaan antara manfaat (biaya) sosial
dengan manfaat (biaya) individu, ini diakbatkan dari alokasi sumberdaya yang
20
tidak efisien.
6. Teori Coase menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu pemberian hak milik
akan menimbulkan tawar menawar di antara pihak terkait sedemikian rupa yang
memungkinkan tercapainya solusi yang efisien.
7. Apabila ada hak milik namun tidak tegas batasannya, seperti hak milik bersama
atas sumber daya, solusi pasar akan bersifat tidak efisien karena timbulnya
eksternalitas.
8. Solusi terhadap kegagalan pasar mengharuskan ikut campur (intervensi)
pemerintah yang bisa berupa peraturan, kebijakan pajak, atau penyelesaian lewat
pasar.
3.2. Saran
3.2.1. Saran Bagi Mahasiswa
Saran yang diambil dalam penulisan paper ini bagi mahasiswa adalah semoga
mahasiswa dapat lebih mengetahui serta memahami bagaimana konsep kegagalan pasar,
barang publik, dan eksternalitas lingkungan.
3.2.2. Saran Bagi Masyarakat
Saran yang dapat diambil dalam penulisan paper ini bagi masyarakat yaitu
semoga masyarakat dapat lebih mengetahui dan konsep kegagalan pasar, barang publik, dan
eksternalitas lingkungan sehingga dapat mengimplementasikan pengelolaan dan tata cara
serta penerapannya ke dalam sistem perekonomian Indonesia.

21
DAFTAR PUSTAKA

Nehen, I K. 2017. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan . Denpasar: Udayana
University Press.
Wicaksono, K. W. (2012). Barang Publik Dan Eksternalitas Pada Era Otonomi Daerah.
Jurnal Bina Praja. 282-283.
Yuniarti, Dini. (2019). EKSTERNALITAS LINGKUNGAN. Didapat [Online] :
https://www.researchgate.net/publication/332494798_EKSTERNALITAS_LINGK
UNGAN
Moch. Faisal Azmi, B. S. (2021). EKSTERNALITAS KEGIATAN PRODUKSI
COKLAT DI KECAMATAN MANYAR. Buletin Ekonomika Pembangunan, 67-
78.

22

Anda mungkin juga menyukai